Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Selasa, 24 Juli 2018

(02) Mengenal Lebih Dekat : Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab




2.Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab Menjawab Berbagai Fitnahan dan Kritikan

Penentang gagasan reformasi Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab, bukan hanya datang dari ulama  As’yariyah yang didukung para penguasa maupun tokoh-tokoh tarekat. Dari pengikut Mashab Hambali juga ada yang melakukan penentangan dan ikut-ikutan melancarkan fitnah. Bahkan Sulaiman, kakak kandung Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab ikut berdiri di barisan depan yang melancarkan fitnah dan menghalang-halangi gerakan reformasi yang digulirkan adiknya itu.

Terhadap berbagai macam kritikan dan fitnahan itu, Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab menjelaskan gagasan-gasan reformasinya melalui sejumlah risalah yang ditulisnya. Inilah jawaban Syekh yang ditujukan kepada para pengeritiknya. Termasuk jawaban kepada kakak kandungnya, Sulaiman.

“Akidah dan agamaku yang aku pegangi adalah Mazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang juga dijadikan pegangan para Imam Muslim seperti para Imam yang Empat dan pengikutnya hingga hari Qiyamat. Hanya saja aku suka menjelaskan kemurnian agama kepada orang banyak dan aku memang melarang mereka meminta-minta kepada orang-orang yang masih hidup maupun yang sudah mati, karena mereka itu  tak kuasa memberinya selain Allah swt. Laranganku itu berlaku baik permintaan kepada para sholihin atau lainnya”.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab melanjutkan tulisannya sbb:

“Bahwa Mazhab kami dalam ushuludin adalah Mazhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah dan tarekat kami adalah tarekat salaf. Dalam masalah fikih, pegangan kami adalah Mazhab Imam Achmad bin Hambal.”

“Kami tidak pernah mengingkari kepada orang-orang yang taklid pada Imam yang Empat. Tetapi kami memang tidak menyetujui kepada orang-orang yang taklid kepada selain Imam yang Empat. Karena kami berpendapat tidak adanya pedoman dari mazhab-mazhab yang lain itu, seperti Mazhab Rafidah, Mazhab Zaidijah, Mazhab Imamiyah dan sebagainya. Kami tak dapat menetapkan sesuatunya atas mazhab-mazhab mereka yang telah rusak itu. Malahan kami memaksa mereka agar taklid kepada salah satu dari mazhab yang empat itu. Kami sama sekali tidak pernah mengaku mempunyai martabat mujtahid mutlak. Juga tak ada seorang pun di antara kami yang mengakuinya.”

“Kecuali kami memang berpendirian apabila datang kepada kami suatu nash yang terang baik yang berasal dari Al Qur’an maupun Sunnah, dan setelah kami periksa ternyata tidak ada yang menashahnya atau mentakhshisnya atau yang menentangnya yang lebih kuat dari padanya serta dipegangi oleh salah seorang Imam yang Empat, maka kami lari kesana dan kami tinggalkan pegangan atau mazhab sendiri, seperti masalah waris bagi datuk dan bagi saudara. Dalam hal ini kami berpendirian mendahulukan datuk warisannya, meskipun menyalahi mashab kami.”

“Dan ada pun yang dipalsukan mereka atas kami, sudah tentu dengan maksud untuk menutupi dan menghalangi hak kami dan memalsukan orang banyak, bahwa kami katanya suka mentafsirkan Al Qur’an dengan kehendak dan timbangan kami sendiri dengan tidak mengindahkan akan sejarahnya.”

“Dan kami katanya tidak percaya kepada guru dan kami telah menghina martabat  Nabi kita Muhammad saw dengan perkataan kami, bahwa Nabi itu jazadnya buruk (hancur) di dalam kuburnya. Dan tongkat kami lebih bermanfaat dari pada Nabi dan Nabi itu tidak mempunyai syafaat. Dan ziarah kepada Nabi itu tidak sunnah dan Nabi tidak mengerti ma’na 'Laa ilaha illallah', sehingga kepada Nabi diturunkan ayat, ”Fa’lam annahu la ilaha illallah” serta ayat ini diturunkan di Madinah. Dan kami tidak percaya kepada kaol ulama. Dan kami telah menghancurkan kitab-kitab karangan para ulama mazhab karena di dalamnya tercampur antara yang hak dan yang batal. Dan kami dipandang mujassimah serta kami mengkufurkan orang-orang sesudah tahun 600 kecuali orang-orang yang turut bersama kami. Dan setengah dari cabang dan rantingnya kami juga dituduh tidak menerima bai’at seseorang sehingga kami menetapkan atasnya, bahwa dia itu dan ibu bapaknya mereka musyrik juga.”

“Dikatakannya juga bahwa kami telah melarang membaca shalawat atas Nabi saw dan mengharamkan ziarah ke kuburan. Kemudian dikatakannya pula, jika seseorang yang mengikuti akan faham agama yang kami anuti, maka orang itu akan diberi kelonggaran dan kebebasan dari segala beban dan tanggungan hingga utang sekalipun.”

“Kami juga dituduhnya tidak melihat akan hak ahlul bait dan kami telah memaksa menikahkan seseorang yang tidak kufu, serta memaksa agar seseorang yang tua umurnya dan mempunyai isteri yang muda untuk diceraikannya, karena akan ditikahkan dengan seorang pemuda lainnya untuk mengangkat derajat golongan kami."

“Maka semua tuduhan, khurafat, dan yang semacamnya itu, sungguh kami tidak mengerti apa yang harus kami katakan atau apa yang harus kami jawab dalam setiap masalah itu, kecuali hanya kami dapat mengatakan, ’Subhanaka, bahwa ini adalah suatu kebohongan dan bikin-bikinan yang besar sekali.’ Maka barang siapa yang mengkhabarkan bahwa sesuatu yang disebut tadi itu perbuatan kami, atau dinisbatkan kepada kami, maka mereka itu telah membikin kebohongan yang tiada terhingga atas kami.”

“Barang siapa yang mengaku menyaksikan, bahwa yang demikian itu tingkah dan perbuatan kami, maka hendaknya diketahui dengan pasti, bahwa kesemua itu, suatu tindakan penghinaan atas kami dan pemalsuan dari kebanyakan musuh-musuh agama dan teman-teman syethan untuk menjauhkan manusia dari jalan tauhid bagi Allah dalam ibadah kepada Nya.”

“Maka kami beri’tiqad bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar, seperti melakukan pembunuhan terhadap muslim tidak dengan haknya, mengerjakan zina, riba dan minum khamar, mekipun berulang-ulang maka orang itu tidaklah keluar dari Islam (murtad), dan tidak kekal dalam neraka apabila ia tetap bertauhid kepada Allah dalam semua ibadahnya.”

“Adapun yang kami I’tiqadkan terhadap martabat Nabi Muhammad saw, bahwa martabat beliau itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk seluruhnya dengan muthlak dan beliau itu hidup di kuburnya dalam keadaan yang lebih dari kehidupan para syuhada yang telah dinashkan atasnya di dalam Al-Qur’an, karena beliau itu lebih utama daripada mereka dengan tiada diragukan lagi.”

“Bahwa Nabi itu mendengar akan salam orang yang bersalam kepadanya. Dan sunnah ziarah ke kuburan Nabi itu, kecuali kalau semata-mata dari jauh hanya untuk berziarah. Tetapi juga sunnat kalau karena ziarah ke masjid Nabi dan shalat di dalamnya, kemudian ziarah ke kuburan itu.” 

“Dan barang siapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca shalawat atas Nabi yang warid dari padanya, maka dia akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat dan akan hilang kesusahannya sebagamana yang diterangkan oleh hadist.” Demikianlah bantahan Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab menjawab dan mengklarifikasikan tuduhan-tuduhan dan fitnah keji yang ditujukan kepadanya( bersambung).

(06) Mengenal Lebih Dekat : Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab





6.Berjuang membangun Masyarakat  Berakidah Tauhid Murni dan Membebaskan Bid’ah.

Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab, tiba kembali di Nejd pada tahun 1736 M. Dia mengikuti ayahnya yang bertugas di Huraymlah. Empat tahun Syekh tinggal di Huraymlah,   dimanfaatkannya waktu dan tenaganya untuk menyebarkan gagasan reformasinya. Syekh mengajak masyarakatnya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Ajakannya sebenarnya mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat, karena mereka pun sebenarnya senang hidup tertib, jauh dari praktek premanisme, pemerasan, pencurian, mabok-mabokan, dan perilaku buruk lainya yang merusak ketentraman dan ketenagan masyarakat. Syekh pun menganjurkan agar pemerintah menerapkan sangsi dan hukuman yang keras berdasarkan hukum syariat pada berbagai macam tindak kejahatan. Saran Syekh menadapat tanggapan yang positip dari pemerintah setempat. Pelan-pelan ketertiban masyarakat mulai terbentuk. Keamanan pun membaik akibat diterapkannya hukum berdasarkan syariat Islam. 

Akan tetapi kelompok preman yang sudah lama menjadi penguasa informal yang meresahkan masyarakat, menjadi jengkel dan dendam kepada Syekh. Mereka menilai seruan-seruannya untuk menegakkan amal ma’ruf nahi mungkar disikapi sebagai upaya untuk membersihkan kaum preman itu. Akhirnya mereka berusaha menghabisi jiwa Syekh, karena itulah jalan yang mudah untuk menghentikan gerakan amar ma’ruf nahi mungkar. Pada suatu malam, sekelompok preman mencoba mendatangi rumah Syekh, memanjat pagar dan hendak masuk rumah Syekh untuk menghabisi nyawa pejuang reformasi itu. Untuklah tindakan para preman itu diketahui sejumlah penduduk, hingga nyawa Syekh pun dapat diselamatkan.

Tapi sejak kejadian itu, Sykeh merasa kurang nyaman tinggal di Huraymlah, dan timbul keinginannya  untuk kembali ke kota kelahirannya dan terpikirkan untuk memulai gerakan reformasinya dari sana saja. Keinginannya itu baru dapat dilaksanakan setelah ayahnya wafat pada tahun 1740 M. Karena itu Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab yang saat itu  berusia 37 tahun, segera meninggalkan Huraymlah menuju kota kelahirannya, Uyainah. Dia sangat berharap dapat menemukan suasana yang nyaman dan kondusif untuk menyebarluaskan gagasan reformasinya. 

Pada awalnya Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab mendapat dukungan dari Utsman bin Mu’ammar, kepala pemerintahan setempat yang bersedia membatu dan mendukung program-program reformasi yang ditawarkan Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab. Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab pun segera bekerja keras, menyebarkan ilmu dan mengenalkan gagasan reformasinya di kota kelahirannya itu. Dia siang malam melakukan pembinaan kepada ummat, baik laki-laki, perempuan maupun para pemuda dengan cara membangkitkan rasa cinta kepada Allah SWT untuk mencapai ridlo Nya dan membudayakan tindakan kebaikan dan amal saleh yang didasarkan ahlakul karimah sebagaimana  telah dicontohkan oleh Nabi saw.

Lama kelamaan dakwah Syekh Muhammad Ibnu Wahhab semakin berkembang. Dia pun dengan cepat  menjadi tokoh yang terkenal di kota kelahirannya. Banyak orang berduyun-duyun ke Uyainah untuk berguru dan menimba ilmu. Sampai pada suatu saat Syekh berkata kepada Emir Utsman,:

“Biarlah kami menghancurkan kubah makam Zaid ibn Al Khatab, karena kubah makam itu didirikan tidak atas dasar ajaran yang benar. Allah SWT tidak ridha dengan perbuatan semacam itu dan Rasulullah  pun melarang membangun bangunan di atas kuburan, juga dilarang membangun masjid di atas kuburan. Kubah makam itu telah mengganggu pikiran ummat dan membelokkan aqidah mereka, akibatnya terjadilah kemusyikan. Oleh karena itu, wajiblah kubah makam itu dihancurkan.”

“Tak ada larangan untuk melakukan itu,” jawab Utsman memberikan persetujuannya.

“Tetapi saya khawatir penduduk Jubailah dari desa yang berdampingan dengan kuburan itu akan mempertahankannya,” kata Syekh pula.

Tanpa komentar lagi, Emir Utsman segera mengerahkan 600 tentaranya untuk meghancurkan kubah makam itu. Tetapi penduduk Jubailah yang telah mecium berita bahwa kubah makam kesayangannya itu akan dihancurkan. Mereka pun segera keluar  berbondong-bondong mendatangi makam untuk mempertahankannya.

Anehnya saat mereka melihat 600 tentara yang dikomandani Emir Utsman dan para pengiringnya, penduduk Jubailah  langsung takut, tak berani mempertahankan makam keramat itu dan akhirnya hanyalah menjadi penonton di pinggir lapangan. Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab sendirilah yang turun untuk pertama kali menghancurkan kubah makam yang dianggap keramat oleh penduduk itu.

Tetapi halangan, tantangan,  dan rintangan yang lebih banyak juga datang, antara lain dari saudara kandungnya sendiri, kakaknya, Sulaiman dan juga sepupunya Abdullah bin Husein. Para penentang dakwah Syekh itu  meminta bantuan penguasa al-Hasa yang punya hubungan dekat dengan penguasa Nejd. Akibatnya pecahlah konflik horisontal antara kelompok pendukung reformasi dan kelompok konservatif penentang reformasi di Kota Uyainah itu. Untuk mencegah pertumpahan darah akibat konflik horisontal itu, terpaksa Emir Utsman menghentikan dukungannya kepada Syekh. Karena Emir Utsman sendiri  takut kepada pemerintah di Nejd. 

Terpaksa Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab keluar dari kota kelahirannya itu. Dengan sedih dia pergi berhijrah mencari perlindungan ke Kota Dariyyah. Keberuntungan rupanya mulai menghampiri Syekh. Di kota Dariyyah ini lah Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab mendapat perlindungan dari Amir di kota itu, Muhammad Ibnu Saud (1725- 1764).

Keputusan Syekh untuk pergi menuju Dariyah dan meninggalkan kota kelahirannya,Uyainah, hampir mirip dengan perjalanan hijrah Nabi saw dari Makkah ke Madinnah. Jika di Madinah Nabi saw dan kaum Muhajirin mendapat perlindungan dari kaum Ansor. Maka Syekh Muhammad ibnu Abdul Wahhab di Dariyyah mendapat perlindungan dari penguasa Dariyyah, Muhammad Ibn Saud.

Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab hijrah dari Unaiyyah ke Dariyyah pada tahun 1743 M. Setahun kemudian, tahun 1744 M, telah tercapai kesepakatan kerja sama antara Syekh Muhammad Ibn Abdula Wahhab dan Raja Muhammad Ibnu Saud. Dua Muhammad ini berikrar untuk saling bahu membahu dalam memperjuangkan reformasi Islam. Mereka berdua bahkan akhirnya mengikatkan diri dalam suatu perkawinan. Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab menikahi saudara Raja Muhammad ibn Saud. Oleh karena itu tahun 1744 M, dapat dipandang sebagai tonggak sejarah berdirinya suatu negara yang kelak dikenal sebagai Kerajaan Islam Arab Saudi. Pada tahun 1744 M, Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab telah berusia 41 tahun. Suatu usia yang ideal ketika orang besar mendekati puncak karir.

Aliansi antara Muhammad Ibnu Saud dan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab itu, yang telah melahirkan Kerajaan Islam Arab Saudi Tahap I, merupakan suatu negara persatuan atau unitarian yang telah memiliki batas-batas geografis yang jelas yang kelak akan meliputi sebagian besar tanah Hedjaz. Sejarah tahapan perkembangan politik Kerajaan Islam Arab Saudi itu dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Yaitu tahapan pertama( 1744 – 1818 M), tahapan kedua (1818 – 1884 M), dan tahapan ke tiga ( 1884 – Jaman sekarang ). Kita hanya akan membicarakan perkembangan Kerajaan Islam Arab Saudi pada tahap ke-1 saja (bersambung ).
.

Senin, 23 Juli 2018

(05) Mengenal Lebih Dekat : Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab




 Keterangan Gambar:Paling kanan adalah Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab

5.Karya dan Ajaran Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.

Pengalamannya mengembara ke negeri-negeri Islam itu, semakin memperkuat tekadnya untuk melancarkan gerakan reformasi. Hampir di setiap negeri Islam yang dikunjungi Syekh Abdul Wahhab, dia menyaksikan kuburan-kuburan para syekh tarekat yang bertebaran di mana-mana. Hampir di tiap kota, bahkan di tiap desa dan kampung-kampung mempunyai kuburan syekh atau wali masing-masing. Ke kuburan-kuburan para syekh atau wali tarekat itulah umat Islam pergi berbondong-bondong untuk berziarah. Pada jaman sekarang mungkin dikenal sebagai wisata relijius. Tujuan para peziarah itu adalah untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan yang melilit mereka, seperti  agar diberi jodoh, anak, kesembuhan penyakit, jabatan, kekayaan dan seribu macam problem kehidupan lainnya.

Dinasti Turki Utsmani pada masa kemundurannya, memang banyak melakukan pembangunan kubah-kubah yang mewah di atas kuburan para syekh dan wali tarekat, maupun makam para sahabat Nabi saw. Misalnya saja Dinasti Turki Utsmani pada masa Sultan Abdul Azis (1861-1876 M), membebaskan pajak atas seluruh penduduk Bashrah. Alasannya sebagai penghormatan pada kuburan yang mulia  Zubair bin Awwam. Di atas makam itu juga dibangun sebuah masjid yang mewah. Bahkan Ibunda Sultan Abdul Azis, menyuruh memperbaiki kubah di atas kuburan itu dan merenovasi masjid di atas makam  agar menjadi lebih besar.

Pada masa Sultan Hamid II ( 1876- 1903 M ), kembali   Sultan  memerintahkan pembangunan masjid itu dalam bentuknya yang lebih besar, kubahnya diputihkan, dibangun pula tempat persemayaman. Dia pun menyuruh Gubernur Bashrah Nashir Pasya Al-Sadun, menjadi pengawasnya. Padahal Turki Utsmani sedang terpuruk akibat kalah perang dengan Rusia dalam Perang Krim ( Cirmean War) pada 1854-1856 M, yang mengakibatkan banyak wilayah Turki Utsmani lepas, sehingga mendapat ejekan dari pers barat sebagai The Sick Man. Tapi Sultan Hamid II malah asyik membangun proyek mercu suar. Proyek itu  berupa pembangunan kubah-kubah kuburan para wali tarekat dan kuburan para sahabat. Misalnya saja, Sultan Abdul Hamid II juga masih sempat menyuruh agar dua kuburan di Bashrah yakni kuburan Zubair dan Utbah bin Ghazwan diberi kelambu yang terbuat dari sutera merah yang di bordir dengan benang perak. Sultan juga memerintahkan agar diletakkan tempat dupa dan tempat kembang yang terbuat dari perak di dua kuburan tersebut.

Pada masa akhir pemerintahan Dinasti Turki Utsmani itu, hampir di seluruh wilayah kaum muslimin   di dunia seperti Hejaz, Yaman, Afrika, Mesir, Maroko, Irak, Syam, Turki, Turkistan, Iran, India dan Jawa, ummat  berlomba-lomba untuk membangun kubah-kubah di atas kuburan. Mereka pun saling berlomba untuk mengagungkannya.  Membangun sesuatu di atas kuburan pada masa itu menjadi trend masyarakat muslim dan menjadi kebanggan tersendiri. Sudah barang tentu sebagai akibatnya kemusyikan meraja lela dimana-mana. Banyak di antara mereka yang menyembelih binatang, bukan untuk mencari ridla Allah swt.Tetapi untuk bernadzar kepada kuburan. 

Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab segera melihat bahwa pada saat itu akidah tauhid umat Islam telah dirusak oleh berbagai macam bid’ah, khurofat, mistik dan klenik. Faktor-faktor di atas itulah yang mendorong dia untuk segera melancarkan gerakan reformasi yang akan dimulai dari tanah kelahirannya, Nejd.

Sebelum kita membicarakan apa saja inti ajaran-ajaran Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, ada baiknya jika kita ketahui terlebih dulu siapa saja guru-gurunya dan sahabat-sahabatnya yang memiliki pengaruh besar kepada Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Di samping ayahnya sendiri, salah seorang gurunya yang cukup berpengaruh  adalah Abd Allah bin Ibrahim bin Sayf Al Najd Al Madani. Dia adalah seorang ulama besar dari Najd sahabat ayahnya. Agaknya ketika Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab belajar di Madinah, ayahnya menitipkan anaknya yang berbakat itu kepada Abd Allah bin Ibrahim bin Sayf Al Najd Al Madani. Ibnu Sayf sendiri adalah ulama terkemuka di Madinah yang menguasai fiqih Hambali dan hadist Nabi saw. Dia juga pengagum gagasan reformasi Ibnu Taimiyyah yang menganjurkannya agar umat kembali kepada Al Qur’an dan Al Hadis Nabi saw, dan meninggalkan praktek-praktek bid’ah dalam tata cara beribadat kaum muslimin. Ibnu Taimiyyah percaya bahwa reformasi atau pembaharuan cara beribadah ummat Islam harus dilaksanakan dengan menyebarkan praktek-praktek ibadah yang benar sebagaimana yang telah dilakukan Nabi saw, para sahabat, dan ulama salaf lainnya.

Ibnu Sayflah yang mendorong agar Muhammad Ibnu Abdul Wahhab banyak membaca karya-karya Ibnu Taimiyyah. Ibnu Sayf juga mengajarkan cara yang terbaik untuk melakukan pembaharuan, ialah dengan melakukan pengajaran, dakwah, dan menulis buku. Itulah senjata utama untuk memerangi keyakinan dan praktek ibadah yang tidak benar. 

Selain Ibnu Sayf, guru yang juga berpengaruh pada gagasan-gagasan pembaharuan Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab adalah Abd Allah Al Bashri, yang juga dikenal baik oleh Ayah Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Bahkan Abd Allah Al Bashri pernah memberikan sebuah hadis kepada Ayah  Muhammad Ibnu Abdul Wahhab yang merupakan seorang Mufti Najd. Hadis itu kemudian diberikan kepada  Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. 

Guru lainnya yang juga sangat berpengaruh kepada Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab adalah Muhammad Hayyat bin Ibrahim Al Sindi Al Madani. Dia adalah juga murid Abd Allah Al Bashri. Tetapi lebih lama belajar kepada Abd Allah Al Bashri dari pada Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Adalah guru Muhmmad Abdul Ibnu Abdul Wahhab, Ibnu Syaif yang memperkenalkannya dengan Muhammad Hayyat. Karena itu hubungan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dengan Muhammad Hayyat sangat unik. Muhammad Ibnu Abdul Waahhab, adalah sahabat sekaligus juga murid Muhammad Hayyat.

Dr. Azyumardi Azra dalam tesis doktornya yang berjudul, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII” menyebutkan bahwa Muhammad Hayyat adalah tokoh paling berpengaruh pada pandangan pembaharuan dan keagamaan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Disebutkannya, bahwa Muhammad Hayyat menekankan pentinnya tauhid, penentangan terhadap taklid, dan pentingnya kembali kepada Al Qur’an dan Hadis. Dia juga menentang praktek inovasi dalam ibadah yang tidak ada dasarnya yang merupakan bid’ah al-dhalalah, yang bisa menyeret ummat kedalam perilaku syirik, yakni menyekutukan Tuhan dengan ciptaanNya. Muhammad Al Hayyat juga mengajarkan sikap toleransi, rekonsiliasi dan menentang pertikaian tidak perlu di antara mazhab-mazhab yang ada. Lebih jauh lagi dia menghimbau agar ulama melakukan ijtihad berdasarkan Al Qur’an dan hadis.

Muhammad Hayyat juga pernah berkata, bahwa adalah wajib bagi setiap Muslim berusaha sekuat-kuatnya untuk mengetahui makna Al Qur’an dan untuk mengikuti dan memahami arti hadis dan turunan aturan-aturan hukum dari keduanya. Jika dia tidak mampu melakukan hal itu, dia harus mengikuti para ulama, tetapi tidak usah mematuhi suatu mashab tertentu. Sebab jika melakukan hal itu berarti menganggap pembawa mashab sebagai seorang Nabi. “Sesungguhnya dia harus mewaspadai setiap mashab,” ujarnya memperingatkan.

“Sedangkan mengenai inovasi yang diperkenalkan rekan-rekan sesaman kita untuk berpegang pada suatu mashab tertentu dan menganggap tidak layak untuk beralih dari suatu mashab ke mashab yang lain, ini sama dengan kebodohan, bid’ah, dan kesewenang-wenangan. Kita lihat mereka mengabaikan hadis sahih yang tak dapat dibatalkan, dan berpegang pada mashab sendiri tanpa ada rangkaian perawi,” kata Muhammad Hayyat. Dari Muhammad Hayyat pula, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab melarang pengikutnya merokok tembakau. Demikianlah sejumlah guru Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, yang membentuk pandangan-pandangan keagamaannya berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw yang kemudian ditulisnya dalam sejumlah buku. 

Memang Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab adalah seorang ulama yang amat produktif dalam menulis buku. Buku-buku yang ditulisnya mencapai puluhan judul. Bukunya yang terkenal antara lain At-Tauhid. Isinya berupa pemberantasan tentang bid’ah dan khurofat, serta ajakan untuk kembali kepada tauhid yang murni dan bersih. Buku-buku lainnya antara lain adalah Tafsir surah al-Fatehah, Majmu at-Tauhid, Mukhtasar Shahih al-Bukhari, Mukhtasar as-Sirah Nabawiyah, Nasihah al-Mudlimin bi ahadis Khatam an-Nabiyyin, Usul al-Iman, Kitab al-Khabair, Kasyf asy-Shubuhat, Salasa al-Usul, Adab al-Masi ila as-Salah, Ahadis al-Fitah, Mukhtasar Zad al -Ma’ad, al-Masa’il al-Lati Khalafa Fiha Rasulullah ahl al-Jahiliyah, Majmu at-Tahuhid, dan lainnya lagi

Sebenarannya inti ajaran Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab secara keseluruhan berkisar pada masalah-masalah memurnikan tauhid umat Islam. Karya-karya tulisnya di bidang fikih, tafsir, dan tareh hanyalah sekedar alat untuk memurnikan tauhid. Melalui karya-karyanya itu Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab mencoba menelusuri dan melacak apakah di dalam ilmu-ilmu tersebut terdapat unsur-unsur bid’ah atau tidak.  

Secara garis besar inti sari ajaran tauhid Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab adalah sebagai berikut:

1.      Hanya Tuhan sajalah yang boleh dan harus disembah. Orang yang menyembah selain Tuhan adalah musyrik. Orang yang musyrik halal darahnya. Tentu saja yang dimaksud halal darahnya, bukan berarti setiap muslim ketemu dengan orang musyrik, langsung orang musyrik itu dibunuh. Hanya apabila terjadi konflik dengan orang-orang yang musyrik, seperti perang misalnya, orang musryik itu boleh dibunuh.
2.      Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenar-benarnya karena mereka telah meminta pertolongan bukan kepada Tuhan. Kebanyakan mereka meminta pertolongan kepada para syekh, atau wali yang dianggap memiliki kekuatan ghaib. Dan orang Islam yang demikian itu telah menjadi musyrik.
3.      Menyebut nama nabi, malaikat, syekh, atau wali sebagai perantara dalam doa juga adalah musyrik.
4.      Meminta syafaat kepada selain Tuhan, adalah syirik.
5.      Bernadzar selain kepada Tuhan adalah syirik.
6.      Memperoleh pengetahuan selain dari Al Qur’an dan Hadis merupakan kekufuran.
7.      Tidak percaya pada kada dan kadar Tuhan juga merupakan kekufuran.
8.      Menafsirkan Al Qur’an dengan ta’wil adalah kafir.

Menurut Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab yang dimaksud dengan tauhid adalah al-ibadah atau pengabdian hanya kepada Tuhan, karena setiap rasul yang diutus Tuhan memulainya seruannya  kepada manusia agar mereka hanya beribadah kepada Allah swt. Selanjutnya Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab membagi tauhid dalam hubungannya dengan ibadah menjadi empat bagian yakni:
1.      Tauhid Uluhiyah, yakni tauhid kepada Allah SWT sebagai Yang Disembah.
2.      Tauhid Rububiyah, yakni tauhid kepada Allah SWT  sebagai Pencipta Segala Sesuatu.
3.      Tauhid Asma dan Sifat, yakni tauhid yang berhubungan dengan nama dan sifat-sifat Allah SWT.
4.      Tauhid al-Af’al, yakni tauhid yang berhubungan dengan perbuatan Allah SWT.

Tiga tauhid  yang disebut terakhir, sebenarnya hanyalah tauhid ilmu dan keyakinan saja. Adapun tauhid yang sebenarnya adalah tauhid uluhiyah, sebab tauhid inilah yang dikehendaki oleh Allah SWT. Pada umumnya, demikian pendapat Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab, kebanyakan manusia penghuni bumi ini hanya memiliki tiga bentuk tauhid saja, yaitu tauhid rububiyah, asma dan sifat, serta tauhid af’al. Sedang tauhid uluhiyah sering kali ditolak oleh kebanyakan orang.(bersambung).