Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Jumat, 28 April 2017

[1] Mengenal Tokoh Sejarah : Abdur Rahman Baswedan, Sang Pembaharu dan Nasionalis Sejati (01)


A.R Baswedan ( 1908 - 1986 ),(Sumber gambar :https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Baswedan)
Tampilnya Anis Baswedan sebagai pemenang dalam Pilgub DKI Jakarta tahun 2017, mau tidak mau membawa para peminat sejarah Indonesia modern bernostalgia kepada sosok seorang pembaharu dan nasionalis sejati peranakan Arab abad ke-20, Abdur Rahman Baswedan. Bedanya Anis Baswedan menjadi rival Ahok dalam perebutan kursi Gubernur DKI, Abdur Rahman Baswedan yang peranakan Arab, justru bersahabat dan bantu membantu dalam perjuangan pro kebangsaan dengan Lim Koen Hian, seorang jurnalis peranakan China. Siapakah Abdur Rahman Baswedan yang terkenal dengan nama pena A.R Baswedan yang kemudian menjadi nama publik yang melekat erat pada dirinya? 

   A.R Baswedan, adalah seorang peranakan Arab kelahiran Kampung Ampel, Surabaya, pada 9 September 1908 M. Kakeknya bernama Umar Baswedan, seorang Arab totok kelahiran Hadramaut, Yaman, yang merantau ke Jawa untuk mencari nafkah.  Pada saat itu banyak orang Arab asal Hadramaut yang merantau ke Jawa dan pulau-pulau lain di Nusantara. Mereka rata-rata sukses sebagai pedagang, dan dengan cepat membangun rumah tangga dengan menikahi wanita pribumi. Dari pernikahan Arab totok dengan wanita pribumi, lahirlah keturunan mereka yang merupakan peranakan Arab. Umar Baswedan pun menikah dengan wanita pribumi, lahirlah sepuluh anaknya yang merupakan peranakan Arab. Putranya yang ke empat, Awad Baswedan, adalah Ayah A.R. Baswedan. 

A.R Baswedan mendapat pendidikan yang baik dari ayahnya melalui contoh, praktek, dan keteladanan dalam bidang kewiraswastaan dan penghayatan nilai-nilai agama Islam. Usia lima tahun A.R Baswedan dimasukkan ke sekolah, Jamiatul Khair. Tetapi beberapa tahun kemudian pindah ke Al Irsyad Surabaya. Setiap pulang sekolah, Ayahnya mengajak A.R Baswedan membantu membuka tokonya yang tidak jauh dengan Masjid Sunan Ampel Surabaya. A.R Baswedan sejak dini sudah dilatih cara berniaga yang baik dan Islami. Mulai dari cara melayani pembeli, sikap ramah dalam berjualan, menata barang dagangan, dan cara-cara berdagang Islami lainnya. Misalnya, jika terdengar suara adzan dari Masjid Ampel, A.R Baswedan harus cepat-cepat menutup tokonya sebentar agar bisa melaksanakan shalat berjamaah di Masjid Ampel. Sekalipun A.R Baswedan mendapat pendidikan praktek dagang sambil bersekolah, prestasi akademik A.R. Baswedan tidak menurun. Bahkan kecerdasanya maju dengan cepat. Rupanya Ayahnya berhasil menumbuhkan budaya gemar membaca dan menulis di sela-sela kesibukan A.R Baswedan cilik. Bakat intelektual A.R Baswedan segera tampak, ketika usianya baru 11 tahun, dia sudah ikut arus dalam gerakan kesadaran nasinal yang sedang tumbuh dengan pesatnya. A.R Baswedan menjadi pengikut seorang pembaharu dari Sudan, Syekh Ahmad Surkati, pendiri sekolah Al Irsyad.

Pada awal abad ke-20 , gagasan nasionalisme Hindia mulai tumbuh, dipelopori Indische Partiij, sebuah partai politik pertama yang dipimpin tokoh tiga serangkai, Douwes Dekker, Cipto Mangunkusuma, dan Suwardi Suryaningrat. Tiga tokoh Indische Partij itu menggagas kewarganegaan tunggal, tanpa diskrimanasi suku, agama, dan ras. Semboyannya adalah Hindia Timur untuk seluruh penduduk Hindia Timur. Sebuah gagasan yang sangat maju pada jamannya.  

Pada saat itu, corak masyarakat Hindia Belanda adalah multi ras, banyak pendatang dari Eropa, seperti Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Portugal, dan lainnya lagi. Banyak pula peranakan yang lahir akibat perkawinan para pendatang dengan wanita pribumi. Yang cukup menonjol adalah peranakan Indo, China, dan Arab. Pemerintah Hindia Belanda yang menjalankan politik diskriminatif, menempatkan golongan Eropa totok, sebagai golongan klas pertama. Peranakan Indo, berada pada posisi klas ke-dua. Golongan peranakan China, Arab, dan Timur Asing lainnya, berada pada posisi klas ke-tiga. Kaum Bumiputra yang dijuluki Belanda sebagai Inlander, berada pada posisi golongan paling buntut, klas ke-empat. 

Sebagai klas paling rendah, tentu saja golongan Bumiputra merupakan golongan paling tertindas, padahal golongan ini merupakan golongan mayoritas. Wajar jika gagasan nasionalisme muncul dari kalangan Bumiputra. Raden Ajeng Kartini tercatat sebagai salah satu pencetus gagasan nasionalisme awal dalam bentuk ide, gagasan, dan pemikiran, yang dikemukakannya tanpa tedeng aling-aling melalui surat-suratnya yang kemudian terbit menjadi buku yang sangat terkenal, inspiratif, dan berpengaruh, Habis Gelap Terbitlah Terang. 

Syekh Ahmad Surkati, Pembaharu Arab Asal Sudan
Ahmad Surkati adalah guru politik pertama A.R Baswedan yang menentang diskriminasi nasab atau diskriminasi keturunan di antara sesama peranakan Arab yang tinggal di Hindia Belanda. Pada masa itu dalam masyarakat Hindia Belanda yang plural, bukan hanya muncul diskriminasi ras yang sengaja diciptakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Di kalangan peranakan Arab pun muncul diskriminasi nasab atau garis keturunan.

Diskriminasi nasab di kalangan peranakan Arab, sebenarnya terbawa oleh mereka dari negeri leluhurnya, Hadramaut, Yaman Selatan. Di Hadramaut, keturunan Nabi saw, sangat dimuliakan, diagungkan, bahkan cenderung dipuja sebagai sosok suci yang mampu memberikan barokah kepada pemujanya untuk masuk sorga. Ketununan Nabi saw itu, mendapat gelar Sayyid jika turunan Nabi saw lewat Husein, dan mendapat gelar Syarif, jika turunan Nabi saw lewat Hasan. Ketika para Sayyid dan Syarif dari Hadramaut merantau ke Hindia Belanda, mereka mempertahankan tradisi leluhurnya di Hadramaut. Mereka terkenal dengan sebutan golongan Alawiyyin, yakni golongan keturunan Ali bin Abi Thalib.

Golongan Alawiyyin asal Hadramaut di Hindia Belanda terdiri dari sejumlah marga, antara lain Al-Sagaf, Al Katiri, Al-Alatas, Al- Shihab, dan lainnya lagi. Mereka dengan banggga menyebut marga mereka di belakang namanya. Mereka menjalankan pola hidup ekslusif dan memandang rendah golongan peranakan Arab non-Sayyid. Misalnya, anak gadis para Sayyid hanya boleh dilamar pemuda dari golongan Sayyid. Perlakuan istimewa juga diperlakukan terhadap anak-anak golongan Sayyid yang berguru di sekolah yang khusus didirikan untuk golongan peranakan Arab, Jamiatul Khair. 

Sebagai peranakan Arab non Sayyid, A.R Baswedan ikut merasakan perlakuan diskriminatif di sekolahnya. Jika ada anak-anak golongan Sayyid berkelahai dengan anak golongan non Sayyid, anak golongan non Sayyid yang selalu disalahkan gurunya. Golongan Sayyid juga menuntut golongan non Sayyid jika bersalaman, harus mencium tangan golongan  Sayyid. Sekalipun golongan Sayyid itu adalah turunan Nabi saw, dalam praktek kehidupan keseharian ternyata mereka sering memperlihatkan hal-hal yang bersifat paradoxial. Secara formal kaum Sayyid itu menjalankan Syariat Islam. Tetapi mereka juga banyak yang menjalankan ekonomi rente, praktek khurofat, bidengah, kultus individu, dan rasialisme merajalela di kalangan mereka.  

Perlakuan diskriminatif di lingkungan peranakan Arab, segera mendapat tantangan hebat dari Ahmad Surkati. Dia adalah salah seorang kepala sekolah  Jamiatul Khair asal Sudan yang pernah bermukim di Madinah dan Makkah. Gagasan-gagasan pembaharuannya, dipengaruhi tokoh pembaharu asal Mesir, Mohammad Abduh. Ahmad Surkati berpendapat sifat eklusif Kaum Alawiyyin itu bertentangan dengan ajaran Islam yang dibawakan Nabi saw. Islam tidak mengenal perbedaan ras, suku, dan nasab. Semua manusia dimata Allah swt adalah sama. Tak ada bedanya antara orang Arab dan non Arab, antara golongan Sayyid dan Non Sayyid. Yang membedakan manusia di hadapan Allah swt hanyalah tingkat ketakwaannya.

Ahmad Surkati lahir di Desa Udfu, Jazirah Arqu, Dongula, Sudan, pada tahun 1875 M. Pada tahun 1911 tiba di Batavia, dan disambut dengan gembira oleh Pengurus Jamiatul Khair yang mengundangnya untuk menjadi guru. Jamiatul Khair merupakan madrasah yang berdiri pada tahun 1901, dan merupakan madrasah modern pertama pada jaman itu. Unsur modernnya  karena Jamiatul Khair bukan hanya memberikan ilmu agama saja, tetapi juga ilmu-ilmu umum yang biasa diajarkan pada sekolah barat. 

Ahmad Surkati langsung ditunjuk jadi kepala sekolah. Dalam waktu singkat, sekolah yang dipimpin Ahmad Surkati maju dengan pesat, sehingga Pengurus Jamiatul Khair yang terdiri dari para Sayyid itu sangat gembira dan memberikan banyak pujian kepada Ahmad Surkati. Ahmad Surkati sendiri dari sudut nasab, bukan termasuk golongan Sayyid, tapi golongan non Sayyid. Leluhurnya keturunan Kaum Anshor dari Madinah yang merantau ke Yaman, lalu ke Sudan. 

Tetapi hubungan baik dan bulan madu antara Ahmad Surkati dengan golongan Sayyid pemilik Jamiatul Khair, hanya berlangsung empat tahun. Ahmad Surkati yang berjiwa pembaharu, dan menganut pandangan tafadul (kemuliaan), musawah( persamaan), dan kafa’ah ( kesetaraan calon suami dan istri), yang dipandangnya sebagai nilai-nilai Islam yang diajarkan Al Qur’an dan Nabi saw, segera merasa gerah dengan praktek keagamaan yang dilakukan  para Sayyid pengurus Jamiatul Khair. Ahmad Surkati mulai melancarkan kritik. Puncaknya terjadi saat Ahmad Surkati mengelurakan fatwa yang dipandang kaum Sayyid sebagai penghinaan terhadap Ahlul Bait, yakni golongan Alawiyyin selaku keturunan Nabi saw. Akibatnya, Ahmad Surkati dipecat tidak dengan hormat dari semua jabatannya di Jamiatul Khair. Bahkan tuntutan Ahmad Surkati, agar Pengurus Jamiatul Khair memenuhi janjinya membiayai ongkos pulang ke Sudan, ditolak mentah-mentah oleh Pengurus Jamiatul Khair. Padahal ketentuan itu, tertulis dalam pernjajian ketika Jamiatul Khair mengundang Ahmad Surkati datang ke Hindia Belanda.

Kaum Alawiyyin pun mencoba mengenyahkan semua pengaruh ajaran Ahmad Surkati yang sempat ditanamkan di benak guru-guru dan murid-muidnya di Jamiatul Khair, antara lain dikeluarkan larangan bagi guru dan murid Jmiatul Khair menghafal syair Ahmad Surkati yang berjudul Ummahat Al Ahlak, dan berbunyi sbb, Tidaklah kebanggaan itu karena pakaian atau keturunan, dan bukan pula tumpukan uang atau emas, tetapi kemuliaan itu karena ilmu dan adab, dan agama adalah pelita bagi orang yang berakal. Sebuah puisi yang sangat Islami.

Tetapi pada saat dipecat pada tahun 1914 M, nama Ahmad Surkati sebagai seorang mubaligh kondang dengan pandangan-pandangan reformisnya sudah dikenal luas. Ahmad Surkati, di tengah-tengah kesibukannya memimpin sekolah, masih punya waktu untuk berdakwah dengan mengunjungi kota Bandung, Yogya, Solo, dan Surabaya. Saat mengunjungi Kota Solo, Ahmad Surkati, diminta memberikan fatwa tentang hukum anak gadis Keluarga Sayyid yang dilarikan pemuda dari golongan non Sayyid. Ahmad Surkati memberikan fatwa sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan, dengan mengatakan bahwa jangankan seorang gadis Sayyidah atau Syarifah dibawa lari seorang pemuda muslim. Dibawa lari pemuda China pun sah untuk dinikahkah,asal si China tadi mau masuk Islam. “Menurut hukum syara yang adil, boleh!” jawab Ahmad Surkati tegas. 

Jawaban Ahmad Surkati yang kemudian terkenal sebagai Fatwa Solo itu, langsung meledak menjadi amarah dan murka golongan Alawiyyin. Fatwa Solo Ahmad Surkati, berujung pada pemecatan, ketika Ahmad Surkati menolak untuk minta maaf dan mencabut Fatwa Solo. Ahmad Surkati dengan tegas membela diri, bahwa apa yang dilukakannya telah benar bila dilihat dari Al Qur’an maupun Hadist.  

Pada tahun 1915, Ahmad Surkati, dengan dukungan komunitas peranakan Arab non Sayyid yang cukup kuat, mendirikan sekolah sndiri yang diberi nama al Irsyad. Berdirinya Al Irsyad langsung membelah peranakan Arab di Jawa dan Hindia Belanda menjadi dua, yakni golongan non Sayyid yang menjadi pendukung Al Irsyad dan golongan Sayyid sebagai pendukung Jamiatul Khair. Di bawah Ahmad Surkati, Al Irsyad mampu berkibar dan mengangkat nama Ahmad Surkati semakin harum dan dikenal luas. Usaha golongan Alawiyyin untuk memfitnah dan menghancurakan Ahmad Surkati, justru menjadi bumerang. Persepsi publik, simpati, dan dukungan justru terus mengalir bukan hanya dari kalangan peranakan non Sayyid, komunitas Islam reformis, dan kalangan kebangsaan seperti A. Hassan dari Persis, KH Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah, dan Cokro Aminoto, Abdul Muis, dan Haji Agus Salim dari Serikat Islam, memberikan dukungan penuh kepada Ahmad Surkati yang dipersepsikan sebagai tokoh reformis yang teraniaya. [Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar