Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Jumat, 28 April 2017

[2] Mengenal Tokoh Sejarah : Abdur Rahman Baswedan, Sang Pembaharu dan Nasionalis Sejati (02)





 A.R Baswedan, (https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Baswedan)

Akhirnya perlakuan kaum Alawiyyin terhadap Ahmad Surkati, justru semakin  membukakan jalan bagi Ahmad Surkati untuk ikut terjun dalam arus perjuangan kebangsaan. Ahmad Surkati juga ikut terlibat dalam diskusi panjang kalangan Islam melawan kalangan komunis pada tahun 1922. Topik debat berjudul jalan Islam atau jalan Komunisme untuk mencapai Indonesia Merdeka? Ahmad Surkati dengan telak memukul Semaun yang gigih menawarkan jalan Komunisme. Usai debat, Ahmad Surkati muncul sebagai salah satu tokoh reformis yang disegani dan Syekh Ahmad Surkati, demikian gelar yang disematkan kepadanya, sering diminta memberikan fatwa tentang banyak hal berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. 

Golongan Alawiyyin dan Kaum Sayyid yang berpandangan konservatif semakin tersudut, terpinggirkan dari arus besar perjuangan kebangsaan. Uniknya, ketika posisi kaum Alawiyyin makin tersudut, Ahmad Surkati tidak sekalipun membuat pernyataan yang menyudutkan Kaum Alawiyyin. Bahkan Ahmad Surkati berusaha untuk berdamai dengan Kaum Alawiyyin. Tetapi usaha perdamian gagal. Karena Kaum Alawiyyin tetap menuntut hak eksklusif dari Kaum Arab Peranakan non Sayyid. Internal Golongan Alawiyyin akhirnya membentuk organisasi baru yang kecewa terhadap kegagalan Jamiatul Khair dalam menggarap isu-isu kebangsaan yang sedang tumbuh. Organisasi baru golongan Sayyid itu, diberi nama Rabitah Al Alawiyyah yang lebih reformis dari pada Jamiatul Khair. 

Tetapi usaha menyatukan peranakan Arab antara golongan Sayyid dan non Sayyid  baru berhasil di tangan A.R Baswedan, pengikut Syekh Ahmad Surkati sejak usia belasan tahun. Ketika itu AR Baswedan sudah pindah bermukim di Kudus, menikah dengan anak pamannya,Syaikhun, menggeluti bisnis mertuanya, dan masuk menjadi aktivis Muhammadiyah Kudus. Benih-benih nasionalisme mulai tumbuh ketika A.R Baswedan menikah dengan anak pamannya itu kelak memberinya sembilan orang anak. Pada waktu resepsi pernikahan, A.R Baswedan menolak mengenakan sorban dan jubah Arab. Dia memilih memakai jas, pantalon, dasi, dan kopyah hitam seperti yang banyak dipakai Bung Karno dan kaum nasionalis lainnya. Berita A.R Baswedan yang peranakan Arab, tetapi enggan memakai baju kebesaran leluhurnya, langsung membuat heboh golongan Sayyid yang menuduh A.R Baswedan hendak meninggalkan adat, tradisi, dan budaya leluhurnya, Arab Hadramaut. Tetapi A.R Baswedan tidak peduli dan jalan terus. 

Pada tahun 1932 ketika usia A.R Baswedan 24 tahun, masih pengantin baru, secara tidak sengaja A.R Baswedan berkenalan dengan seorang peranakan China yang berjiwa kebangsaan, Liem Kho Hian. Liem Kho Hian, tinggal di Surabaya, dia seorang peranakan China yang memiliki pandangan sama dengan A.R Baswedan, yaitu bahwa kaum peranakan harus membantu perjuangan kaum Bumiputra, bantu membantu meraih kemerdekaan. Liem Kho Hian, adalah pemimpin redaksi harian Tionghoa berbahasa Melayu, Sin Tit Po. Yang pro pergerakan nasional. Liem Kho Hian mengajak AR Abdurahman duduk dalam dewan redaksi. AR Abdurahman tidak menyia-nyiakan kesempatan kerja yang sesuai dengan bakatnya sebagai penulis, sekaligus menunjukkan bahawa agama bukan hambatan untuk bekerja sama. Gajih yang diterima AR.Baswedan sebagai jurnalis Sin Tit Po, sebesar 75 gulden, suatu jumlah yang cukup besar untuk ukuran jaman itu. Juga keadaan yang unik pada jaman itu, ada  peranakan Arab Muslim bekerja sama dengan peranakan China non muslim, mengemudikan harian Tionghoa Nasionalis, Sin Tit Po.  

Ternyata A.R Baswedan segera mencatat suatu prestasi yang hebat. Dia berkesempatan mewawancarai Ulama Arab yang baru tiba di Hindia Belanda, Syekh Yunus Bahri Al-Iraqi. Dia ulama reformis non Sayyid dan tinggal di Bogor. Di sana dia berhasil menerbitkan surat kabar Al Haq yang banyak menyerang perilaku golongan Sayyid dan pemimpin mereka di Bogor karena mereka dipuja-puja sebagai wali keramat. Karena tajamnya tulisan itu, golongan Sayyid marah, dan mengerahkan pemuda Sayyid untuk menganiaya Syekh Yunus Bahri Al Iraqi. Beberapa pemuda Rabitah, berhasil menganiaya Syekh Iraqi sampai babak belur, tetapi dia berhasil diselamatkan, dan dibawa ke rumah sakit. Sayangnya pemuda Sayyid dari Rabitah, berhasil melarikan diri. Aibatnya penganiayaan Syekh Iraqi berbuntut panjang.

Meletuslah perkelahaian antara pemuda Al Irsyad, dibantu pemuda Al Khatiriyah yang hendak membela Syekh Iraqi, melawan pemuda Sayyid dan para pendukungnya. Perkelahaian pun pecah dimana-mana. Perkelahaian baru berhenti setelah Pemerintah Hindia Belanda turun tangan. A.R Baswedan berhasil mengangkat pertentangan diantara sesama peranakan Arab itu dalam Surat Kabar Sin Tit Po, sehingga menjadi isu nasional. Sekalipun A.R Baswedan alumnus Al Irsyad, tapi sebagai jurnalis dia bersifat netral, memuat rentetan kejadian berdasarkan wawancara dari kedua belah pihak. Bahkan A.R Baswedan berposisi sebagi juru damai. Akhirnya masing-masing pihak yang bertikai, golongan Sayyid dan non Sayyid, bisa menahan diri. Pertikaian pun pelan-pelan surut. 

Sukses A.R Baswedan sebagai jurnalis semakin meningkat.Tulisan-tulisannya tersebar diberbagai surat kabar, tidak hanya di Sin Tit Po. Tetapi peristiwa pertentangan di antara pernakan Arab itu, sangat mengggangu pemikirannya. Dia pun berkesimpulan peranakan Arab, baik dari golongan Sayyid dan non Sayyid, harus bisa melepaskan dari adat, budaya, dan tradisi leluhur mereka di Hadramaut. Hindia Belanda bukan Hadramaut. Kaum peranakan Arab, lahir, besar, mencari makan, di Indonesia. Tanah air peranakan Arab itu, baik yang Sayyid maupun non Sayyid, bukan di Hadramaut, tapi Indonisia. Mereka harus dijauhkan dan diputus dari adat, tradisi, dan budaya lehurnya di Hadramaut. Tulisan gagasan nasionalisme A.R Baswedan yang berjudul, ”Peranakan Arab dan Totoknya” dimuat dalam surat kabar Matahari.

Dalam tulisannya itu, A.R Baswedan menyampaikan anjuran dengan tegas  agar peranakan Arab menjadikan Indonesia sebagai tanah airnya, dan melepaskan diri dengan negeri leluhurnya. Dia juga mengusulkan agar turunan golongan Sayyid dan non Sayyid bersatu dengan cara mengganti panggilan Sayyid dengan panggilan saudara. Menurut A.R Baswedan panggilan saudara lebih Islami, dan akan lebih mendekatkan persaudaran peranakan Arab dengan Bumiputra. Akhirnya tercetus gagasan A.R Baswedan untuk mendirikan organisasi massa, yang akan diberi nama Persatuan Arab Indonesia. A.R Baswedan mulai mengembangkan gagasan nasionalisme di kalangan peranakan Arab. 

Tetapi gagasan A.R Baswedan  mendapat tanggapan sengit bernada negatip dari golongan Sayyid. Said Bahresy, Hasan Gutban, dan Husen Bafagih dalam surat kabar kaum Sayyid, Al Mahyar, menentang gagasan A.R Baswedan. Bahkan mereka mengaku terang-terangan bahwa mereka memang hanya perantau yang mencari makan di Hindia Belanda. Serangan-serangan golongan Sayyid kepada A.R Baswedan, justru semakin menimbulkan simpati golongan pemuda Bumiputra yang sedang memperjuangkan tanah air Indonesia, melalui Sumpah Pemuda 1928.

Peluang A.R Baswedan untuk mendirikan organisasi PAI bagi peranakan Arab, terbuka lebar ketika gurunya Ahmad Surkati pada tahun 1934 mendorong generasi muda peranakan Arab agar menyelenggarakan Konggres Pemuda Peranakan Arab, sebagai respon positip terhadap Sumpah Pemuda tahun 1928 M.  Konggres Pemuda Peranakan Arab tanggal 4-8 Oktober 1934 sukses menghasilkan Sumpah Pemuda Peranakan Arab yang berbunyi sbb, (1)Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia, (2) Kultur Peranakan Arab Indonesia adalah Kultur Indonesia, (3) Karenanya Peranakan Arab Indonesia harus meninggalkan kehidupan menyendiri, (4)Peranakan Arab Indonesia harus memenuhi kewajibannya kepada Tanah Air Indonesia.

Pada kesempatan itu, A.R Baswedan mengumumkan berdirinya organisasi peranakan Arab Indonesia, Persatuan Arab Indonesia(PAI). Pengurus PAI erdiri dari pemuda-pemuda Al Irsyad dan Rabitah Al Alawiyah. Susunan Pengurus sebagai berikut: (1) Ketua, A.R Baswedan (Al Irsyad), (2)Penulis I,Nuh Alkaf ( Rabitah), (3) Penulis II, Salim Maskati ( Al Irsyad),(4) Bendahara, Segar Assegaf ( Rabitah), (5) Komisaris   : Abdurrahim Argubi ( Al Irsyad).

Seluruh pengurus PAI adalah Peranakan Arab, keanggotaan juga hanya terbuka bagi peranakan Arab. Arab Totok tidak boleh jadi anggota dan pengurus. Mereka hanya boleh menjadi penasihat dan donatur.  Konsekwen isi bunyi Sumpah Pemuda Peranakan Arab, pada waktu menyampaikan pidato, AR Basedan dan sejumlah anggota pengurus lainnya, tampil lengkap dengan mengenakan pakaian adat Jawa, dan foto AR Baswedan dengan pakaian adat Jawa, muncul di sejumlah koran. Langkah simbolik A.R Baswedan itu dengan cepat menimbulkan simpati dikalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Dampaknya luar biasa. PAI mampu berkembang pesat dan tesrbar disejumlah kota. Bukan hanya di Jawa, tetapi juga diluar Jawa.Akhirnya pada Konggres PAI ke-4 di Jakarta 18-25 April 1940, Persatuan Arab Indonesia berubah menjadi Partai Arab Indonesia. Partai Arab Indonesia semakin berkembang, sehingga mampu mengalahkan perkembangan Partai Tionhgoa Melayu pimpinan Tjoa Tjie Liang. Padahal Partai Tionghoa Melayu, lebih dulu berdiri. Dengan menjelma menjadi Partai Arab Indonesia, PAI punya hak duduk dalam Dewan Perwakilah Rakyat, Volksraad.

Dalam Anggaran Dasar PAI disebutkan, bahwa PAI berasaskan Islam, dan mengakui: (1) Bahwa Indonesia tempat Peranakan Arab lahir, adalah tanah airnya yang kepadanya mereka mempunyai kewajiban. (2) Bahwa kepentingan mereka dan rakyat Indonesia wajib diutamakan. Tentang tujuan PAI, dijelaskan sebagai berikut,(1) Mendidik peranakan Arab supaya menjadi putra dan putri Indonesia yang berbakti kepada tanah air dan masyarakatnya. (2) Bekerja dan membantu dengan segala upaya dalam lapangan politik, ekonomi, sosial, yang menuju amkeselamatan rakyat dan tanah airnya. 

Keberhasilan A.R Baswedan mendirikan PAI dan menyatukan peranakan Arab, serta membawa mereka keluar dari eksklusivisme, merupakan puncak prestasi tertinggi yang dicapainya pada jaman sebelum Indonesia Merdeka. A.R Baswedan, telah ikut berjuang menanamkan benih-benih nasionalisme dan kemerdekaan kepada peranakan Arab dan mengintegrasikan mereka menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Karir A.R Baswedan semakin mantap sebagai tokoh nasional, ketika Indonesia memasuki alam kemerdekan. Setelah Indonesia Merdeka PAI dibubarkan, anggotanya bertebaran masuk kedalam partai politik yang bermunculan pada awal kemerdekaan. Ada yang masuk PSI, PNI, bahkan PKI. A.R Baswedan sendiri memilih menjadi politisi Masyumi.

A.R Baswedan sempat  duduk sebagai salah seorang anggota KNIP. Pada masa Kabinet Syahrir ke-tiga, A.R Baswedan diangkat menjadi menteri muda penerangan. Dan pada masa Kabinet Natsir, A.R Baswedan diangkat menjadi menteri penerangan. Pengalaman internasionalnya sebagai politisi, datang menghampiri A.R Baswedan, ketika pada tahun 1947, A.R Baswedan ditunjuk menjadi salah satu anggota delegasi Pemerintah RI yang dikirim ke Mesir. Delegasi yang dipimpin H. Agus Salim dengan anggota Mr. Nashir St.Pamuncak, M.Rasyidi, dan A.R Baswedan itu pada tanggal 10 juni 1947 berhasil diterima Sekjen Liga Arab, Azam Pasha, dan berhasil pula ditanda tangani perjanjian persahabatan Mesir- Indonesia.  

Pada masa Demokrasi Liberal, A.R Baswedan sebagai politisi Partai Masyumi, duduk sebagai anggota konstituante. Karir A.R Baswedan di bidang politik, berakhir setelah Partai Masyumi dibubarkan Bung Karno. Pada era Orde Baru, A.R Baswedan lebih banyak mencurahkan hari-hari tuanya dibidang budaya dan jurnalistik. Dia sempat memipin Surat Kabar Mercusiar yang terbit di Yogyakarta. A.R Baswedan juga mendirikan Badan Koordinasi Kebudayaan Islam Yogyakarta dan menjadi pelindung Teater Muslim. Teater ini pernah sukses  mementaskan drama Iblis tentang kisah Nabi Ibrahim, yang waktu itu tergolong kontroversial. Seniman Yogyakarta seperti Arifin C. Noer, Abdurrahman Saleh, Taufiq Effendi, dan Chaerul Umam adalah kawan-kawan dan sahabatnya. Di pengujung hidupnya, A.R. Baswedan bersahabat dengan Romo Mangunwijaya. Pada 1986, A.R. Baswedan, Pejuang dan Nasionalis sejati itu menutup mata di RS. Islam Cempaka Putih, Jakarta, dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir.[Bandung,28-04-2017]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar