Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Jumat, 29 Januari 2016

Sejarah Awal Kota Banyumas (04)


(Jembatan Kereta Api Purwokerto - Kroya, melintasi Sungai Serayu, Notog-Kebasen, Di seberang sana Pegunungan Serayu. Gambar di unduh dari FB seorang sahabat)

Sang Senna


Siapakah Senna? Senna adalah tokoh yang sama sekali tidak dikenal dalam tradisi Jawa dan tradisi Banyumas. Tetapi dikenal dengan baik dalam tradisi Sunda Galuh Kawali. 

Purbasora dan keturunannya sering mengejek Senna sebagai anak salah. Senna adalah anak hasil perselingkuhan Mandiminyak, Putra Mahkota Kerajaan Galuh Kawali dengan Pohacci Rababu, istri Dahyang Sampakwaja, kakak Mandi Minyak. Benarkah?

Pohacci Rababu dilukiskan sebagai gadis cantik jelita yang dimitoskan sebagai keturunan bidadari. Gelar Pohacci menunjukkan bahwa Rababu adalah wanita dari klas ningrat dan istimewa. Dia juga mendapat julukan Bunga Mangale-Ale. Tentu saja banyak ksatria yang mendambakannya. Apalagi ada mitos, Rababu Bunga Mangale-Ale adalah wanita yang ditakdirkan akan menurunkan raja-raja besar. Sebuah mitos dalam Hinduisme yang dipercaya orang Sunda dan Orang Jawa. Dalam sejarah Majapahit dikenal tokoh Ken Dedes, sebagai wanita nariswari, yakni wanita utama yang dimitoskan akan bisa menurunkan para raja di tanah Jawa.

Kisah Ken Dedes, Wanita Nariswari.

Dalam kitab Pararaton yang berisi riwayat raja-raja Singosari-Majapahit, diceriterakan  kisah Ken Dedes sebagai wanita nariswari. Alkisah pada suatu ketika, Tunggul Ametung membawa Ken Dedes, istrinya yang cantik jelita hasil menculik dari sebuah padepokan milik Mpu Purwa di Panawijen, untuk bercengkerema di Taman Boboji. Tiba-tiba ketika Ken Dedes hendak turun dari kereta, kainnya tersingkap sehingga bukan hanya betisnya yang kelihatan, tetapi juga rahasia kewanitaannya yang nampak bersinar bercahaya. Ken Arok yang sempat melihatnya langsung terpesona, dan berpikir,”Wanita hebat macam apakah Ken Dedes itu?”

Selesai bertugas Ken Arok segera menemui gurunya Dahyang Loh Gawe dan bertanya,:

“Bapa dangyang, hana wong istri murub rahasyane, punapa laksananing stri lamun mangkana, yen hala rika, yen ayu rika laksanipun”/“Bapa Pendita, ada seorang wanita yang bercahaya rahasia kewanitaannya. Tanda perempuan yang bagaimanakah itu? Pertanda buruk ataukah pertanda baik?”
Dahyang Loh Gawe bertanya:

“Sapa iku kaki?”/ Siapa itu, anakku?

Jawab Ken Arok,” Wonten Bapa, wong wadon katinghalan rahsyanipun deningsun”/ Ada Bapa, seorang wanita kelihatan rahasia kewanitaannya oleh hamba

Loh Gawe menjelaskan,”Yen hana istri mangkana, iku stri nariswari arane. Adimukyaning istri iku, kaki. Yadyan wong papa angalapa ring wong wadon iku, dadi ratu anakrawati”/Jika ada perempuan seperti itu, namanya nariswari, anakku. Ia adalah wanita paling utama.Orang berdosa sekalipun jika memperisti wanita itu akan menurunkan maharaja”

Mendengar jawaban Loh Gawe, Ken Arok langsung merencanakan untuk membunuh Tunggul Ametung agar bisa memperistri Ken Dedes. Rencana Ken Arok terlaksana. Ken Arok bukan hanya berhasil membunuh Tunggul Ametung. Tapi juga berhasil menjadi Raja Singasari (1222- 1247 M),di dampingi Ken Dedes sebagai permaisuri. Ken Dedes - Ken Arok kelak meunurunkan raja-raja Majapahit. Raden Wijaya, pendiri Majapahit adalah keturunan Ken Dedes - Ken Arok.

Penjelasan Pendeta Loh Gawe kepada Ken Arok  tentang adanya wanita utama yang disebut nariswari dalam mitos Hinduisme, mendapat pembenaran. Ken Dedes memang terbukti menjadi seorang Ibu  menurunkan raja-raja Singosari dan Majapahit. 

Kisah Pohacci Rababu Bunga Mangale-Ale.

Dalam kasus Kerajaan Galuh Kawali Pohacci Rababu, adalah wanita nariswari. Itu sebabnya dia diperebutkan tiga putra-putra Maharaja Wretikandayun yaitu : (1)Sampakwaja, (2)Jantaka, dan (3) Amara. Tapi dari ketiga putra raja itu, hanya  putra ketiga, Amara yang memenuhi kesamaptaan jasmani sebagai putra mahkota.

Sampakwaja, sekalipun sulung, berhubung giginya mrongos( sampak= condong, waja = gigi), dia gugur sebagai calon putra mahkota. Jantaka, putra kedua, kecerdasannya dianggap lemah, sehingga dijuluki Sang Hyang Kedul, artinya bodohnya tidak ketulungan untuk ukuran calon raja. Mungkin agak lambat belajar. Sedangkan Amara, bukan hanya cakap, cerdas dan cekatan. Tetapi juga tampan. Pendeknya putra bungsu Maharaja Wretikandayun itu lengkap mewarisi bakat ayah dan ibunya. Wajar jika Wretikandayun menetapkan Sang Amara sebagai putra mahkota. Saudara-saudaranya yang iri menjuluki adik bungsunya itu, Mandiminyak!. Konon kulitnya kuning langsat cemerlang bercahaya sehingga mempesona setiap perempuan yang memandangnya. Itulah sebabnya Sang Amara sering dilukiskan sebagai seorang pemikat wanita. 

Dan tentu saja Pohacci Rababu yang cantik jelita itu, lebih serasi menjadi pasangan Sang Amara. Tetapi Wretikandayun menjodohkan Pocacci Rababu dengan Sampakwaja. Mungkin untuk menghibur saja, karena Sampakwaja anak sulung tetapi  tidak diberi jatah putra mahkota.. Sang Sampakwaja ditunjuk sebagai penguasa di Galunggung. Sang Jantaka, putra kedua diangkat sebagai penguasa Galuh Selatan yang mencakup Banjarsari, Padaherang, Kalipucang, dan wilayah selatan lainnya sampai Pangandaran. Sejak diangkat jadi penguasa Galuh Selatan, julukan kedul menghilang dan berubah jadi Sang Hyang Kidul. Artinya Sang Penguasa Galuh Selatan.

Sang Amara, Putra Mahkota, menurut naskah Wangsakerta, dinikahkan dengan putri Maharatu Sima dari Kerajaan Kalingga yang bernama, Dyah Ayu Parwati. Dari perkawinan ketiga putra Wretikandayun itu, lahirlah cucu-cucunya. Sang Sampakwaja punya dua putra dari Pohacci Rababu. Yaitu,(1) Purbasora, dan (2) Demunawan. Sang Jantaka punya satu anak, Bimaraksa. Sedangkan Sang Amara, dengan Dyah Ayu Parwati punya satu anak putri :Sang Dyah Ayu Sannaha. 

Ratu Sima punya beberapa putra yang tercatat namanya hanya dua, yaitu : (1) Dyah Ayu Parwati, dan (2) Bagus Nayarana. Sebelum turun tahta, Ratu Sima membagi Kerajaan Kalingga menjadi dua, yakni : (1) Kalingga Utara, diserahkan kepada Dyah Ayu Parwati, dan (2) Kalingga Selatan, diserahkan Narayana. 

Dari nama putranya itu, semakin jelas Ratu Sima adalah pemeluk Waisnawa. Memang pada jaman itu merupakan sesuatu yang  sangat unik, bahwa Mandiminyak yang penganut Syiwa mampu memperistri Dyah Ayu Parwati yang penganut Wisnu. Padahal di negeri asalnya India pertikaian antara penganut Wisnu dan Syiwa sama hebatnya dengan pertikaian Hindu vs Buddha. Rupanya di tanah Jawa, sekte-sekte agama Hindu saling mendekat. Demikian pula kelak antara Hindu dan Buddha.

Sang Senna, benarkah anak hasil perselingkuhan orang tuanya?

Benarkah Senna anak hasil selingkuh Mandiminyak dengan Pohacci Rababu? Sudah disebutkan di atas bahwa tradisi Galuh menyebutkan bahwa Senna adalah anak salah atau anak tidak sah dari Mandiminyak dengan Pohacci Rababu. Dapat dipastikan sang juru kisah, adalah kelompok Purbasora atau mereka yang punya hubungan kekerabatan dengan Purbasora.

Kisah kelahiran Senna dikisahkan sbb: Alkisah pada suatu ketika Maharaja Wretikandayun menyelenggarakan semacam pesta perjamuan utsawakrama, mungkin semacam hajatan keluarga raja. Yang jelas semua keluarga raja datang. Hanya Sampakwaja yang tidak datang karena sakit. Maka istrinya Pohacci Rababu datang sendirian. 

Dia pun bertemu dengan mantan kekasih, Amara alias Mandiminyak  yang sudah jadi adik ipar. Konon cinta antara keduanya bersemi kembali. Pocacci Rababu menginap selama empat malam di rumah mertuanya. Tapi tiap malam memadu kasih dengan Putra Mahkota Mandiminyak. Tentu saja akibatnya Rababu pun hamil. 

Sampakwaja yang mengetahui istrinya hamil dengan adiknya, tidak mengambil tindakan apa-apa. Hanya minta pada Rababu kalau kelak bayinya lahir segera serahkan pada Mandiminyak agar dia bertanggung jawab atas perbuatannya. Begitulah kata yang empunya ceritera. Lahirlah anak Rababu hasil menginap empat malam di rumah mertuanya. Bayi yang kemudian diberi nama Senna oleh Wretikandayun itu, lalu besar dalam asuhan kakeknya. Mandiminyak buru-buru dicarikan istri. Maka dinikahkanlah Mandiminyak dengan Dyah Ayu Parwati, yang menurunkan  satu putri, Dyah Ayu Sannaha. 

Kisah itu agak meragukan, mengingat perselingkuhan termasuk kategori pelanggaran berat dalam tradisi Hinduisme maupun Buddha. Hukumannya adalah potong leher. Hukum bagi pelaku perselingkuhan dalam tradisi Hinduisme, hampir sama dengan hukum bagi pelaku pezina dalam Islam, yakni hukuman rajam. Karena itu hampir mustahil Rababu berani melakukan perselingkuhan, apalagi terjadi di depan mertuanya. 

Kisah yang sebenarnya adalah antara Rababu, Sampakwaja, Jantaka dan Amara, telah tercapai semacam kesepakatan dengan Wretikandayun. Di atas disebutkan bahwa Rababu sebenarnya lebih mencintai Amara dari pada kedua kakaknya. Tapi Wretikandayun menghendaki Rababu mau menjadi istri Sampakwaja. 

Rababu tentu bukan wanita bodoh. Dia dilukiskan sebagai seorang bidadari, keturunan para Pohacci. Maka Rababu tidak menyerah begitu saja dengan kehendak Wretikandayun. Rupanya pada akhirnya tercapai kompromi, Rababu menjadi istri dari ke tiga putra Wretikandayun. Dengan kata lain, wanita nariswari ini menjalani kehidupan perkawinan poliandri, mengikuti jejak Drupati dengan ke lima Pandawa dalam Kisah Mahabharata yang merupakan salah satu kitab suci agama Hindu dan Buddha. Jadi ketika Rababu datang ke tempat mertuanya di Galuh, di samping untuk menghadiri undangan hajatan, memang untuk menemui Mandiminyak, Sang Suami ke tiganya. Suami keduanya, ya Sang Hyang Kidul itu. Itulah sebabnya Sampakwaja tidak ikut dan diberitakan sedang sakit. Kalau sakit, masa sih  istrinya malah meninggalkannya? 

 Tradisi Hinduisme kuno memang mengenal delapan corak model perkawinan, termasuk poliandri yang sampai sekarang masih dianut oleh orang-orang Tibet. Tradisi Hinduisme juga tidak melarang perkawinan antar saudara tiri beda ibu satu ayah, yang dikenal dengan perkawinan Manu. Kelak Senna yang cucu Wretikandayun dinikahkan dengan Dyah Ayu Sannaha yang  cucu Ratu Simma. Padahal Senna adalah putra Mandiminyak dengan Rababu, sedangkan Sannaha adalah putri Mandiminyak dengan Dyah Ayu Parwati, pewaris tahta Kalingga. Dari perkawinan Senna – Sannaha,  lahirlah buyut Wretikandayun dan buyut Ratu Sima, Rakean Jambri atau Rake Sanjaya yang kelak akan menjadi Maharaja Kerajaan Mataram Hindu.

 Pohacci Rababu sebagai wanita nariswari yang diperebutkan tiga ksatria Galuh putra Wretikandayun memang terbukti. Senna bukan anak selingkuh, tetapi anak sah sesuai tradisi Hindu yang berlaku pada jaman itu. Demunawan yang disebut-sebut sebagai anak Sampakwaja, kemungkinan besar adalah anak Jantaka. Demikianlah Pohacci Rababu berhasil melahirkan tiga anak laki yang kelak menjadi penguasa Galuh.

 Sayang akhirnya mereka bertikai juga memperebutkan tahta Galuh warisan Wretikandayun. Dua kali perang memperebutkan tahta galuh, para tokohnya adalah keturunan Pohacci Rababu Bunga Mangale-Ale. Perang pertama adalah perang tingkat anak Rababu, yakni Senna melawan koalisi  Purbasora dan Demunawan. Perang perebutan tahta Galuh kedua terjadi pada turunan Rababu  tingkat ke empat, yakni Rakean Banga, buyut Senna melawan Ciung Wanara, buyut Purbasora. Senna dan Purbasora sama-sama anak laki-laki Rababu, hanya beda ayah. Ayah Purbasora dan Senna pun kakak beradik.

Memang tradisi kerajaan-kerajaan dengan sistem pewarisan tahta, seringkali timbul pertikaian yang berujung pada perang saling bunuh membunuh untuk memperebutkan tahta. Dalam perang perebutan tahta Galuh, tokoh-tokoh yang terbunuh adalah Purbasora ( 716 – 723 M )  dan  Tamperan Barmawijaya ( 732 – 739 M). Purbasora terbunuh oleh Sanjaya, putra Senna dan Tamperan Barmawijaya yang putra Sanjaya, terbunuh oleh Ciung Wanara, turunan Purbasora.  Perdamaian baru terjadi antara Rakean Banga dan Ciung Wanara, yang berakhir dengan pembagian Kerajaan Galuh menjadi Galuh Barat dan Galuh Timur. Rakean Banga adalah putra Tamperan Barmawijaya.

Petualangan Senna Yang Mengagumkan.

Senna naik tahka Kerajaan Galuh Kawali pada tahun 709 M, setelah ayahnya Mandiminyak yang berusia pendek itu mangkat. Sedangkan Sang Hyang Sampakwaja dan Sang Hyang Kidul, dikarunia usia panjang. Ketika naik tahta, Senna  dalam posisi sudah punya putra Rake Sanjaya yang besar dalam asuhan nenek dan Ibunya di Kraton Kalingga. Pada jaman itu di kalangan para ksatria, kehidupan suami istri saling berjauhan, merupakan hal yang biasa. Demikian pula Senna dan Sannaha. Senna di Galuh Kawali karena menggantikan tahta ayahnya yang mangkat. Sedangkan Sannaha tetap di Kalingga, mendampingi Ibunya sebagai Penguasa Kalingga.

Tapi naiknya Senna ke tahta Galuh menggantikan ayahnya, Mandiminyak, menimbulkan rasa tidak senang Purbasora dan Demunawan, putra Rababu  dengan Sampakwaja. Menurut Purbasora urutan pewaris tahta Galuh sepeninggal Mandiminyak, seharusnya tidak dimulai dari Senna, tapi mengikuti urutan dari cucu Wretikandayun yang tertua sbb :(1) Purbasora, (2) Demunawan, (3) Bimaraksa-anak Sang Hayang Kidul, adik Sampakwaja, baru (4) Senna. 

Rupanya gugatan Purbasora direstui Sang Hyang Sampakwaja dan Sang Hyang Kidul. Purbasora selaku pimpinan koalisi untuk melengserka Senna, adik tirinya itu, melakukan persiapan selama tujuh tahun. Rencananya Galuh Kawali akan diserang dari tiga jurusan, yakni dari utara-timur-selatan. Dari utara, Purbasora siap dengan pasukannya yang bermarkas di Indraphrastha, Cirebon.  Pasukan dari utara akan diperkuat Demunawan yang siap dengan pasukan tempurnya di Kuningan. Sedang dari selatan, Bimaraksa siap pula dengan pasukannya di daerah Banjarsari. Untuk mencegah agar Senna tidak melarikan diri ke timur, Purbasora dengan Demunawan membangun basis kekuatan di Pasirbatang, lereng selatan Pegunungan Slamet. Dengan demikian front timur pasukan Purbasora di Pasirbatang telah terbentuk. Front barat, sudah ada Kadipaten Galunggung yang berada di bawah kendali Sang Hyang Sampakwaja. 

Senna yang sering bolak balik Galuh - Kalingga –besar kemungkinan melewati jalur sungai Cimnuk-Indramayu- Laut Jawa – Kalingga, tidak menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Kelemahan Senna dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Purbasora. Purbasora bisa membangun basis pasukan di Indraphrastha, Gunung Cireme Cirebon, karena menjadi menantu Raja Indraphastha. Demikian pula Demunawan yang menjadi menantu Kerajaan Kuningan. Senna yang sudah tujuh tahun menduduki tahta kerajaan Galuh Kawali, baru menyadari bahaya mengancam dirinya hanya beberapa hari menjelang hari-H. Sekalipun begitu ketika pertempuran pecah, Senna mencoba bertahan di Istana Kerajaan Galuh Kawali. Tetapi karena di kepung dari empat penjuru, Senna dengan pasukannya pun semakin terjepit. Tetapi menjelang jatuh, Senna dengan prajurit pengawal yang setia, berhasil meloloskan diri dari kepungan.

Ketika Purbasora memasuki Keraton Galuh, Senna telah meninggalkan Istana. Impian Purbasora menjadi kenyataan. Dia pun naik menduduki tahta menggantikan Senna. Purbasora menduduki tahta Galuh ( 716 – 723 M) selama sembilan tahun, nyaris sama lamanya dengan masa pemerintahan Senna. Purbasora, tahu kemana Senna melarikan diri. Karena itu dia menyuruh prajurit-prajuritnya untuk mengejarnya. 

Tetapi mengejar Senna pun bukan perkara mudah. Senna, bagaimanapun juga,  mewarisi darah bidadari dari ibunya. Dari ayahnya mewarisi kecerdasan, kecakapan dan ketampanan Amara alias Mandiminyak. Senna pun tujuh tahun lamanya menduduki tahta Kerajaan Galuh. Dapat dipastikan Senna punya banyak pengikut juga, hanya kalah jumlah, karena dia tidak menyadari bahaya yang mengancam dirinya. 

Karena itu Senna berhasil meloloskan diri dan selamat dari maut dendam kakak tirinya dan berhasil melepaskan diri dari kepungan pasukan Purbasora. Bahkan pasukan Purbasora yang datang dari Pasirbatang, gagal menahan pelarian Senna dan pengirinya yang melarikan diri menuju Jawa Tengah. Sebab pasukan Purbasora dari Pasirbatang, datang dari arah timur laut. Dan Senna dengan cerdik melarikan diri ke arah tenggara.

 Carita Parahiyangan menyebutkan Senna melarikan diri ke Merapi-Merbabu. Ya, ngapain jauh -jauh lari ke Merapi-Merbabu? Gunung Dieng lebih dulu disucikan Kerajaan Mataram Hindu yang dibangun Senna dan Rake Sanjaya!. Lebih tepat menempatkan lereng selatan kaki gunung Dieng sebagai tempat Senna membangun Kerajaan Mataram Hindu dan sebagai basis perjuangan untuk merebut kembali tahta Galuh warisan ayahnya yang lepas dari tangannya. Lagi pula tempat Kunjarakunjadesya, memang lebih tepat bila kita bayangkan terletak di kaki Gunung Dieng, di dekat mata air Serayu.

Setelah berhasil menyeberangi Sungai Citanduy dan Sungai Cijolang, Senna tiba di Dayeuhluhur. Pelarian pun dilanjutkan ke arah timur. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan panjang dan sulit, akhirnya Senna dan sejumlah prajurit pengawalnya yang setia, tiba di tepi tempat penyeberangan dari suatu sungai  yang kelak diberinya nama Ciserayu dan penyeberangan Cindaga. 

Kalau kita perhatikan dari penyeberangan Cindaga ke arah timur sampai Sumpiuh, kita akan mulai menjumpai banyak toponim desa atau kota dari bahasa Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa desa-desa itu belum terbentuk pada abad ke-8  M. Karena itu dapat dipastikan arah pelarian setelah berhasil menyeberangi Cindaga, Senna dan prajuritnya belok ke kiri menyusuri pinggir Sungai Serayu terus ke utara sampai bertemu dengan sebuah sungai yang merupakan anak Sungai Serayu yang sangat terkenal dalam Babad Banyumas, yakni sungai Pasinggangan dan anak sungainya, Sungai Banyumas. Tentu saja ketika Senna tiba di tempar pertemuan antara Sungai Pasinggangan dan Sungai Banyumas, kemudian menyeberang ke arah timur dan membangun perkemahan di situ, nama Sungai Banyumas belum dikenal. Sebab toponim banyumas adalah toponim Jawa, bukan toponim Sunda. Sedang pemukiman itu pada awalnya merupakan pemukiman orang-orang Sunda Lembah Serayu. Sungai Pasinggangan pun belum dikenal juga. Pasinggangan adalah nama sungai yang diberikan sehubungan dengan perjuangan Senna, untuk merebut kembali tahta Galuh warisan ayahnya.

Rekontruksi Jejak-Jejak  Pelarian Senna.

Kita dapat dengan mudah melakukan rekonstruksi arah pelarian Senna dengan prajuritnya sampai tiba di Cindaga. Setelah berhasil menyeberangi Citanduy, Senna bergerak ke tenggara sampai tiba di tepi Sungai Cijolang, lalu menyeberang sehingga tiba di Dayeuhluhur. Setelah menyeberang Sungai Cijolang, Senna praktis sudah aman dari  pasukan Bimaraksa yang mengepung dari selatan, karena mereka ada di sebelah barat Citanduy. Senna pun berhasil lolos dari pasukan Purbasora yang datang dari Pasirbatang, karena mereka datang dari arah  timur laut Galuh Kawali.
Dari Dayeuhluhur, Senna terus bergerak ke timur menghindari kemungkinan dikejar musuhnya, sampai tiba di Cukangleuleus. Desa Wanarja dan Desa Madura pada abad ke 8 M, belum dikenal.Dari Cukangleuleus, ada jalan ke kanan menuju Cipari, yang merupakan desa lama. Cipari sebenarnya sudah terbentuk dan menjadi lumbung padi Kerajaan Galuh Kawali. Budaya menanam padi, sudah masuk tanah Pasundan pada abad ke-4 M, mendahului kebudayaan perunggu yang juga sudah masuk ke Jawa dan Bali pada awal  Masehi. Hanya sebagian besar rakyat masih hidup sebagai peladang. Tetapi toponim Cipari, membuktikan bahwa pada abad ke-8, budaya sawah sudah dikenal Kerajaah Galuh Kawali. Tampaknya mustahil Senna yang ahli strategi itu menuju Cipari, karena Cipari akan menuntun mereka kembali ke tepi Citanduy. Padahal tujuan pelarian Senna justru menjauh dari Citanduy. (bersambung).

Selasa, 26 Januari 2016

Sejarah Awal Kota Banyumas (03)







(Jembatan Cindaga Sungai Serayu Banyumas yang indah. Konon di sini Senna dulu mengawali petualangannya menyusuri Sungai Serayu sampai di mata airnya di kaki Gunung Dieng - Sumber Gambar Banyoemas Heritage)

Mitos Sungai Serayu
Mitos Sungai Serayu merupakan mitos paling menarik yang  sering dibicarakan orang-orang Banyumas dan orang-orang dari Kabupaten yang dilewati sungai terpanjang se Pulau Jawa yang mengalir ke Samudra Indonesia. Orang Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap, hampir semuanya tahu mitos yang rada porno, bahwa sungai Serayu berasal dari air kencing Bima. Hal itu  hanyalah  gara-gara di hulu Sungai Serayu  di kaki selatan Gunung Dieng ada patung Bima porno yang dikenal sebagai patung Bima lukar. Artinya Bima yang tidak pakai busana alias telanjang. Lalu timbulah aneka macam imajinasi yang melahirkan berbagai  mitos Sungai Serayu. Dari yang paling lucu sampai yang cukup sopan. Mata air sungai Serayu itu diberi nama Tuk Bima Lukar. Artinya mata air Bima tak berpakaian.

Anehnya berbagai mitos Sungai Serayu itu merupakan hasil rekaan dengan cara pandang orang Jawa. Padahal penghuni awal Kota Banyumas bukan orang Jawa. Kota Banyumas pada awalnya adalah pemukiman orang Sunda Lembah Serayu yang tentu saja pandai berbahasa Sunda. Hipotesis ini bisa dibuktikan dengan banyaknya toponim kota disekitar Kota Banyumas yang merupakan kosa kata bahasa Sunda. Kota Banyumas mulai ramai didatangi pemukim orang Jawa, setelah Kota Banyumas jatuh dibawah kekuasaan Kerajaan Jawa, Majapahit, pada tahun 1413 M. Tentu pada saat itu belum dikenal kosa kata Banyumas, sebab kosa kata Banyumas baru dikenal bersamaan dengan berdirinya Kabupaten Banyumas pada perempat akhir abad ke-16 M.  Sebelumnya Kota Banyumas berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, Galuh Kawali. Padahal  mitos Sungai Serayu akan lebih mudah dimengerti, jika orang memandangnya bukan hanya dari tradisi Jawa saja. Tetapi juga dari sudut pandang dan tradisi Sunda.

Empat Buah Versi.
Mengetahui berbagai versi mitos Sungai Serayu, sangat penting sebagai pembuka pintu menuju jalan masuk mengetahui sejarah Kota Banyumas pada masa lalu. Dan akhirnya akan memudahkan kita mengetahui sejarah berdirinya Kota Banyumas. Sesungguhnya Kota Banyumas  pada masa lalu merupakan poros peradaban penting Lembah Serayu yang telah mempertemukan empat kebudayaan penting di Pulau Jawa, yakni Hidu-Buddha-Isalam –Sunda dan Jawa.

1.Versi Pertama.
Konon toponim Serayu berasal dari kosa kata sira atau kamu dan ayu atau cantik. Alkisah diceriterkan Bima sedang bertapa di hulu Sungai Serayu dekat mata airnya dengan menghadap ke arah Sungai Serayu. Tiba-tiba Bima melihat wanita yang sedang mandi, tapi yang tampak hanya bagian leher ke atas. Sambil berguman dan berdecak kagum, Bima pun berkata,” Sira Ayu!.” Lalu Bima membalikkan badannya memunggungi wanita cantik itu, agar tidak tergoda. Dari kata-kata yang keluar dari mulut Bima itu, terbentuklan kata Serayu yang kemudian menjadi nama sungai tempat gadis cantik sedang mandi yang sempat dilihat Bima .

2.Versi Kedua.
Bima dengan empat saudaranya yang dikenal sebagai Pandawa Lima, ditantang Korawa yang berjumlah seratus untuk beradu kekuatan. Siapa yang paling kuat, Pandawa yang Cuma lima atau Korawa yang berjumlah seratus. Yang kuat berhak mewarisi tahta Kerajaan Hastina. Sangkuni menjadi wasit, Drona sebagai Pengamat. Tantangan itu disambut Bima dengan dibantu empat saudaranya. Alkisah Bima menggunakan kekuatan tapak kakinya yang bagaikan wadung itu untuk menggali tanah hanya dengan sekali injak. Bima pun berjalan melangkah dari kaki Gunung Dieng sampai finish di tepi Teluk Penyu. Kemudian Bima balik kembali ke tempatnya start di kaki Gunung Dieng.
Bima lalu mengeluarkan Phalusnya kemudian kencing untuk mengaliri sungai yang dibuat dengan tapak kakinya. Terbentuklah mata air Sungai Serayu dan tentu saja dengan Sungai Serayunya. Untuk mengenang jasa Bima, dibuatlah patung Bima porno di mata air  Sungai Serayu yang diberi nama Tuk Bima Lukar. Artinya Mata Air Bima Porno alias Bima Telanjang. Versi kedua ini tidak menceriterakan siapa pemenangnya. Pandawa atau Korawa? Rupanya pendengar kisah dianggap sudah tahu kelicikan Sangkuni. Hasil perlombaan tidak ada yang menang!. Masa air sungai dibuat dari air kencing? Padahal sungai selalu dianggap suci dalam mitologi Hinduisme. Bima pun dimarahi habis-habisan oleh Sengkuni!.

3.Versi Ketiga.
Alkisah dalam perjalanannya berdakwah ke lereng Selatan Gunung Slamet, Sunan Kalijaga tiba di hulu sebuah sungai yang elok yang bermata air dari kaki Gunung Slamet. Sunan Kalijaga pun terus menyeberangi sungai yang elok itu dan bergerak ke timur. Eh, ketemu lagi sungai yang sama eloknya dan sangat mirip. Ternyata setelah tanya sana tanya sini, penduduk menjawab sungai yang satu itu bermata air di kaki Gunung Dieng. Penduduk minta Kanjeng Sunan Kalijaga memberi nama kedua sungai itu. Sunan Kali mau asal penduduk dikumpulkan dan mau mengucapkan kalimat syahadat masuk agama Islam. Bahkan Sunan Kali akan menghiburnya dengan mementaskan lakon wayang. Tentu saja penduduk itu girang dan lapor kepada kepala desa.Kepala Desa pun setuju. Sunan Kali yang berkeliling untuk berdakwah dengan membawa sejumlah tokoh wayang dan seperangkat tetabuhan ringan yang selalu dibawa santri pengiringnya itu, mulai mendalang dengan lakon, yaitu tadi  Mbangun Narmada Serayu (Membangun Sungai Serayu). Sebelum pertunjukan, Sunan Kali membimbing seluruh penduduk yang hadir yang dipimpin kepala desa, mengucapkan  kalimat Syahadat.

 Alkisah dalam pentasnya Sunan Kali berceritera, Pandawa dan Kurawa mengikuti Sayembara yang dibuat Pendeta Drona, yakni membuat narmada atau sungai yang harus berakhir di Bengawan Silugangga yang berada di arah barat daya. Sangkuni yakin Korawa akan memenangkan sayembara, karena jumlah korawa 100 sedang Pandawa hanya 5 orang. Sekalipun begitu Sengkuni yang licik dan bertindak sebagai wasit, menetapkan tempat start Bima Cs di kaki gunung sebelah timur. Duryudana Cs tempat startnya di kaki gunung sebelah baratnya. Ke dua sungai harus berakhir di tempat finish yang sama, yakni di Bengawan Silugangga.   Dengan diberi tempat start di timur, tentu saja panjang sungai yang harus dibuat Bima Cs lebih panjang. Tapi Bima cs tidak protes. Perlombaan pun dimulai. Dalam waktu singkat Bima Cs sudah berhasil menggali tiga perempat panjang galian, sedang Duryudana Cs sepertiganya pun belum.

Karena takut kalah, Sengkuni membisiki Duryudana agar membelokkan arah galian sungai menuju ke arah galian sungai yang telah dibuat Bima cs. Maka ketika penggalian Bima cs tiba di tempat finish. Kurawa langsung bersorak, dan merasa menang, karena korawa berhasil menyambungkan sungai galiannya dengan sungai galian Bima cs. 

Sang Guru Drona  pun datang setelah dilapori bahwa pertandingan telah selesai. Akhirnya Sangkuni memutuskan hasil pertandingan tidak ada yang kalah dan yang menang, sebab selesainya sama-sama. Dan kedua galian itu juga sama-sama memenuhi syarat perlombaan, yaitu pada akhirnya bermuara di Bengawan Silugangga. Korawa buru-buru pergi karena takut ditantang Arjuna untuk mengairi sungai buatannya. 

Sang Guru Drona memerintahkan Arjuna agar membuat mata air di kedua hulu sunga itu. Dengan menggunakan panah sakti, Arjuna membuat mata air di hulu sungai yang dibuat Bima dengan panah saktinya, maka terbentuklah mata air jernih yang segera mengisi sungai buatan Bima. Dengan menggunakan panah saktinya pula, atas perintah Sang Guru Drona, Arjuna membuat mata air di hilir sungai yang dibuat Duryudana. Terbentuklah mata air yang sama jernihnya karena berasal dari mata panah yang sama. Sang Guru Drona kagum atas keindahan dua sungai kembar yang elok itu. Yang kemudian diberi nama  Narmada  Serayu. Tidak dijelaskan siapa yang memberi nama anak Sungai Serayu yang dikenal penduduk sebagai Sungai Klawing itu.

Sunan Kali sebelum menutup pementasan, menggambarkan dua sungai kembar Serayu - Klawing dengan kata-kata sbb : "Pinda suruh lumah lan kurebe. Sinawang seje rupane, ginigit pada rasane". /" Bagaikan daun sirih. Jika dipandang bagiam muka dan bagian sebaliknya tampak berbeda. Tetapi jika digigit akan sama rasanya.'

 Tentu yang dimaksud dengan Sunan Kali adalah Sungai Serayu dengan anak Sungai Serayu/ Sungai Klawing. Anak juga bisa mirip dengan bapaknya. Tetapi posisi sungai yang kembar itu, digunakan Sunan Kali untuk mengenalkan  dua konspep ajaran yang hanya berbeda ucapannya tetapi hakekatnya satu. Yakni Tuhan dengan Rasulnya. yang tak terpisahkan dalam satu kalimat tauhid terdiri dari dua lafal Kalimat Syahadat. Juga konsep rukun yang tercermin dalam Rukun Iman dan Rukun Islam. Kelihatannya ada dua rukun Islam. Tapi sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Demikian pula konsep Syariat. Ada dua syariat, yakni  Syariat lahir dan Syariat batin. Padahal hakekatnya juga satu, yakni Syareat Islam.  Secara ringkas Sunan Kali hendak menjelaskan dua kalimat syahadat yang telah diucapkan para penonton, yang telah menjadi pemeluk Islam.

Kisah terjadinya Narmada Serayu yang dipentaskan Sunan Kali - bisa jadi malah tempat pentasnya di Pendapa Kadipaten Wirasaba, tidak lama setelah Adipati Wirasaba V  masuk Islam- bukan lakon carangan Sunan Kalijaga. Kisah itu memang ada dalam Mahabharata. Narmada Serayu dilukiskan sebagai narmada yang dibuat Bima cs dan bermuara di Sungai Gangga. Sungai Serayu dalam Mahabharata adalah anak  Sungai Gangga. Sunan Kali hanya memindahkan lakon itu  ke pulau Jawa.

 Ketika Sunan Kali berdakwah ke daerah Purbalingga dan Wirasaba, nama Sungai Serayu sudah di kenal orang. Hanya saja  Sunan Kali baru melihatnya karena baru pertama kali itulah dia mengunjungi daerah itu. Saat itu Sunan Kali mendapat tugas dari Sultan Trenggono untuk mengislamkan daerah-daerah yang baru saja ditaklukkan Demak. 

Sunan Kali benar ketika mengisahkan bahwa pemberi nama Sungai Serayu dalam kisah Mahabharata adalah gurunya Pandawa dan Korawa, yakni Dahyang Drona. Dan pembuatnya adalah Bima dan Arjuna. Tentu keliru bila ada orang yang menganggap pemberi nama Sungai Serayu di Pulau Jawa adalah Sunan Kali. Bukan!. Sunan Kali hanya mementaskan lakon terbentuknya Sungai Serayu menurut Mahabharata yang dipindahkan tempatnya ke Pulau Jawa. Tepatnya Jawa Tengah. Dalam kisah di atas, Segara Anakan, tempat Sungai Serayu bermuara, dianggap sebagai Sungai Gangga Pulau Jawa.

4.Versi Keempat
Versi keempat ini berasal dari Pentas Wayang Kulit Dalang Gino pada ulang tahun Tamansiswa  di Perguruan Tamansiswa Teluk Betung yang dihadiri dan disponsori Gubernur Lampung Yassir Hadiboto. Gubernur Yassir Hadibroto yang asli Kroya itu minta lakon yang diberinya judul Banjaran Sungai Serayu. 

Saat itu lakon jenis Banjaran sedang ngetrend gara-gara Dalang Narto Sabdo yang senang menciptakan lakon wayang dengan judul Banjaran, yang diartikannya sebagai biografi dari tokoh-tokoh wayang sejak lahir sampai meninggal. Dalang Gino yang mantan Guru SD itu, tentu tidak kekurangan akal. Dia menggabungkan lakon lahirnya Abimnyu dengan terjadinya Narmada Serayu menurut Kitab Mahabhara sebagaimana yang telah dipentaskan Sunan Kali di atas. 

Alkisah setelah Sungai Serayu terbentuk Arjuna meminang Dewi Sumbadra, adik Sri Batara Kresna. Arjuna pun memasuki masa bulan madu. Tetapi Bima malah bertapa di dekat mata air Sungai Serayu, memohon kepada Sang Hyang Syiwa agar dirinya diberi wahyu kedaton, sehingga bisa unggul dalam Perang Bharatayuda melawan Korawa.

Arjuna pun sebenarnya ingin bertapa, dengan maksud yang sama dengan Bima. Tapi apa boleh buat. Masih  pengantin baru, masa Sumbadra ditinggal bertapa. Bisa-bisa Sumbadra ngambek berat dan Arjuna bisa dibuatnya pusing tujuh keliling. Akhirnya Arjuna hanya bisa pasrah.

Tapi Kresna kakak Sumbadra, ternyata berharap agar wahyu kedaton itu jatuh kepada keturunan Arjuna mumpung masih sedang bulan madu dengan adiknya. Kresna tahu wahyu kedaton sudah masuk ke dalam raga Bima. Tetapi tapa Bima belum genap empat puluh hari. Jadi masih ada peluang wahyu itu pergi meninggalkan Bima. 

Kresna pun cari akal. Arjuna diberitahu bahwa kegemaran Sumbadra waktu mengungsi di Widarakandang mandi di sungai dan ternyata diam-diam Subadra  penggemar berat berenang di sungai. Arjuna lalu dibujuk Kresna  jika ingin salah seorang keturunannya kelak bisa menduduki tahta warisan leluhurnya, harus membiarkan Sumbadra mandi di Sungai Serayu di depan Bima yang sedang bertapa. Tentu harus dicarikan tempat untuk mandi yang nyaman, sehingga  Subadra tidak bisa melihat Bima. Tetapi Bima bisa melihat Subadra. Arjuna yang cerdas segera tahu siasat Kresna. Wahyu yang sudah ada di dalam raga Bima harus dipancing supaya keluar dan masuk ke dalam tubuh Subadra yang tengan berbulan madu dengan Arjuna. 

Singkat ceritera Sumbadra gembira sekali ketika diajak berbulan madu ke tepi hutan dekat mata air Sungai Serayu yang airnya sangat jenih. Sumbadra yang gemar berenang itu langsung ingat masa-masa indah di Widarakandang. Mandi dan berenang di sungai dengan bebas tanpa  ada yang mengganggunya.  Arjuna lalu membangun sebuah pesanggrahan sementara tidak jauh dari tempat tapa Bima. 

 Saat itu kebiasaan pasangan pengantin baru para ksatria, kalau berbulan madu bukannya pergi ke mall di negeri lain. Tetapi cukup masuk hutan. Rama dengan Sinta, juga mengawali bulan madunya dengan masuk hutan Dandaka. Maka Arjuna dan Subadra pun dikisahkan Ki Dalang Gino berbulan madu di hutan dekat mata air Sungai Serayu, tidak jauh dari tempat Bima bertapa. 

Mula-mula Arjuna menemani Sumbadra mandi di sungai yang jernih airnya hasil karya bersama kakaknya itu. Lama-lama Arjuna pura-pura malas mandi, dan membiarkan Subadra mandi sendirian. Tapi Arjuna berjanji akan menjaganya. Tentu saja di tempat yang tidak bisa dilihat Bima. Sumbadra yang tidak tahu ada sepasang mata lelaki lain selain Arjuna yang bisa melihatnya, mandi dengan bebas dan gembira berenang kian kemari dengan sepuas-puasnya. Pada saat itu pakain renang belum diciptakan orang. 

Bima yang sedang tapa dan hampir memasuki hari keempat puluh, takjub seketika melihat Subadra yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan  sedang mandi dalam keadaan torso di depan matanya. Maklum sudah sebulan lebih meninggalkan Arimbi, kata Dalang Gino. Tidak tahan melihat kecantikan Sumbadra, seketika kama alias sprema Bima terlepas seketika memacar bagaikan hujan butiran-butiran mutiara berkilauan yang berjatuhan ke sungai Serayu, tepat mengenai Sumbadra yang kebetulan sedang menyelam. Sumbadra yang tidak tahu air disekitranya sudah tercampur kama Bima, masih asyik terus saja mandi dengan menyelam dan berenang. Bersamaan dengan lepasnya kama Bima, wahyu kedaton yang ada di dalam raga Bima ikut keluar mengikuti kama Bima yang terpancar, akhirnya wahyu kedaton masuk ke dalam tubuh Sumbadra. 

Bima segera menyadari kegagalannya. Lalu cepat-cepat pulang ke Pringgondani menemui istrinya Arimbi yang tentu saja sudah lama menunggunya. Bayangan Subadra dalam benak Bima lenyap seketika begitu ketemu Arimbi yang tidak kalah cantiknya dengan Subadra, kata Dalang Gino menghibur Bima yang menerima kegagalan tapanya sebagai takdir yang telah dikehendaki para dewa.

Tak lama kemudian bulan madu Arjuna-Arimbi membawa hasil. Sumbadra hamil. Ketika melahirkan, bayinya laki-laki sangat   cakap. Wajahnya mirip Bima. Lainnya adalah replika Arjuna. Kresna yang diminta memberikan nama, memberinya nama, Abimanyu. Artinya, Anak Bima di dalam Banyu. Putra Bima di dalam air Sungai Serayu. Mungkin maksudnya adalah anak Bima hasil persanggamaan imajinatif antara Bima - Sumbadra. Secara rokhani, Abimanyu adalah anak Bima.Tapi secara fisik biologis, anak Arjuna.

 Kelak tahta Kerajaan Hastina pura memang jatuh ketangan Parikesit, cucu Arjuna dari Raden Abimanyu dengan Dewi Utari. Parikesit di percaya menurunkan Raja Kediri Jayabaya dan raja-raja Surakarta-Yogyakarta. Tetapi ayah Parikesit, Abimanyu lahirnya di Banyumas, tidak jauh dari Sungai Serayu.Bahkan  anak bersama Bima  dan Arjuna. 

Secara simbolik lakon Banjaran Sungai Serayu itu ingin menjelaskan bahwa leluhur wong Banyumas yang tinggal di sepanjang Lembah Serayu adalah orang Pandawa, yakni Bima dan Arjuna. Pesan moralnya, wong Banyumas dimana saja berada harus menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilia ksatria seperti Bima dan Arjuna. Sakti atau trampil-cekatan, cerdas, jujur, setia kepada negara, dan tanah air. Tentu saja jangan suka korupsi dan jangan suka selingkuh. Kalau mau selingkuh ya dalam khayalan aja seperti Bima....tapi supaya tidak kebablasan  harus cepat-cepat ingat istri tercintanya. Bukankah Bima langsung pulang ke Pringgodani untuk menemui Arimbi istri tercintanya agar bayangan Sumbadra dalam khayalnya cepat menghilang? Itulah barangkali pesan moral yang ingin disampaikan dalang kondang dari Banyumas itu.

Tentu saja Gubernur Lampung Yassir Hadibroto puas dengan pagelaran wayang dengan lakon Banjaran Sungai Serayu yang dibawakan Dalang Kondang dari Notog Banyumas,  yang  rumahnya hanya beberapa kilometer dari Sungai Serayu. Nilai-nilai moral yang disampaikan melalui media wayang kulit sampai ke benak pubik yang menonton pagelaran wayang kulit semalam suntuk.

Mengenang Perjuangan Sang Senna
Dari keempat mitos terjadinya Sungai Serayu yang bersumber dari tradisi Jawa itu , belum  mengungkapkan secara historis, siapakah tokoh sejarah yang memberi nama Sungai Serayu? Semua mitos di atas, dengan beragam versinya, menyebut Bima dan Arjuna sebagai tokoh penting yang membuat Sungai Serayu. Sedang Dahyang Drona yang memberi nama Sungai Serayu. Tapi itu kan kisah wayang. Lalu siapa yang membuat Sungai Serayu yang bermata air di kaki Gunung Dieng? 

Ahli geologi dan hidrologi pun tak akan bakal mampu menjawabnya. Jawaban paling mudah, yang membuat Sungai Serayu  pastilah Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi siapa orang yang memberi nama Serayu atau Ciserayu kepada sungai terpanjang di Pulau Jawa yang mengalir ke selatan itu? Tradisi Jawa tidak menjawabnya. Tapi tradisi Sunda mampu menjawabnya. 

Patung Bima lukar yang ada di dekat salah satu mata air Sungai Serayu itu sebenarnya dibuat untuk mengenang Senna, ayah Sanjaya, pendiri Kerajaan Mataram Hindu. Pembuatan patung Bima Lukar itu atas perintah Rake Sanjaya. Patung aslinya kemungkinan sudah raib. Yang ada hanya replikanya. 

Phalus Bima yang tampak secara menyolok adalah lambang lingga, simbol pemujaan kepada Sang Hyang Syiwa, sebagai Dewa Tertinggi agama Hindu aliran Syiwa. Kerajaan Mataram Hindu menganut agama Hindu Syiwa, sama dengan agama Kerajaan Hindu Galuh Kawali, Kerajaan Pajajaran, dan Kerajan Majapahit, sekalipun corak agama Kerajaam Majapahit sudah terpengaruh agama Budha Tantrayana. Nama lain Bima adalah Sena dan nama lain Sanjaya adalah Arjuna. Dalam Mahabharata, Bima dan Arjuna membangun Sungai Serayu. Dalam tradisi Sunda Carita Parahiyangan, Senna dan Sanjaya membangun Kerajaan Mataram Hindu. Memang pusat Kerajaan Mataram Hindu, sebagaimana tradisi kerajaan-kerajaan kuno, sering kali berpindah pindah, sehingga letak pusat Kerajaan Mataram yang tepat, sukar ditetapkan dan semuanya bersifat hipotetis. Tetapi Ibu Kota Mataram Hindu awal dapat dipastikan tidak jauh dari lereng selatan kaki pegunungan Dieng. Di dataran Dieng banyak sekali patung-patung peninggalan Kerajaan Mataram Hindu. Kemudian pusat kerajaan pindah ke muara Sungai Bogowonto. Lalu pindah menyeberang ke timur, muncul di muara sungai Progo. Kemudian muncul lagi di Sleman. Konon akhirnya pernah muncul juga di Pajang. Itu sebabnya Pajang pernah dipertimbangkan Amangkurat II menjadi Ibu Kota Mataram Islam setelah pindah dari Plered, sebelum akhirnya pilihannya jatuh di Kartosuro. 

Tetapi De Graaf membantah bahwa Rake  Sanjaya pernah memindahkan pusat Mataram Hindu ke Pajang. Menurut De Graaf, Rake Sanjaya hanya membangun pesanggrahan sementara di Pajang sebagai bagian dari operasi penaklukan dan ekspansi Kerajaan Mataram Hindu ke wilayah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur.

 Tapi bisa jadi Amangkurat II betul. Karena Ki Ageng Pamanahan, Pendiri Dinasti Mataram Islam yang tempat tinggal orang tuanya tidak jauh dari Pajang, ternyata mengenal dengan baik Kerajaan Mataram Hindu. Satu-satunya alasan Amangkurat II batal memilih Pajang, hanya karena Adiwijaya Joko Tingkir pernah membangun Kerajaan Pajang di situ. Amangkurat II tidak mau kebesaran Kerajaan Mataram Islam tenggelam oleh masa lalu Kerajaan Pajang.

Prasasti Canggal berangka tahun 654 Saka atau 732 M, menyebutkan bahwa letak Ibu Kota Mataram Hindu yang didirikan Rake Sanjaya adalah di Kunjarakunjadesa. Disebutkan dalam prasasti tersebut bahwa Sanjaya membuat pemujaan untuk memuja Dewa Syiwa dengan mendirikan sebuah lingga di atas Bukit Sthirangga. Di mana letak Kunjarakunjadesa? Para ahli belum menemukan kata sepakat. Semua masih bersifat hipotetis. Dr.Purbocaroko menyebutnya Sleman sebagai pusat Mataram Kuno. Sebab Sleman berasal dari kata Saliman. Tetapi ilmuwan yang lain membatahnya. Bukan saliman asal muasalal sleman, tapi toponim sleman berasal dari kata  salimaR, salah satu nama dari jenis tanaman hias atau bunga.

 Bagaimana kalau letak Kunjarakunjadesa itu  di Kebasen karena di sana ada Sungai Gajah? Ini juga tidak mungkin. Bisa jadi Kunjarakunjadesa itu menunjukkan pusat Mataram Hindu awal di kaki Gunung Dieng. Ya tidak jauh dari patung Bima lukar itu. Bukankah lingga Bima pada patung Bima lukar sengaja ditonjolkan sebagai simbol pemujaan kepada Sang Hyang Syiwa? Riwayat Bima juga erat hubungannya  dengan Gajah, yakni Gajah Sena dalam lakon Bima Bungkus.

Sejak pusat Kerajaan Mataram Hindu pindah ke timur Sungai Bogowonto, Carita Parahiyangan memang langsung bungkam, tidak lagi menyebut nama Rake Sanjaya. Kemungkinan Rake Sanjaya sudah dianggap sebagai Si Anak Hilang dari leluhur ayahnya yang orang Sunda dan kembali ke dalam pelukan leluhur ibunya yang orang Jawa. Menurut Naskah Wangsakerta, nenek buyut Rake Sanjaya dari pihak Ibunya, adalah Ratu Sima, Penguasa Kerajaan Kalingga.

 Tradisi Jawa dan Banyumas mengenal dengan baik Sanjaya. Tetapi nyaris tidak mengenal tokoh Senna. Juga Profesor Dr.Sugeng Priyadi, M.Hum  yang rajin melakukan penelitian secara sintaktis aneka ragam Babad Banyumas. Dalam salah satu tulisannya, mengenal Sanjaya, tapi tidak mengenal Senna. Beliau menulis sbb :

“Jika gugusan percandian di Kedunguter dianggap sebagai bangunan suci Siwa, maka bangunan tersebut dikelilingi oleh Serayu dan sungai-sungai yang bermata air dari Sumur Mas. Kedua prasasti tersebut kiranya sedang mengenangkan daerah lama yang pernah ditempati atau dilalui Sanjaya dari Galuh menuju ke Merbabu-Merapi”( Sugeng Priyadi, Hari Jadi Kabupaten Banyumas:54,SIP Publishing-Purwokerto,2015).

Tokoh itu bukan Sanjaya, tapi Senna. Sanjaya tidak pernah tinggal di Kedunguter dan melakukan perjalanan dari Galuh menuju ke Merbabu-Merapi. Nama Ciserayu adalah nama yang diberikan Senna ketika dia dalam pelariannya dari Galuh Kawali tiba di tempat penyebrangan Cindaga. Senna selamat menyeberangi sungai  yang mata airnya di kaki Gunung Suci Dieng. Orang Banyumas bilang, ”Rahayu”. Senna dan pengiringnya berkata, ”Sirrhayu”. Senna dan pasukannya yang setia memang selamat dari pengejaran pasukan Purbasora. Maka sungai suci yang telah menyelamatkan dirinya itu diberi nama, Ciserayu. Artinya Sungai yang telah menyelamatkan dirinya, pasukannya dan tentu saja masa depannya. 

 Senna tidak membangun perkemahan di Kedunguter. Tetapi di suatu tempat yang telah banyak dibicarakan oleh banyak Penulis Babad Banyumas dan juga dilukiskan dengan baik sekali oleh Sugeng Priyadi, “Tempat pertemuan Sungai Banyumas dengan Sungai Pasinggangan”. Ya, ditempat itulah Senna membangun perkemahannya. Kelak  di tempat itu salah seorang keturunannya trah Pajajaran dan trah Galuh, mengenangkan  daerah lama yang pernah di tempati Sang Senna dan prajurit setianya dengan membangun sebuah kota baru sebagai rumah sebuah kabupaten..Keturunan Senna itu tidak lain adalah Adipati Wirasaba VII Jaka Kahiman Adipati Mrapat! Pada dasarnya, Jaka Kahiman juga meneladani Rakean Banga, yang juga leluhurnya. Wallahualam [bersambung][]