A.R Baswedan ( 1908 - 1986 ),(Sumber gambar :https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Baswedan)
Tampilnya
Anis Baswedan sebagai pemenang dalam Pilgub DKI Jakarta tahun 2017, mau tidak
mau membawa para peminat sejarah Indonesia modern bernostalgia kepada sosok seorang
pembaharu dan nasionalis sejati peranakan Arab abad ke-20, Abdur Rahman
Baswedan. Bedanya Anis Baswedan menjadi rival Ahok dalam perebutan kursi
Gubernur DKI, Abdur Rahman Baswedan yang peranakan Arab, justru bersahabat dan
bantu membantu dalam perjuangan pro kebangsaan dengan Lim Koen Hian, seorang
jurnalis peranakan China. Siapakah Abdur Rahman Baswedan yang terkenal dengan
nama pena A.R Baswedan yang kemudian menjadi nama publik yang melekat erat pada
dirinya?
A.R Baswedan, adalah
seorang peranakan Arab kelahiran Kampung Ampel, Surabaya, pada 9 September 1908
M. Kakeknya bernama Umar Baswedan, seorang Arab totok kelahiran Hadramaut,
Yaman, yang merantau ke Jawa untuk mencari nafkah. Pada saat itu banyak orang Arab asal
Hadramaut yang merantau ke Jawa dan pulau-pulau lain di Nusantara. Mereka
rata-rata sukses sebagai pedagang, dan dengan cepat membangun rumah tangga
dengan menikahi wanita pribumi. Dari pernikahan Arab totok dengan wanita pribumi,
lahirlah keturunan mereka yang merupakan peranakan Arab. Umar Baswedan pun menikah
dengan wanita pribumi, lahirlah sepuluh anaknya yang merupakan peranakan Arab.
Putranya yang ke empat, Awad Baswedan, adalah Ayah A.R. Baswedan.
A.R Baswedan mendapat pendidikan yang baik dari ayahnya
melalui contoh, praktek, dan keteladanan dalam bidang kewiraswastaan dan
penghayatan nilai-nilai agama Islam. Usia lima tahun A.R Baswedan dimasukkan ke
sekolah, Jamiatul Khair. Tetapi beberapa tahun kemudian pindah ke Al Irsyad
Surabaya. Setiap pulang sekolah, Ayahnya mengajak A.R Baswedan membantu membuka
tokonya yang tidak jauh dengan Masjid Sunan Ampel Surabaya. A.R Baswedan sejak
dini sudah dilatih cara berniaga yang baik dan Islami. Mulai dari cara melayani
pembeli, sikap ramah dalam berjualan, menata barang dagangan, dan cara-cara
berdagang Islami lainnya. Misalnya, jika terdengar suara adzan dari Masjid
Ampel, A.R Baswedan harus cepat-cepat menutup tokonya sebentar agar bisa
melaksanakan shalat berjamaah di Masjid Ampel. Sekalipun A.R Baswedan mendapat
pendidikan praktek dagang sambil bersekolah, prestasi akademik A.R. Baswedan
tidak menurun. Bahkan kecerdasanya maju dengan cepat. Rupanya Ayahnya berhasil
menumbuhkan budaya gemar membaca dan menulis di sela-sela kesibukan A.R
Baswedan cilik. Bakat intelektual A.R Baswedan segera tampak, ketika usianya
baru 11 tahun, dia sudah ikut arus dalam gerakan kesadaran nasinal yang sedang
tumbuh dengan pesatnya. A.R Baswedan menjadi pengikut seorang pembaharu dari
Sudan, Syekh Ahmad Surkati, pendiri sekolah Al Irsyad.
Pada awal abad ke-20 , gagasan nasionalisme Hindia mulai tumbuh,
dipelopori Indische Partiij, sebuah partai politik pertama yang dipimpin tokoh
tiga serangkai, Douwes Dekker, Cipto Mangunkusuma, dan Suwardi Suryaningrat. Tiga
tokoh Indische Partij itu menggagas kewarganegaan tunggal, tanpa diskrimanasi
suku, agama, dan ras. Semboyannya adalah Hindia Timur untuk seluruh penduduk
Hindia Timur. Sebuah gagasan yang sangat maju pada jamannya.
Pada saat itu, corak masyarakat Hindia Belanda adalah multi
ras, banyak pendatang dari Eropa, seperti Belanda, Inggris, Jerman, Perancis,
Portugal, dan lainnya lagi. Banyak pula peranakan yang lahir akibat perkawinan
para pendatang dengan wanita pribumi. Yang cukup menonjol adalah peranakan
Indo, China, dan Arab. Pemerintah Hindia Belanda yang menjalankan politik
diskriminatif, menempatkan golongan Eropa totok, sebagai golongan klas pertama.
Peranakan Indo, berada pada posisi klas ke-dua. Golongan peranakan China, Arab,
dan Timur Asing lainnya, berada pada posisi klas ke-tiga. Kaum Bumiputra yang
dijuluki Belanda sebagai Inlander, berada pada posisi golongan paling buntut,
klas ke-empat.
Sebagai klas paling rendah, tentu saja golongan Bumiputra
merupakan golongan paling tertindas, padahal golongan ini merupakan golongan
mayoritas. Wajar jika gagasan nasionalisme muncul dari kalangan Bumiputra.
Raden Ajeng Kartini tercatat sebagai salah satu pencetus gagasan nasionalisme
awal dalam bentuk ide, gagasan, dan pemikiran, yang dikemukakannya tanpa tedeng
aling-aling melalui surat-suratnya yang kemudian terbit menjadi buku yang
sangat terkenal, inspiratif, dan berpengaruh, Habis Gelap Terbitlah Terang.
Syekh Ahmad Surkati, Pembaharu Arab
Asal Sudan
Ahmad Surkati adalah guru politik pertama A.R Baswedan yang
menentang diskriminasi nasab atau diskriminasi keturunan di antara sesama
peranakan Arab yang tinggal di Hindia Belanda. Pada masa itu dalam masyarakat
Hindia Belanda yang plural, bukan hanya muncul diskriminasi ras yang sengaja
diciptakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Di kalangan peranakan Arab pun
muncul diskriminasi nasab atau garis keturunan.
Diskriminasi nasab di kalangan peranakan Arab, sebenarnya
terbawa oleh mereka dari negeri leluhurnya, Hadramaut, Yaman Selatan. Di
Hadramaut, keturunan Nabi saw, sangat dimuliakan, diagungkan, bahkan cenderung
dipuja sebagai sosok suci yang mampu memberikan barokah kepada pemujanya untuk
masuk sorga. Ketununan Nabi saw itu, mendapat gelar Sayyid jika turunan Nabi
saw lewat Husein, dan mendapat gelar Syarif, jika turunan Nabi saw lewat Hasan.
Ketika para Sayyid dan Syarif dari Hadramaut merantau ke Hindia Belanda, mereka
mempertahankan tradisi leluhurnya di Hadramaut. Mereka terkenal dengan sebutan
golongan Alawiyyin, yakni golongan keturunan Ali bin Abi Thalib.
Golongan Alawiyyin asal Hadramaut di Hindia Belanda terdiri
dari sejumlah marga, antara lain Al-Sagaf, Al Katiri, Al-Alatas, Al- Shihab, dan
lainnya lagi. Mereka dengan banggga menyebut marga mereka di belakang namanya.
Mereka menjalankan pola hidup ekslusif dan memandang rendah golongan peranakan
Arab non-Sayyid. Misalnya, anak gadis para Sayyid hanya boleh dilamar pemuda
dari golongan Sayyid. Perlakuan istimewa juga diperlakukan terhadap anak-anak
golongan Sayyid yang berguru di sekolah yang khusus didirikan untuk golongan
peranakan Arab, Jamiatul Khair.
Sebagai peranakan Arab non Sayyid, A.R Baswedan ikut
merasakan perlakuan diskriminatif di sekolahnya. Jika ada anak-anak golongan
Sayyid berkelahai dengan anak golongan non Sayyid, anak golongan non Sayyid
yang selalu disalahkan gurunya. Golongan Sayyid juga menuntut golongan non Sayyid
jika bersalaman, harus mencium tangan golongan Sayyid. Sekalipun golongan
Sayyid itu adalah turunan Nabi saw, dalam praktek kehidupan keseharian ternyata
mereka sering memperlihatkan hal-hal yang bersifat paradoxial. Secara formal
kaum Sayyid itu menjalankan Syariat Islam. Tetapi mereka juga banyak yang
menjalankan ekonomi rente, praktek khurofat, bidengah, kultus individu, dan
rasialisme merajalela di kalangan mereka.
Perlakuan diskriminatif di lingkungan peranakan Arab, segera
mendapat tantangan hebat dari Ahmad Surkati. Dia adalah salah seorang kepala
sekolah Jamiatul Khair asal Sudan yang
pernah bermukim di Madinah dan Makkah. Gagasan-gagasan pembaharuannya,
dipengaruhi tokoh pembaharu asal Mesir, Mohammad Abduh. Ahmad Surkati
berpendapat sifat eklusif Kaum Alawiyyin itu bertentangan dengan ajaran Islam
yang dibawakan Nabi saw. Islam tidak mengenal perbedaan ras, suku, dan nasab.
Semua manusia dimata Allah swt adalah sama. Tak ada bedanya antara orang Arab
dan non Arab, antara golongan Sayyid dan Non Sayyid. Yang membedakan manusia di
hadapan Allah swt hanyalah tingkat ketakwaannya.
Ahmad Surkati lahir di Desa Udfu, Jazirah Arqu, Dongula, Sudan, pada tahun 1875 M. Pada tahun 1911 tiba di Batavia, dan disambut dengan gembira oleh Pengurus Jamiatul Khair yang mengundangnya untuk menjadi guru. Jamiatul Khair merupakan madrasah yang berdiri pada tahun 1901, dan merupakan madrasah modern pertama pada jaman itu. Unsur modernnya karena Jamiatul Khair bukan hanya memberikan ilmu agama saja, tetapi juga ilmu-ilmu umum yang biasa diajarkan pada sekolah barat.
Ahmad Surkati langsung ditunjuk jadi kepala sekolah. Dalam
waktu singkat, sekolah yang dipimpin Ahmad Surkati maju dengan pesat, sehingga
Pengurus Jamiatul Khair yang terdiri dari para Sayyid itu sangat gembira dan
memberikan banyak pujian kepada Ahmad Surkati. Ahmad Surkati sendiri dari sudut
nasab, bukan termasuk golongan Sayyid, tapi golongan non Sayyid. Leluhurnya
keturunan Kaum Anshor dari Madinah yang merantau ke Yaman, lalu ke Sudan.
Tetapi hubungan baik dan bulan madu antara Ahmad Surkati
dengan golongan Sayyid pemilik Jamiatul Khair, hanya berlangsung empat tahun. Ahmad
Surkati yang berjiwa pembaharu, dan menganut pandangan tafadul (kemuliaan),
musawah( persamaan), dan kafa’ah ( kesetaraan calon suami dan istri), yang
dipandangnya sebagai nilai-nilai Islam yang diajarkan Al Qur’an dan Nabi saw,
segera merasa gerah dengan praktek keagamaan yang dilakukan para Sayyid pengurus Jamiatul Khair. Ahmad
Surkati mulai melancarkan kritik. Puncaknya terjadi saat Ahmad Surkati
mengelurakan fatwa yang dipandang kaum Sayyid sebagai penghinaan terhadap Ahlul
Bait, yakni golongan Alawiyyin selaku keturunan Nabi saw. Akibatnya, Ahmad
Surkati dipecat tidak dengan hormat dari semua jabatannya di Jamiatul Khair.
Bahkan tuntutan Ahmad Surkati, agar Pengurus Jamiatul Khair memenuhi janjinya
membiayai ongkos pulang ke Sudan, ditolak mentah-mentah oleh Pengurus Jamiatul
Khair. Padahal ketentuan itu, tertulis dalam pernjajian ketika Jamiatul Khair
mengundang Ahmad Surkati datang ke Hindia Belanda.
Kaum Alawiyyin pun mencoba mengenyahkan semua pengaruh ajaran
Ahmad Surkati yang sempat ditanamkan di benak guru-guru dan murid-muidnya di
Jamiatul Khair, antara lain dikeluarkan larangan bagi guru dan murid Jmiatul
Khair menghafal syair Ahmad Surkati yang berjudul Ummahat Al Ahlak, dan
berbunyi sbb, “Tidaklah kebanggaan itu
karena pakaian atau keturunan, dan bukan pula tumpukan uang atau emas, tetapi
kemuliaan itu karena ilmu dan adab, dan agama adalah pelita bagi orang yang
berakal.” Sebuah puisi yang sangat Islami.
Tetapi pada saat dipecat pada tahun 1914 M, nama Ahmad
Surkati sebagai seorang mubaligh kondang dengan pandangan-pandangan reformisnya
sudah dikenal luas. Ahmad Surkati, di tengah-tengah kesibukannya memimpin
sekolah, masih punya waktu untuk berdakwah dengan mengunjungi kota Bandung,
Yogya, Solo, dan Surabaya. Saat mengunjungi Kota Solo, Ahmad Surkati, diminta
memberikan fatwa tentang hukum anak gadis Keluarga Sayyid yang dilarikan pemuda
dari golongan non Sayyid. Ahmad Surkati memberikan fatwa sebagai jawaban atas
pertanyaan yang diajukan, dengan mengatakan bahwa jangankan seorang gadis
Sayyidah atau Syarifah dibawa lari seorang pemuda muslim. Dibawa lari pemuda
China pun sah untuk dinikahkah,asal si China tadi mau masuk Islam. “Menurut
hukum syara yang adil, boleh!” jawab Ahmad Surkati tegas.
Jawaban Ahmad Surkati yang kemudian terkenal sebagai Fatwa
Solo itu, langsung meledak menjadi amarah dan murka golongan Alawiyyin. Fatwa
Solo Ahmad Surkati, berujung pada pemecatan, ketika Ahmad Surkati menolak untuk
minta maaf dan mencabut Fatwa Solo. Ahmad Surkati dengan tegas membela diri,
bahwa apa yang dilukakannya telah benar bila dilihat dari Al Qur’an maupun
Hadist.
Pada tahun 1915, Ahmad Surkati, dengan dukungan komunitas
peranakan Arab non Sayyid yang cukup kuat, mendirikan sekolah sndiri yang
diberi nama al Irsyad. Berdirinya Al Irsyad langsung membelah peranakan Arab di
Jawa dan Hindia Belanda menjadi dua, yakni golongan non Sayyid yang menjadi
pendukung Al Irsyad dan golongan Sayyid sebagai pendukung Jamiatul Khair. Di bawah
Ahmad Surkati, Al Irsyad mampu berkibar dan mengangkat nama Ahmad Surkati
semakin harum dan dikenal luas. Usaha golongan Alawiyyin untuk memfitnah dan
menghancurakan Ahmad Surkati, justru menjadi bumerang. Persepsi publik,
simpati, dan dukungan justru terus mengalir bukan hanya dari kalangan peranakan
non Sayyid, komunitas Islam reformis, dan kalangan kebangsaan seperti A. Hassan
dari Persis, KH Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah, dan Cokro Aminoto, Abdul Muis,
dan Haji Agus Salim dari Serikat Islam, memberikan dukungan penuh kepada Ahmad
Surkati yang dipersepsikan sebagai tokoh reformis yang teraniaya. [Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar