Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Jumat, 24 Juni 2016

Syekh Jumadil Kubro, Ulama Besar Leluhur Walisongo




Tokoh Walisongo sudah banyak ditulis orang, terutama tokoh Walisongo di Pulau Jawa. Tetapi siapa leluhur Walisongo ditinjau dari sudut sejarah? Banyak orang  tidak tahu, bahwa tokoh karismatik itu bukan orang Arab Hadramut. Tetapi dia adalah seorang ulama besar dari Kerajaan Islam Samudra Pasai. Nama Syekh Jumadilkubro banyak disebut-sebut sebagai tokoh besar, suci, bahkan sakti dalam sejumlah legenda dalam  kronik lokal seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah Banten, Sejarah Tanah Pasundan, Wawacan Sunan Gungung Jati, dan lainnya lagi.


Syekh Jumadil Kubro dalam sejumlah kitab babad, dilukiskan sebagai tokoh mistik, yang secara samar-samar dihubung-hubungkan dengan Imam Zaenal Abidin, cicit Rasulullah, dengan Raden Rahmat Sunan Ampel, dan tokoh-tokoh suci lainnya. Akibat dari banyaknya kisah legenda yang dikaitkan dengan Syekh Jumadil Kubro, maka sosoknya sebagai tokoh sejarah dan jejak-jejak sejarahnya menjadi kabur dan lenyap dari ingatan kolektip masyarakat.Ternyata penelusuran Syekh Jumadil Kubro sebagai tokoh sejarah, memberikan informasi  menarik, yaitu bahwa Syekh Jumadil Kubro yang diduga oleh Marten van Bruinssen sebagai orang Arab dari Hadramaut, ternyata adalah putra Sultan ke-5 Samudra Pasai, Sultan Zaenal Abidin ( 1383 – 1405 M). Bagaimana hubungan kekerabatan Sultan Zaenal Abidin, putranya Syekh Jumadil Kubro dengan tokoh lain yang juga menjadi tokoh legenda, yakni Syekh Maulana Ishak dan Syekh Ibrahim Asmara? Mari kita telusuri jejek-jejak sejarah para leluhur Walisongo itu dan masa hidupnya setelah dilakukan rekonstruksi historiografi secara sederhana. 
 a. Sultan Zaenal Abidin (1383 – 1405 M)

Sejak penaklukan, Kerajaan Islam Pasai, oleh Kerajaan Majapahit, Pasai  berstatus sebagai vasal atau kerajaan bawahan dari  Kerajaan Majapahit. Tetapi otonomi yang seluas-luasnya tetap diberikan kepada Pasai. Bahkan Sultan Ahmad Jamaluddin diampuni dan boleh tetap menduduki singgasananya. Hanya saja tiap tahun harus mengirim utusan dan upeti ke Majapahit sebagai tanda takluk. Beruntung bahwa dari Kerajaan Islam Pasai muncul seorang raja yang mampu menurunkan tiga ulama besar legendaris yakni Syekh Jumadilkubro, Syekh Maulana Ishak dan Syekh Makhdum Ibrahim Asmara. Naskah Tapel Adam, sebuah naskah berbahasa Jawa yang terbit di Pasai menyebutkan bahwa Syekh Jumadilkubro adalah putra Raja Pasai ke-5,  Sultan Zaenal Abidin (1383 -1405 M). Syekh Jumadilkubro mempunyai dua orang putra yang juga menjadi ulama besar. Yang sulung adalah Syekh Maulana Ishak, sedang adiknya, Syekh  Makhdum Ibrahim Asmara.   

Dalam tradisi kronik Jawa, Sultan Zaenal Abidin sering dikacaukan dengan Imam Zaenal Abidin( wafat 716 M) , putra dari Imam Husein( wafat 683 M), cicit Rasulullah saw, lewat Siti Fatimah. Akibat dari kekacauan ini, dalam tradisi kronik Jawa, Syekh Jumadilkubro sering dianggap seorang ulama dari Makkah, keturunan  langsung Nabi saw. Demikian pula Syekh  Makhdum Ibrahim Asmara, sering dianggap sebagai ulama dari Samarkand, karena adanya persamaan bunyi antara Asmara dan  AsSamarkandi.

Informasi dari naskah Tapel Adam itu yang menyatakan bahwa Makhdum Ibrahim Asmara adalah putra Pasai, bukan putra dari Samarkand, sesungguhnya memiliki nilai informasi yang penting, khususnya dalam upaya  menelusuri sejarah tokoh Walisongo  di Jawa.

Apalagi secara samar-samar informasi dalam naskah Tapel Adam itu, sejalan dengan informasi dalam Serat Walisana karya Sunan Giri, yang mengungkapkan bahwa  Makhdum Ibrahim Asmara, ayah Sunan Ampel adalah keturunan dari Syekh Jumadilkubro.

Barangkali silsilah keturunan yang digunakan Serat Walisana untuk melukiskan hubungan kekerabatan antara Syekh Jumadilkubro dan Makhdum Ibrahim Asmara, terlalu umum, hingga pembaca mengira bahwa hubungan kekerabatan  itu amat jauh. Maka pembaca yang kurang teliti akan mencoba mereka-reka, bahwa Syekh Jumadilkubro berasal dari negeri Arab.

Padahal hubungan kekerabatan antara Syekh Jumadilkubro dan Makhdum Ibrahim Asmara begitu dekat, yakni Syekh Jumadilkubro adalah  ayah Makhdum Ibrahim Asmara, yang berarti kakek Sunan Ampel. Syekh Jumadilkubro juga ayah Maulana Ishak. Dengan demikian antara Maulana Ishak dan Makhdum Ibrahim Asmara adalah kakak beradik. Maka Sunan Ampel adalah kemenakan Maulana Ishak. Maulana Ishak sering dianggap sebagai ayah dari Sunan Giri. Anggapan ini jelas keliru. Maulana Ishak adalah kakek dari Sunan Giri.

Memang dari dua ulama asal Pasai  itu, yakni Maulana Ishak dan Makhdum Ibrahim Asmara,  telah  diturunkan sejumlah orang wali yang penting di Pulau Jawa, yakni   Sunan Giri, Sunan Gunungjati, Sunan Ngudung Rahmatullah, Sunan Ampel dan Sunan Bonang. Karena itu kita perlu menyelidiki dan membuat rekontruksi  tahun kelahiran Syekh Jumadilkubro, Maulana Ishak dan adiknya  Makhdum Ibrahim Asmara.


 b. Syekh Jumadilkubro (1370 – 1447 M  )

Ibnu Batuttah menjelaskan dalam kitabnya, bahwa saat dia mengunjungi Pasai yang ke dua kalinya, yakni tahun 1346 M, dia sempat menyaksikan hajat Sultan Muhammad Dzahir menikahkan putranya. Dapat dipastikan putranya itu adalah putra mahkota Ahmad Jamaluddin yang naik tahta pada tahun 1354 M, menggantikan ayahandanya, Sultan Muhammad Dzahir yang wafat.

 Jika kita anggap  kelahiran putra pertama Sultan Ahmad Jamaluddin selang satu tahun dengan tahun pernikahannya, maka kita dapat memperkirakan tahun kelahiran putra mahkota Zaenal Abidin, yakni tahun 1347 M. Bila kita anggap Zaenal Abidin menikah pada usia 20 tahun, karena rata-rata para pangeran di Asia Tenggara menikah pada usia antara 18 – 25 tahun, maka Sultanah Bahiah yang kelak menggantikan Zaenal Abidin lahir sekitar tahun 1368 M, karena tahun 1367 M adalah tahun pernikahan putra mahkota Zaenal Abidin.

Sultanah Bahiah yang naik tahta pada tahun 1405 M, menggantikan Sultan Zaenal Abidin yang wafat, adalah seorang putri. Dengan demikian Zaenal Abidin tidak punya putra mahkota. Tetapi dari seorang selir, mempunyai putra, yakni  Jumadilkubro. Kita bisa menduga, jarak usia antara Sultanah Bahiah dan adik tirinya Jumadilkubro, tidak akan terlalu jauh. Katakanlah tiga tahun. Berarti Jumadilkubro lahir pada tahun 1370 M.

Banyak orang yang bingung dengan nama Jumadilkubro. Karena dalam kronik lokal yang  ada di Jawa seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah Banten dan Babad Cirebon, banyak disebut nama tokoh yang memakai nama Jumadil. Misalnya saja Jumadil Akbar, Jumadil Kabir dan Jumadilkubro. Menurut Dr.Husein Jayadiningrat, sebenarnya nama-nama itu menunjuk pada nama satu orang yang sama yaitu Jumadilkubro.

Menurut Martin van Bruinssen, kata kubro aneh karena dipakai untuk nama seorang laki-laki. Sebab dalam tata bahasa Arab, kata kubro menunjuk kepada kata feminin. Tetapi bagi Husein Jayadiningrat tidak aneh, karena  arti akbar, kubro ataupun kabir, mengandung arti awal. Jadi Jumadilkubro, Jumadil Akbar dan Jumadil Kabir identik dengan Jumadilawal, yakni nama bulan ke-5 dari nama-nama bulan dalam kalender  Qomariah, baik kalender Hijriyah, maupun kalender Jawa.

Dari penjelasan Dr.Husein Jayadiningrat, dapat disimpulkan bahwa Jumadillkubro adalah tokoh yang dilahirkan pada bulan Jumadilawal. Sudah jelas bahwa nama Jumadilkubro hanyalah nama panggilan saja. Lalu siapa nama aslinya?

Martin van Bruinssen menduga bahwa nama asli Jumadilkubro adalah Najamuddin Al Kubro. Martin juga menyebut adanya kisah yang dikembangkan oleh para Sayyid dari Hadramaut yang datang ke Indonesia pada abad-18 M, yang menyebut nama Jamaluddin Husein Al Akbar sebagai leluhur Syekh Jumadilkubro.

Anehnya, menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Wali Songo, Martin van Bruinssen menuduh bahwa nama Jamaluddin Al Husein itu, hanyalah upaya para Sayyid untuk mengoreksi legenda-legenda Jawa yang menurutnya sudah tepat ( Agus Sunyoto; 2012: 70 ).

Bagaimana mungkin legenda- legenda Jawa dikatakan lebih tepat, padahal di dalamnya  banyak sekali kisah-kisah yang berbau mitos yang  didasarkan atas fantasi para penggubahnya dan sering menyimpang dari fakta sejarah yang sebenarnya? Karenanya kisah-kisah yang berbau mitos dan legenda dalam kronik lokal memang perlu dikritisi agar sesuai dengan fakta dan kejadian sejarah yang sebenarnya.

Kisah dari para Sayyid yang menyatakan bahwa Syekh Jumadilkubro memiliki leluhur yang bernama Jamaluddin Husein al-Akbar, sesungguhnya justru hampir mendekati fakta sejarah. Tokoh yang disebut-sebut sebagai Jamaluddin Husein al-Akbar itu, sebenarnya adalah Sultan Ahmad Jamaluddin( 1354- 1383 M ), Sultan Pasai ke-4, ayah dari Sultan Zaenal Abidin ( 1383 – 1405 M), yang dengan sendirinya adalah kakek dari Syekh Jumadilkubro.

Karena Syekh Jumadilkubro, seperti telah  disebutkan di atas adalah putra dari Sultan Zaenal Abidin, Sultan Pasai ke-5. Maka dengan demikian memang betul, bahwa Syekh Jumadilkubro punya leluhur, yakni kakeknya yang bernama Sultan Ahmad Jamaluddin (1354 -1383 M). Kakeknya itu adalah  Sultan Pasai, bukan dari Hadramaut ataupun negeri Arab lainnya.

Martin menduga bahwa nama asli Jumadilkubro adalah Najamuddin al-Kubro. Tetapi yang paling mendekati adalah Ahmad Jamaluddin, karena ayahnya, Zaenal Abidin, yang tidak  punya seorang putra mahkota, tentu berharap agar anak laki-lakinya itu, sekalipun hanya dari seorang selir tetapi dapat mengikuti jejak kakeknya  yaitu Ahmad Jamaluddin.

Dengan demikian nama asli Syekh Jumadilkubro adalah Ahmad Jamaluddin al Kubro, mengikuti nama kakaknya.  Bukan Najamuddin al Kubro.


  c. Syekh Maulana Ishak (1390 -  1465 M )

 Kita akan melanjutkan penelusuran tahun kelahiran Maulana Ishak dan adiknya,  Makhdum Ibrahim Asmara. Jika kita anggap Jumadilkubro  menikah pada usia 20 tahun, maka pada tahun 1390 M adalah tahun pernikahan Jumadilkubro. Dan anak pertamanya, Maulana Ishak kira-kira akan lahir di sekitar tahun 1390- 1391 M juga. Sedang adiknya Makhdum Ibrahim Asmara, katakanlah lahir tiga atau empat tahun kemudian, berarti Makhdum Ibrahim Asmara lahir di sekitar tahun 1394 M.

Kita lanjutkan dengan Maulana Ishak dan adiknya Makhdum Ibrahim Asmara. Berdasarkan penelusuran Drs. Widji Saksono dalam bukunya Mengislamkan Tanah Jawa yang bersumber dari Serat Walisana, disebutkan bahwa Maulana Ishak punya enam orang putra, berturut-turut dari yang tertua yakni (1)Sayyid Es, (2)Syekh Jakub, (3)Syekh Waliyul Islam, (4)Syekh Kusein, (5)Syekh Maghribi dan (6)Syekh Gharibi.

Pada tahun 1428  M, Maulana Ishak sudah berusia 38 tahun. Andaikata dia menikah juga pada usia 20 tahun, maka pada tahun 1428 M, setelah lima belas tahun berumahtangga akan punya enam anak. Bila jarak kelahiran ke enam putranya itu rata-rata tiga tahun, maka kita bisa memperkirakan tahun-tahun kelahiran ke enam putra Maulana Ishak itu. Yakni, (1) Sayyid Es lahir sekitar tahun 1411 M, (2) Syekh Yakub lahir sekitar tahun 1414 M,  (3)Syekh Waliyul Islam lahir sekitar tahun 1417 M, (4)Syekh Kusen lahir sekitar tahun 1420 M, (5)Syekh Maghribi lahir sekitar tahun 1423 M. Dan akhirnya si bungsu (6) Syekh Gharibi akan lahir sekitar tahun 1426 M.  

Ketiga putra tertua Syekh Maulana Ishak ini pada sekitar tahun 1450 M, saat usia mereka antara 30-39 tahun,  hijrah ke Jawa dalam rangka melaksanakan dakwah Islam ke wilayah Kerajaan Majapahit di Jawa Timur dan Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Sayyid Es ke Cirebon, Syekh Yakub bin Maulana Ishak ke Gresik dan Syekh Waliyul Islam ke Pasuruan. Mereka semua akhirnya menikah dengan wanita bangsawan pribumi putri para penguasa daerah setempat. Dan Syekh Kusen, putra Syekh Maulana Ishak yang ke empat, pada tahun 1455 M, menyusul kakaknya hijrah  pula ke Jawa.

 Kemudian menyeberang ke Madura dan berdakwah di sana. Akhirnya Syekh Kusen berhasil pula menyunting putri penguasa setempat. Dari perkawinannya dengan putri Madura itu, Syekh Kusen  dikaruniai beberapa putra dan putri. Salah seorang putranya yang kelak menonjol mengikuti jejak kakeknya adalah Syekh Sabil. Dia diperkirakan lahir tahun 1470 M. Syekh Sabil pergi berguru ke Malaka, kemungkinan besar juga ke Pasai, negeri leluhurnya, kemudian kembali ke Jawa dan menetap di Jepara. Kelak dikenal sebagai Sunan Ngudung Rahmatullah.

Putra Syekh Maulana Ishak yang ke-5 Syekh Maghribi akhirnya menyusul kakaknya juga Sayyid Es, bermukim di Muarajati, kemudian bermukim di daerah Pemalang yang berada di lereng utara Gunung Slamet. Syekh Maghribi akhirnya menikah dengan gadis pribumi juga dan mendirikan pesantren di Banjarcahyana, sebelah tenggara Gunung Slamet.

Kemudian putra bungsu Syekh Maulana Ishak, Syekh Gharibi, mengikuti tradisi kakak-kakaknya menuju Jawa Barat, akhirnya bermukim di Banten.

Sementara itu, putra tertua Syekh Maulana Ishak, Sayyid Es yang hijrah ke Cirebon berusia sekitar 39 tahun. Dalam tradisi lokal Cirebon dan Jawa Barat, Sayyid Es ini dikenal sebagai Syekh Nurjati, pendiri Pesantren Gunungjati. Syekh Nurjati kelak menurunkan Sayyid Zen Abdul Qodir yang dalam tradisi lokal dikenal dengan Syarif Hidayatulah atau Sunan Gunungjati I atau Sunan Gunungjati Sepuh.

Memang agak aneh, bahwa putra tertua Syekh Maulana Ishak itu bergelar sayyid. Padahal biasanya para ksatria Pasai itu bergelar makhdum, yang merupakan gelar para bangsawan Kerajaan Islam Delhi. Sayyid sendiri adalah gelar kebangsawanan Arab yang biasanya dinisbatkan kepada keturunan Nabi saw lewat cucu Nabi saw yakni Husein ra. Rupanya putra tertua Syekh Maulana Ishak itu, lebih suka mengambil gelar sayyid yang lebih berwarna Arab dari pada gelar makhdum yang lebih berwarna India. Kelak putra Sayyid Es, yakni Sayyid Zen Abdul Qodir, setelah naik haji, mengambil gelar syarif, yang merupakan gelar bangsawan Arab keturunan Nabi saw juga, tetapi lewat jalur cucu Nabi saw, yakni Hasan ra. Gelar Sayyid Zen Abdul Qodir, setelah naik haji adalah Syarif Hidayatullah yang kelak dikenal sebagai Sunan Gunungjati I.

Syekh Yakub, putra kedua Maulana Ishak,  menurunkan Raden Paku atau Sunan Giri dan Syekh Husein atau Syekh Kusen, menurunkan Sunan Ngudung Rahmatullah dan cucunya, Sunan Kudus Ja’far Shodiq.


 d. Makhdum Ibrahim Asmara(1394 -1446 M)

Bagaimana dengan adik Maulana Ishak, Makhdum Ibrahim Asmara? Dia diperkirakan   baru menikah pada tahun 1416 M dengan Dyah Candrawulan Putri kedua Raja Campa Jaya Simhawarman III yang dalam Serat Walisana disebut Raja Kiyan. Putri pertamanya Dyah Dwarawati menikah dengan Sri Kertawijaya, calon Putra Mahkota Kerajaan Majapahit yang menikah pada tahun 1415 M.

 Makhdum Ibrahim Asmara, punya dua putra, yang pertama Raden Santri, lahir sekitar tahun 1417 M, sedang adiknya Raden Rahmat, kelak menjadi Sunan Ampel, lahir sekitar tahun 1420 M.

Di telinga orang Jawa, mungkin  nama Ibrahim Asmara terdengar aneh. Karena kata asmara lazimnya digunakan untuk perempuan. Karena itu banyak orang yang menduga kata Asmara dibelakang nama Ibrahim adalah salah ucap dari kata Samarkand, sebuah kota di Uzbekistan, Asia Tengah. Menurut mereka nama yang seharusnya adalah Ibrahim As Samarkandi. Diucapkan dalam lidah Jawa menjadi  Ibrahim Asmoro Qondi. Benarkah anggapan itu ?

Sebenarnya dengan mengetahui bahwa di depan nama Ibrahim Asmara terdapat gelar Makhdum,  kita  dengan mudah dapat menduga bahwa Ibrahim Asmara adalah seorang pendakwah yang berasal dari Kerajaan Islam Samudra Pasai. Karena gelar Makhdum merupakan gelar tradisi para pangeran dari Kerajaan Islam Pasai.

 Dengan demikian Ibrahim Asmara  adalah salah seorang pangeran dari Samudra Pasai. Bukan dari Samarkand atau Tyulen. Ada sejumlah kemungkinan yang dapat menjelaskan asal muasal  kata Asmara  selain yang diduga sebagai perubahan dari kata As Samarkandi.

Kemungkinan pertama  sebelum tinggal di Campa, dia  bernama Makhdum Maulana Ibrahim, karena kakaknya bernama Makhdum Maulana Ishak. Jadi ada kesejajaran antara nama dirinya dengan nama kakaknya. Saat tinggal di Campa, komunitas pedagang muslim yang tinggal di Campa juga cukup banyak. Di antara  mereka tentu banyak yang bernama  Ibrahim.

 Untuk membedakannya dengan Ibrahim-Ibrahim yang lain, Makhdum Maulana Ibrahim menambahkan kata  Samudra di belakang namanya. Jadilah dia bernama Makhdum Maulana Ibrahim As Samudrani. Lama kelamaan orang lebih senang menyebutnya sebagai Ibrahim As Sumatrani. Kemudian   kata  As Sumatrani, berubah menjadi Asmarani. Hasil kontraksi  terakhir, dari Asmarani, berubah menjadi Asmara. Jadilah dia disebut oleh masyarakat sebagai Ibrahim Asmara. Dan nama terakhir ini lebih populer dimasyarakatnya. Bukankah kata Samudra  memang juga telah berubah menjadi Sumatra?

 Bisa jadi pernah pula  terpikirkan olehnya untuk memilih  kata Pasai, dari pada Samudra, sehingga namanya menjadi Ibrahim Al Pasai. Tetapi kata Pasai punya konotasi kurang baik, konon ia bermakna binatang berkaki empat yang dalam dalam Mashab Safii dianggap najis. Sedang Samudra mempunyai makna lebih positip, yakni semut besar.

Kemungkinan kedua memang  sejak lahir dia memang sudah menyandang nama Asmara dibelakang namanya. Bukankah bahasa Melayu juga mengenal kosa kata asmara yang bisa saja berarti yang terkasih atau tersayang. Bisa jadi dia adalah seorang  lelaki yang memang sangat  diharap-harapkan kehadirannya dalam keluarganya, setelah kelahiran kakak sulungnya yang juga seorang laki-laki. Tradisi  kerajaan Melayu, sangat mengharapkan lahirnya anak laki-laki di tengah-tengah keluarganya. Jadi tidak ada yang aneh dalam penggunaan nama  Asmara di belakang kata Ibrahim, karena ia mengandung arti yang tersayang atau yang terkasih.

Kemungkinan ketiga, istri  Makhdum Maulana Ibrahim yang putri  Raja Campa mempunyai sejumlah nama. Selain  Dyah  Candra Wulan, dia juga bernama Rara Sucina, juga bernama Dyah Retna Siti Asmara. Dyah Retna Siti Asmara, juga cantik, bahkan melebihi kecantikan kakaknya Dyah Dwarati yang menjadi istri Raja Majapahit. Jadi Ibrahim Asmara bisa berarti Ibrahim yang beristrikan Dyah Retna Siti Asmara, putri Raja Campa yang dikisahkan kecantikannya dapat berubah dalam sehari sebanyak tujuh kali.

Dari sejumlah kemungkinan di atas, akan lebih mendekati fakta sejarah, bila menetapkan Ibrahim Asmara, ayah Raden Rahmat adalah putra Pasai, dari pada menganggapnya sebagai pendakwah dari Samarkand. Atau lebih-lebih dari  Tyulen. Menetapkan Ibrahim Asmara  sebagai pendakwah yang berasal dari Samarkand ataupun Tyulen, disamping kurang mendekati fakta sejarah, juga terlalu kental kandungan unsur mitosnya.

 Dengan kata lain anggapan bahwa Ibrahim Asmara adalah seorang pendakwah dari Samarkand ataupun Tyulen, hanyalah sebuah mitos yang tidak berdasar, spekulatip, dan hanya dicari-cari  dan ditemukan secara tidak sengaja. Informasi dalam naskah Tapel Adam bahwa Ibrahim Asmara putra Pasai, amat layak untuk dipercaya sebagai fakta sejarah.[]


Kamis, 23 Juni 2016

Syekh Siti Jenar dan Walisongo, Diantara Legenda, Mitos, dan Fantasi Libido Seksual (Bagian 04-Tamat)





 Legenda dan Mitos Kematian Syekh Siti Jenar


  Syekh Siti Jenar dan Sunan Panggung merupakan tokoh oposisi yang menentang ajaran syariat Islam dari Walisongo. Walaupun Syekh Siti Jenar digambarkan sebagai wali yang menentang ajaran Walisongo dengan cara menyampaikan  ajaran sesat, tetapi oleh pengikutnya sering dimitoskan sebagai tokoh yang sakti luar biasa. Kesaktian Syekh Siti Jenar mengungguli kesaktian Walisongo yang lain. Hanya Sunan Kalijaga yang dapat mengimbangi kesaktian Syekh Siti Jenar. Di mata orang-orang Islam Kejawen, kesaktian Syekh Siti Jenar dengan Sunan Kalijaga seimbang. Hal bisa dilihat dari kisah di bawah ini.


“Suatu saat Walisongo mengejar-ngejar Syekh Siti Jenar untuk menangkapnya. Ketika dikejar, Syekh Siti Jenar masuk ke dalam bumi. Tidak ada wali yang bisa masuk ke dalam bumi, kecuali  Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga segera masuk ke dalam bumi meneruskan pengejaran untuk menangkap Syekh Siti Jenar. Di bawah tanah yang gelap gulita dan sempit  itu, karena kesaktiannya, Syekh Siti Jenar dapat merubahnya menjadi ruangan yang luas dan lapang seluas alam semesta yang terang benderang dengan langitnya yang cerah. Untuk menandingi kesaktian Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga di dalam tanah itu menciptakan mendung, topan, hujan badai, dan gempa, sehingga keaadaan yang tadinya terang benderang kembali sempit, sesak dan gelap seperti sedia kala, bahkan lebih sempit dari semula. Itu semua berkat kesaktian Sunan Kalijaga. Namun Syekh Siti Jenar belum menyerah. Dia menciptakan suatu keadaan yang asri dan  indah, laksana taman  surga lengkap dngan buah-buahnya yang ranum.


Tetapi Sunan Kalijaga tidak mau terkecoh. Untuk mengalahkan kesaktian Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga menciptakan api dan kapak-kapak api yang dapat terbang. Lalu kapak-kapak api itu membabat dan membakar habis segala ciptaan Syekh Siti Jenar. Pohon-pohon dan tiang-tiang habis ditebang oleh kapak api yang beterbangan menghantam sasaran, tanpa ada tangan yang mengemudikannya. Karena merasa terdesak Syekh Siti Jenar meloncat keluar dan segera dikejar oleh delapan orang wali yang dari tadi menunggu di atas tanah. Melihat Syekh Siti Jenar kembali muncul, mereka ramai-rami mengejarnya. Tetapi Syekh Siti Jenar masih punya satu kesaktian lagi, yaitu menggandakan dirinya hingga menjadi delapan Syekh Siti Jenar kembar. Kedelapannya bertempur melawan ke delapan wali dan semua wali itu dapat dikalahkan. Untung Sunan Kalijaga segera muncul. Dengan mudah Sunan Kalijaga dapat menemukan Syekh Siti Jenar yang asli dan menangkapnya.


Setelah Syekh Siti Jenar asli dapat ditangkap, maka Syekh Siti Jenar palsu lenyap seketika. Akhirnya Syekh Siti Jenar yang telah merepotkan Walisongo itu dihukum mati” (Drs.Widji Saksono; 1995:45-46 ). Demikianlah  kisah yang melukiskan betapa saktinya Syekh Siti Jenar itu. Kesaktian lainnya yang dimilki Syekh Siti Jenar antara lain dapat merubah dirinya menjadi cacing, menjadi katak dan menjadi burung gagak putih.


Syekh Siti Jenar masih memiliki kesaktian lainnya lagi yakni kebal senjata tajam. Dikisahkan bahwa pada saat Syekh Siti Jenar dieksekusi dengan hukuman mati, Syekh Siti Jenar masih mampu memperagakan kesaktiannya. Inilah kisah kematian Syekh Siti Jenar versi Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon  karangan PS.Sulendraningrat. "Para wali berkumpul di Masjid Agung Ciptarasa Cirebon, menunggu Syekh Siti Jenar untuk melanjutkan diskusi yang belum selesai. Dalam diskusi sebelumnya Syekh Siti Jenar telah membuat marah para wali karena Syek Siti Jenar mengaku dirinya Allah. Setelah lama ditunggu Syekh Siti Jenar belum datang juga. Setelah beberapa kali disusul, akhirnya Syekh Siti Jenar mau datang karena yang menyusulnya empat orang wali yaitu Syekh Magribi, Syekh Majagung, Syekh Bentong dan Sunan Kudus. Sampai di masjid  Syekh Siti Jenar berkata kepada Sunan Gunungjati, ”Bagaimana kehendak Paduka sehingga undangan datang bertubi-tubi?”.


Sunan Gunungjati menjawab, ”Kang Raka berkali-kali kami undang, karena jumlah yang hadir kurang satu orang untuk membicarakan ilmu membuka yang tersembunyi.”


“Dari tadi sebenarnya Kang Raka juga sudah menunggu agar dikirim utusan untuk membuka i’tikad sejatinya. Tetapi kawan-kawan masih memakai penutup,” jawab Syekh Siti Jenar.


Sunan Kudus berkata dengan agak marah, “ Memang benar perkataan Rama, tetapi janganlah terlanjur bahasa”.


“Tidak merasa terlanjur bahasa, sekejap pun tidak,” bantah Syekh Siti Jenar.


Sunan Bonang menengahi sambil berkata, ”Sekarang kawan-kawan mari kita mulai lagi membicarakan membuka i’tikad sejati. Tetapi janganlah memakai khijab,”


Mendengar ajakan Sunan Bonaang para wali yang hadir mencapai kata sepakat. Sunan Gunungjati memulai menyampaikan pendapatnya, ”Allah itu adalah sah Dhat dan SifatNya.”


Sunan Giri mengemukakan pendapatnya,“Allah itu adalah bingung karena mudahnya.”


Sunan Bonang berpendapat, “Allah itu adalah tidak bersama, tidak di luar dan tidak di dalam.Bersih tidak kecampuran”


Syekh Magribi berkata,“Allah itu adalah Zat yang Maha Tunggal.”


Sunan Kalijaga berkata,”Allah itu mengganti, tidak mengganti tetapi mengganti kepadaNya.”


Syekh Bentong ikut urun pendapat,”Allah itu tidak dekat, tetapi juga tidak jauh.


Demikianlah para wali yang hadir semuanya satu persatu meyampaikan pendapatnya tentang Zat Allah. Rupanya mereka tengah berdebat tentang hakekat Allah dan sifat-sifatNya yang dikenal dengan Sifat Dua Puluh. Rata-rata mereka sependapat, sekalipun bunyi kalimatnya berbeda. 

Kini giliran Syekh Siti Jenar menyampaikan pendapatnya. Ia berkata dengan lantang dan tegas, ”Allah itu  adalah nyatanya aku yang sempurna yang tetap di dalam dhohir batin.”


Mendengar pendapat Syekh Siti Jenar tentang hakekat Allah itu, Sunan Kudus mulai marah, “Sang Rama senantiasa ngumbar bahasa. Apakah tidak takut kepada hukum ?”


Syekh Siti Jenar menjawab, ”Hukum apa yang aku takuti? Walau dibunuh Sang Rama tameng dada i’tikad yang abadi tidak boleh berubah, sebab mengatakan adanya Allah, nanti Allah sekarang juga Allah!”


Sunan Kudus menjadi tidak sabar dan berkata kepada Sunan Gunungjati, ”Kanjeng Rama Sunan Jati, bagaimana hukumnya orang yang mengaku Allah? Syekh Siti Jenar mengaku Robbul Alamin!”


Sunan Gunung Jati tidak menjawab, hanya memberikan keris Kaki Naga kepada Sunan Kudus dan Sunan Kudus segera tanggap. Ditusuknya Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar  sampai beberapa kali. 

Ternyata tusukan itu tidak mempan. Para wali yang menyaksikan kejadian itu tertawa ramai-ramai, sambil berkata,“Masa ada Allah keras seperti batu !”.


Mendengar olok-olok para wali, Syekh Siti Jenar  menjawab sambil menantang,” Ayolah Sunan Kudus, tusuklah aku sekali lagi!”.


Sunan Kudus menusukkan kerisnya sekali lagi. Kini keris tembus ke dalam tubuh Syekh Siti Jenar dan mengucurlah darah merah. Tetapi Syekh Siti Jenar tidak mati masih tetap hidup dalam keadaan duduk. Para wali bersorak lagi sambil berkata,”Masa ada Allah keluar darah merah seperti kambing!”.


Syekh Siti Jenar berkata lagi, “Ayolah Sunan Kudus tusuk lagi aku.”     


Kembali Sunan Kudus menusukkan keris yang masih dipegangnya. Kali ini tubuh Syekh Siti Jenar mengeluarkan darah putih. Menyaksikan itu, kembali para wali tertawa,”Masa ada Allah keluar darah putih seperti cacing”.


Syekh Siti Jenar berkata seraya menantang Sunan Kudus,”Ayolah Sunan Kudus, tusuklah aku sekali lagi.”


Kembali Sunan Kudus beraksi lagi. Keris yang dipegangnya ditusukkan lagi. Tiba-tiba Syekh Siti Jenar lenyap dari pandangan para wali yang masih berkelakar sambil tertawa,”Masa ada Allah wujudnya hilang seperti setan.”


Seketika itu juga, muncul Syekh Siti Jenar terlentang dihadapan mereka seperti orang mati. Berkata para wali sambil bersorak,”Masa ada Allah matinya seperti kayu!”


Segera Syekh Siti Jenar berubah mengecil  sebesar kuncup bunga melati. Dan terdengarlah suara diangkasa:

”Hai Sunan Jati dan para Wali, kelak pada akhir jaman akan ada kerbau bule mata kucing  yang mendarat dari laut. Itulah yang akan menumpas dan menjajah keturunanmu."

***

Jelas sekali bahwa kisah ini hanya rekaan dan fantasi penggubah naskah yang ditulis oleh penulisnya pada masa setelah Kerjaan Cirebon dan Banten, dua kerajaan warisan Sunan Gunungjati, jatuh dibawah kekuasaan penjajah Belanda sejak tahun 1809 M, pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels (1807 -1811M ).Sang Penggubah kisah, telah mengait-ngaitkan jatuhnya dua kerajaan warisan Sunan Gunungjati ke tangan penjajah Belanda sebagai balas dendam Syekh Siti Jenar yang telah dieksekusi di Masjid Agung Ciptarasa Cirebon, sebuah masjid yang didirikan oleh Sunan Gunungjati.


Demikianlah sejumlah kisah legenda para wali yang penuh fantasi. Kita segera bisa mengetahui, bahwa kisah-kisah legenda para wali itu diilhami oleh kisah-kisah para nabi  dalam Serat Ambiya, kisah-kisah dari dunia wayang yang memang amat digemari oleh orang Jawa maupun Sunda, dan kisah para sufi atau ahli tasawuf.


Kisah legenda Syekh Jumadilkubro, diilhami oleh kisah ahli tasawuf ayah Syamsuddin At Tabrizi yang dianggap telah melakukan perbuatan menyimpang terhadap ajaran syariat Islam. Pada awalnya ayah Syamsuddin adalah seorang ulama yang amat taat menjalankan ajaran syariat Islam. Tetapi pada suatu saat dia terpengaruh suatu ajaran tasawuf gullah, yakni ajaran tasawuf  yang menyimpang karena menolak ajaran syariat Islam. Semua buku-buku koleksi perpustakaan pribadinya yang berisi ajaran syariat Islam, dibakarnya sampai habis. Sejak itu dia mengajarkan Islam dalam visi konsep persatuan hamba dan tuhan tanpa harus menjalankan ritual peribadan seperti mengucapkan kalimat syahadat, salat, saum, zakat dan ibadah haji.


Putranya, Syamsuddin At Tabrizi – yang artinya adalah matahari agama dari Kota Tabriz - tumbuh dan besar dalam bayang-bayang ajaran Islam yang dipenuhi ajaran bid’ah dari ayahnya. Mungkin Sang Penggubah Kisah Jumadilkubro hendak  membuat semacam simbolisme, bahwa penyimpangan terhadap ajaran syariat Islam yang dilakukan oleh seorang yang sudah bergelar Syekh sebenarnya sama saja dengan melakukan tindakan tidak terpuji, seperti halnya orang yang melakukan perkawinan sumbang, sekalipun hasilnya adalah akan menghasilkan seorang murid yang bisa jadi cemerlang dalam soal-soal mistik ketuhanan. Tetapi simbolisme itu berkembang menjadi konsep mistik pemujaan terhadap anak hasil perkawinan sumbang orang suci.


Kisah legenda Malik Ibrahim, mengingatkan kita pada kisah Nabi  Zakaria. Kisah legenda Sunan Ampel mengingatkan kita pada kisah Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati. Kisah legenda Sunan Bonang mengingatkan kepada kisah pertemuan Nabi  Khidir dengan Nabi  Musa di tepi pantai. Kisah legenda Sunan Giri mengingatkan pada kisah Nabi  Musa ketika masih bayi, dibuang ibunya ke sungai Nil dan berlabuh di istana Fir’aun. Kisah Sunan Panggung yang tak mempan dibakar api, mengingatkan kita pada kisah Nabi  Ibrahim ketika dibakar oleh Raja Namrud. Kisah Bende Kiyai Sima Sunan Kudus yang mampu mendatangkan beribu-ribu tentara tidak tampak, mengingatkan kita pada sejarah Nabi  Muhammad saw saat perang Badar. Karena doa Nabi saw, Malaikat turun dari langit membantu tentara Muslim melawan tentara kafir Quraisy yang jumlahnya tiga kali lipat tentara Muslim. Hanya saja Nabi saw  tidak punya bende dan memang tidak pernah  percaya pada bende. Yang diajarkan Nabi saw saat berperang hanyalah dengan membaca doa.


Kisah perkelahaian antara Sunan Kalijaga yang hendak menangkap  Syekh Siti Jenar, mengingatkan para pembaca pada lakon wayang Surya Atmaja Maling, yaitu perkelahaian antara Arjuna dan Surya Atmaja atau Karna. Sunan Kalijaga berperan sebagai Arjuna dan Syekh Siti Jenar  sebagai Adipati Karna atau Surya Atmaja. Dalam kisah wayang kedua ksatria itu memang memiliki kesaktian yang seimbang. Tetapi akhirnya Karna bisa ditangkap Arjuna.


Adapun kisah kematian Syekh Siti Jenar, mengingatkan pembaca pada kisah Raden Narasoma yang hendak membunuh mertuanya, Begawan Bagaspati. Beberapa kali mertua Narasoma itu ditusuk dengan keris pusaka tetapi tidak mati-mati. Baru setelah Raden Narasoma meminta keikhlasan mertuanya, Bagaspati yang sangat sakti karena memiliki aji Candra Birawa, menyatakan rela mati bila Narasoma berjanji tidak akan mengkhianati cinta putrinya, Pujiwati. Narasoma menyatakan kesanggupanya,maka pendeta raksasa itu tewas seketika. Tetapi setelah kematiannya terdengar suara bahwa kelak ia akan menuntut balas atas kematiannya dalam perang Bharata Yuda yang pasti akan datang.


Raden Narasoma menghendaki kematian Bagaspati, karena ia merasa malu sebagai seorang ksatria Putra Mahkota Kerajaan Mandaraka tetapi mempunyai mertua seorang raksasa. Sekalipun Bagaspati adalah seorang pendeta raksasa, tetapi dia punya putri yang amat cantik jelita yang benama Dewi Pujiwati atau Setyawati. Raden Narasoma berjanji, akan menjadikan Dewi Setyawati permaisurinya kelak bila dia naik tahta Kerajaan Mandaraka. Dan janji itu memang dipenuhinya. Dalam legenda kematian Syekh Siti Jenar itu, sudah jelas bahwa Syekh Siti Jenar berperan sebagai  Begawan Bagaspati yang memiliki kesaktian luar biasa, sedangkan Sunan  Kudus berperan sebagai Raden Narasoma. 


Tentu saja kisah-kisah fantasi semacam itu bukanlah fakta sejarah, tetapi kisah fantasi hasil imajinsi Sang Penggubah Kisah, sekalipun tokoh-tokoh pelakunya adalah tokoh sejarah yang benar-benar ada dalam dunia empiris, pada suatu jaman yang sayup-sayup tertinggal jauh di belakang kita.Wallahu alam.[The End]