A.R Baswedan, (https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Baswedan)
Akhirnya perlakuan kaum Alawiyyin terhadap Ahmad Surkati, justru semakin membukakan jalan bagi Ahmad Surkati untuk ikut terjun dalam arus perjuangan kebangsaan. Ahmad Surkati juga ikut terlibat dalam diskusi panjang kalangan Islam melawan kalangan komunis pada tahun 1922. Topik debat berjudul jalan Islam atau jalan Komunisme untuk mencapai Indonesia Merdeka? Ahmad Surkati dengan telak memukul Semaun yang gigih menawarkan jalan Komunisme. Usai debat, Ahmad Surkati muncul sebagai salah satu tokoh reformis yang disegani dan Syekh Ahmad Surkati, demikian gelar yang disematkan kepadanya, sering diminta memberikan fatwa tentang banyak hal berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah.
Golongan Alawiyyin dan Kaum Sayyid yang berpandangan
konservatif semakin tersudut, terpinggirkan dari arus besar perjuangan
kebangsaan. Uniknya, ketika posisi kaum Alawiyyin makin tersudut, Ahmad Surkati
tidak sekalipun membuat pernyataan yang menyudutkan Kaum Alawiyyin. Bahkan
Ahmad Surkati berusaha untuk berdamai dengan Kaum Alawiyyin. Tetapi usaha
perdamian gagal. Karena Kaum Alawiyyin tetap menuntut hak eksklusif dari Kaum
Arab Peranakan non Sayyid. Internal Golongan Alawiyyin akhirnya membentuk
organisasi baru yang kecewa terhadap kegagalan Jamiatul Khair dalam menggarap isu-isu
kebangsaan yang sedang tumbuh. Organisasi baru golongan Sayyid itu, diberi nama
Rabitah Al Alawiyyah yang lebih reformis dari pada Jamiatul Khair.
Tetapi usaha menyatukan peranakan Arab antara golongan Sayyid dan non Sayyid baru berhasil di tangan A.R Baswedan, pengikut Syekh Ahmad Surkati sejak usia belasan tahun. Ketika itu AR Baswedan sudah pindah bermukim di Kudus, menikah dengan anak pamannya,Syaikhun, menggeluti bisnis mertuanya, dan masuk menjadi aktivis Muhammadiyah Kudus. Benih-benih nasionalisme mulai tumbuh ketika A.R Baswedan menikah dengan anak pamannya itu kelak memberinya sembilan orang anak. Pada waktu resepsi pernikahan, A.R Baswedan menolak mengenakan sorban dan jubah Arab. Dia memilih memakai jas, pantalon, dasi, dan kopyah hitam seperti yang banyak dipakai Bung Karno dan kaum nasionalis lainnya. Berita A.R Baswedan yang peranakan Arab, tetapi enggan memakai baju kebesaran leluhurnya, langsung membuat heboh golongan Sayyid yang menuduh A.R Baswedan hendak meninggalkan adat, tradisi, dan budaya leluhurnya, Arab Hadramaut. Tetapi A.R Baswedan tidak peduli dan jalan terus.
Tetapi usaha menyatukan peranakan Arab antara golongan Sayyid dan non Sayyid baru berhasil di tangan A.R Baswedan, pengikut Syekh Ahmad Surkati sejak usia belasan tahun. Ketika itu AR Baswedan sudah pindah bermukim di Kudus, menikah dengan anak pamannya,Syaikhun, menggeluti bisnis mertuanya, dan masuk menjadi aktivis Muhammadiyah Kudus. Benih-benih nasionalisme mulai tumbuh ketika A.R Baswedan menikah dengan anak pamannya itu kelak memberinya sembilan orang anak. Pada waktu resepsi pernikahan, A.R Baswedan menolak mengenakan sorban dan jubah Arab. Dia memilih memakai jas, pantalon, dasi, dan kopyah hitam seperti yang banyak dipakai Bung Karno dan kaum nasionalis lainnya. Berita A.R Baswedan yang peranakan Arab, tetapi enggan memakai baju kebesaran leluhurnya, langsung membuat heboh golongan Sayyid yang menuduh A.R Baswedan hendak meninggalkan adat, tradisi, dan budaya leluhurnya, Arab Hadramaut. Tetapi A.R Baswedan tidak peduli dan jalan terus.
Pada tahun 1932 ketika usia A.R Baswedan 24 tahun, masih
pengantin baru, secara tidak sengaja A.R Baswedan berkenalan dengan seorang
peranakan China yang berjiwa kebangsaan, Liem Kho Hian. Liem Kho Hian, tinggal
di Surabaya, dia seorang peranakan China yang memiliki pandangan sama dengan A.R
Baswedan, yaitu bahwa kaum peranakan harus membantu perjuangan kaum Bumiputra,
bantu membantu meraih kemerdekaan. Liem Kho Hian, adalah pemimpin redaksi
harian Tionghoa berbahasa Melayu, Sin Tit Po. Yang pro pergerakan nasional. Liem
Kho Hian mengajak AR Abdurahman duduk dalam dewan redaksi. AR Abdurahman tidak
menyia-nyiakan kesempatan kerja yang sesuai dengan bakatnya sebagai penulis,
sekaligus menunjukkan bahawa agama bukan hambatan untuk bekerja sama. Gajih yang diterima AR.Baswedan sebagai jurnalis Sin Tit Po, sebesar 75 gulden, suatu jumlah yang cukup besar untuk ukuran jaman itu. Juga keadaan yang unik pada jaman itu, ada peranakan Arab Muslim bekerja sama dengan peranakan China non muslim,
mengemudikan harian Tionghoa Nasionalis, Sin Tit Po.
Ternyata A.R Baswedan segera mencatat suatu prestasi yang
hebat. Dia berkesempatan mewawancarai Ulama Arab yang baru tiba di Hindia
Belanda, Syekh Yunus Bahri Al-Iraqi. Dia ulama reformis non Sayyid dan tinggal
di Bogor. Di sana dia berhasil menerbitkan surat kabar Al Haq yang banyak menyerang
perilaku golongan Sayyid dan pemimpin mereka di Bogor karena mereka dipuja-puja
sebagai wali keramat. Karena tajamnya tulisan itu, golongan Sayyid marah, dan
mengerahkan pemuda Sayyid untuk menganiaya Syekh Yunus Bahri Al Iraqi. Beberapa
pemuda Rabitah, berhasil menganiaya Syekh Iraqi sampai babak belur, tetapi
dia berhasil diselamatkan, dan dibawa ke rumah sakit. Sayangnya pemuda Sayyid dari
Rabitah, berhasil melarikan diri. Aibatnya penganiayaan Syekh Iraqi berbuntut
panjang.
Meletuslah perkelahaian antara pemuda Al Irsyad, dibantu pemuda
Al Khatiriyah yang hendak membela Syekh Iraqi, melawan pemuda Sayyid dan para
pendukungnya. Perkelahaian pun pecah dimana-mana. Perkelahaian baru berhenti setelah
Pemerintah Hindia Belanda turun tangan. A.R Baswedan berhasil mengangkat
pertentangan diantara sesama peranakan Arab itu dalam Surat Kabar Sin Tit Po,
sehingga menjadi isu nasional. Sekalipun A.R Baswedan alumnus Al Irsyad, tapi
sebagai jurnalis dia bersifat netral, memuat rentetan kejadian berdasarkan
wawancara dari kedua belah pihak. Bahkan A.R Baswedan berposisi sebagi juru
damai. Akhirnya masing-masing pihak yang bertikai, golongan Sayyid dan non
Sayyid, bisa menahan diri. Pertikaian pun pelan-pelan surut.
Sukses A.R Baswedan sebagai jurnalis semakin meningkat.Tulisan-tulisannya
tersebar diberbagai surat kabar, tidak hanya di Sin Tit Po. Tetapi peristiwa
pertentangan di antara pernakan Arab itu, sangat mengggangu pemikirannya. Dia
pun berkesimpulan peranakan Arab, baik dari golongan Sayyid dan non Sayyid,
harus bisa melepaskan dari adat, budaya, dan tradisi leluhur mereka di
Hadramaut. Hindia Belanda bukan Hadramaut. Kaum peranakan Arab, lahir, besar,
mencari makan, di Indonesia. Tanah air peranakan Arab itu, baik yang Sayyid
maupun non Sayyid, bukan di Hadramaut, tapi Indonisia. Mereka harus dijauhkan
dan diputus dari adat, tradisi, dan budaya lehurnya di Hadramaut. Tulisan
gagasan nasionalisme A.R Baswedan yang berjudul, ”Peranakan Arab dan Totoknya”
dimuat dalam surat kabar Matahari.
Dalam tulisannya itu, A.R Baswedan menyampaikan anjuran
dengan tegas agar peranakan Arab
menjadikan Indonesia sebagai tanah airnya, dan melepaskan diri dengan negeri
leluhurnya. Dia juga mengusulkan agar turunan golongan Sayyid dan non Sayyid
bersatu dengan cara mengganti panggilan Sayyid dengan panggilan saudara.
Menurut A.R Baswedan panggilan saudara lebih Islami, dan akan lebih mendekatkan
persaudaran peranakan Arab dengan Bumiputra. Akhirnya tercetus gagasan A.R
Baswedan untuk mendirikan organisasi massa, yang akan diberi nama Persatuan
Arab Indonesia. A.R Baswedan mulai mengembangkan gagasan nasionalisme di
kalangan peranakan Arab.
Tetapi gagasan A.R Baswedan mendapat tanggapan sengit bernada negatip dari
golongan Sayyid. Said Bahresy, Hasan Gutban, dan Husen Bafagih dalam surat
kabar kaum Sayyid, Al Mahyar, menentang gagasan A.R Baswedan. Bahkan mereka mengaku
terang-terangan bahwa mereka memang hanya perantau yang mencari makan di Hindia
Belanda. Serangan-serangan golongan Sayyid kepada A.R Baswedan, justru semakin
menimbulkan simpati golongan pemuda Bumiputra yang sedang memperjuangkan tanah
air Indonesia, melalui Sumpah Pemuda 1928.
Peluang A.R Baswedan untuk mendirikan organisasi PAI bagi
peranakan Arab, terbuka lebar ketika gurunya Ahmad Surkati pada tahun 1934 mendorong
generasi muda peranakan Arab agar menyelenggarakan Konggres Pemuda Peranakan
Arab, sebagai respon positip terhadap Sumpah Pemuda tahun 1928 M. Konggres Pemuda Peranakan Arab tanggal 4-8
Oktober 1934 sukses menghasilkan Sumpah Pemuda Peranakan Arab yang berbunyi
sbb, (1)Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia, (2) Kultur Peranakan Arab
Indonesia adalah Kultur Indonesia, (3) Karenanya Peranakan Arab Indonesia harus
meninggalkan kehidupan menyendiri, (4)Peranakan Arab Indonesia harus memenuhi
kewajibannya kepada Tanah Air Indonesia.
Pada kesempatan itu, A.R Baswedan mengumumkan berdirinya
organisasi peranakan Arab Indonesia, Persatuan Arab Indonesia(PAI). Pengurus
PAI erdiri dari pemuda-pemuda Al Irsyad dan Rabitah Al Alawiyah. Susunan
Pengurus sebagai berikut: (1) Ketua, A.R Baswedan (Al Irsyad), (2)Penulis I,Nuh
Alkaf ( Rabitah), (3) Penulis II, Salim Maskati ( Al Irsyad),(4) Bendahara,
Segar Assegaf ( Rabitah), (5) Komisaris
: Abdurrahim Argubi ( Al Irsyad).
Seluruh pengurus PAI adalah Peranakan Arab, keanggotaan juga
hanya terbuka bagi peranakan Arab. Arab Totok tidak boleh jadi anggota dan
pengurus. Mereka hanya boleh menjadi penasihat dan donatur. Konsekwen isi bunyi Sumpah Pemuda Peranakan
Arab, pada waktu menyampaikan pidato, AR Basedan dan sejumlah anggota pengurus
lainnya, tampil lengkap dengan mengenakan pakaian adat Jawa, dan foto AR Baswedan
dengan pakaian adat Jawa, muncul di sejumlah koran. Langkah simbolik A.R
Baswedan itu dengan cepat menimbulkan simpati dikalangan tokoh-tokoh pergerakan
nasional. Dampaknya luar biasa. PAI mampu berkembang pesat dan tesrbar
disejumlah kota. Bukan hanya di Jawa, tetapi juga diluar Jawa.Akhirnya pada
Konggres PAI ke-4 di Jakarta 18-25 April 1940, Persatuan Arab Indonesia berubah
menjadi Partai Arab Indonesia. Partai Arab Indonesia semakin berkembang,
sehingga mampu mengalahkan perkembangan Partai Tionhgoa Melayu pimpinan Tjoa
Tjie Liang. Padahal Partai Tionghoa Melayu, lebih dulu berdiri. Dengan menjelma
menjadi Partai Arab Indonesia, PAI punya hak duduk dalam Dewan Perwakilah
Rakyat, Volksraad.
Dalam Anggaran Dasar PAI disebutkan, bahwa PAI berasaskan
Islam, dan mengakui: (1) Bahwa Indonesia tempat Peranakan Arab lahir, adalah
tanah airnya yang kepadanya mereka mempunyai kewajiban. (2) Bahwa kepentingan
mereka dan rakyat Indonesia wajib diutamakan. Tentang tujuan PAI, dijelaskan
sebagai berikut,(1) Mendidik peranakan Arab supaya menjadi putra dan putri
Indonesia yang berbakti kepada tanah air dan masyarakatnya. (2) Bekerja dan
membantu dengan segala upaya dalam lapangan politik, ekonomi, sosial, yang
menuju amkeselamatan rakyat dan tanah airnya.
Keberhasilan A.R Baswedan mendirikan PAI dan menyatukan
peranakan Arab, serta membawa mereka keluar dari eksklusivisme, merupakan
puncak prestasi tertinggi yang dicapainya pada jaman sebelum Indonesia Merdeka.
A.R Baswedan, telah ikut berjuang menanamkan benih-benih nasionalisme dan
kemerdekaan kepada peranakan Arab dan mengintegrasikan mereka menjadi bagian
dari bangsa Indonesia.
Karir A.R Baswedan semakin mantap sebagai tokoh nasional,
ketika Indonesia memasuki alam kemerdekan. Setelah Indonesia Merdeka PAI dibubarkan, anggotanya bertebaran masuk kedalam partai politik yang bermunculan pada awal kemerdekaan. Ada yang masuk PSI, PNI, bahkan PKI. A.R Baswedan sendiri memilih menjadi politisi Masyumi.
A.R Baswedan sempat duduk sebagai
salah seorang anggota KNIP. Pada masa Kabinet Syahrir ke-tiga, A.R Baswedan
diangkat menjadi menteri muda penerangan. Dan pada masa Kabinet Natsir, A.R
Baswedan diangkat menjadi menteri penerangan. Pengalaman internasionalnya
sebagai politisi, datang menghampiri A.R Baswedan, ketika pada tahun 1947, A.R
Baswedan ditunjuk menjadi salah satu anggota delegasi Pemerintah RI yang dikirim
ke Mesir. Delegasi yang dipimpin H. Agus Salim dengan anggota Mr. Nashir
St.Pamuncak, M.Rasyidi, dan A.R Baswedan itu pada tanggal 10 juni 1947 berhasil
diterima Sekjen Liga Arab, Azam Pasha, dan berhasil pula ditanda tangani
perjanjian persahabatan Mesir- Indonesia.
Pada masa Demokrasi Liberal, A.R Baswedan sebagai politisi
Partai Masyumi, duduk sebagai anggota konstituante. Karir A.R Baswedan di
bidang politik, berakhir setelah Partai Masyumi dibubarkan Bung Karno. Pada
era Orde Baru, A.R Baswedan lebih banyak mencurahkan hari-hari tuanya dibidang
budaya dan jurnalistik. Dia sempat memipin Surat Kabar Mercusiar yang terbit di
Yogyakarta. A.R Baswedan juga mendirikan Badan Koordinasi Kebudayaan
Islam Yogyakarta dan menjadi pelindung Teater Muslim. Teater ini pernah
sukses mementaskan drama Iblis tentang
kisah Nabi Ibrahim, yang waktu itu tergolong kontroversial. Seniman Yogyakarta
seperti Arifin C. Noer, Abdurrahman Saleh, Taufiq Effendi, dan Chaerul Umam
adalah kawan-kawan dan sahabatnya. Di pengujung hidupnya, A.R. Baswedan
bersahabat dengan Romo Mangunwijaya. Pada 1986, A.R. Baswedan, Pejuang dan
Nasionalis sejati itu menutup mata di RS. Islam Cempaka Putih, Jakarta, dan
dimakamkan di TPU Tanah Kusir.[Bandung,28-04-2017]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar