Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Jumat, 28 April 2017

[2] Mengenal Tokoh Sejarah : Abdur Rahman Baswedan, Sang Pembaharu dan Nasionalis Sejati (02)





 A.R Baswedan, (https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Baswedan)

Akhirnya perlakuan kaum Alawiyyin terhadap Ahmad Surkati, justru semakin  membukakan jalan bagi Ahmad Surkati untuk ikut terjun dalam arus perjuangan kebangsaan. Ahmad Surkati juga ikut terlibat dalam diskusi panjang kalangan Islam melawan kalangan komunis pada tahun 1922. Topik debat berjudul jalan Islam atau jalan Komunisme untuk mencapai Indonesia Merdeka? Ahmad Surkati dengan telak memukul Semaun yang gigih menawarkan jalan Komunisme. Usai debat, Ahmad Surkati muncul sebagai salah satu tokoh reformis yang disegani dan Syekh Ahmad Surkati, demikian gelar yang disematkan kepadanya, sering diminta memberikan fatwa tentang banyak hal berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. 

Golongan Alawiyyin dan Kaum Sayyid yang berpandangan konservatif semakin tersudut, terpinggirkan dari arus besar perjuangan kebangsaan. Uniknya, ketika posisi kaum Alawiyyin makin tersudut, Ahmad Surkati tidak sekalipun membuat pernyataan yang menyudutkan Kaum Alawiyyin. Bahkan Ahmad Surkati berusaha untuk berdamai dengan Kaum Alawiyyin. Tetapi usaha perdamian gagal. Karena Kaum Alawiyyin tetap menuntut hak eksklusif dari Kaum Arab Peranakan non Sayyid. Internal Golongan Alawiyyin akhirnya membentuk organisasi baru yang kecewa terhadap kegagalan Jamiatul Khair dalam menggarap isu-isu kebangsaan yang sedang tumbuh. Organisasi baru golongan Sayyid itu, diberi nama Rabitah Al Alawiyyah yang lebih reformis dari pada Jamiatul Khair. 

Tetapi usaha menyatukan peranakan Arab antara golongan Sayyid dan non Sayyid  baru berhasil di tangan A.R Baswedan, pengikut Syekh Ahmad Surkati sejak usia belasan tahun. Ketika itu AR Baswedan sudah pindah bermukim di Kudus, menikah dengan anak pamannya,Syaikhun, menggeluti bisnis mertuanya, dan masuk menjadi aktivis Muhammadiyah Kudus. Benih-benih nasionalisme mulai tumbuh ketika A.R Baswedan menikah dengan anak pamannya itu kelak memberinya sembilan orang anak. Pada waktu resepsi pernikahan, A.R Baswedan menolak mengenakan sorban dan jubah Arab. Dia memilih memakai jas, pantalon, dasi, dan kopyah hitam seperti yang banyak dipakai Bung Karno dan kaum nasionalis lainnya. Berita A.R Baswedan yang peranakan Arab, tetapi enggan memakai baju kebesaran leluhurnya, langsung membuat heboh golongan Sayyid yang menuduh A.R Baswedan hendak meninggalkan adat, tradisi, dan budaya leluhurnya, Arab Hadramaut. Tetapi A.R Baswedan tidak peduli dan jalan terus. 

Pada tahun 1932 ketika usia A.R Baswedan 24 tahun, masih pengantin baru, secara tidak sengaja A.R Baswedan berkenalan dengan seorang peranakan China yang berjiwa kebangsaan, Liem Kho Hian. Liem Kho Hian, tinggal di Surabaya, dia seorang peranakan China yang memiliki pandangan sama dengan A.R Baswedan, yaitu bahwa kaum peranakan harus membantu perjuangan kaum Bumiputra, bantu membantu meraih kemerdekaan. Liem Kho Hian, adalah pemimpin redaksi harian Tionghoa berbahasa Melayu, Sin Tit Po. Yang pro pergerakan nasional. Liem Kho Hian mengajak AR Abdurahman duduk dalam dewan redaksi. AR Abdurahman tidak menyia-nyiakan kesempatan kerja yang sesuai dengan bakatnya sebagai penulis, sekaligus menunjukkan bahawa agama bukan hambatan untuk bekerja sama. Gajih yang diterima AR.Baswedan sebagai jurnalis Sin Tit Po, sebesar 75 gulden, suatu jumlah yang cukup besar untuk ukuran jaman itu. Juga keadaan yang unik pada jaman itu, ada  peranakan Arab Muslim bekerja sama dengan peranakan China non muslim, mengemudikan harian Tionghoa Nasionalis, Sin Tit Po.  

Ternyata A.R Baswedan segera mencatat suatu prestasi yang hebat. Dia berkesempatan mewawancarai Ulama Arab yang baru tiba di Hindia Belanda, Syekh Yunus Bahri Al-Iraqi. Dia ulama reformis non Sayyid dan tinggal di Bogor. Di sana dia berhasil menerbitkan surat kabar Al Haq yang banyak menyerang perilaku golongan Sayyid dan pemimpin mereka di Bogor karena mereka dipuja-puja sebagai wali keramat. Karena tajamnya tulisan itu, golongan Sayyid marah, dan mengerahkan pemuda Sayyid untuk menganiaya Syekh Yunus Bahri Al Iraqi. Beberapa pemuda Rabitah, berhasil menganiaya Syekh Iraqi sampai babak belur, tetapi dia berhasil diselamatkan, dan dibawa ke rumah sakit. Sayangnya pemuda Sayyid dari Rabitah, berhasil melarikan diri. Aibatnya penganiayaan Syekh Iraqi berbuntut panjang.

Meletuslah perkelahaian antara pemuda Al Irsyad, dibantu pemuda Al Khatiriyah yang hendak membela Syekh Iraqi, melawan pemuda Sayyid dan para pendukungnya. Perkelahaian pun pecah dimana-mana. Perkelahaian baru berhenti setelah Pemerintah Hindia Belanda turun tangan. A.R Baswedan berhasil mengangkat pertentangan diantara sesama peranakan Arab itu dalam Surat Kabar Sin Tit Po, sehingga menjadi isu nasional. Sekalipun A.R Baswedan alumnus Al Irsyad, tapi sebagai jurnalis dia bersifat netral, memuat rentetan kejadian berdasarkan wawancara dari kedua belah pihak. Bahkan A.R Baswedan berposisi sebagi juru damai. Akhirnya masing-masing pihak yang bertikai, golongan Sayyid dan non Sayyid, bisa menahan diri. Pertikaian pun pelan-pelan surut. 

Sukses A.R Baswedan sebagai jurnalis semakin meningkat.Tulisan-tulisannya tersebar diberbagai surat kabar, tidak hanya di Sin Tit Po. Tetapi peristiwa pertentangan di antara pernakan Arab itu, sangat mengggangu pemikirannya. Dia pun berkesimpulan peranakan Arab, baik dari golongan Sayyid dan non Sayyid, harus bisa melepaskan dari adat, budaya, dan tradisi leluhur mereka di Hadramaut. Hindia Belanda bukan Hadramaut. Kaum peranakan Arab, lahir, besar, mencari makan, di Indonesia. Tanah air peranakan Arab itu, baik yang Sayyid maupun non Sayyid, bukan di Hadramaut, tapi Indonisia. Mereka harus dijauhkan dan diputus dari adat, tradisi, dan budaya lehurnya di Hadramaut. Tulisan gagasan nasionalisme A.R Baswedan yang berjudul, ”Peranakan Arab dan Totoknya” dimuat dalam surat kabar Matahari.

Dalam tulisannya itu, A.R Baswedan menyampaikan anjuran dengan tegas  agar peranakan Arab menjadikan Indonesia sebagai tanah airnya, dan melepaskan diri dengan negeri leluhurnya. Dia juga mengusulkan agar turunan golongan Sayyid dan non Sayyid bersatu dengan cara mengganti panggilan Sayyid dengan panggilan saudara. Menurut A.R Baswedan panggilan saudara lebih Islami, dan akan lebih mendekatkan persaudaran peranakan Arab dengan Bumiputra. Akhirnya tercetus gagasan A.R Baswedan untuk mendirikan organisasi massa, yang akan diberi nama Persatuan Arab Indonesia. A.R Baswedan mulai mengembangkan gagasan nasionalisme di kalangan peranakan Arab. 

Tetapi gagasan A.R Baswedan  mendapat tanggapan sengit bernada negatip dari golongan Sayyid. Said Bahresy, Hasan Gutban, dan Husen Bafagih dalam surat kabar kaum Sayyid, Al Mahyar, menentang gagasan A.R Baswedan. Bahkan mereka mengaku terang-terangan bahwa mereka memang hanya perantau yang mencari makan di Hindia Belanda. Serangan-serangan golongan Sayyid kepada A.R Baswedan, justru semakin menimbulkan simpati golongan pemuda Bumiputra yang sedang memperjuangkan tanah air Indonesia, melalui Sumpah Pemuda 1928.

Peluang A.R Baswedan untuk mendirikan organisasi PAI bagi peranakan Arab, terbuka lebar ketika gurunya Ahmad Surkati pada tahun 1934 mendorong generasi muda peranakan Arab agar menyelenggarakan Konggres Pemuda Peranakan Arab, sebagai respon positip terhadap Sumpah Pemuda tahun 1928 M.  Konggres Pemuda Peranakan Arab tanggal 4-8 Oktober 1934 sukses menghasilkan Sumpah Pemuda Peranakan Arab yang berbunyi sbb, (1)Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia, (2) Kultur Peranakan Arab Indonesia adalah Kultur Indonesia, (3) Karenanya Peranakan Arab Indonesia harus meninggalkan kehidupan menyendiri, (4)Peranakan Arab Indonesia harus memenuhi kewajibannya kepada Tanah Air Indonesia.

Pada kesempatan itu, A.R Baswedan mengumumkan berdirinya organisasi peranakan Arab Indonesia, Persatuan Arab Indonesia(PAI). Pengurus PAI erdiri dari pemuda-pemuda Al Irsyad dan Rabitah Al Alawiyah. Susunan Pengurus sebagai berikut: (1) Ketua, A.R Baswedan (Al Irsyad), (2)Penulis I,Nuh Alkaf ( Rabitah), (3) Penulis II, Salim Maskati ( Al Irsyad),(4) Bendahara, Segar Assegaf ( Rabitah), (5) Komisaris   : Abdurrahim Argubi ( Al Irsyad).

Seluruh pengurus PAI adalah Peranakan Arab, keanggotaan juga hanya terbuka bagi peranakan Arab. Arab Totok tidak boleh jadi anggota dan pengurus. Mereka hanya boleh menjadi penasihat dan donatur.  Konsekwen isi bunyi Sumpah Pemuda Peranakan Arab, pada waktu menyampaikan pidato, AR Basedan dan sejumlah anggota pengurus lainnya, tampil lengkap dengan mengenakan pakaian adat Jawa, dan foto AR Baswedan dengan pakaian adat Jawa, muncul di sejumlah koran. Langkah simbolik A.R Baswedan itu dengan cepat menimbulkan simpati dikalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Dampaknya luar biasa. PAI mampu berkembang pesat dan tesrbar disejumlah kota. Bukan hanya di Jawa, tetapi juga diluar Jawa.Akhirnya pada Konggres PAI ke-4 di Jakarta 18-25 April 1940, Persatuan Arab Indonesia berubah menjadi Partai Arab Indonesia. Partai Arab Indonesia semakin berkembang, sehingga mampu mengalahkan perkembangan Partai Tionhgoa Melayu pimpinan Tjoa Tjie Liang. Padahal Partai Tionghoa Melayu, lebih dulu berdiri. Dengan menjelma menjadi Partai Arab Indonesia, PAI punya hak duduk dalam Dewan Perwakilah Rakyat, Volksraad.

Dalam Anggaran Dasar PAI disebutkan, bahwa PAI berasaskan Islam, dan mengakui: (1) Bahwa Indonesia tempat Peranakan Arab lahir, adalah tanah airnya yang kepadanya mereka mempunyai kewajiban. (2) Bahwa kepentingan mereka dan rakyat Indonesia wajib diutamakan. Tentang tujuan PAI, dijelaskan sebagai berikut,(1) Mendidik peranakan Arab supaya menjadi putra dan putri Indonesia yang berbakti kepada tanah air dan masyarakatnya. (2) Bekerja dan membantu dengan segala upaya dalam lapangan politik, ekonomi, sosial, yang menuju amkeselamatan rakyat dan tanah airnya. 

Keberhasilan A.R Baswedan mendirikan PAI dan menyatukan peranakan Arab, serta membawa mereka keluar dari eksklusivisme, merupakan puncak prestasi tertinggi yang dicapainya pada jaman sebelum Indonesia Merdeka. A.R Baswedan, telah ikut berjuang menanamkan benih-benih nasionalisme dan kemerdekaan kepada peranakan Arab dan mengintegrasikan mereka menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Karir A.R Baswedan semakin mantap sebagai tokoh nasional, ketika Indonesia memasuki alam kemerdekan. Setelah Indonesia Merdeka PAI dibubarkan, anggotanya bertebaran masuk kedalam partai politik yang bermunculan pada awal kemerdekaan. Ada yang masuk PSI, PNI, bahkan PKI. A.R Baswedan sendiri memilih menjadi politisi Masyumi.

A.R Baswedan sempat  duduk sebagai salah seorang anggota KNIP. Pada masa Kabinet Syahrir ke-tiga, A.R Baswedan diangkat menjadi menteri muda penerangan. Dan pada masa Kabinet Natsir, A.R Baswedan diangkat menjadi menteri penerangan. Pengalaman internasionalnya sebagai politisi, datang menghampiri A.R Baswedan, ketika pada tahun 1947, A.R Baswedan ditunjuk menjadi salah satu anggota delegasi Pemerintah RI yang dikirim ke Mesir. Delegasi yang dipimpin H. Agus Salim dengan anggota Mr. Nashir St.Pamuncak, M.Rasyidi, dan A.R Baswedan itu pada tanggal 10 juni 1947 berhasil diterima Sekjen Liga Arab, Azam Pasha, dan berhasil pula ditanda tangani perjanjian persahabatan Mesir- Indonesia.  

Pada masa Demokrasi Liberal, A.R Baswedan sebagai politisi Partai Masyumi, duduk sebagai anggota konstituante. Karir A.R Baswedan di bidang politik, berakhir setelah Partai Masyumi dibubarkan Bung Karno. Pada era Orde Baru, A.R Baswedan lebih banyak mencurahkan hari-hari tuanya dibidang budaya dan jurnalistik. Dia sempat memipin Surat Kabar Mercusiar yang terbit di Yogyakarta. A.R Baswedan juga mendirikan Badan Koordinasi Kebudayaan Islam Yogyakarta dan menjadi pelindung Teater Muslim. Teater ini pernah sukses  mementaskan drama Iblis tentang kisah Nabi Ibrahim, yang waktu itu tergolong kontroversial. Seniman Yogyakarta seperti Arifin C. Noer, Abdurrahman Saleh, Taufiq Effendi, dan Chaerul Umam adalah kawan-kawan dan sahabatnya. Di pengujung hidupnya, A.R. Baswedan bersahabat dengan Romo Mangunwijaya. Pada 1986, A.R. Baswedan, Pejuang dan Nasionalis sejati itu menutup mata di RS. Islam Cempaka Putih, Jakarta, dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir.[Bandung,28-04-2017]



[1] Mengenal Tokoh Sejarah : Abdur Rahman Baswedan, Sang Pembaharu dan Nasionalis Sejati (01)


A.R Baswedan ( 1908 - 1986 ),(Sumber gambar :https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Baswedan)
Tampilnya Anis Baswedan sebagai pemenang dalam Pilgub DKI Jakarta tahun 2017, mau tidak mau membawa para peminat sejarah Indonesia modern bernostalgia kepada sosok seorang pembaharu dan nasionalis sejati peranakan Arab abad ke-20, Abdur Rahman Baswedan. Bedanya Anis Baswedan menjadi rival Ahok dalam perebutan kursi Gubernur DKI, Abdur Rahman Baswedan yang peranakan Arab, justru bersahabat dan bantu membantu dalam perjuangan pro kebangsaan dengan Lim Koen Hian, seorang jurnalis peranakan China. Siapakah Abdur Rahman Baswedan yang terkenal dengan nama pena A.R Baswedan yang kemudian menjadi nama publik yang melekat erat pada dirinya? 

   A.R Baswedan, adalah seorang peranakan Arab kelahiran Kampung Ampel, Surabaya, pada 9 September 1908 M. Kakeknya bernama Umar Baswedan, seorang Arab totok kelahiran Hadramaut, Yaman, yang merantau ke Jawa untuk mencari nafkah.  Pada saat itu banyak orang Arab asal Hadramaut yang merantau ke Jawa dan pulau-pulau lain di Nusantara. Mereka rata-rata sukses sebagai pedagang, dan dengan cepat membangun rumah tangga dengan menikahi wanita pribumi. Dari pernikahan Arab totok dengan wanita pribumi, lahirlah keturunan mereka yang merupakan peranakan Arab. Umar Baswedan pun menikah dengan wanita pribumi, lahirlah sepuluh anaknya yang merupakan peranakan Arab. Putranya yang ke empat, Awad Baswedan, adalah Ayah A.R. Baswedan. 

A.R Baswedan mendapat pendidikan yang baik dari ayahnya melalui contoh, praktek, dan keteladanan dalam bidang kewiraswastaan dan penghayatan nilai-nilai agama Islam. Usia lima tahun A.R Baswedan dimasukkan ke sekolah, Jamiatul Khair. Tetapi beberapa tahun kemudian pindah ke Al Irsyad Surabaya. Setiap pulang sekolah, Ayahnya mengajak A.R Baswedan membantu membuka tokonya yang tidak jauh dengan Masjid Sunan Ampel Surabaya. A.R Baswedan sejak dini sudah dilatih cara berniaga yang baik dan Islami. Mulai dari cara melayani pembeli, sikap ramah dalam berjualan, menata barang dagangan, dan cara-cara berdagang Islami lainnya. Misalnya, jika terdengar suara adzan dari Masjid Ampel, A.R Baswedan harus cepat-cepat menutup tokonya sebentar agar bisa melaksanakan shalat berjamaah di Masjid Ampel. Sekalipun A.R Baswedan mendapat pendidikan praktek dagang sambil bersekolah, prestasi akademik A.R. Baswedan tidak menurun. Bahkan kecerdasanya maju dengan cepat. Rupanya Ayahnya berhasil menumbuhkan budaya gemar membaca dan menulis di sela-sela kesibukan A.R Baswedan cilik. Bakat intelektual A.R Baswedan segera tampak, ketika usianya baru 11 tahun, dia sudah ikut arus dalam gerakan kesadaran nasinal yang sedang tumbuh dengan pesatnya. A.R Baswedan menjadi pengikut seorang pembaharu dari Sudan, Syekh Ahmad Surkati, pendiri sekolah Al Irsyad.

Pada awal abad ke-20 , gagasan nasionalisme Hindia mulai tumbuh, dipelopori Indische Partiij, sebuah partai politik pertama yang dipimpin tokoh tiga serangkai, Douwes Dekker, Cipto Mangunkusuma, dan Suwardi Suryaningrat. Tiga tokoh Indische Partij itu menggagas kewarganegaan tunggal, tanpa diskrimanasi suku, agama, dan ras. Semboyannya adalah Hindia Timur untuk seluruh penduduk Hindia Timur. Sebuah gagasan yang sangat maju pada jamannya.  

Pada saat itu, corak masyarakat Hindia Belanda adalah multi ras, banyak pendatang dari Eropa, seperti Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Portugal, dan lainnya lagi. Banyak pula peranakan yang lahir akibat perkawinan para pendatang dengan wanita pribumi. Yang cukup menonjol adalah peranakan Indo, China, dan Arab. Pemerintah Hindia Belanda yang menjalankan politik diskriminatif, menempatkan golongan Eropa totok, sebagai golongan klas pertama. Peranakan Indo, berada pada posisi klas ke-dua. Golongan peranakan China, Arab, dan Timur Asing lainnya, berada pada posisi klas ke-tiga. Kaum Bumiputra yang dijuluki Belanda sebagai Inlander, berada pada posisi golongan paling buntut, klas ke-empat. 

Sebagai klas paling rendah, tentu saja golongan Bumiputra merupakan golongan paling tertindas, padahal golongan ini merupakan golongan mayoritas. Wajar jika gagasan nasionalisme muncul dari kalangan Bumiputra. Raden Ajeng Kartini tercatat sebagai salah satu pencetus gagasan nasionalisme awal dalam bentuk ide, gagasan, dan pemikiran, yang dikemukakannya tanpa tedeng aling-aling melalui surat-suratnya yang kemudian terbit menjadi buku yang sangat terkenal, inspiratif, dan berpengaruh, Habis Gelap Terbitlah Terang. 

Syekh Ahmad Surkati, Pembaharu Arab Asal Sudan
Ahmad Surkati adalah guru politik pertama A.R Baswedan yang menentang diskriminasi nasab atau diskriminasi keturunan di antara sesama peranakan Arab yang tinggal di Hindia Belanda. Pada masa itu dalam masyarakat Hindia Belanda yang plural, bukan hanya muncul diskriminasi ras yang sengaja diciptakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Di kalangan peranakan Arab pun muncul diskriminasi nasab atau garis keturunan.

Diskriminasi nasab di kalangan peranakan Arab, sebenarnya terbawa oleh mereka dari negeri leluhurnya, Hadramaut, Yaman Selatan. Di Hadramaut, keturunan Nabi saw, sangat dimuliakan, diagungkan, bahkan cenderung dipuja sebagai sosok suci yang mampu memberikan barokah kepada pemujanya untuk masuk sorga. Ketununan Nabi saw itu, mendapat gelar Sayyid jika turunan Nabi saw lewat Husein, dan mendapat gelar Syarif, jika turunan Nabi saw lewat Hasan. Ketika para Sayyid dan Syarif dari Hadramaut merantau ke Hindia Belanda, mereka mempertahankan tradisi leluhurnya di Hadramaut. Mereka terkenal dengan sebutan golongan Alawiyyin, yakni golongan keturunan Ali bin Abi Thalib.

Golongan Alawiyyin asal Hadramaut di Hindia Belanda terdiri dari sejumlah marga, antara lain Al-Sagaf, Al Katiri, Al-Alatas, Al- Shihab, dan lainnya lagi. Mereka dengan banggga menyebut marga mereka di belakang namanya. Mereka menjalankan pola hidup ekslusif dan memandang rendah golongan peranakan Arab non-Sayyid. Misalnya, anak gadis para Sayyid hanya boleh dilamar pemuda dari golongan Sayyid. Perlakuan istimewa juga diperlakukan terhadap anak-anak golongan Sayyid yang berguru di sekolah yang khusus didirikan untuk golongan peranakan Arab, Jamiatul Khair. 

Sebagai peranakan Arab non Sayyid, A.R Baswedan ikut merasakan perlakuan diskriminatif di sekolahnya. Jika ada anak-anak golongan Sayyid berkelahai dengan anak golongan non Sayyid, anak golongan non Sayyid yang selalu disalahkan gurunya. Golongan Sayyid juga menuntut golongan non Sayyid jika bersalaman, harus mencium tangan golongan  Sayyid. Sekalipun golongan Sayyid itu adalah turunan Nabi saw, dalam praktek kehidupan keseharian ternyata mereka sering memperlihatkan hal-hal yang bersifat paradoxial. Secara formal kaum Sayyid itu menjalankan Syariat Islam. Tetapi mereka juga banyak yang menjalankan ekonomi rente, praktek khurofat, bidengah, kultus individu, dan rasialisme merajalela di kalangan mereka.  

Perlakuan diskriminatif di lingkungan peranakan Arab, segera mendapat tantangan hebat dari Ahmad Surkati. Dia adalah salah seorang kepala sekolah  Jamiatul Khair asal Sudan yang pernah bermukim di Madinah dan Makkah. Gagasan-gagasan pembaharuannya, dipengaruhi tokoh pembaharu asal Mesir, Mohammad Abduh. Ahmad Surkati berpendapat sifat eklusif Kaum Alawiyyin itu bertentangan dengan ajaran Islam yang dibawakan Nabi saw. Islam tidak mengenal perbedaan ras, suku, dan nasab. Semua manusia dimata Allah swt adalah sama. Tak ada bedanya antara orang Arab dan non Arab, antara golongan Sayyid dan Non Sayyid. Yang membedakan manusia di hadapan Allah swt hanyalah tingkat ketakwaannya.

Ahmad Surkati lahir di Desa Udfu, Jazirah Arqu, Dongula, Sudan, pada tahun 1875 M. Pada tahun 1911 tiba di Batavia, dan disambut dengan gembira oleh Pengurus Jamiatul Khair yang mengundangnya untuk menjadi guru. Jamiatul Khair merupakan madrasah yang berdiri pada tahun 1901, dan merupakan madrasah modern pertama pada jaman itu. Unsur modernnya  karena Jamiatul Khair bukan hanya memberikan ilmu agama saja, tetapi juga ilmu-ilmu umum yang biasa diajarkan pada sekolah barat. 

Ahmad Surkati langsung ditunjuk jadi kepala sekolah. Dalam waktu singkat, sekolah yang dipimpin Ahmad Surkati maju dengan pesat, sehingga Pengurus Jamiatul Khair yang terdiri dari para Sayyid itu sangat gembira dan memberikan banyak pujian kepada Ahmad Surkati. Ahmad Surkati sendiri dari sudut nasab, bukan termasuk golongan Sayyid, tapi golongan non Sayyid. Leluhurnya keturunan Kaum Anshor dari Madinah yang merantau ke Yaman, lalu ke Sudan. 

Tetapi hubungan baik dan bulan madu antara Ahmad Surkati dengan golongan Sayyid pemilik Jamiatul Khair, hanya berlangsung empat tahun. Ahmad Surkati yang berjiwa pembaharu, dan menganut pandangan tafadul (kemuliaan), musawah( persamaan), dan kafa’ah ( kesetaraan calon suami dan istri), yang dipandangnya sebagai nilai-nilai Islam yang diajarkan Al Qur’an dan Nabi saw, segera merasa gerah dengan praktek keagamaan yang dilakukan  para Sayyid pengurus Jamiatul Khair. Ahmad Surkati mulai melancarkan kritik. Puncaknya terjadi saat Ahmad Surkati mengelurakan fatwa yang dipandang kaum Sayyid sebagai penghinaan terhadap Ahlul Bait, yakni golongan Alawiyyin selaku keturunan Nabi saw. Akibatnya, Ahmad Surkati dipecat tidak dengan hormat dari semua jabatannya di Jamiatul Khair. Bahkan tuntutan Ahmad Surkati, agar Pengurus Jamiatul Khair memenuhi janjinya membiayai ongkos pulang ke Sudan, ditolak mentah-mentah oleh Pengurus Jamiatul Khair. Padahal ketentuan itu, tertulis dalam pernjajian ketika Jamiatul Khair mengundang Ahmad Surkati datang ke Hindia Belanda.

Kaum Alawiyyin pun mencoba mengenyahkan semua pengaruh ajaran Ahmad Surkati yang sempat ditanamkan di benak guru-guru dan murid-muidnya di Jamiatul Khair, antara lain dikeluarkan larangan bagi guru dan murid Jmiatul Khair menghafal syair Ahmad Surkati yang berjudul Ummahat Al Ahlak, dan berbunyi sbb, Tidaklah kebanggaan itu karena pakaian atau keturunan, dan bukan pula tumpukan uang atau emas, tetapi kemuliaan itu karena ilmu dan adab, dan agama adalah pelita bagi orang yang berakal. Sebuah puisi yang sangat Islami.

Tetapi pada saat dipecat pada tahun 1914 M, nama Ahmad Surkati sebagai seorang mubaligh kondang dengan pandangan-pandangan reformisnya sudah dikenal luas. Ahmad Surkati, di tengah-tengah kesibukannya memimpin sekolah, masih punya waktu untuk berdakwah dengan mengunjungi kota Bandung, Yogya, Solo, dan Surabaya. Saat mengunjungi Kota Solo, Ahmad Surkati, diminta memberikan fatwa tentang hukum anak gadis Keluarga Sayyid yang dilarikan pemuda dari golongan non Sayyid. Ahmad Surkati memberikan fatwa sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan, dengan mengatakan bahwa jangankan seorang gadis Sayyidah atau Syarifah dibawa lari seorang pemuda muslim. Dibawa lari pemuda China pun sah untuk dinikahkah,asal si China tadi mau masuk Islam. “Menurut hukum syara yang adil, boleh!” jawab Ahmad Surkati tegas. 

Jawaban Ahmad Surkati yang kemudian terkenal sebagai Fatwa Solo itu, langsung meledak menjadi amarah dan murka golongan Alawiyyin. Fatwa Solo Ahmad Surkati, berujung pada pemecatan, ketika Ahmad Surkati menolak untuk minta maaf dan mencabut Fatwa Solo. Ahmad Surkati dengan tegas membela diri, bahwa apa yang dilukakannya telah benar bila dilihat dari Al Qur’an maupun Hadist.  

Pada tahun 1915, Ahmad Surkati, dengan dukungan komunitas peranakan Arab non Sayyid yang cukup kuat, mendirikan sekolah sndiri yang diberi nama al Irsyad. Berdirinya Al Irsyad langsung membelah peranakan Arab di Jawa dan Hindia Belanda menjadi dua, yakni golongan non Sayyid yang menjadi pendukung Al Irsyad dan golongan Sayyid sebagai pendukung Jamiatul Khair. Di bawah Ahmad Surkati, Al Irsyad mampu berkibar dan mengangkat nama Ahmad Surkati semakin harum dan dikenal luas. Usaha golongan Alawiyyin untuk memfitnah dan menghancurakan Ahmad Surkati, justru menjadi bumerang. Persepsi publik, simpati, dan dukungan justru terus mengalir bukan hanya dari kalangan peranakan non Sayyid, komunitas Islam reformis, dan kalangan kebangsaan seperti A. Hassan dari Persis, KH Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah, dan Cokro Aminoto, Abdul Muis, dan Haji Agus Salim dari Serikat Islam, memberikan dukungan penuh kepada Ahmad Surkati yang dipersepsikan sebagai tokoh reformis yang teraniaya. [Bersambung]