Siapakah yang tidak kenal dengan Syekh Muhammad Ibnu Abdul
Wahhab? Dia lah pendiri Mashab Muwahhidin atau Muwahhidun Salafi yang
mengandung arti unitarian atau pemersatu. Mashab ini berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Sunnah
Nabi saw dan dengan gigih menegakkan
kalimat tauhid, memerangi berbagai macam
bentuk bid’ah dan khurofat dalam praktek peribadatannya. Tetapi
musuh-musuhnya mengejeknya dengan menyebut mashab yang dibangunnya itu sebagai
Wahhabi atau Wahhabiyah. Dan sebutan itulah
yang kemudian menjadi populer dari pada nama mashab yang yang diakui
pendiri dan pengikutnya yakni Muwahhidun, Muwahhidin atau pun Muhammadan.
Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab mewarisi gagasan-gagasan
Ibnu Taimiyyah yang menyeru agar umat
kembali kepada praktek beribadah berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi
saw. Agenda utamanya adalah melakukan pemurnian secara ketat ajaran Islam
sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi saw dari rongrongan berbagai macam bentuk kemusyrikan, kesyirikan dan bid’ah-bid’ah ritual keagamaan
yang saat itu semakin merajalela. Berbagai bentuk ritual keagamaan yang
menyimpang sepeninggal Nabi saw itu,
terjadi terutama setelah generasi tabiit tabiin lewat. Dan semua itu telah
mengakibatkan kemunduran umat Islam di berbagai bidang kehidupan.
Sebagai seorang tokoh reformis dan pembaharu pemikiran Islam
pada jamannya yang mengajarkan ijtihad dan jihad berdasarkan tuntunan Al Qur’an
dan Sunnah Nabi saw, tentu saja Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menghadapi
banyak tantangan dari musuh-musuhnya. Sebagian besar mereka adalah para Ulama As’yariyah yang mendapat perlindungan dari pemerintah
Kesultanan Turki Utsmani pada saat itu. Musuh-musuh lainya antara lain para guru tarekat dan juga para penganut Mashab Hambali sendiri
yang bersikap konservatif dan taklid.
Fitnah keji kepada Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahab, tidak
henti-hentinya, bertubi-tubi datang silih berganti, bahkan sampai jaman kita
sekarang ini. Salah satu fitnah dan ejekan yang dilakukan musuh-musuhnya,
sebagaiman telah disinggung di atas adalah penyebutan nama Wahhabiyah sebagai nama
mashab yang diajarkan Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Padahal baik Syekh
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab maupun para pengikutnya, tidak pernah menyebut paham
yang mereka amalkan itu sebagai Wahhabiyah. Mereka sendiri menyebut paham
mereka itu adalah Muwahhidin yang
berarti pemersatu. Memang istilah
Wahhabi bisa bermakna ayah Syekh Muhammad yakni Abdul Wahhab bin Sulaiman. Tapi
juga bisa merunjuk pada seorang tokoh Khawarij yang bernama Abdul Wahhab bin
Rustum, seorang tokoh Khawarij dari Afrika utara yang lahir pada abad ke-2 H.
Bedanya tentu saja Abdul Wahhab bin Sulaiman, ayah Syekh
Muhammad, merupakan ulama terkenal pengikut Mashab Hambali yang tidak pernah
menyusun mashab atau doktrin baru. Adapun yang menyususun doktrin atau mashab
baru adalah putranya, Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Karena itu nama
mashabnya yang tepat adalah Muhammadan, sebab dinisbatkan kepada Syekh Muhammad
Ibnu Abdul Wahab. Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab baru lahir pada abad ke 12 H yakni tahun 115 H atau 1703 M.
Sedangkan Abdul Wahhab bin Rustum
pendiri Mashab Wahabiyah Khawarij hidup pada abad ke-2 H. Antara
keduanya terbentang jarak yang cukup jauh yakni hampir 10 abad atau 1000 tahun.
Karena itu, apabila kita membicarakan paham Wahabbi pada
jaman kita sekarang ini, yang dimaksud adalah Muwahhidun Salafiyah yang berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah Nabi
saw. Dan bukan Wahabbi Khawarij yang
telah keluar dari mashab salaf. Dengan sendirinya Wahabi Khawarij itu bukan
termasuk kelompok yang berpaham sunni ataupun ahlu sunnah wal jama’ah. Adalah
suatu kekeliruan besar bila menganggap Muwahhidun Salafi yang didirikan Syekh
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab itu sebagai Wahabi Khawaij atau malah menganggapnya
sebagai penerus Wahabbi Khawarij. Sebab Muwahhidun Salafi justru menganggap musuh
mereka yang paling berbahaya adalah Khawarij dan Syiah.
Dari sisi doktrin, aqidah Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab
sejalan dengan aqidah yang diajarkan
oleh Nabi Muhammdad saw. Dari sisi historis baik Ibnu Taimiyyah maupun Syekh
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab adalah pengikut Mashab Hambali. Mashab Hambali ini
termasuk Mashab Salafi. Karena itu Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab adalah juga
ulama pengikut salaf yang menjunjung tinggi praktek keagamaan Islam berdasarkan
Al Qur’an dan Sunnah, sebagaimana yang telah dipraktekkan generasi awal para
sahabat.
Sebagai seorang penganut Mashab Hambali, Syekh Muhammad ibn
Abdul Wahab sering galau melihat praktek keagamaan umat Islam pada saat itu
yang dipenuhi dengan berbagai jenis ritual-ritual keagamaan yang bersifat bid’ah,
syirik, khurofat, dan taklid yang menyelimuti sebagian besar ummat Islam. Cara
Ummat Islam beribadah pada saat itu, banyak yang tidak lagi berpegang pada
tuntunan Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Mereka beribadah mengikuti tata cara
beribadah para guru-guru tarekat yang melakukan berbagai inovasi ritual
peribadatan sesuai dengan kepentingan pribadi para guru-guru tarekat. Mereka
juga mengembangkan konsep bahwa para guru tarekat yang telah melakukan berbagai
macam laku, seperti dzikir, puasa, tirakat dan lainnya lagi dalam upayanya mencapai makom tertinggi perjalanan
makrifat batiniahnya untuk berjumpa dengan Tuhannya, otomatis akan memiliki
sifat makhsum.Yakni sifat bebas dari dosa, memiliki kemampuan adikodrati,
seperti menerawang masa yang akan datang, memiliki kemampuan meramal dan bisa
menjadi perantara, agent of God, atau
tawassul. Tawassul adalah cara dalam berdoa memohon sesuatu apa pun kepada
Allah swt, dengan mengggunakan para wali dan orang suci yang masih hidup maupun
yang sudah meninggal sebagai perantara. Dengan demikian para guru tarekat itu telah mengembangkan konsep
kependetaan di dalam Islam yang
sesungguhnya dilarang oleh Allah swt. Mereka menempatkan diri dalam posisi
sebagai semacam orang suci, saint atau santo dalam agama Katolik, pendeta dalam
agama Yahudi dan Protestan, biksu dalam agama Budha dan brahmana dalam agama
Hindu.
Para guru tarekat ini pada masa Dinasti Mamalik di Mesir (
1250- 1517 M) maupun Kesultanan Turki
Usmani (1280- 1924 M), memang mampu
menciptakan berbagai jenis ritual keagamaan
yang diberinya label bid’ah hasanah. Dan hampir semua doktrin keagamaan
yang dikembangkan itu berputar di sekitar masalah roh orang yang sudah
meninggal, pemujaan kuburan, tawassul, tabaruk, pembangunan makam, serta ritual
tahlilan orang meninggal. Ritual
tahlilan baru selesai setelah ritual pembangunan makam pada hari ke-1000.
Itulah poros pemikiran dunia Islam yang menjadi pemicu runtuhnya Baghdad dari
serbuan tentara Mongol pada tahun 1258 M yang menumbangkan Dinasti Abbasiyyah yang
berusia hampir 5 abad (749 -1258 M).(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar