Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Sabtu, 18 Juni 2016

Sejarah Walisongo (07) :Sunan Kalijaga - Raden Sahid, Putra Adipati Tuban Yang Memilih Terjun Menjadi Perintis Dakwah Islam






1 Keturunan Rangga Lawe
Bagi penduduk Tuban dan sekitarnya, Rangga Lawe adalah sosok pahlawan yang mereka kagumi. Bagi rakyat Tuban, Rangga Lawe adalah pejuang keadilan dan tokoh legendaris yang amat dihormati. Raden Sahid yang kelak terkenal sebagai Sunan Kalijaga, punya hubungan darah dengan Rangga Lawe melalui garis ibu. Siapakah  sebenarnya Rangga Lawe itu ?

Nama aslinya sebenarnya adalah Aria Adikara, putra Bupati Sumenep Aria Wiraraja. Ayah Rangga Lawe itu adalah penasihat utama Raden Wijaya,  pendiri dan  Raja Majapahit I (1293-1309M). Nama Rangga Lawe sendiri merupakan nama pemberian Raden Wijaya. Konon, karena tertarik pada solah tingkah  pada putra Adipati Sumenep itu, Raden Wijaya memberinya nama Lawe. Saat pembukaan hutan  Tarik yang kelak menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya mendapat bantuan orang-orang Madura anak buah Adipati Sumenep yang dipimpin anak-anak dan kerabat Adipati. Lawe, putra Adipati itu, oleh Raden Wijaya diberi pangkat Rangga. Sejak itu ia dikenal dengan panggilan Rangga Lawe. Sejak muda Rangga Lawe sudah menjadi anak buah Raden Wijaya bersama-sama dengan pamannya Lembu Sora dan juga Nambi. Mereka bertiga merupakan perwira-perwira muda kesayangan Raden Wijaya, sudah sejak Raden Wijaya menjabat Komandan Pasukan Pengawal Sri Kertanegara, Raja  terakhir Singasari (1267-1292 M), yang juga merupakan mertua Raden Wijaya. Jasa Rangga Lawe, Lembu Sora dan Nambi kepada Raden Wijaya sebenarnya sangat besar. Merekalah yang ikut berjuang membuat siasat agar tentara Tartar menyerbu Jayakatwang, Raja Kediri yang mengambil tahta  Raja Singasari Kertanegara. Dan mereka pula yang menjadi komandan memukul mundur tentara Tartar setelah mengalahkan Raja Kediri, sehingga tentara Tartar itu bercerai berai melarikan diri ke laut dan pulang kembali ke negaranya. Kemudian mereka pula yang mensponsori penobatan Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit.

Karena itu, saat Raden Wijaya menjadi  raja, Rangga Lawe diberi jabatan yang cukup tinggi dalam struktur tata pemerintahan kerajaan Majapahit. Selain menjabat salah satu menteri, Rangga Lawe juga diangkat sebagai Adipati Tuban dengan jabatan adipati yang bersifat turun temurun. Sebenarnya Rangga Lawe seorang perwira yang cakap, pandai berkelahai dan olah yuda, seorang pemimpin berbakat yang disukai anak buahnya. Wajar saja jika Raden Wijaya menyayanginya. Namun sebagai manusia Rangga Lawe punya kelemahan. Kelemahan ini yang agaknya tidak disukai Raden Wijaya. Kelemahannya antara lain, Rangge Lawe punya ambisi yang amat besar untuk meraih jabatan tertinggi, yakni jabatan patih dalam struktur pemerintahan kerajaan. Hal ini bukannya tak disadari oleh Raden Wijaya. Maka pada saat pembentukan kabinet, Rangga Lawe diberi dua jabatan sekaligus. Tetapi jabatan patih tidak diberikan kepadanya. Hal ini membuat Rangga Lawe kecewa berat. Jabatan patih diberikan bukan kepada Lembu Sora ataupun  Rangga Lawe, tetapi kepada Nambi. Dalam pandangan Rangga Lawe, kemampuan Nambi berada jauh di bawahnya. Tentu saja pemilihan Nambi oleh Raden Wijaya telah dipikirkan masak-masak.

Hampir  dua tahun Rangga Lawe memendam  perasaan kekecewaannya yang mendalam. Lama-kelamaan kekecewaannya itu semakin menumpuk dan setelah merasa tidak tahan lagi, Adipati Tuban pertama  pada masa Kerajaan Majapahit itu mengangkat senjata dan memberontak  kepada Raden Wijaya (1295 M). Akibatnya Kadipaten Tuban dikepung oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Nambi. Pertempuran antara Nambi dan Rangga Lawe di depan  gapura timur Kota Tuban tak dapat dihindarkan lagi. Rangga Lawe yang mengenakan pakaian perang, memimpin sendiri pertempuran melawan tentara Majapahit dengan menunggang kuda kesayangannya Megalamat. Sedangkan Nambi yang memimpin pasukan Majapahit  dan berusaha melumpuhkan Rangga Lawe menunggang kuda Brahma Cikur. Sesungguhnya Aria Wiraraja, Bupati Sumenep telah berusaha keras untuk membujuk Rangga Lawe agar membatalkan niatnya itu. Tetapi Rangga Lawe telah bulat dengan tekadnya itu. Dr. Slamet Mulyana melukiskan dengan indah sekali jawaban Rangga Lawe terhadap nasihat dan bujukan ayahnya Aria Wiraraja yang dikutipnya dari Babad Rangga Lawe sebagai berikut.

“Ayahanda, Orang harus berusaha sekeras-kerasnya untuk melaksanakan cita-citanya seperti seorang prajurit yang mengumpulkan jasa dengan mempertaruhkan jiwa hanya untuk kemenangan dalam peperangan. Jika ia kalah, ia akan mati terbunuh oleh lawan. Tetapi seorang prajurit tidak wajar jika ia takut mati. Saya tidak lagi menginginkan kemasyhuran. Yang saya kehendaki hanyalah kematian sebagai pahlawan dengan harapan akan menyusul kelahiran kembali tujuh kali yang setiap kali setingkat lebih tinggi dari pada kelahiran yang sebelumnya.“

Dengan ucapannya itu,  Lawe mengakhiri percakapan dengan ayahnya Aria Wiraraja. Ia segera mengumpulkan orang-orangnya, membagi-bagikan perlengkapan senjata dan pakaian. Lalu mengobarkan keberanian dalam hati para pengikutnya untuk mempertahankan negaranya sampai tetes darah yang penghabisan. Sebelum berangkat ke medan perang, Rangga Lawe menyempatkan menemui istrinya Martaraga dan Tirtawati. Martaraga membujuknya agar jangan berangkat ke medan perang. Demikian bujuknya.

“Semalam Adinda bermimpi bersama Kakanda pergi ke taman untuk memetik bunga. Tiba-tiba ada burung gagak yang menyambar keranjang yang berisi bunga. Keranjang tumpah dan bunganya tersebar berserakan.”

Mendengar penuturan istrinya yang dicintainya itu, Rangga Lawe terhenyak sebentar. Ia menyadari bahwa ajalnya telah dekat. Ia segera masuk kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian perang, kemudian menimang-nimang putranya Kuda Anjampani. Didudukannya di atas haribaannnya, lalu diangkat dan diciuminya. Kemudian diserahkan kepada pengasuhnya. Tetapi Anjampani menangis merengek-rengek ingin ikut ayahnya. Karena itu segera dilarikannya ke tempat kakeknya Aria Wiraraja, seraya membujuk bahwa dia akan menghadap Sang Prabu Raja Majapahit.

 “Aku akan cepat pulang untuk menjemputmu dengan menunggang kereta kencana yang akan ditarik oleh kuda sembrani,” bujuk Rangga Lawe berusaha menghibur anaknya.

Dalam pertempuran menghadapi tentara Majapahit yang dipimpin Nambi, Rangga Lawe berhasil memukul mundur tentara Majapahit. Tombak Rangga Lawe berhasil menusuk kuda Brahma Cikur, hingga Nambi terguling-guling ke tanah, namun dia berhasil menyelamatkan diri. Nambi berhasil lepas dari tikaman tombak Rangga Lawe dengan cara melarikan diri ke Sungai Tambak Beras.

Raden Wijaya yang mendengar tentaranya dipukul mundur, segera mengirim sepuluh ribu tentara tambahan dengan pimpinan Mahisa Anabrang, Gagak Sarikan, Mayang Sekar, dan Lembu Sora, paman Rangga Lawe yang berperang di pihak Majapahit. Pasukan Majapahit pimpinan Mahisa Anabrang segera terlibat pertempuran. Mahisa Anabrang adalah  bekas panglima perang ekspedisi Pamalayu yang sempat dikirim Sri Kertanegara menaklukan Jambi dan berhasil dengan gilang gemilang. Tetapi saat menghadapi Rangga Lawe, ternyata Mahisa Anabrang berhasil dipukul mundur oleh Rangga Lawe. Dalam pertempuran singkat, Mahisa Anabrang berhasil lolos dari maut dengan cara berganti kuda dan melarikan kudanya ke tepi Sungai Tambak Beras. Di sana ia menunggu Rangga Lawe yang mengejarnya. Rangga Lawe pun sudah berganti kuda, Nila Ambara.

Mahisa Anabrang cepat-cepat turun ke dalam sungai dan merendamkan dirinya ke dalam air untuk menyegarkan kembali tubuhnya. Tiba-tiba Rangga Lawe dengan kudanya meloncat ke dalam sungai. Mahisa Anabrang yang berada di bawah dan siap dengan tombaknya, tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Dengan sigap  ditusukkan tombaknya dan tepat mengenai leher Nila Ambara.  

Nila Ambara, kuda yang malang itu, langsung terguling ke dasar sungai dan Rangga Lawe pun terlempar masuk ke dalamnya. Mahisa Anabrang segera mengejar Rangga Lawe yang baru saja terjatuh. Kini posisi terbalik. Rangga Lawe berusaha melepaskan diri dengan merangkak naik ke tepi tebing sungai. Tetapi Mahisa Anabrang berhasil menarik kaki Rangga Lawe dan menyeretnya ke dasar sungai. Rangga Lawe terjatuh ke dasar sungai. Dengan cepat Mahisa Anabrang berusaha menjepit leher Rangga Lawe  di bawah ketiaknya dan menenggelamkan kepala Rangga Lawe ke dasar sungai. Lembu Sora yang melihat posisi Rangga Lawe terjepit, cepat-cepat meloncat turun mendekati mereka berdua. Bukannya untuk memisah, tetapi malah menusukkan kerisnya ke tubuh Mahisa Anabrang. Akibatnya Mahisa Anabrang yang tengah menjepit Rangga Lawe itu, tewas seketika. Tetapi Rangga Lawe yang terlalu lama dijepit oleh Mahisa Anabrang di dalam air, juga telah tewas karena mati lemas.

Betapa sedihnya Raden Wijaya saat mengetahui para perwira kesayangannya tewas dalam perang saudara itu. Raden Wijaya mengampuni Rangga Lawe. Anak keturunan Rangga Lawe tetap diijinkan unuk menjadi penguasa Kadipaten Tuban. Dengan demikian Kadipaten Tuban terus menerus dipimpin oleh keturunan Rangga Lawe. Kemungkinan besar Kuda Anjampani setelah dewasa menduduki Kadipaten Tuban dan bergelar Aria Adikara II.

2 Arya Teja.     
Di samping  Rangga Lawe dan turunannya  yang bergelar Aria Adikara, Adipati Tuban yang banyak disebut  dan dikenal luas oleh masyarakat Tuban adalah Aria Teja. Aria Teja ini adalah seorang keturunan ulama Arab yang tentu saja beragama Islam. Nama Islamnya adalah Abdurachman. Ayahnya datang ke Tuban dalam rangka usaha dagang dan dakwah. Ternyata dia berhasil mengsilamkan Adipati Tuban, yakni Aria Adikara yang terakhir. Bahkan akhirnya Abdurachman berhasil diambil menantu Sang Adipati. Setelah  Sang Adipati wafat, Abdurachman ditunjuk menjadi penggantinya. Maka ia mengganti nama Islamnya menjadi nama Jawa, Aria Teja. Agaknya Aria Teja ini menjadi Adipati Tuban pada masa pemerintahan Dyah Suhita(1429 -1447 M). Pada masa Raja Sri Kertawijaya (1447-1451 M), Raden Rahmat kemenakan  istri Raja, dinikahkan dengan putri Arya Teja, Dyah Retno Siti Manila.

Ketika Kerajaan Majapahi runtuh (1478 M), dan muncul Kerajaan Keling yang kemudian pindah ke Kediri dan mengklaim sebagai penerus Kerajaan Majapahit, Kadipaten Tuban tetap setia kepada Kerajaan Hindu Kediri Majapahit. Rajanya yang bernama Ranawijaya adalah cucu Sri Kertawijaya. Pada saat musafir Portugal Tome Pires mengunjungi Tuban tahun 1513 M, Adipati Tuban dijabat oleh Aria Wila Tikta yang oleh Tome Pires  disebutnya sebagai Aria Wira dan menurut Tome Pires ia adalah cucu dari Aria Teja I. Kalau demikian Aria Wila Tikta, tidak lain adalah Aria Teja III. Bukan Aria Teja IV sebagaimana sering disebut-sebut dalam sejumlah buku babad. Aria Wila Tikta, sekalipun cicit  dari seorang mubaligh dan kakeknya seorang Islam yang taat, ternyata cara pola hidupnya jauh dari nilai-nilai Islami. Bahkan penduduk yang sudah Muslim menduga Sang Adipati adalah seorang nonmuslim. Tome Pires sendiri mula-mula juga mengira Sang Adipati  seorang nonmuslim, karena Sang Adipati gemar memelihara anjing. Anjing piaraannya di kadipaten sangat banyak. Menurut Tome Pires, Sang Adipati tidak menganggap anjing sebagai najis. Tome Pires melukiskan gaya hidup Sang Adipati Tuban sebagaimana telah dikutip oleh Sejarawan Belanda De Graaf sebagai berikut.

“Adipati Wira tinggal di istananya yang mewah. Selirnya berjumlah puluhan. Setiap pagi beliau keluar istana keliling kota Tuban naik kereta yang indah sekali dengan ditarik beberapa ekor kuda. Semua orang di pinggir jalan yang dilaluinya tunduk hormat dan tak ada seorang pun yang berani berbicara kepadanya dengan cara mengangkat muka. Rakyat biasa senantiasa menjauhi Sang Adipati.“

Tome Pires melukiskan kota Tuban saat itu sebagai kota yang makmur. Tuban adalah kota pelabuhan dari Kerajaan Kediri Majapahit. Hubungan antara Adipati Tuban dengan Raja Kediri Ranawijaya amat baik. Di Kediri yang berkuasa sebenarnya adalah patihnya yang bernama Patih Umdara. Patih ini adalah mertua Raja Ranawijaya. Karena Adipati Tuban sering mengirimkan sejumlah upeti kepada Patih Umdara di Kediri, maka Adipati Tuban termasuk anak emas Patih Umdara yang amat berkuasa itu. Mungkin saja apa yang dilukiskan Tome Pires tentang jumlah istri Sang Adipati Tuban berlebihan. Namun jelas, dari penuturan musafir yang pernah berkunjung ke Tuban pada tahun 1513-1514 M, informasi itu cukup untuk memberikan gambaran pada kita, bahwa Adipati Tuban Arya Wila Tikta atau  Arya Teja III itu hidup dalam gelimang kemewahan. Adipati Tuban itu mempunya sejumlah putra dan putri. Tetapi yang terkenal adalah Raden Sahid, putra sulungnya dan Dyah Retnowati, seorang putri adik Raden Sahid.
                                            
3 Raden Sahid.
Sebagai putra Adipati, Raden Sahid sebenarnya berhak untuk menggantikan jabatan Adipati menggantikan ayahnya kelak. Tetapi Raden  Sahid berkembang menjadi anak yang nakal dan bandel. Mungkin karena terlalu dimanjakan oleh ayahnya Sang Adipati. Kenakalan Raden Sahid semakin menjadi-jadi saat menjelang masa remaja. Ia malah gemar main judi, mabuk-mabukan, dan tentu saja main wanita. Puncak kenakalannya terjadi saat Raden Sahid ikut serta menjadi perampok. Memang Raden Sahid tak pernah menikmati hasil rampokannya, karena hasilnya dibagi-bagikan  kepada rakyat Tuban yang miskin. Tetapi sasaran perampokan juga bukan orang-orang biasa. Mereka yang dirampok  adalah para sahabat dan anak buah  Sang Adipati.

Saat Sang Adipati mengetahui anaknya terlibat dalam tindakan yang mengganggu keamanan dan ketenteraman serta melanggar hukum, Sang Adipati menjadi murka sekali. Raden Sahid diusir seketika dari kadipaten dan diharuskan meninggalkan wilayah Tuban. Raden Sahid segera angkat kaki. Ia tahu ayahnya tidak main-main. Raden Sahid keluar dari Kadipaten Tuban dan pergi ke arah barat menuju hutan Jatisari. Di sini Raden Sahid bergabung dengan gerombolan perampok pimpinan Lokajaya. Ternyata bakat kepemimpinan Raden Sahid amat menonjol. Maklumlah, dalam dirinya mengalir darah Rangga Lawe!

Dalam waktu singkar Raden Sahid memiliki banyak pengikut. Akhirnya Lokajaya menantang duel Raden Sahid. Siapa yang menang berhak menyandang gelar Lokajaya dan harus diakui sebagai Ketua Organisasi Perampok itu. Dalam duel adu kekuatan, dengan mudah Lokajaya dapat dikalahkan. Sejak itu Raden Sahid diangkat menjadi ketua dengan menyandang nama Raden Sahid Lokajaya. Di bawah kepemimpinannya operasi-operasi perampokan di Kadipaten Tuban semakin menjadi-jadi. Konon sampai-sampai aparat keamanan Kadipaten Tuban dibuat kewalahan. Lama kelaman lewat jaringan aparatnya yang luas Sang Adipati memperoleh informasi bahwa operasi-operasi perampokan yang sulit dilumpuhkan itu, tidak lain dilakukan oleh gerombolan perampok pimpinan anaknya sendiri Raden Sahid Lokajaya, yang telah diusirnya dari Kadipaten Tuban. Bingung bercampur malu saat mendengar berita itu. Sang Adipati pun mencari jalan bagaimana caranya agar putranya itu dapat sadar dan kembali ke jalan yang benar. Tiba-tiba Sang Adipati ingat pada Sunan Bonang, putra Sunan Ampel. Sunan Ampel adalah suami bibi Sang Adipati, karena itu Sunan Bonang  tidak lain adalah putra bibinya yang menjadi istri Sunan Ampel. Kebetulan Sunan Bonang adalah ulama terkenal. Beliau pun telah mendirikan pesantren di desa Karangkemuning, yang masih termasuk wilayah Kadipaten Tuban. Memang saat itu Sunan Bonang sudah  meninggalkan Demak setelah hampir lima belas tahun menjabat sebagai Imam Besar Masjid Demak (1490-1505 M).

Menurut perkiraan De Graaf, Sunan Bonang meninggalkan Demak setelah selesai pemugaran Masjid Demak pada tahun 1505 M. Imam Besar Masjid Demak  digantikan oleh Sunan Kudus Senior atau Sunan Ngudung. Kehadiran Sunan Bonang di Tuban dimanfaatkan oleh Sang Adipati  agar Sunan Bonang bisa membujuk putranya yang kini menyandang nama Lokajaya, kembali ke jalan yang lurus. Sunan Bonang menyanggupi permintaan Sang Adipati. Maka berangkatlah Sunan Bonang ke hutan Jatisari di sebelah barat Kadipaten Tuban. Singkat ceritera, terjadi pertemuan di antara mereka. Terjadi diskusi yang panjang lebar dan mendalam. Sunan Bonang adalah seorang wali dan ulama yang mumpuni, menguasai dengan baik ilmu jiwa dan soal-soal ilmu Keislaman. Maka diskusi itu berakhir dengan kesediaan Raden Sahid untuk bertobat dan bersedia menjadi  santri Sunan Bonang, mondok beberapa tahun di pesantren Sunan Bonang di Tuban. Ternyata sejumlah anak buahnya yang mulai sadar, ikut serta pula berguru menjadi murid Sunan Bonang. Karena Raden Sahid seorang siswa yang cerdas dan dalam dirinya juga mengalir darah ulama dari jalur kakek ayahnya yakni Abdurachman, dalam waktu singkat  Raden Sahid sudah menguasai ilmu-ilmu Keislaman  yang diajarkan Sunan Bonang. Setelah merasa cukup menimba ilmu, Raden Sahid meminta diri untuk mengamalkan ilmunya dengan cara berdakwah menyebarkan ajaran Islam.     

Tome Pires, pengelana dan penulis Portugal itu melaporkan dalam tulisannya bahwa Adipati Tuban yang ia sebut Adipati Wira  itu, pada saat Tome Pires berkunjing ke sana, sudah memiliki putra menantu yang telah dicalonkan untuk menggantikan kedudukan Sang Adipati kelak. Putra menantu itu adalah anak dari kakak perempuan Sang Adipati  yang dinikahkan dengan putrinya sendiri. Besar kemungkinan putrinya itu adalah Dyah Retnowati, adik Raden Sahid. Adapula sumber yang menyebut bahwa nama adik Raden Sahid itu adalah Dyah Retno Ningsih. Dalam pandangan Tome Pires, Sang Menantu Adipati itu adalah seorang Muslim yang taat, berbeda jauh dengan mertuanya. Tentang kualitas kemusliman Sang Adipati itu, Tome Pires menulis sbb :

“Barang kali hal itu terjadi, karena  Adipati Tuban menjadi Muslim baru dua generasi sejak kakeknya yang seorang Muslim.” Demikian komentarnya dalam buku Summa Oriental yang dikutip Sejarawan Belanda De Graaf. Bila kesaksian Tome Pires itu benar, maka hal itu dapat dijadikan petunjuk kapan Raden Sahid itu dilahirkan. Tahun 1513 M, Tome Pires mengunjungi Tuban. Saat itu adik Raden Sahid baru saja menikah dengan kakak sepupunya yang bernama Aria Pamalad yang telah ditetapkan oleh Sang Adipati sebagai calon penggantinya.

Sunan Bonang sudah tinggal di Tuban sejak tahun 1505 M. Tome Pires sedikitpun tidak pernah  menyinggung-nyinggung Raden Sahid, putra tertua Sang Adipati. Besar kemungkinan saat Tome Pires mengunjungi Tuban, Raden Sahid masih berkeliaran di hutan Jatisari. Adanya putra mahkota calon pengganti Sang Adipati itu, menunjukkan bahwa Sang Adipati telah mengesampingkan Raden Sahid sebagai calon penggantinya. Maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa usia Raden Sahid itu tidak jauh berbeda dengan usia Raden Pamalad. Jika usia nikah Raden Pamalad dua puluh tahun, usia yang pas untuk menikah bagi  Satria Jawa, maka usia Raden Sahid pada tahun 1513 M itu juga baru sekitar dua puluh tahun juga. Dengan demikian, tahun kelahiran Raden Sahid dapat diperkirakan  yaitu pada tahun 1493 M, mundur  dua puluh tahun dari tahun 1513 M.

Menetapkan tanggal kelahiran seorang tokoh historis, amatlah penting. Karena dengan demikian kita dapat mengecek kebenaran kisah dalam buku-buku babad maupun ceritera tutur yang berbau legenda. Misalnya, dengan memperkirakan bahwa Raden Sahid baru lahir pada tahun 1493 M, kita dapat menolak berita babad yang mengatakan bahwa Raden Sahid Sunan Kalijaga pernah bertemu dengan Sunan Ampel. Sebab Sunan Ampel sudah wafat pada tahun 1481 M. Demikian pula kisah yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga hadir dalam pembangunan Masjid Demak. Jelas kisah ini tak dapat dipercaya. Masjid Demak pertama kali dibangun  pada tahun 1479 M. Saat itu Sunan Kalijaga jelas belum lahir. Paling banter  Raden Sahid bisa hadir dalam pemugaran masjid Demak pada tahun 1505 M. Saat itu pun  usia Raden Sahid baru sekitar 12 tahun.

4 Sunan Kalijaga.
Sebagai juru dakwah, muballigh dan dai, Raden Sahid memiliki keistimewaan hingga dia menjadi cepat populer. Sebagai seorang wali, Raden Sahid  dikenal dengan nama yang amat populer, yakni Sunan Kalijaga. Kata wali sendiri berasal dari Bahasa  Arab  wala atu waliya yang mengandung arti qaraba atau dekat. Artinya seorang wali adalah seorang yang dekat dengan Allah SWT, karena dia orang yang beriman, bertakwa, dan senantiasa berjuang di jalan yang diridlai oleh Allah SWT. Karena itu seorang wali adalah seseorang yang dikasihi oleh Allah SWT.

Banyak riwayat yang menyebutkan kenapa Raden Sahid kemudian lebih populer dengan sebutan Sunan Kalijaga. Sunan sendiri berasal dari kata susuhunan, yang mengandung arti orang yang dihormati. Tetapi Kalijaga? Tidak ada tempat, desa, dan pesantren yang bernama Kalijaga. Bahkan tempat wafat Sunan Kalijaga dan desa tempat tinggalnya tidak disebut Kalijaga, tetapi Kadilangu. Memang biasanya nama seorang wali selalu dikaitkan dengan tempat tinggalnya. Misalnya  Sunan Gunungjati di Cirebon. Disebut demikian karena makamnya berada di  Gunung Sembung atau Gunung Jati Cirebon. Demikian pula Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Muria.  Kata-kata Giri, Ampel, Kudus dan Muria, semua itu menunjukkan nama tempat. Hampir dapat dipastikan tak ada desa yang bernama Kalijaga. Benar bahwa Sunan Kalijaga pernah tinggal di Cirebon. Dan bekas tempat tinggal beliau di Cirebon  disebut Kalijaga atau Kalijagan. Tetapi sebelum Raden Sahid tinggl di situ, nama tempat itu bukan Kalijaga. Raden Sahid juga  tidak pernah disebut orang sebagai Sunan Cirebon. Pada akhir hidupnya,  Raden Sahid tinggal di Kadilangu bahkan dimakamkan disana. Tetapi  tak pernah ada orang yang menyebutnya sebagai Sunan Kadilangu.

Semua itu membuktikan bahwa Sunan Kalijaga adalah seorang wali yang gemar mengembara, berpindah  dari satu tempat ke tempat lain. Semua itu dilakukan dalam rangka menyebarkan Islam ke daearah-daerah lain di segala penjuru wilayah Kerajaan Islam Demak. Namun begitu wilayah pengembaraannya yang terkenal adalah sepanjang pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Barat, mulai dari Demak, Semarang, Tegal, Cirebon bahkan Indramayu. Wilayah pedalaman Jawa Tengah  Selatan juga tidak lepas  dijadikan medan dakwah Sunan Kalijaga. Mulai dari lembah Bengawan Solo, Lembah Sungai Progo dan Bogowonto, bahkan sampai lembah Sungai Serayu dan Sungai Kelawing di sisi barat Pegunungan Dieng. Cara melakukan dakwah di pedalaman Jawa Tengah Selatan ini amat unik, karena dilakukan dengan cara mementaskan wayang kulit. Dalam pementasan itu, Sang Dalang tidak pernah meminta upah. Upah yang dimintanya  hanyalah agar para penonton bersedia mengucapkan kalimat Syahadat sebagai suatu syarat masuk Islam. Karena itu penduduk di lembah Sungai Serayu dan Sungai Kelawing percaya bahwa kisah wayang Babad Sungai Serayu adalah ciptaan Kanjeng Sunan Kali Jaga.

Sungai Serayu adalah sebuah sungai yang  bermata air  di kaki Pegunungan Dieng, sedang Sungai Kelawing mata airnya berada di kaki sebelah timur Gunung Slamet. Sungai Kelawing kemudian  bersatu dengan Sungai Serayu di desa Suro, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten  Banyumas. Selanjutnya   kedua sungai yang telah menyatu itu terus mengalir menuju Segara Anakan Samudra Hindia di Pantai Cilacap Jawa Tengah. Sebelumnya, penduduk menyebut nama kedua sungai itu Ciserayu dan Cingcinggoling. Tetapi setelah Sunan Kalijaga mementaskan wayang dengan kisah Babad Sungai  Serayu, maka  nama Serayu dan Kelawing dijadikan  nama dari dua sungai yang unik itu. Memang nama Sungai Serayu  ada di sebut-sebut dalam kitab Mahabarata. Tetapi oleh Sunan Kalijaga, kisah yang  terjadi di India itu, dijadikan kisah yang seolah-olah terjadi di Pulau Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan Sunan Kalijaga, amat luas. Bukan hanya hal-hal yang berkaitan dengan Agama Islam. Tetapi  juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan kesenian. Sunan Kalijaga juga merupakan salah seorang wali yang memelopori dakwah Islam dengan menggunakan media kesenian, khususnya kesenian pentas wayang kulit yang memang amat digemari oleh orang Jawa.

Kecintaan Raden Sahid kepada  sungai benar-benar luar biasa. Mungkin hal inilah yang menyebabkan dia dikenal sebagai  Sunan Kalijaga, yang artinya adalah  wali yang dihormati karena  kesetiaannya untuk menjaga aliran sungai.  Istilah syariat dalam bahasa Arab menganding arti jalan ke arah mata air. Tetapi  agaknya Sunan Kalijaga menafsirkan syariat sebagai jalan dari air yang bersumber dari mata air menuju ke lautan luas. Jalan  dari air yang bersumber dari mata air itu, tidak lain adalah sungai yang akan bermuara di lautan. Mata air sebuah sungai, diidentikkan sebagai Al Qur’an dan Hadist, yakni mata air sumber dari ajaran Islam. Aliran  sungai diidentikkan dengan syariat Islam, sedangkan lautan tempat bermuaranya  aliran sungai, diidentikkan dengan samudra kasih sayang  Allah SWT, tempat dimana manusia kelak akan kembali dalam pelukan kasih sayang Allah, yaitu surga yang dijanjikan. Bagi Sunan Kalijaga, syariat Islam itu ada dua, yakni syariat lahir, yang dikenal sebagai Rukun Islam. Dan syariat batin yang dikenal sebagai Rukun Iman. Kedua-duanya adalah jalan menuju Allah SWT, yang tidak boleh terpisahkan. Ungkapan yang terkenal bahwa syariat lahir tanpa syariat batin adalah kosong  dan syariat batin tanpa syariat lahir adalah batal, berasal dari pandangan Sunan Kalijaga. Rukun Iman dan Rukun Islam adalah dua rukun  kembar  yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya hanyalah berbeda  dalam rumusannya, tetapi hakekatnya satu, yakni sebagai jalan atau syariat untuk menuju tingkat atau derajat takwa.

Konon ketika Sunan Kalijaga sedang berkelana untuk berdakwah di daerah Lembah Serayu, dia terkejut karena menyaksikan dua buah sungai yang bermata air dari  tempat yang berbeda, tetapi memiliki struktur hidrologi sungai yang sama. Bagi Sunan Kalijaga Sungai Kelawing dan Sungai Serayu itu bagaikan dua sungai kembar. Kemiripan kedua sungai itu digambarkan oleh Sunan Kalijaga dalam pentas wayang kulit  melalui ungkapan dalam  bahasa  Jawa yang sangat indah yaitu sebagai berikut. 

Pinda suruh lumah lan kurebe, sinawang seje rupane, ginigit pada rasane. Artinya, kedua sungai itu  bagaikan daun sirih. Bila  dilihat permukaan daun sirih pada  sisi depan dan pada sisi  baliknya, nampak berbeda. Tetapi bila digigit, ternyata sama rasanya. Artinya Sungai Serayu dan Sungai Kelawing itu adalah dua sungai yang nampaknya saja  seperti berbeda, tetapi struktur hidrologinya ternyata sama. Keduanya akhirnya juga menyatu atau manunggal  dan menempuh jalan yang sama menuju tempat yang sama yaitu lautan luas Samudra Hindia. Demikianlah Sunan Kalijaga, memberi makna filofosis pada Sungai Serayu dan Sungai Kelawing, sebagai gambaran Rukun Iman dan Rukun Islam yang harus menyatu dan manunggal pada diri seorang Muslim. Itulah jalan yang lurus, jalan yang harus dilewati  jika manusia ingin selamat menempuh perjalanan hidup di dunia hingga dapat berjumpa dan bertemu dengan Tuhannya. Inilah konsep ajaran manunggaling kawula gusti ajaran Sunan Kalijaga, yang tidak menolak syariat Islam. Dengan demikian merupakan  suatu ajaran tandingan terhadap ajaran manunggaling kawula gusti Syekh Siti Jenar yang menolak ajaran syariat Islam.

Kecintaan Sunan Kalijaga kepada sungai juga ditunjukkan saat dia berdakwah kepada penduduk yang banyak bermukim di tepi-tepi sungai yang bertebaran di pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Barat. Saat itu sungai-sungai  besar yang bermuara di pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Barat, merupakan jalur lalu lintas yang ramai. Pada masa itu, jalan yang berbatu, jalan aspal, apalagi  jalan tol seperti jaman kita sekarang ini belum ada. Karena itu tinggal di tepi sungai pada masa itu sama halnya dengan tinggal di tepi jalan raya pada masa kini. Saat itu lampu listrik belum ada. Alat penerangan pada malam hari, menggunakan bahan bakar minyak tumbuh-tumbuhan yang sudah dikenal oleh penduduk. Konon kebiasaan Sunan Kalijaga setiap kali bermukim sementara di tepi sungai di tengah-tengah pemukiman penduduk, hampir sepanjang malam menyalakan lampu minyak hingga tempat tinggalnya selalu terang benderang. Hal ini dilakukan karena Sunan Kalijaga banyak memanfaatkan waktu pada malam hari untuk berdzikir, salat tahajud, dan membaca ayat-ayat suci Al Qur’an. Pagi-pagi sekali Sunan Kalijaga juga sudah bangun dan membawa obor pergi ke sungai untuk mengambil air wudu guna salat Subuh. Saat itu sungai-sungai di Jawa  airnya masih jernih, sangat layak untuk mandi, mencuci pakaian dan berwudu, karena belum ada sungai yang tercemar. Penduduk setempat yang selalu memperhatikan perilaku Sunan Kalijaga itu, mengira bahwa Sunan Kalijaga tak pernah tidur di malam hari dan selalu terjaga. Akhirnya penduduk setempat  menyebutnya sebagai Sunan Kalijaga. Artinya orang suci dan dihormati yang gemar tinggal di pemukiman penduduk di tepi sungai dan tiap malam jarang tidur karena berjaga demi mendoakan keselamatan penduduk yang tinggal di tepi sungai itu. 

Memang ada versi lain tentang asal muasal nama Sunan Kalijaga, tetapi bersifat legenda dan sulit diterima oleh akal sehat. Misalnya dikisahkan bahwa  saat Raden Sahid ingin berguru kepada Sunan Bonang, dia diuji oleh calon gurunya itu agar supaya menunggui tongkatnya yang ditancapkan ke dalam tanah di tepi sebuah sungai besar. Ternyata Sunan Bonang lupa telah sekian lama meninggalkan  tongkat dan calon santrinya itu di tepi sungai. Saat Sunan Bonang menengoknya, betapa terkejutnya, karena calon santrinya itu masih tetap duduk sekian lama menunggui tongkatnya itu. Bahkan karena terlalu lama ditinggalkan, tubuh calon muridnya itu telah ditumbuhi  pohon-pohon yang merambat. Demikian pula tongkat Sunan Bonang hampir tak dapat dikenali lagi, karena telah tertutup pohon rumput-rumputan yang merambatinya. Kisah legenda ini  tidak boleh dibaca secara harfiah, tetapi harus dicari makna simboliknya. Legenda itu mungkin hanyalah untuk menunjukkan ketekunan Raden Sahid dalam menuntut ilmu kepada Sunan Bonang, hingga berhasil lulus dengan amat memuaskan atau cum laud menurut istilah jaman sekarang.

Sebagai  pengembara medan dakwahnya tidak hanya di Jawa saja. Sunan Kali Jaga bahkan pernah berdakwah ke luar Jawa. Antara lain ke Pulau Upih, Sumatra, Malaka bahkan konon sampai ke Patani, Muang Thai Selatan. Di Pulau Upih Sunan Kalijaga menyempatkan diri untuk menimba ilmu dari seorang ulama terkenal yang ahli di bidang tasawuf pengikut Jalaluddin Rumi, pengarang kitab tasawuf terkenal Mastnawi. Dapat kita mengerti bahwa pandangan tasawuf Sunan Kalijaga sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Jalaludin Rumi dalam Mastnawinya. Setelah berkelana di sejumlah tempat di luar Jawa,  Sunan Kalijaga kembali ke Jawa. Kali ini dia menetap di Cirebon dan dikenal dengan sebutan Syekh Malaya. Di Cirebon  dia berhasil menyunting seorang putri adik Syekh Nurullah  yang bernama Retna Siti Jenab. Syekh Nurullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunungjati adalah ipar Sultan Trenggono. Dia juga kelak dikenal sebagai Fathahillah, Sang Penakluk Sunda Kalapa. Nampaknya Pernikahan Sunan Kalijaga dengan adik Syekh Nurullah itu terjadi sebelum penaklukan Sunda Kalapa. Kemungkinan besar berlangsung antara tahun 1522 -1524 M.

Melalui Syekh Nurullah, Sunan Kalijaga diperkenalkan dengan Sultan Trenggono yang segera terpikat kepada pribadi Sunan Kalijaga. Karena itu Sultan Treggono menyetujui pengangkatannya sebagai anggota Dewan Walisongo Kerajaan Islam Demak. Sekalipun sudah menjadi anggota Dewan Walisongo, nampaknya Sunan Kalijaga masih menetap di Cirebon. Sunan Kalijaga baru pindah ke Demak  sekitar awal tahun 1543 M, setelah diminta oleh Sultan Trenggono untuk menjadi penasihat Sultan. Sunan Kalijaga  dan keluarganya menetap di Kadilangu. Selain  adik Syekh Nurullah yang menjadi istri Sunan Kalijaga, istrinya yang lain adalah Dewi Saroh. Ada yang mengatakan bahwa Dewi Saroh adalah putri Syekh Maulana Ishak. Tetapi ada yang menyebutkan putri Sunan Bonang. Menurut hemat penulis, yang mendekati kenyataan sejarah adalah putri Sunan Bonang. Atau bisa jadi putri asuh Sunan Bonang.

5 Dakwah Kepada Raja Kediri  Majapahit. 
Salah satu santri Sunan Kalijaga yang mengikuti jejaknya adalah Ki Pandan Arang. Dia masih keturunan Bupati Semarang. Karena pengaruh dakwah Sunan Kalijaga, akhirnya Ki Pandan Arang beserta istrinya menjadi wali pengembara. Mereka berdua meninggalkan kehidupan yang mewah dan mengabaikan kesempatan untuk menjadi Bupati Semarang, terjun menjadi penyebar agama Islam. Berdua bersama istrinya, mereka mengembara jauh ke wilayah pedalaman Jawa Tengah Selatan. Akhirnya mereka bermukim di tempat yang amat sepi, sunyi senyap dengan penduduk yang masih sedikit. Tempat itu bernama Tembayat, suatu daerah di Klaten Selatan. Di situ Ki Pandan Arang berusaha mengislamkan penduduk setempat. Ternyata berhasil. Sejak itulah Ki Pandan Arang mendapat sebutan Sunan Tembayat. Walaupun sibuk berdakwah dan mengajar di pesantren yang didirikannya, Sunan Tembayat beserta istrinya masih menyempatkan diri untuk berdagang beras.

Daerah Tembayat tempat mereka mendirikan pesantren adalah daerah yang tandus dengan bukit-bukit kapur. Tetapi daerah datarannya merupakan daerah subur dan petani mampu menghasilkan produksi beras yang melimpah. Istri Sunan Tembayat menampung produksi beras para petani dan mengirimkannya ke Semarang. Sebagai penampung porduksi beras, bukan hanya petani sekitar yang berdatangan kepada Istri Sunan Tembayat untuk menjual berasnya. Petani dari luar daerah juga banyak yang datang  ke Tembayat. Kepada petani yang datang dan kadang-kadang  harus menginap, Sunan Tembayat dan istrinya menyediakan tempat untuk bermalam bahkan menjamunya. Kesempatan ini digunakan oleh Sunan Tembayat  untuk berdakwah kepada mereka. Karena itu dalam waktu singkat Sunan Tembayat mempunyai banyak pengikut. Pesantrennya juga berkembang menjadi pesantren yang makmur. Kelak keturunan Sunan Tembayat menjadi pejuang-pejuang Islam yang gagah berani. Bahkan berani menentang Mataram dan Kompeni. Trunojoyo, Pejuang Islam  yang terkenal gagah berani itu, memiliki istri dari keturunan Sunan Tembayat. Sunan Tembayat hanyalah salah satu saja dari santri Sunan Kalijaga yang  sukses mendidirkan pesantren dan meniti karir dalam hidupnya sebagai penyebar agama Islam. Santri-santrinya yang lain sukses  meniti karir sebagai perwira tamtama di Kerajaan Islam Demak. Mereka antara lain   Joko Tingkir, Panjawi, Pemanahan, Senapati, dan lainnya lagi. Joko Tingkir akhirnya menjadi Sultan Pajang. Pamanahan dan putranya Senopati, menjadi pendiri dan penguasa Mataram.

Setelah Sultan Trenggono berhasil menaklukkan Kediri (1527 M) dan Pengging (1530 M), ternyata Ranawijaya beserta Patih Umdara dan sejumlah pengikutnya berhasil meloloskan diri ke Sengguruh dan berhasil membangun pemerintahan di sana. Raja Ranawijaya inilah yang oleh Babad Tanah Jawi sering disebut sebagai Brawijaya terakhir. Berdasarkan penelitian sejarah, Ranawijaya yang disebut-sebut sebagai Brawijaya terakhir itu, bukanlah ayah Raden Patah. Ranawijaya adalah cucu Sri Kertawijaya. Sri Kertawijaya adalah juga ayah Raden Patah. Raden Patah adalah ayah Trenggono. Dengan demikian hubungan kekerabatan antara Ranawijaya dan  Trenggono adalah sama-sama cucu  Sri Kertawijaya Brawijaya I. Dapat dimengerti bila Sultan Trenggono  terus berusaha mencoba menarik Ranawijaya masuk Islam. Dan itu selalu dilakukan sebelum Trenggono menaklukkan Kerajaan yang dipimpin oleh Ranawijaya.

Demikianlah  Babad Kediri menceriterakan, bahwa Sunan  Kalijaga pernah diutus Sultan Demak untuk berdakwah kepada Ranawijaya yang saat itu berada di Sengguruh. Konon Sunan Kalijaga berhasil menemui Raja Ranawijaya. Setelah melaui sejumlah dialog, konon Raja sudah bersedia memeluk Islam. Akan tetapi pengikut setianya yang bernama Sabdo Palon menghalanginya. Akibatnya Sang Raja batal masuk Islam. Dalam versi lain bukan Sunan Kalijogo yang diutus oleh Sultan Trenggono. Tetapi Lembu Peteng. Lembu Peteng adalah kakek Ki Ageng Sela yang kelak menurunkan raja-raja Mataram, karena Ki Ageng Sela adalah ayah dari Pemanahan. Lembu Peteng adalah putra Sri Kertawijaya Brawijaya I dari wanita Albino. Karena itu, hubungan kekerabatan Lembu Peteng dengan Sultan Trenggono, Lembu Peteng  adalah  paman Trenggono dan juga paman Ranawijaya. Tetapi usaha Lembu Peteng untuk membujuk Ranawijaya gagal karena dihalang-halangi oleh Sabdo Palon. Siapakah Sabdo Palon itu? Dia adalah  abdi kinasih Raja yang sempat menjadi murid Syekh Siti Jenar.

Kapan Sunan Kalijaga wafat, tidak bisa diketahui dengan pasti. Yang jelas beliau dikaruniai usia panjang. Mengalami jaman Pajang bahkan jaman Mataram awal. Bahkan konon sempat menjadi penasihat Senapati membangun Kerajaan Mataram. Jika  Senapati mangkat pada tahun 1603 M, maka  kira-kira bila benar Sunan Kalijaga pernah menjadi penasihat Senapati sebagai yang tersebut dalam kisah-kisah ceritera lisan maupun Babad Tanah Jawi, berarti  Sunan Kalijaga wafat pada awal-awal abad ke 17 M. Suatu usia yang cukup panjang, lebih dari satu abad. Prestasi yang sama ternyata juga dicapai oleh Sunan Kudus Ja’far Sidik. Wallahualam.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar