Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Rabu, 08 Juni 2016

Sejarah Walisongo (04) :Sunan Giri - Raden Paku, Pendakwah Cucu Ulama Besar Syekh Maulana Ishak dari Pasai



1. Syekh Yakub bin Maulana Ishak.

Hasil penelusuran Drs.Widji Saksono dalam bukunya Mengislamkan Tanah Jawa, telah berhasil mengungkapkan bahwa Raden Paku yang kelak dikenal sebagai Sunan Giri, bukanlah putra Syekh Maulana Ishak. Raden Paku adalah cucu dari Syekh Maulana Ishak, ulama ternama dari Pasai.

Hasil penelusuran itu, memang lebih mendekati fakta sejarah, dari pada menganggap Raden Paku adalah putra Syekh Maulana Ishak, sebagaimana yang banyak ditulis dalam buku-buku Kisah Walisongo. Sebab Syekh Maulana Ishak diperkirakan lahir pada tahun 1490 M, sehingga jika benar dia ayah Raden Paku, maka pada saat Raden Paku lahir (1453 M), tentu Syekh Maulana Ishak sudah terlalu tua, yakni sudah berusia 63 tahun. Kecil kemungkinan, bahwa ulama yang sudah berusia sekitar 60 tahun masih harus mengunjungi daerah Blambangan yang sulit medannya sekalipun untuk tujuan berdakwah. Karena itu yang paling mendekati fakta sejarah adalah Syekh Yakublah ayah Raden Paku dan dan bukannya Syelkh Maulana Ishak sebagaimana dikemukakan Drs. Widji Saksana dari hasil penelusurannya.

Syekh Maulana Ishak, ayah Syekh Yakub adalah  putra Syekh Jumadilkubro. Sedangkan Syekh Jumadilkubro adalah  putra Sultan Pasai, Zaenal Abidin (1383 -1405 M). Syekh Yakub bin Maulana Ishak diperkirakan lahir pada tahun 1414 M. Pada pertengahan abad ke 15 M, dia mengunjungi adik sepupunya Raden Rahmat di Jawa Timur. Antara Syekh Yakub bin Maulana Ishak dan Raden Rahmat terdapat hubungan kekerabatan yang dekat. Mereka berdua adalah saudara sepupu, karena ayah mereka kakak beradik. Saat itu Raden Rahmat  baru saja menikah dan tengah sibuk dalam proyek mendirikan pesantren Ampel Denta. Syekh Yakub bin Maulana Ishak sendiri adalah  seorang ulama yang serba bisa. Di samping seorang ulama  pandai, beliau juga mengusai ilmu ketabiban. Berkat aktivitas dakwahnya dan praktek ketabiban yang giat dilaksanakannya, Syekh Yakub  banyak berkenalan dengan sejumlah saudagar kaya di sejumlah kota bandar niaga seperti  Malaka, Palembang, Cirebon, Tuban dan Gresik.

Di Kota Gresik, Syekh Yakub berkenalan pula dengan salah seorang pengusaha wanita yang kaya raya yang bernama Nyi Gede Pinatih. Suaminya bernama Pangeran Samudra, telah almarhum. Suami Nyi Gede Pinatih  adalah bekas Syah Bandar Pelabuhan Gresik yang mengabdi kepada Raja Majapahit. Konon sebelum menjadi Syah Bandar di Gresik, Pangeran Samudra adalah seorang pejabat tinggi setingkat patih di Kadipaten Blambangan, suatu daerah di Ujung Timur Jawa Timur, kini  lebih dikenal dengan nama Banyuwangi.

Karena kepandaiannya dalam bidang ketabiban, maka penduduk  setempat menjulukinya sebagai Syekh Wali Lanang. Dalam bahasa Jawa dikenal istilah  sada lanang. Sada adalah lidi. Lanang mengandung arti berani, bertuah atau unggul. Sada Lanang artinya adalah lidi yang berkhasiat karena memiliki daya penyembuh atau tolak bala. Karena itu julukan Syekh Wali Lanang, mengandung makna simbolik, yang menunjukkan bahwa Syekh Yakub bin Maulana Ishak, di samping seorang yang dianggap memiliki keahlian dalam agama Islam, juga memiliki kemampuan untuk mengobati  dan menyembuhkan orang yang sakit.

Hampir semua kronik Jawa seperti Babad Banyuwangi dan buku-buku yang berisi kisah Walisongo, menyamakan Syekh Wali Lanang dengan Syekh Maulana Ishak. Padahal Syekh Wali Lanang adalah putra Syekh Maulana Ishak, bukan Maulana Ishak itu sendiri.

Akibat kesalahan dalam melakukan identifikasi ini, nama Syekh Yakub bin Maulana Ishak hampi-hampir tidak dikenal. Karena yang dikenal adalah Syekh Wali Lanang bin Maulana Ishak. Tetapi lama kelamaan dalam ceritera tutur, Syekh Wali Lanang dianggap identik dengan Maulana Ishak.

Hal ini sebenarnya erat kaitannya dengan tradisi dalam kebudayaan Jawa, yakni satu orang bisa memiliki nama sampai dua, tiga bahkan empat nama. Ada nama orang pada saat dilahirkan, ada nama panggilan atau paraban, ada nama saat berusia dua windu, empat windu dan   nama saat berusia lima windu atau 40 tahun kalender Jawa Islam.

Contohnya Syekh Siti Jenar. Bila dirangkaikan namanya sejak kecil menjadi sangat panjang yakni Raden Saksar Hasan Ali Abdul Jalil Siti Jenar. Demikanlah orang Jawa pada masa itu menafsirkan  Syekh Wali Lanang bin Maulana Ishak adalah Syekh Wali Lanang alias Maulana Ishak. Kekeliruan dalam mengidentifikasi Syekh Yakub sama dengan Syekh Maulana Ishak, mengakibatkan kekeliruan dalam menetapkan ayah Raden Paku atau Sunan Giri. Raden Paku dianggap putra Maulana Ishak. Padahal yang mendekati fakta sejarah, Raden Paku adalah cucu Syekh Maulana Ishak.

Sebagai seorang ulama dari Samudra Pasai, sudah barang tentu kemampuan Syekh Yakub bin Maulana Ishak di bidang agama tak diragukan lagi. Seperti telah dikemukakan di depan,  Samudra Pasai saat itu adalah sebuah kota di pantai Sumatra Timur, kini masuk wilayah Aceh dan merupakan pusat Kerajaan Islam pertama di Nusantara (1250 – 1524 M).

Dari Samudra Pasai Islam berkembang dan tersebar ke wilayah lain di Asia Tenggara antara lain ke Malaka, Patani, Campa, Brunai, dan Jawa.  Peran Samudra Pasai pada masa kejayaannya, bukan hanya sebagai pusat penyebaran Islam, tetapi juga sebagai pusat kebudayaan Melayu Islam  yang paling utama di Asia Tenggara. Dari kota Pasailah kesasastran Melayu Islam berkembang. Para ulama dan inteletual Muslim dari Pasai, giat menulis dan menerjemahkan kitab-kitab agama dan kesusastraan berbahasa Arab dan Parsi ke dalam bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Arab Melayu. Huruf Arab Melayu ciptaan para ulama Pasai ini dikenal sebagai huruf Jawi.

Buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu bukan hanya buku-buku pelajaran agama seperti fikih, rukun Islam, tatacara salat dan lainya lagi. Tetapi diterjemahkan juga riwayat hidup Nabi Muhammad saw, kisah para nabi dan hikayat-hikayat yang berasal dari sastra Arab dan Parsi. Buku-buku tasawuf juga sudah mulai ada yang menerjemahkannya. Kegiatan  kesusastraan Melayu  Islam  di Samudra Pasai melalui tradisi penerjemahan, telah mendorong lahirnya  sastra pesantren. Karena bahasa Melayu merupakan bahasa pengantar dan pergaulan penduduk Kepulauan Nusantara, aktivitas menterjemahkan naskah asing yang menghasilkan buku-buku agama dan kesusastraaan Islam itu, telah ikut mempercepat tersebarnya Islam ke seluruh pelosok Nusantara dan Asia Tenggara.

Dalam pertemuan Syekh Yakub bin Maulana Ishak  dengan Sunan Ampel, banyak dibahas masalah-masalah  dakwah Islam di Pulau Jawa. Sunan Ampel menyarankan kepada Syekh Yakub bin Maulana Ishak agar bersedia melakukan dakwah Islam ke daerah ujung timur Pulau Jawa, yakni daerah Blambangan. Daerah Blambangan saat itu merupakan daerah yang selalu bergolak. Kedekatannya  dengan Bali menyebabkan pengaruh Bali atas wilayah ini amat kuat. Pemberontakan–pemberontakan dari wilayah ini untuk melepaskan diri dari kekuasaan di Pulau Jawa selalu mendapat angin dari Bali.

Kadipaten Blambangan merupakan Kadipaten dengan keyakinan Hindu yang amat kuat dan mendalam. Maka tepat sekali bila Sunan Ampel menyarankan kepada Ulama dari Pasai  itu untuk mencoba berdakwah ke daerah yang fanatsime Kehinduannya sangat tebal dan keras seperti Blambangan. Karena mengikuti saran Sunan Ampel, Syekh Yakub bin Maulana Ishak segera berangkat menuju Blambangan untuk  mencoba berdakwah kepada masyarakat setempat. Bahkan Syekh Yakub bin Maulana Ishak juga mencoba berdakwah kepada Adipati Blambangan.

Dalam kisah  buku babad setempat, antara lain Babad Banyuwangi, diceriterakan bahwa pada saat itu  putri Adipati Blambangan sedang  jatuh sakit dan sudah berobat kemana-mana tetapi belum sembuh juga. Maka Syekh Yakub bin Maulana Ishak yang saat itu sudah tenar sebagai tabib penyembuh terkemuka dan dijuluki oleh masyarakat setempat sebagai Syekh Wali Lanang, diundang oleh Adipati untuk mengobati Sang Putri. Syekh Yakub bin Maulana Ishak memandang undangan itu merupakan kesempatan yang baik sekali untuk melancarkan dakwah kepada keluarga kadipaten. Sang Adipati sendiri sempat berjanji kepadanya, bila kelak ternyata  Sang Putri kesayangannya itu dapat sembuh, Sang Adipati beserta keluarganya bersedia masuk Islam.

Ternyata setelah Syekh Yakub bin Maulana Ishak melakukan usaha penyembuhan, Sang Putri dapat sembuh total. Akhirnya Sang Adipati merelakan putrinya itu dipersunting Syekh Yakub bin Maulana Ishak. Sang Putri pun menyatakan diri masuk Islam dan menjadi seorang Muslimah. Sekalipun Sang Putri sudah sembuh, ternyata Sang Adipati beserta kerabatnya tetap kukuh dalam kepercayaan Hindunya dan tak bersedia memeluk Islam seperti yang pernah dijanjikannya kepada Syekh Yakub bin Maulana Ishak. Sang Adipati hanyalah mengijinkan Sang Putri memeluk Islam untuk  dipersunting oleh  pendakwah dari Pasai itu.  Sebagai seorang pendakwah yang sabar dan ulet, Syekh  Yakub bin Maulana Ishak tetap sabar, tawakal dan berserah diri kepada kehendak Allah SWT.

Tak berapa lama Sang Putri pun mengandung. Betapa gembiranya Syekh Yakub bin Maulana Ishak karena  akan punya keturunan. Dia berharap  bahwa anaknya yang akan lahir itu seorang anak laki-laki agar supaya kelak dapat menjadi penerus dakwah Islam di Pulau Jawa. Rupanya doa ulama yang gigih ini dikabulkan. Saat Sang Putri melahirkan, diperolehnya seorang  bayi laki-laki yang cakap dan elok rupanya. Sayang sekali, beberapa saat setelah melahirkan Sang Putri wafat. Tak berapa lama muncullah wabah penyakit di Kadipaten Blambangan.



Karena khawatir akan kesehatan putranya, Syekh Yakub bin Maulana Ishak membawa putranya itu keluar dari Blambangan. Dibawanya putra kesayangannya itu cepat-cepat meninggalkan Blambangan yang tengah diserang wabah penyakit. Dia menuju Gresik. Di sana ditemuinya sahabatnya Nyi Gede Pinatih, janda yang kaya raya, tetapi tak punya anak. Dengan gembira Nyi Gede Pinatih  bersedia menerima bayi laki-laki itu sebagai anak asuhnya. Syekh Yakub bin Maulana Ishak juga gembira karena menemukan orang tua asuh yang cocok dan diharapkan mampu memberikan pendidikan yang baik kepada putranya itu. Anak asuh Nyi Gede Pinatih itu, diberinya nama Raden Paku.

Setelah menyerahkan putranya kepada Nyi Gede Pinatih. Syekh Yakub bin Maulana Ishak bermaksud pulang kembali ke Pasai. Kemungkinan besar ayahnya Syekh Maulana Ishak mulai sakit-sakitan, mengingat usianya pada tahun 1453 M itu,  sudah sekitar 63 tahun. Di samping itu, Syekh Yakub bin Maulana Ishak nampaknya sangat diharapkan oleh ayahnya Syekh Maulana Ishak untuk mengurus pesantren asuhannya atau bisa jadi menggantikan jabatan kadi atau penghulu Kerajaan Islam Samudra Pasai yang secara tradisional dipegang oleh keturunan Syekh Jumadilkubro. 

Sebelum  meninggalkan Pulau Jawa, Syekh Yakub bin Maulana Ishak  menemui Sunan Ampel  mohon diri untuk kembali ke Pasai dan mohon kesedian Sunan Ampel agar kelak mau mendidik putranya Raden Paku yang saat itu telah menjadi anak asuh Nyi Gede Pinatih. Kebetulan Nyi Gede Pinatih memang seorang wanita Muslimah.

Dalam cerita babad dan cerita tutur yang beredar di daerah Blambangan, berkembang versi yang menyimpang dari kisah Syekh Wali Lanang dan  putranya Raden Paku. Dikisahkan bahwa Syekh Wali Lanang telah diusir oleh Adipati Blambangan. Anak lelakinya direbut oleh Sang Adipati yang murka karena mendapat hasutan dari para juru nujum di kadipatennya.

Mereka  memberitahu bahwa sumber kesialan  dan penyebab datangnya wabah yang menimpa kadipatennya adalah akibat dari ulah orang asing yang berani mengusik   kepercayaan kepada agama lama yakni agama Hindu. Cucunya yang lahir dari seorang ayah bangsa Asing, juga dianggap sebagai sumber musibah. Karena itu Sang Adipati  memerintahkan agar bayi laki-laki cucunya itu dimasukkan ke dalam kotak dari kayu, lalu dibuangnya ke laut. Dengan membuang bayi sial itu ke laut, Sang Adipati berharap wabah penyakit pembawa sial itu juga akan ikut terbuang. Maka Sang Bayi yang tak berdosa itu terapung-apung terbawa arus laut dan akhirnya ditemukan oleh kapal dagang yang tengah lewat. Kapal dagang itu adalah milik janda kaya Nyi Ageng Pinatih dari Gresik. Maka bayi mungil itupun  diserahkan oleh kapten Kapal yang menemukannya  kepada  Sang Pemilik Kapal, Nyi Gede Pinatih.

Kalau kita teliti, kisah yang berbau legenda dan tak masuk akal ini, jelas sekali ditulis atau dituturkan pada masa-masa belakangan. Mungkin maksudnya untuk memitoskan bayi itu yang kemudian memang menjadi seorang Raja Ulama yang terkenal di Jawa Timur. Tetapi yang jelas, kisah itu ditulis oleh seseorang yang pernah membaca kisah Nabi  Musa yang tersebut dalam Serat Ambiya yang saat itu sudah beredar luas di Tanah Jawa.

Dalam kisah Nabi  Musa, diceriterakan bahwa   saat masih bayi Nabi  Musa dimasukkan oleh ibunya ke dalam kotak lalu dihanyutkan ke sungai Nil. Maksudnya agar  Nabi Musa selamat dari   undang-undang yang dikeluarkan oleh Firaun yang akan membunuh setiap anak laki-laki dari kaum Bani Israil. Bani Israil atau orang-orang Yahudi saat itu banyak yang dijadikan budak di Mesir. Atas kehendak Allah SWT, Nabi  Musa selamat dari maut, bahkan ditemukan oleh istri Firaun yang kebetulan tak punya anak. Maka Musa menjadi anak angkat istri Firaun dan dibesarkan di istana  Firaun. Nampak jelas adanya kemiripan jalan ceritera antara kisah Nabi  Musa dalam Serat Ambiya dengan kisah Raden Paku atau Sunan Giri yang ditulis dalam buku-buku babad.



2. Sunan Giri Menjumpai Ayahnya Syekh Yakub bin  Maulana Ishak.     

Karena tak memiliki keturunan, Nyi Gede Pinatih mengasuh Raden Paku dengan segenap perhatian dan kasih sayangnya. Namun sebagai wanita Muslimah yang cerdas dan ulet, dia tak memanjakan anak asuhnya itu. Harta bendanya yang berlimpah tak digunakannya untuk memanjakan anaknya. Anak asuhnya itu didik dengan baik. Bukan hanya dididik dengan ilmu-ilmu  urusan duniawi seperti ketrampilan dalam bidang bisnis. Raden Paku juga dididik dengan ilmu-ilmu agama. Karena itu Nyi Gede Pinatih tidak segan-segan untuk berpisah dengan anaknya. Raden Paku disuruhnya berguru kepada Sunan Ampel dan  dia menjadi santri Sunan Ampel sejak masa-masa menjelang usia remaja.

Kecerdasan Raden Paku memang luar biasa. Dengan mudah dia bisa menyerap ilmu dari gurunya. Karena kagum kepada kecerdasan Raden Paku, Sunan Ampel pun punya niat kelak mengambilnya sebagai menantu. Kebetulan salah seorang putra Sunan Ampel, Makhdum Ibrahim berguru bersama-sama Raden Paku. Bahkan mereka bersahabat amat erat, karena mereka berdua sebenarnya masih saudara sama-sama cicit dari Syekh Jumadilkubro.

Usai  berguru pada Sunan Ampel, Raden Paku dididik Nyi Gede Pinatih  agar dia mengusai seluk-beluk bisnis dan perdagangan. Mungkin wanita hebat itu berpikir bahwa selain harus menguasai ilmu-ilmu agama anaknya itu perlu menguasai ilmu-ilmu dunia, dalam hal ini ketrampilan berbisnis dan berdagang.

Maksudnya tentu saja agar hidupnya di dunia lebih mantap lagi, hingga kehidupan di akhirat juga akan mantap. Agaknya Nyi Gede Pinatih berpikir, bahwa kalau Raden Paku pandai berusaha dan berdagang dan tahu sulitnya mencari harta benda, maka kelak kalau hartanya yang berlimpah telah diwariskan kepada anak angkatnya itu, tidak akan dihambur-hamburkan untuk hal-hal yang tak bermanfaat. Tetapi akan digunakannya untuk hal-hal yang bersifat amanah, untuk berjuang dijalan Allah SWT.

Rupanya  Raden Paku punya juga bakat untuk berdagang. Hampir dua tahun Raden Paku memimpin armada niaga yang membawa barang-barang dagangannya dan berlayar membawanya ke arah timur. Antara lain ke Bali, Nusatenggara, Makassar, Ternate, Tidore, Ambon dan  pulau-pulau lain di Maluku. Bahkan dikisahkan dalam pelayarannya Raden Paku sempat   pula mengunjungi Kalimantas Selatan dan Kalimantan Timur.

Dalam babad dikisahkan perjalanan Raden Paku Ke Bali. Dalam perjalanan niaganya ke Pulau Bali itu Raden Paku memperoleh sukses yang luar biasa. Besar kemungkinan dalam pelayaran niaganya ke wilayah Indonesia Timur itu, Raden Paku memanfaatkan waktu luangnya di sela-sela kegiatan niaganya, untuk melakukan dakwah kepada masyarakat setempat. Obsesinya yang paling besar adalah mengislamkan  Pulau Bali. Bisa jadi Raden Paku pernah mendengar kisah kegagalan ayahnya beradakwah di daerah Blambangan yang beragama Hindu, karena pengaruh Bali yang amat kuat di wilayah itu.

Seperti ayahnya, Raden Paku juga gagal mengislamkan Bali. Tetapi jejak dakwah  Raden Paku tampak di Bali Utara. Di sekitar Singaraja, sedikit demi sedikit terbentuk komunitas Muslim. Walaupun tetap minoritas tetapi cahaya Islam yang dinyalakan oleh Raden Paku pelan-pelan mulai bersinar. Kelak para keturuan Sunan  Giri meneruskan usahnya mengislamkan Pulau Bali dari arah Singaraja. Memang betul, di wilayah Bali Selatan, kepercayaan Hindunya  tetap kukuh tak mudah ditembus oleh dakwah Islam Sunan Giri dan penerusnya. Tetapi di Bali Utara dakwah Raden Paku membawa hasil yang menggembirakan.

Setelah mengetahui bakat bisnis Raden Paku yang tak mengecewakan, Nyi Gede Pinatih menyarankan agar Raden Paku segera menikah dan naik haji. Saran ibunya itu diterima Raden Paku dengan senang hati. Dimintanya agar Ibunya itu melamar putri Sunan Ampel yang bernama Dewi Murtasinah. Tentu saja Nyi Gede Pinatih amat senang  dan setuju sekali dengan pilihan putranya itu. Demikian pula  dengan Sunan Ampel.

Beberapa bulan kemudian setelah menikah, Raden Paku berniat untuk pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah, sesuai dengan saran ibunya. Pada masa itu, perjalanan naik haji bukanlah perjalanan yang mudah. Karena itu Raden Paku tidak akan mengajak istrinya. Yang diajaknya adalah  kakak iparnya Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim. Usia mereka memang tak berbeda jauh. Jika Sunan Bonang lahir tahun 1450 M, Raden Paku sekitar tiga tahun lebih muda, yakni sekitar tahun 1453 M. Diperkirakan mereka berdua menuju Malaka pada tahun 1475 M.  Dari Malaka mereka berniat akan melanjutkan perjalanannya  ke Makkah.

Ketika  itu Malaka telah berkembang menjadi bandar yang amat ramai, bahkan mampu mengalahkan Pasai. Rajanya yang terkenal dan disegani adalah Sultan Mansyur Syah (1459 – 1477 M ). Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Malaka mencapai puncak kejayannya. Hubungannya  dengan Majapahit yang saat itu tengah surut, berlangsung sangat baik. Dan ketika Sultan Mansyur Syah berkuasa, Kerajaan Islam Demak belum berdiri.

Sebagai bandar dari Kerajaan Islam, ramailah orang-orang berdatangan ke kota Malaka. Mereka bukan hanya para pedagang tetapi juga para ulama. Para pedagang  datang dari berbagai penjuru dunia, antara lain dari Hindustan, Gujarat, Arab, Parsi, China, Bugis, Makassar, Sunda dan Jawa. Kedatangan para ulama ke Malaka menyebabkan Malaka berkembang juga menjadi pusat studi ilmu-ilmu agama Islam. Walaupun begitu di bidang agama, ulama-ulama Malaka  tetap menaruh hormat terhadap ulama-ulama dari Pasai. Bahkan setiap timbul perbedaan pendapat dalam masalah-masalah agama, baik yang menyangkut fikih, tauhid, maupun tasawuf, ulama-ulama Malaka selalu berpaling kepada ulama-ulama Pasai.

Di Malaka Raden Paku dan Mahdum Ibrahim tinggal beberapa bulan untuk memperdalam ilmu-ilmu agama kepada ulama-ulama yang ada di Malaka. Dari Malaka, sebelum meneruskan perjalanannya ke Makkah, mereka berdua menyempatkan diri singgah ke Pasai untuk menemui salah seorang ulama besar dari Pasai yang namanya telah mereka kenal, yakni Syekh Yakub bin Maulana Ishak. Dia adalah ayah Raden Paku.  

Betapa gembiranya Syekh Yakub bin Maulana Ishak saat bertemu dengan Raden Paku, putranya sendiri yang saat itu sudah remaja, bahkan sudah membangun rumat tangga. Syekh Yakub bin Maulana Ishak menyarankan kepada mereka berdua untuk menunda niatnya naik haji. Menurut pertimbangan Syekh Yakub bin Mulana Ishak, mereka masih terlalu muda dan kesempatan untuk pergi  haji dapat dilaksanakan di lain kesempatan.

Syekh Yakub bin Maulana Ishak menyatakan bahwa situasi Kerajaan Majapahit tengah kritis, kehadiran mereka di Pulau Jawa lebih mendesak dari pada pergi haji. Disarankan agar mereka berdua lebih baik kembali dulu ke Pulau Jawa, mendirikan pesantren, mendidik para santri, menyebarkan dakwah Islam sambil mengamalkan dan mempraktekkan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakatnya. Setelah keadaan tenang, barulah dipikirkan kembali rencana untuk naik haji. Saat itu melaksanakan perjalanan ibadah haji dari Tanah Jawa, bukanlah pekerjaan yang mudah dan memerlukan waktu berbulan-bulan. Bahkan ada yanng perlu waktu dua tahun, karena saat tiba di Mekkah,  masa pelaksanaan ibadah haji sudah selesai, hingga mereka harus menunggu satu tahun lagi.

Mereka berdua ternyata menerima saran Syekh Yakub bin Mualana Ishak, sehingga mereka segera bersiap-siap pulang kembali ke Jawa. Sebelum berpisah, mereka berdua diberi hadiah  berupa perlengkapan pakaian ulama. Menurut ceritera dalam babad, Raden Paku diberi gelar Prabu Satmaka, sedang Makhdum Ibrahim diberinya gelar Anyakrawati. Kelak mereka berdua memang benar mendirikan pesantren seperti yang disarankan oleh Syekh Yakub bin Maulana Ishak. Raden Paku mendirikan pesantren di Bukit Giri, sehingga dia dikenal sebagai Sunan Giri. Sedang Makhdum Ibrahim, mendirikan pesantren di Karangkemuning, Tuban, hingga dia dikenal sebagai Sunan Bonang.

Saat tiba di Gresik, ternyata Raden Paku mendapat berita bahwa ibu asuhnya Nyai Gede Pinatih tengah sakit keras. Tak lama kemudian dia wafat dengan meninggalkan harta warisan yang cukup  banyak. Nyi Gede Pinatih wafat pada tahun 1477 M. Dalam hati Raden Paku membenarkan saran ayahnya, Syekh Yakub bin Maulana Ishak. Tak terbayangkan olehnya, andaikata ibu asuhnya itu wafat saat ia berada di Makkah. Tentu ia tak akan dapat menunggui saat-saat terakhir  hidup ibunya yang amat disegani dan disayanginya itu.

Dan bisa jadi pula harta warisan ibunya itu akan diperebutkan oleh banyak orang. Bukankah ia hanyalah anak asuh dan bukan anak kandung? Tetapi memang Nyi Gede Pinatih juga memberi pesan agar hartanya yang ada sepeningganya digunakan untuk kepentingan dakwah Islam dengan mendirikan pesantren. Itu sebabya dulu Nyi Gede Pinatih menyuruh anak asuhnya itu berguru kepada Sunan Ampel.



3. Kedaton Giri Yang Megah. 

Sepeninggal Ibu asuhnya, Raden Paku membangun sebuah pesantren yang amat megah di ketinggian Bukit Giri. Sejak itu, Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Pesantren itu dibangun dengan harta warisan ibu asuhnya dan merupakan pesantren yang amat megah pada jamannya. Pesantren Giri selesai di bangun pada tahun 1480 M.  Selain bangunan pesantren, Sunan Giri juga membangun tempat tinggalnya yang tidak kalah megah dengan bangunan pesantren yang mengelilinginya, hingga orang yang pada saat itu  menyaksikan sendiri bangunan itu, akan menyebutnya sebagai kedaton. Pesantren dan Kedaton Giri yang megah itu selesai dibangun pada tahun 1485 M. Pada tahun 1488 M, bangunan utama itu disempurnakan lagi dengan membangun balai kambang, sebuah taman air yang indah yang diisi ikan dan kura-kura.

Tujuan Sunan Giri membangun pesantren dan tempat tinggalnya yang megah di ketinggian puncak Bukit Giri itu, tidaklah dimaksudkan untuk memamerkan kekayaan dan kemegahan Pesantren Giri. Tetapi mengandung makna simbolik agar mudah dipahami oleh orang Jawa dalam rangka meningkatkan dakwah Islam. Sunan Giri, disamping bakatnya yang menonjol sebagai pengusaha, ulama dan negarawan, dia juga seorang budayawan yang sangat paham seluk beluk kebudayan Jawa. Dia mengusai beberapa bahasa sekaligus, antara lain bahasa Kawi, Jawa Kuno, Arab dan Melayu. Dia juga pandai menulis dalam huruf Jawa, huruf Arab dan huruf Arab Melayu atau huruf Jawi. Sunan Giri juga menguasai pokok-pokok dalam kepercayan agama Hindu, khususnya Syiwa-Buddha. Agama Syiwa-Buddha adalah agama yang dipeluk oleh para penguasa Kerajaan Majapahit dan sebagaian besar rakyatnya. Karena itu Sunan Giri dapat disebut sebagai perintis ilmu perbandingan agama pada jamannya. Dalam babad banyak dikisahkan kegemaran Sunan Giri berdiskusi dengan para ajar dan pemuka agama Syiwa Buddha. Tidak jarang dalam diskusi dan perdebatan itu, Sunan Giri berhasil mengajak para ajar untuk memeluk agama Islam.

Dalam agama Syiwa Buddha, Dewa Syiwa merupakan  dewa yang tertinggi, sehingga seluruh pemujaan, persembahan dan berbagai jenis kultus ditujukan kepada Dewa Syiwa. Di Jawa, Dewa Syiwa disebut juga Jagad Girinata, yang mengandung arti  Sang Pengatur Dunia yang bersemayam di puncak bukit. Dari puncak bukit itulah Dewa Syiwa mengatur dunia. Dalam mitos Hindu, dunia terbagai menjadi tiga, yakni dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Dunia atas adalah dunia tempat  tinggal  para dewa. Dunia tengah adalah tempat tinggal manusia. Sedang dunia bawah adalah tempat tinggal para mahluk yang bukan dewa seperti peri, setan, hantu dan mahluk rendah lainnya. Para raja Hindu yang dianggap keturunan Dewa Syiwa, menurut Prof. Dr. Slamet Mulyana, selalu memakai gelar Giri yang berarti keturunan Jagad Girinata atau Raja Gunung. Pendiri Kerajaan Singasari, Rajasa Sang Amurwabumi, dianggap sebagai putra dari Batara Guru atau Jagad Girinata, sehingga Rajasa sering pula disebut sebagai Girinata Putra atau Girindra Atmasunu.

Bagi orang Hindu, bukit merupakan tempat yang suci dan sakral. Di Puncak bukit itulah bersemayam para dewa. Manusia biasa dilarang membangun tempat tinggal di puncak bukit. Dengan membangun pesantren dan tempat tinggal yang megah di  ketinggian puncak Bukit Giri, Sunan Giri ingin menunjukkan kepada para pemeluk agama Syiwa Buddha, bahwa dia, Raden Paku telah mampu menundukkan kekuasaan Batara Guru atau Jagad Girinata, karena ternyata dia mampu membangun pesantren dan tempat tinggal di puncak bukit. Dengan demikian secara tidak langsung Sunan Giri mengajak umat Hindu pengikut Syiwa Buddha untuk mengikuti jejaknya memeluk Islam, karena bukankah Batara Guru atau Jagad Girinata sudah memeluk Islam? Atau paling tidak tempatnya yang sakral dipuncak bukit, telah di Islamkan oleh Sunan Giri.

Memang Pesantren Giri kemudian berkembang menjadi pesantren yang amat terkenal di pulau Jawa. Para santrinya berbondong-bondong datang dari pelbagai penjuru. Bukan hanya dari pelosok Jawa Timur. Tetapi juga dari Madura, Bali Utara, Lombok, Sulawesi Selatan, Tidore, Ternate, Ambon dan pulau-pulau lain di Indonesia Timur. Kemashuran Pesantren Giri kelak bahkan mampu melampaui Pesantren Ampel Denta, pesantren almamaternya.



4. Peran Politik Sunan Giri.

Sunan Giri memiliki peran politik yang menonjol, karena dia adalah salah satu wali yang menggagas dan mendorong terbentuknya Kerajaan Islam Demak. Bersama para wali mantan santri Sunan Ampel, Sunan Giri menggalang kekuatan  agar umat Islam yang jumlahnya terus meningkat di daerah pesisir dapat memiliki pemerintahan sendiri yang bercorak Islam. Besar kemungkinan Sunan Giri dan Sunan Bonang terkesan atas perkembangan Kerajaan Islam Malaka  pada waktu mereka berdua berkunjung ke sana. Kerajaan Islam Malaka keadaannya relatif lebih maju dan makmur dari pada Kerajaan Hindu Buddha Majapahit yang saat itu tengah merosot.Tentu saja mereka berdua sempat mendengar riwayat Sultan Muhammad Syah, pendiri Kerajaan Islam Malaka.   

Sebenarnya  para wali di Jawa sudah mencoba untuk berdakwah kepada para penguasa di Jawa agar mau masuk Islam, seperti halnya yang dilakukan oleh para mubaligh lain kepada  Raja Campa dan juga Parameswara yang kemudian menjadi Sultan Malaka. Syekh Malik Ibrahim pernah mengajak Wikramawardhana (1389-1429M), tetapi gagal. Putranya Sri Kertawijaya memang sempat masuk Islam. Tetapi  ketika diangkat  menjadi penguasa Tumapel dan akhirnya juga dipilih menjadi Raja Majapahit ( 1447-1451M), dia kembali lagi memeluk agama lamanya. Namun demikian Raja Majapahit terakhir Dyah Suraprabhawa, sempat meresmikan Kadipaten Demak di bawah Raden Patah atau Sunan Bintoro menjadi Adipati Demak yang harus tunduk kepada pemerintahan Majapahit. 

Karena itu bagi Sunan Giri, Sunan Bonang , Sunan Bintoro, dan Sunan Ampel, tak ada jalan lain kecuali mencari cara yang tepat untuk mendirikan sebuah pemerintahan Islam. Apalagi syarat untuk itu sudah cukup. Di pesisir pantai utara  sudah banyak penduduk Muslim yang  jumlahnya terus menerus meningkat.

Pada tahun 1478 M,  Dyah Suraprabhawa, Raja Majapahit terakhir mangkat dan terjadilah perebutan tahta di antara para keturunan Wikramawardhana. Ternyata Penguasa Keling Dyah Wijayakarana berhasil keluar sebagai pemenang. Dia memindahkan  ibu kota kerajaan ke Keling, dekat kota Pare Kediri. Serat Kanda  mencatat peristiwa perebutan tahta itu dengan sebuah candra sangkala yang berbunyi,” Sirna ilang kertaning bumi. Hal ini mengandung arti, dengan pindahnya ibu kota  kerajaan ke Keling, maka tamatlah riwayat Kerajaan Majapahit. Dengan kata lain, bagi penggubah Babad, Kerajaan Keling, bukanlah Kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya.

Pada tahun 1481 M, para wali di bawah pimpinan Sunan Giri berkumpul untuk menentukan sikap politiknya, apakah akan mengakui kedaulatan Kerajaan Keling atau membentuk pemerintahan sendiri yang mandiri, berdaulat dan lepas dari Kerajaan Keling yang mengaku sebagai penerus Majapahit. Akhirnya para wali sepakat untuk mendirikian  pemerintahan Islam. Sunan Bintoro  Raden Patah, Adipati Demak yang memilki kecakapan dalam pemerintahan ditetapkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar Al Fatah. Pada saat proklamasi dan wisuda Sultan Demak, Sunan Ampel telah wafat beberapa bulan sebelumnya karena sakit. Maka pelantikan   Sunan Bintoro Raden Fatah menjadi Sultan Demak dilaksanakan oleh Sunan Giri.

Menurut Babad Tanah Jawi, selama 40 hari, kekuasan  Kerajaan Islam masih dipegang oleh Sunan Giri. Baru setelah itu diserahkan kepada Raden Fatah. Tetapi kisah Babad Tanah Jawi ini, sulit dipercaya, karena mengambil jalan yang berliku-liku dengan alasan yang bersifat mistik dan berdasar anggapan yang  keliru. Yaitu Raden Patah mengambil alih tahta Majapahit melalui kekerasan. Maka untuk menghilangkan segala kesialan, untuk sementara waktu tahta Kerajaan dipegang oleh Sunan Giri. Dengan cara demikian  diharapkan akan hilang segala akibat buruk karena Raden Patah telah berbuat dosa kepada Raja Majapahit yang menurut Babad Tanah Jawi adalah ayahnya.

Sudah dijelaskan di depan bahwa versi jatuhnya Majapahit di dalam  Babad Tanah Jawi keliru karena tak berdasarkan fakta sejarah yang sebenarnya. Raden Patah bukan putra Dyah Suraprabhawa (1466-1478M), Raja Majapahit terakhir. Tetapi putra kakak Suraprabhawa, Sri Kertawijaya ( 1447- 1451 M).

Dengan berdirinya Kerajaan Islam Demak pada tahun 1481 M itu, maka cita-cita Sunan Giri dan Sunan Bonang agar umat Islam di Jawa memiliki pemerintahan Islam sendiri seperti halnya Kerajaan Islam Malaka dapat terwujud. Dengan demikian Kerajaan Islam Demak merupakan  salah satu proyek politik  Sunan Giri beserta para wali yang cukup berhasil.

Dengan berdirinya Kerajaan Islam Demak, wibawa Sunan Giri bukannya merosot. Peran Dewan Walisongo justru semakin penting. Sunan Giri adalah Ketua Dewan Walisongo menggantikan Suna Ampel yang telah wafat  pada masa awal berdirinya Kerajaan Islam Demak. Pesantren Giri sendiri terus berkembang. Bahkan usia Kedaton Giri melampaui Kerajaan Islam Demak yang tidak mencapai satu abad.

Sunan Giri sendiri wafat pada tahun 1506 M. Dan dia dikenal sebagai Sunan Giri sepuh atau Sunan Giri I. Penerusnya berturut- turut adalah Sunan Dalem, Sunan Giri Gajah atau Sunan Giri II (1506-1546 M), Sunan Giri III atau Sunan Seda ing Margi (1546 -1548 M), Sunan Giri Prapen atau Sunan Giri IV ( 1548 – 1603 M). Kedaton dan Pesantren Giri justru mencapai puncaknya pada masa  Sunan Giri Prapen atau Sunan Giri IV.

Wibawa politik dan keagamaan Sunan Giri Prapen hampir menyamai leluhurnya, Sunan Giri Sepuh. Sunan Giri Prapen inilah yang memberi gelar sultan kepada Raja Pajang Hadiwijaya pada tahun 1581 M, sehingga kadipaten-kadipaten di  pesisir mengakui kedaulatan Kerajaan Pajang. Sunan Giri Prapen juga berhasil mencegah perang besar antara Kadipaten Surabaya melawan Senapati dari Mataram melalui perundingan damai. Akibatnya pertempuran besar yang dapat membuat banjir darah antara Kadipaten  Surabaya dengan  Mataram dapat dicegah. Senapati dengan suka rela bersedia kembali ke Mataram. Kadipaten Surabaya untuk sementara dapat diselamatkan.

Sepeninggal Sunan Giri Prapen, Pesantren Giri mulai terancam oleh Mataram. Lebih-lebih  setelah Sultan Agung naik tahta (1613 M). Setelah menggempur Surabaya pada tahun 1635 M, tiga tahun kemudian tentara Mataran menggempur Giri (1638 M). Sunan Giri V tewas dalam usaha menahan serangan tentara Mataram. Putranya Sunan Giri VI, naik menggantikan ayahnya. Tetapi pada tahun 1683 M kembali Mataram di bawah Amangkurat II dan Kompeni menghancurleburkan Pesantren Giri. Mataram menganggap Sunan Giri VI dianggap aktif membantu pemberontakan Trunojoyo yang juga berhasil ditumpas  Kompeni. Sunan Giri V  juga tewas saat mempertahankan pesantren warisan leluhurnya.  Sejak itu, lenyaplah  Pesantren Giri sebagai pusat  pendidikan Islam yang berwibawa dan berbobot di Jawa Timur.[ 09-06-2016]


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar