1 Tahun Kelahiran
Sunan Bonang
adalah putra Sunan Ampel dari istrinya Dyah Ayu Retna Siti Manila, putri Arya
Teja I, Adipati Tuban. Dalam ceritera-ceritera tutur maupun babad, tidak pernah
disebutkan kapan tahun kelahirannya.
Demikianlah
memang sifat dari buku-buku babad,
kronik lokal atau lebih-lebih lagi ceritera tutur. Jarang sekali yang menyebutkan
tahun kelahiran sang tokoh. Kalau toh
disebutkan juga, terkadang tidak tepat dan tidak akurat, sehingga sering
menyulitkan untuk kepentingan penyelidikan. Untunglah ada juga ahli-ahli
sejarah yang bekerja berdasarkan kaidah-kaidah tertentu dan
berdasarkan cara-cara ilmiah, sehingga seringkali tahun kelahiran, masa hidup
dan waktu kematian sang tokoh dapat
ditetapkan. Memang kadang-kadang tidak tepat benar, tetapi paling tidak
dapat mendekati kenyataannya yang sebenarnya.
Dr.Schrieke
dari Universitas Leiden, dalam bukunya Het Boek van Bonang, sebagaimana dikutip
oleh Drs.Widji Saksono, memperkirakan bahwa Pernikahan Raden Rahmat atau Sunan
Ampel dengan putri Adipati
Tuban itu, terjadi pada tahun 1450 M. Pada saat
itu yang bertahta di Kerajaan Majapahit adalah Sri Kertawijaya (1447-1451M). Karena
menurut Babad Tanah Jawi, raja-raja Majapahit itu dikenal dengan nama Brawijaya, maka Sri Kertawijaya juga dikenal sebagai Raja Brawijaya. Hanya Brawijaya keberapakah Sri
Kertawijaya itu?
Para
ahli sejarah dan peminat babad belum dapat menetapkan dengan pasti dan muncul perbedaan
pendapat. Sebagian ahli menyatakan bahwa nama Brawijaya sebenarnya hanyalah
mitos yang didasarkan cerita tutur yang ditulis kembali oleh penggubah Babad
Tanah Jawi. Tetapi tentu ada pendapat yang lain lagi yang menyatakan mitos atau
bukan, nama Brawijaya sudah menjadi realitas yang diakui keberadaanya oleh
masyarakat Jawa Timur. Lagi pula memang ada nama-nama raja Majapahit yang
diakhiri dengan kata Wijaya. Pendiri kerajaan Majapahit sendiri juga bernama
Raden Wijaya. Raja Majapahit yang bertahta pada tahun 1447-1451 M ,juga memakai
nama Wijaya yaitu Sri Kertawijaya. Cucunya yang kelak menjadi Raja Keling Majapahit dan Kediri Majapahit
(1486-1527 M), juga memakai nama Wijaya, yaitu Ranawijaya.
Ahli
sastra dan sejarah Jawa umumnya berpendapat bahwa kata Brawijaya berasal dari
kata Bhra dan Wijaya. Bra itu berarti cerlang atau cemerlang, yang sama artinya
dengan arti Sri. Jadi arti Brawijaya
adalah Raja Wijaya yang Cemerlang. Demikianlah,
pada saat Sunan Ampel menikah, maka yang menjadi raja Majapahit
adalah Brawijaya I atau Sri Kertawijaya.
Dari
pernikahannya dengan putri Arya Teja I itu, Sunan Ampel dikaruniai tiga anak. Menurut Dr.Husein
Djajadiningrat, anak Sunan Ampel dengan
putri Arya Teja itu ada tiga orang
dengan urut-urutan sebagai berikut : Nyai
Maloko, Nyai Gedeng Pancuran dan Sunan Bonang. Jadi Sunan Bonang adalah
anak ke tiga Sunan Ampel. Tetapi menurut
Babad Tanah Jawi, ketiga anak Sunan Ampel adalah Nyai Ageng Manyura, Sunan
Bonang dan Sunan Drajat.
Pendapat
senada dikemukakan Al Hamid Al Husaeni
yang menyatakan bahwa Sunan Bonang adalah anak kedua Sunan Ampel. Bedanya
dengan Babad Tanah Jawi, menurut Al Husaeni, seorang ulama dari kota Tuban,
putra Sunan Ampel itu ada empat orang. Urut-urutannya adalah Nyai Ageng
Manyura, Sunan Bonang, Sunan Drajat dan seorang putri lagi yang tak diketahui
namanya. Harun
Nasution, hampir sependapat dengan Al Husaeni, hanya urut-urutannya saja yang
berbeda. Menurutnya, yang pertama adalah Sunan
Bonang, yang kedua Sunan Drajat, yang ketiga Nyai Ageng Maloko dan yang ke
empat tak diketahui namanya. Hamka sependapat dengan Harun Nasution. Karena itu
Hamka menegaskan bahwa Sunan Bonang lahir pada tahun 1450 M.
Sementara itu,
Schrieke manduga Sunan Bonang adalah anak ke tiga Sunan Ampel, yang lahir
pada tahun 1465 M. Pendapat
Schrieke ini agak aneh, terutama karena dia memperkirakan bahwa Sunan
Ampel wafat pada tahun 1467 M. Drs. Wiji
Saksono menolak pendapat Dr.Schrieke dengan cara berkelakar. Apakah mungkin
anak yang baru belajar merangkak sudah bisa belajar menjadi murid Sunan Ampel? Kita
tahu bahwa Sunan Ampel mendidik Sunan Bonang dan Sunan Drajat bersama-sama
santri-santri lainnya di Pesantren Ampel Denta yang didirikannya.
Kita
akan berpegang saja pada pendapat Dr. Hamka yang lebih realistis, yakni Sunan
Bonang adalah putra sulung Sunan Ampel yang lahir pada tahun 1450 M, yang juga
merupakan tahun pernikahan Sunan Ampel. Hanya saja, pernikahan Sunan Ampel
terjadi pada awal tahun, sedang kelahiran Sunan Bonang pada akhir tahun 1450 M.
Besar kemungkinan yang lahir tahun 1465 M, seperti yang diduga oleh Dr.Schrieke
adalah Sunan Drajat. Ada yang berpendapat bahwa Sunan Drajat adalah putra Sunan
Ampel, tetapi bukan dari istri putri Arya Teja. Jika demikian, maka jumlah anak Sunan Ampel dari pernikahannya
dengan putri Arya Teja itu, hanya tiga orang, seperti yang telah dikemukakan
oleh Dr. Husein Djajadiningrat di atas. Hanya saja urut-urutannya dibalik. Sunan Bonang bukan
anak bungsu, tetapi anak pertama. Jadi urutannya adalah sbb : Sunan Bonang,
Nyai Gede Maloko dan Nyai Gedeng Pancuran. Sunan Drajat adalah adik Sunan
Bonang tetapi beda ibu.
Tidak
lama setelah pernikahannya itu, Raden Rahmat kedatangan
seorang ulama dari negeri Pasai, kakak sepupunya sendiri yang bernama
Sykeh Yakub bin Maulana Ishak. Syekh Yakub bin Maulana Ishak meminta saran kepada Sunan Ampel ke daerah
mana sebaiknya dia berdakwah di wilayah Jawa Timur. Sunan Ampel menyarankan
agar kakak sepupunya itu berdakwah ke daearah Blambangan yang kepercayaan Hindunya amat
kuat.
Antara
tahun 1450-1455 M, Syekh Yakub bin Maulana Ishak
mencoba berdakwah ke daerah Blambangan sesuai
saran Sunan Ampel. Ternyata ulama dari
Pasai ini
gagal mengislamkan penguasa Blambangan. Tetapi dia berhasil menyunting putri
Raja Blambangan. Lahirlah putranya yang
diberi nama Raden Paku, dan kelak menjadi Sunan Giri.
2 Makhdum Ibrahim.
Betapa
gembira Sunan Ampel saat mengetahui istrinya melahirkan seorang bayi laki-laki.
Istrinya Dyah Retno Manila tentu
ikut gembira karena dapat melahirkan
seorang anak laki-laki yang memang amat diharapkan oleh suaminya. Sunan Ampel
memberi nama anak itu Makhdum Ibrahim. Sebuah nama yang terdengar sedikit aneh,
terutama karena ada kata Makhdum.
Kata
kedua, Ibrahim tentu tidak asing lagi bagi kita. Nama Ibrahim mengingatkan
kepada kita nama seorang nabi yang cerdas, kritis,
lurus, taat pada perintah Allah SWT, Nabi Ibrahim AS. Dia menjadi Bapak yang menurunkan banyak
nabi , termasuk Nabi kita
Muhammad saw. Tetapi Makhdum?
Nama
ini ternyata adalah sebuah nama gelar yang biasa diberikan kepada orang-orang
terhormat dan terkemuka di Kerajaan Islam Delhi di India. Gelar Makhdum juga banyak dipakai oleh para pangeran dan ulama dari Pasai.
Misalnya saja nama ulama Pasai yang terkenal sebagai ahli bahasa Arab dan
Melayu yakni Makhdum Patahan. Dialah ulama Pasai yang pertamakali
menterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu kitab tasawuf Durru’l-manzum karangan Maulana Abu Ishak. Pemakaian
gelar Makhdum oleh bangsawan Pasai menunjukkan adanya pengaruh dan hubungan
kebudayaan yang erat antara Kerajaan Islam Delhi- Gujarat dan Pasai.
Ayah Sunan Ampel sendiri juga memakai gelar Makhdum yakni
Makhdum Ibrahim Asmara. Besar kemungkinan Ulama menantu Raja Campa itu syahid pada saat Kerajaan Campa diserang Kerajaan Koci, sehingga untuk
mengenang ayahnya itu, Sunan Ampel
memberi nama anak laki-laki pertamanya itu dengan nama Makhdum Ibrahim yang
tidak lain adalah nama dari ayah Sunan Ampel. Pemberian nama Makhdum oleh Sunan Ampel kepada putra
laki-laki pertamanya itu juga menunjukkan bahwa ada ikatan kekerabatan yang erat
antara Campa dan Pasai.
Dengan
nama Makhdum Ibrahim yang bisa diartikan Ksatria Ibrahim, Sunan Ampel punya
harapan agar anak lelakinya yang pertama itu kelak dapat menjadi sosok yang
berwibawa dan terkemuka dalam bidang agama Islam seperti halnya Nabi Ibrahim.
Agaknya
harapan Sunan Ampel itu tidak sia-sia dan mendapat perkenan dari Allah SWT.
Ternyata Makhdum Ibrahim tumbuh menjadi anak yang sehat, kuat, sabar, ulet,
penyayang terhadap sesama. Tetapi dia juga tegas terhadap prinsip-prinsip dasar
dari agama Islam yang diyakini
kebenarnnya.
Beberapa
bulan setelah Sunan Bonang lahir, Raja
Majapahit Sri Kertawijaya (1447-1451 M) mangkat. Penggantinya adalah adiknya
lain ibu, yakni Rajasawardhana Sang Sinagara. Dia hanya memerintah
selama tiga tahun (1451-1453 M). Menurut Prof.Slamet Mulyana, selama dia
memegang tahta Kerajaan Majapahit selalu sakit-sakitan. Bahkan beredar kabar
burung, bahwa Sang Raja itu menderita
sakit ingatan. Sepeninggal Sang Sinagara, tahta kerajaan
dibiarkan kosong (1454-1456 M). Kekosongan pemerintahan Majapahit dan Sang Raja sebelumnya yang tidak efektif mengendalikan
pemerintahan karena sakit-sakitan, tentu saja berdampak besar pada stabilitas
kerajaan.
Penguasa
daerah yang jauh dari pusat siap-siap untuk melepaskan diri. Sementara penguasa
kadipaten yang dekat seperti Tumapel, Daha, Kediri, Keling , Wengker dan
lainnya lagi, siap-siap bersaing untuk mengambil alih tahta kerajaan. Bila
tidak tercapai kata sepakat di antara ahli waris pastilah akan timbul konflik.
Dan bila terjadi konflik tentulah akan berupa perang saudara, karena hampir
semua adipati dari kadipaten yang dekat
dengan pusat itu mempunayi ikatan
kekerabatan yang erat.
Mereka
rata-rata adalah anak-anak Wikramawardhana yang memang jumlahnya amat banyak.
Mereka semuanya merasa punya hak atas tahta kerajaan Majapahit. Tetapi pada
tahun 1456 M itu, bisa dicapai kata sepakat, sehingga Hyang Purwawisesa dapat
naik tahta (1456-1466 M). Demikian pula pada tahun 1466 M, saat Hyang
Purwawisesa mangkat, Dyah Suraprabhawa naik tahta (1466- 1478 M).
Sunan
Ampel dengan cermat mengamati perkembangan Kerajaan Majapahit yang labil dan
mulai goyah itu. Tetapi posisinya tetap sebatas pengamat di pinggir lapangan
dari panggung politik tempat kebijakan
Sang Raja dipentaskan. Sunan Ampel tetap tekun mengembangkan pesantrennya untuk
mendidik santri-santrinya agar bisa membangun masyarakat Islami yang bebas dari
diskriminasi kasta dan lebih menghargai kemanusiaan. Sunan Ampelpun mendidik putranya itu dengan sabar dan tekun.
Rupanya
Sunan Bonang memang memiliki bakat dan kecerdasan yang luar biasa dalam
ilmu-ilmu agama. Dia tumbuh dan
berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan pesantren yang
dipimpin ayahnya itu. Sunan Bonang
praktis mendapatkan bimbingan dan gemblengan langsung dari Sunan Ampel. Bakat
intelektual Sunan Bonang segera kelihatan. Dalam waktu yang relatip singkat,
ilmu-ilmu yang diajarkan ayahnya dapat dikuasainya dengan baik antara lain, tauhid,
fikih, tareh, Rukun Islam, Rukun Iman, tatabahasa
Arab ,tafsir bahkan tasawuf.
Sunan
Ampel adalah penganut Mashab Safei dari
aliran Suni. Tetapi karena kecerdasan Sunan Bonang
dalam waktu singkat dia sudah memahami mashab-mashab Islam yang lain, dengan
cara belajar secara otodidak melalui
buku-buku koleksi perpustakaan pribadi Sunan Ampel yang memang cukup
luas.
Pada
saat Pesantren Ampel berdiri sudah ada kitab-kitab agama yang beredar dengan cara disalin dan diterjemahkan kedalam bahasa Melayu dengan menggunanakan huruf Arab Melayu atau huruf Jawi. Buku-buku tentang Keislaman saat itu, banyak yang
disalin dari tulisan para Ulama-ulama dari Pasai. Memang Pasai sejak abad ke 13 dan 14 M, sudah
berkembang menjadi pusat studi
Keislaman yang berpengaruh di
Asia Tenggara. Bahkan buku-buku sastra
agama telah banyak yang disalin dan diterjemahkan orang dari buku-buku sastra Parsi dan
Arab. Misalnya saja, riwayat Nabi Muhammad saw, kisah para nabi,
riwayat para sahabat Nabi saw dan kisah orang-orang suci. Buku-buku
yang bercorak sastra agama kebanyakan
bernilai didaktik dan bermanfat bagi pembentukan pribadi dan watak para santri
agar berjiwa Islami, beriman dan bertakwa. Walaupun harus diakui pula ditemukan adanya buku-buku sastra agama yang menyimpang
karena isinya yang berupa pemujaan
secara berlebihan kepada sang tokoh.
Demikian
pula buku-buku tasawuf. Baik yang Islami
maupun yang menyimpang sudah dapat ditemukan dan ramai menjadi bahan
pembicaraan. Salah satunya adalah ajaran Wihdatul Wujud, ajaran Hulul atau Ittihad. Paham Wihdatul
Wujud dan Hulul sampai juga ke Pulau Jawa. Tetapi Sunan Ampel cukup bijaksana
dan waspada terhadap ajaran tasawuf yang
menyimpang. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa semua santri didikan Sunan
Ampel adalah para santri yang taat pada
ajaran syariat. Padahal saat
itu tasawuf yang bercorak hulul dan wihdatul wujud secara samar-samar sudah
mulai menembus ke Pulau Jawa. Sunan Ampel dan santri-santrinya mampu melindungi
dirinya dari ajaran tasawuf yang menyimpang, karena Sunan
Ampel sudah memiliki salinan kitab Ihya Ulumuddin karya Al Ghazali. Kitab
Al Ghazali ini, adalah kitab yang bisa menuntun seorang santri
agar dalam penghayatan makrifat
ketuhanan, tetap berada di jalur syariah sebagaimana yang diajarkan dan
dipraktekkan oleh Rasulullah saw.
Pada
usia sekitar dua puluh lima tahun, bersama Raden Paku yang kelak bernama Sunan
Giri, sahabatnya sesama murid Sunan Ampel, Sunan Bonang pergi ke Malaka.Tujuan semula untuk menunaikan ibadah haji. Mereka beberapa
bulan tinggal di Malaka dan berguru kepada para ulama-ulama terkenal yang ada
di situ. Kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanan ke Pasai, Sumatra. Di
sana mereka berdua berguru kepada ulama terkenal yang ada di situ, antara lain adalah
Syekh Yakub bin Maulana Ishak, ayah Raden Paku
sendiri. Setelah berguru beberapa bulan, Syekh Yakub bin Maulana Ishak malah menyuruh mereka berdua untuk pulang ke Pulau
Jawa saja, agar bisa membantu Sunan Ampel dalam melaksanakan tugas dakwahnya di
tanah Jawa.
“Naik
haji, dapat ditunda dulu, karena Pulau Jawa saat ini sangat memerlukan
kehadiran kalian berdua. Lebih-lebih
lagi Kerajaan Majapahit tengah dilanda krisis,” ujar Syekh Yakub bin Maulana Ishak memberi nasihat. Karena mematuhi nasihat Syekh Yakub bin Maulana Ishak, mereka berdua pun kembali ke Jawa. Raden Paku segera membangun
pesantren baru di puncak ketinggian bukit Giri, hingga Raden Paku dikenal
sebagai Sunan Giri. Makhdum Ibrahim sendiri kembali ke Pesantren
Ampel Denta dan membantu ayahnya mengelola pesantren Ampel Denta. Ternyata apa
yang diperkirakan oleh ayah Raden Paku, bahwa Kerajaan Majapahit tengah
mengalami krisis, benar adanya. Tak lama sesudah Sunan Bonang dan Sunan Giri tiba di Pulau
Jawa, Raja Majapahit mangkat.
3 Runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Babad tanah
Jawi menceriterakan bahwa runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 M, yang ditandai
dengan candra sangkala, ”Sirna
ilang kertaning bumi.” konon adalah akibat dari
serangan tentara Islam dari Demak di bawah pimpina Raden Patah. Ternyata
berdasarkan penelusuran sejarah, kisah runtuhnya Kerajaan Majapahit sebagai akibat
dari serangan Kerajaan Islam Demak pimpinan Raden Patah, ternyata tidak memiliki dasar yang kuat.
Dalam
Babad Tanah Jawi dikisahkan bahwa setelah Sunan Ampel wafat, para wali
bermusyawarah untuk mengangkat Raden Patah sebagai Sultan Demak. Kemudian
disusunlah program untuk menyerang Majapahit. Rapat dipimpin oleh Sunan Bonang
dan ditetapkan Sunan Ngudung, ayah Sunan
Kudus sebagai panglima perang.
Kenapa
serangan ke Majapahit, baru dilakukan setelah Sunan Ampel wafat? Menurut
ceritera babad, Raden Patah pernah menghadap
Raja Brawijaya yang menurut Babad Tanah Jawi adalah ayah Raden Patah.
Dalam kesempatan itu, Raden Patah mengajak agar ayahnya, yakni Raja Brawijaya
bersedia memeluk agama Islam. Tetapi Raja Brawijaya tidak bersedia. Hal ini
membuat Raden Patah kecewa. Selesai menghadap Raja Brawijaya, Raden Patah tidak
langsung kembali ke Demak, tetapi menghadap Sunan Ampel lebih dulu. Pada
kesempatan itu Raden Patah minta ijin
kepada Sunan Ampel untuk menyerang
Majapahit.
“Kanjeng
Sunan, ijinkanlah kami berbicara. Mengingat jumlah orang Jawa yang masuk Islam
masih sedikit, mohon perkenan Kanjeng Sunan, untuk menyerang Majapahit, karena
hingga kini Sang Raja masih tetap memeluk agama Buddha. Selama Rajanya orang
Jawa belum memeluk Islam, jumlah orang Jawa yang masuk Islam tidak akan banyak,”
ujar Raden Patah meminta ijin kepada Sunan Ampel yang menurut Babad Tanah Jawi
adalah guru dan juga kakeknya karena Raden Patah menikah dengan cucu Sunan
Ampel.
Sunan Ampel menjawab pelan, “ Oh, cucuku. Sang Raja
ayahmu salahnya apa? Bukankah dia tidak melarangmu untuk menyebarkan agama
Islam? Ketahuilah, adapun sebabnya Sang Raja belum mau memeluk agama Islam
adalah karena Allah memang belum mengijinkanNya. Karena
itu bersabarlah.“
Mendengar
jawaban itu, Raden Patah sangat kecewa, kemudian pulang kembali ke Demak.
Kisah Babad
Tanah Jawi ini, di samping bertentangan dengan fakta sejarah yang ada, juga
mengandung unsur yang sedikit tendensius karena bisa ditafsirkan hendak
menyudutkan Raden Patah dan Kerajaan Islam Demak. Dengan kisah seperti di atas,
pembaca akan memperoleh kesan bahwa Raden Patah adalah anak yang tidak tahu
membalas budi kepada orang tuanya. Hanya karena persoalan perbedaan keyakinan
agama, Raden Patah sampai hati mengangkat senjata untuk menghancurkan kerajaan
ayahnya.
Tetapi
dari hasil penelitian sejarah
menunjukkan bahwa pada saat itu Kerajaan Demak belum terlalu kuat untuk menyerang Majapahit. Memang
betul bahwa Kerajaaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M. Tetapi menurut
penelitian Prof. Dr. Slamet Mulyana, penyebab runtuhnya Majapahit pada tahun
1478 M itu, bukan disebabkan oleh serangan tentara Islam Demak, sebagaimana
disebutkan dalam Babad Tanah Jawi. Majapahir runtuh pada tahun 1478 M akibat
dari perang perebutan tahta di antara para keturunan Raja Wikramawardhana (1389-1429M).
Wikramawardhana
adalah menantu dan sekaligus kemenakan Hayam Wuruk yang naik tahta pada tahun
1389 M, setelah Hayam Wuruk mangkat.
Pernikahan
Wikramawardhana dengan putri Hayam Wuruk, ternyata Kusumawardhani hanya menurunkan satu anak laki-laki saja. Satu-satunya
putra mahkota inipun meninggal pada usia yang masih amat muda. Akibatnya pewaris tahta
Kerajaan Majapahit jatuh ke tangan putra-putri Wikramawardhana dari para
selirnya. Karena selirnya banyak, maka putra-putri Wikramawardhana juga banyak.
Pada
tahun 1429 M, putri Wikramawardhana, Suhita naik tahta. Tetapi pada tahun 1447
M, adik Suhita, Sri Kertawijaya naik tahta, karena Suhita mangkat. Tahun 1451
M, Sri Kertawijaya mangkat. Maka adiknya Sang Sinagara menggantikannya. Tetapi
Sang Sinagara hanya bertahta selama tiga tahun, itu pun tidak efektif, karena
konon selama memegang tahta, Sang Sinagara menderita sakit ingatan.
Setelah
Sang Sinagara mangkat, tahta Kerajaan Majapahit dibiarkan kosong hampir selama
tiga tahun. Kosongnya tahta Kerajaan Majapahit itu, menunjukkan bahwa di antara
para ahli waris tahta, tidak tercapai kesepakatan, siapa yang berhak menduduki
tahta Majapahit.
Pada tahun
1456 M, barulah Bhre Kahuripan yang bergelar Hyang Purwawisesa(1456-1466
M), berhasil mengambil alih tahta
Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1466 M, Hyang Purwawisesa mangkat.
Adapun
penggantinya adalah Bhre Tumapel. Dia adalah yakni Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa. Dia adalah adik dari Sri
Kertawajaya, juga adik Sang Sinagara. Dengan demikian Dyah Suraprabhawa adalah putra Wikramawardhana. Pada saat Dyah
Suraprabhawa naik tahta Majapahit, yang menjadi
Adipati Keling atau Bhre Keling adalah putra bungsu dari Sri Kertawijaya
yang bernama Girindrawardhana Dyah Wijayakarana. Dia mempunya dua orang putra
yaitu Wijayakusuma dan Ranawijaya.
Sebagai
putra bungsu dari Sri Kertawijaya, Bhre
Keling Wijayakarana merasa punya hak
atas tahta Kerajaan Majapahit. Rupanya setelah Dyah Suraprabhawa, pewaris tahta
Majapahit tingkat anak Wikramawardhana
sudah habis. Dengan sendirinya sepeninggal Dyah Suraprabhawa, akan timbul
perebutan tahta Majapahit pada tingkat cucu Wikramawardhana. Bhre Keling Wijayakarana mengetahui bahwa
pamannya Dyah Suraprabhawa bermaksud mewariskan tahta Majapahit pada
putra-putra keturunannya.
Bila
hal ini terjadi, peluang keturunan Sri Kertawijaya untuk menduduki tahta
Majapahit akan semakin kecil. Bagi Wijayakarana
untuk memperoleh tahta Majapahit, tidak ada jalan lain kecuali mengambil tahta Majapahit dengan jalan
kekerasan. Itulah jalan pikiran Brhe
Keling Wijayakarana, putra bungsu Sri Kertawijaya. Maka sambil menunggu saat
yang tepat, Wijayakarana melepaskan sementara kedudukannya sebagai Adipati
Keling dan menyerahkan jabatan itu kepada putra sulungnya Wijayakusuma.
Wjayakarana sendiri pindah ke daerah Jinggan, yang berada berapa kilometer di
sebelah utara kota Kerajaan Majapahit.
Wijayakarana
mengaku tinggal di Jinggan karena ingin menjadi pendeta dengan cara memperdalam
pengetahuan agama Hindu-Buddhanya. Tetapi pengakuannya itu ternyata hanyalah
tipu muslihat saja. Tujuan yang sebenarnya, dia sedang menyusun suatu strategi
untuk merebut tahta Kerajaan Majapahit
pada saat yang dianggapnya tepat.
Di Jinggan
Wijayakarana bergaul erat dengan seorang Brahmanaraja yang benama
Ganggadara. Persahabatan antara
keduanya, ternyata bukanlah persahabatan biasa. Tetapi lebih merupakan
persekutuan politik. Brahmaraja Ganggadara berjanji akan membantu Wijayakarana merebut tahta Majapahit
bila saatnya kelak telah tiba. Tentu saja Wijayakarana juga memberikan
janji-janji tertentu, bilamana kelak cita-cita dan usahanya itu berhasil.
Dengan
adanya persekutuan rahasia itu, praktis
Ibukota Kerajaan Majapahit sudah
terkepung dari dua arah. Dari arah
utara, Wijayakarana dibantu Brahmana Ganggadara dengan sejumlah anak buahnya
yang berada di Jinggan. Dari arah selatan, Wijayakusuma dibantu adiknya Ranawijaya dan
sejumlah pasukannya yang berada di
Kadipaten Keling.
Saat
yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada tahun 1478 M, setelah sakit beberapa lama
Raja Majapahit Dyah Suraprabhawa mangkat. Tidak lama setelah acara berkabung
selesai, Wijayakarana dibantu Brahmanaraja Ganggadara mulai melancarkan serangan
dari arah utara. Sementara itu, Wijayakusuma dengan dukungan pasukan dari
Keling, melancarkan serangan dari arah selatan. Mendapat serangan yang mendadak
dan tiba-tiba itu, keturunan Raja yang
telah mangkat mencoba bertahan. Tetapi apa daya, musuh yang menyerang labih
kuat dan lebih siap. Pertahanan Kota
Majapahit pun jebol, pertempuran hanya berlangsung singkat. Pasukan penyerbu
berhasil menaklukan pasukan
kerajaan pendukung keturunan raja yang telah mangkat.
Maka
jatuhlah Kerajaan Majapahit. Pusat pemerintahan segera dipindahkan ke Keling.
Keling muncul sebagai kerajaan baru yang
mengaku sebagai penerus Kerajaan Majapahit. Sejak itu keturunan Sri Kertawijaya (1447-1451 M),
memegang tahta kerajaan Majapahit yang berpusat di Keling. Sejak saat itu pulalah sebenarnya, nama
Brawijaya mulai muncul. Sri Kertawijaya, dikenal sebagai Brawijaya yang
memperistri Putri Campa dan juga Putri
keturunan China yang kelak menjadi ibu Raden Patah. Dengan demikian Sri
Kertawijaya identik dengan Brawijaya I dalam Babad Tanah Jawi. Dan Ranawijaya
identik dengan Brawijaya VII atau Brawijaya terakhir.
Tidak
lama setelah berhasil mengambil alih tahta Kerajaan Majapahit,
Wijayakarana mangkat. Putra sulungnya
Wijayakusuma ditunjuk menjadi pengganti. Tetapi Wijayakusuma juga tidak lama memerintah. Akhirnya tahta
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Keling itu, jatuh ketangan Ranawijaya. Maka
Ranawijaya pun naik tahta. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 1486 M. Dan pada saat itulah Ranawijaya memenuhi janji
ayahnya kepada Brahmana Ganggadara yang telah ikut berjasa dalam perebutan tahta
Kerajaan Majapahit. Brahmana Ganggadara
mendapat hadiah tanah dari Ranawijaya sebagi balas jasa atas segala jasa dan
pengorbanannya.
Dengan
dipindahkannya Ibukota Kerajaan
Majapahit ke Keling, secara politis sebenarnya Kerajaan Majapahit sudah runtuh
sejak tahun 1478 M. Sebagai gantinya muncul Kerajaan Keling yang mengaku
sebagai penerus Kerajaan Majapahit. Dalam kenyatannnya tidak semua daerah
secara otomatis mau mengakui kedaulatan Kerajaan Keling Majapahit. Banyak
di antara mereka yang mengaggap bahwa hubungan dengan Kerjaan Majapahit telah
terputus begitu Kerajaan Majapahit dipindahkan
dan mengalami
pergantian tahta. Salah
satu di antaranya adalah Kadipaten Giri. Sunan Giri menyatakan wilayahnya
sebagai wilayah merdeka yang lepas dari Kerajaan Keling Majapahit. Tetapi Sunan
Giri sendiri tidak berminat menjadi penguasa duniawi. Sunan Giri lebih tertarik
pada masalah-masalah dakwah dan pengembangan Agama Islam. Karena itu, dia
mendorong Raden Patah, Adipati Demak
untuk secepatnya membentuk Kerajaan Islam Demak. Akhirnya Raden Patah diwisuda
oleh para wali pimpinan Sunan Giri
menjadi Sultan Kerajaan Islam Demak, disaksikan oleh para wali bekas santri Sunan Ampel, seperti Sunan
Bonang. Raden Patah sendiri adalah juga mantan santri Sunan Ampel. Bahkan Raden Patah juga menikahi putri Sunan Ampel
yang bernama Nyai Ageng Mandaka. Proklamasi berdirinya Kerajaan Islam
Demak terjadi pada tahun 1481 M, kurang
lebih tiga tahun setelah runtuhnya Majapahit.
Dengan
munculnya Kerajaan Islam Demak di Barat Laut Kerajaan Keling, maka Keling merasa terancam. Karena itu Ranawijaya
akhirnya memindahkan ibukota kerajaannnya ke Kediri. Dengan demikian
berdirilah Kerajaan Kediri, yakni kerajaan yang mengaku sebagai penerus Majapahit. Ranawijaya
berharap pemindahan kerajaannya ke kota kerajaan lama Kediri, akan mampu
membangkitkan kembali kejayaan Majapahit. Dan harapan Ranawijaya ini, hampir
saja menjadi kenyataan. Ranawijaya penguasa Kerajaan Kediri Majapahit (1486
-1527M dan Kerajaan Sengguruh (1527 -1545 M), inilah yang oleh Babad Tanah Jawi disebut-sebut
sebagai Brawijaya terakhir. Karena itu
anggapan Babad Tanah Jawi bahwa ayah
Raden Patah adalah Brawijaya terakhir jelas keliru. Raden Patah bukanlah anak
Ranawijaya. Tetapi anak Sri Kertawijaya, Raja Majapahit yang pernah memiliki
istri selir Putri Campa dan istri Putri China.
Ranawijaya
sendiri adalah cucu dari Sri Kertawijaya. Jadi
memang ada alur hubungan keluarga antara Raden Patah dan Ranawijaya.
Ranawijaya adalah kemenakan Raden Patah
lewat jalur Wijayakarana, putra bungsu Sri Kertawijaya dari jalur
permaisuri. Karena itu usia Wijayakarana
lebih tua dari Raden Patah, karena Raden Patah hanya anak dari istri seorang selir. Dan selir itu,
seorang putri peranakan keturunan China. Ketika Putri China itu sedang mengandung, diserahkan kepada Adipati Palembang, Arya
Damar. Dengan demikian Raden Patah adalah putra Brawijaya I yakni Sri
Kertawijaya(1447-1451 M).
4 Dakwah Sunan Bonang Di Kediri.
Setelah
kerajaan Demak berdiri dan Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan, status masjid
Demak pun meningkat. Dari semula masjid Kadipaten, menjadi masjid kerajaan.
Dalam rangka meningkatkan kewibawaan Masjid Demak sebagai masjid kerajaan, pada
tahun 1490 M, atas permintaan istri Raden Patah, Sunan Bonang diminta menjadi
Imam Besar Masjid Demak. Cukup lama juga Sunan Bonang memegang jabatan itu.
Pada
tahun 1505 M, Sunan Bonang meletakkan jabatan,
karena ingin lebih berkonsentrasi pada kegiatan dakwah ke wilayah Jawa Timur.
Saat itu, hampir seluruh wilayah Jawa Timur, kecuali Giri, belum mau
mengakui kedaulatan Kerajaan Islam
Demak. Wilayah Tuban sendiri, malah mengakui kedaulatan Kerajaan Kediri.
Demikian pula wilayah Kadipaten Pengging. Mula-mula Sunan Bonang tinggal di
Karang Kemuning, di desa Bonang, dekat Tuban . Karena itu dia terkenal sebagai
Sunan Bonang.
Saat
itu yang menjadi Adipati Tuban adalah Adipati Arya Teja III. Arya Teja III ini
adalah cucu Arya Teja I. Sedang Arya Teja I adalah mertua Sunan Ampel atau
kakek Sunan Bonang. Jadi Arya Teja III adalah saudara sepupu Sunan Bonang. Walaupun
sudah memeluk Islam seperti kakeknya, Arya Teja III ini lebih suka mengakui
kedaulatan Kerajaan Hindu Kediri di bawah Ranawijaya daripada Kerajaan Islam Demak di bawah Raden Patah.
Hal ini membuat Sunan Bonang agak gelisah juga. Lebih-lebih lagi karena sikap
Arya Teja III, sekalipun pemeluk Islam, kecenderungannnya pada kepercayaan
Hindu Buddha masih tebal.
Bahkan
dia lebih suka memakai gelar Wila Tikta yang berbau Hindu Buddha daripada
memakai nama gelar warisan kakek dan ayahnya yang menurut anggapannya
berbau Islami. Sunan Bonang dengan tekun
berusaha mengembangkan Islam pada masyarakat Tuban. Hasilnya tidak sia-sia.
Sunan Bonang bahkan berhasil mendidik Raden Sahid, putra Bupati Tuban yang
masih kemenakannya itu, menjadi ulama yang hebat dan disegani. Raden Sahid kelak terkenal
sebagai Sunan Kalijaga.
Pada
saat menetap di Tuban inilah Sunan Bonang mencoba untuk menyiarkan dakwah Islam
ke pusat Kerajaan Hindu Buddha di
Kediri. Dr. H.J De Graaf, ahli Sejarah Jawa, mencatat pada saat Sunan
Bonang melancarkan dakwah Islam ke Kediri, dia bermarkas di desa Singkel,
sebuah desa di luar Kota Kediri yang terletak di tepi Sungai Brantas. Di sini
Sunan Bonang berhasil membangun sebuah masjid yang sangat kokoh dan kuat. Menurut
buku Babad Kediri, dakwah Sunan Bonang ke Kota Kediri sat itu mengalami
kegagalan. Memang dakwah Sunan Bonang mengalami tantangan yang berat. Hal ini
tentu dapat kita mengerti. Saat itu Kota Kediri merupakan pusat Kerajaan Hindu
Buddha yang mengklaim sebagai penerus Kerajaan Majapahit. Bagi Sunan Bonang
sendiri, melakukan dakwah adalah merupakan kewajibannya yang mulia. Karena itu soal
hasil, dia tidak terlalu mempersoalkannya dan
menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT.
Namun
isi Babad Kediri sendiri banyak mengandung bias. Buku ini baru ditulis dua
atau tiga abad setelah runtuhnya Kediri akibat serangan Kerajaan
Islam Demak pada tahun 1527 M. Karena itu isi Babad Kediri, bukan hanya
mengekor isi Babad Tanah Jawi tentang jatuhnya Majapahit yang ternyata
keliru dan tidak berdasarkan fakta sejarah. Tetapi isi Babad Kediri juga mengandung kebencian kepada Kerajaan
Islam Demak. Misalnya, disebutnya Raden Patah, Sultan Demak yang memang
keturunan peranakan China, dengan nada yang agak menghina sebagai Babah Fatah.
Seperti
halnya Babad Tanah Jawi, Babad Kediri juga
mengisahkan jatuhnya Kerjaan Majapahit sebagai akibat serbuan tentara Islam
Demak pimpinan Raden Patah. Raden Patah dianggap anak yang tak tahu adat sopan
santun Jawa. Karena sebagai anak Brawijaya, telah menyerang dan merusak
Kerajaan ayahnya. Padahal Brawijaya bukan hanya telah memberi keleluasaan Raden
Patah untuk menyebarkan Islam. Raden Patah juga telah direstui dan diangkat
sebagai Adipati Demak. Sunan Bonang ikut dikecam habis-habisan, karena dianggap
sebagai sosok yang mendorong-dorong Raden Patah untuk menyerang Kerajaan
Majapahit.
Berbeda
dengan Babad Tanah Jawi yang tidak secara terang-terangan membela kepercayaan
agama Hindu Buddha, Babad Kediri dengan tegas menyatakan bahwa agama Buddha
lebih cocok untuk orang Jawa, sedangkan agama Islam lebih cocok untuk orang
Arab. Menurut Babad Kediri, agama Buddha mengajarkan budi atau makrifat. Sedangkan
Islam mengajarkan tarekat.
Di sini nampak jelas bahwa penggubah Babad
Kediri, sama sekali tidak paham arti dari makrifat dan tarekat, kecuali bahwa
makrifat diartikan sebagai hal-hal yang bersifat batiniah, sedangkan tarekat
diartikan sebagai hal-hal yang bersifat lahiriah. Dalam pandangan orang Jawa,
hal-hal yang bersifat batiniah lebih utama dari pada hal-hal yang bersifat
lahiriah.
Tentu
saja pandangan Babad Kediri itu banyak kelirunya. Agama Islam bukan hanya
mengajarkan hal-hal yang bersifat lahiriah saja. Hal-hal yang bersifat batiniah
yang disebut dengan iman dan takwa, merupakan hal yang penting bahkan amat
penting. Tetapi aspek lahiriah juga tidak dilupakan, seperti menjalankan syariat Islam. Pendeknya Islam mengajarkan keseimbangan antara hal-hal yang
bersifat lahiriah dan yang bersifat batiniah. Karena manusia terdiri atas unsur
jazadi dan rochani, dan kedua unsur itu perlu mendapatkan perhatian agar
diperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Menurut
Babad Kediri, kegagalan Sunan Bonang dalam berdakwah di Kediri, karena Sunan
Bonang telah berdakwah dengan cara-cara yang tidak simpatik. Misalnya,
diberitakan bahwa Sunan Bonang telah berjalan-jalan di tengah Kota Kediri
sambil membawa sebuah kudi, yakni sebilah golok yang
bagian bawahnya menggelembung seperti lengkungan perut. Kemudian
dengan goloknya itu, Sunan Bonang merusak setiap patung berhala yang
ditemuianya di sudut-sudut kota. Salah satu patung raksasa yang dirusak Sunan
Bonang adalah sebuah patung raksasa wanita yang amat besar.
Kitab
sastra Jawa yang berjudul Damarkeli, juga mengisahkan perbuatan tidak senonoh
dari Sunan Bonang karena telah merusak sebuah patung raksasa yang diklaimnya
sebagai patung karya Raja Jayabaya (1135-1157 M). Raja
Jayabaya adalah Raja Kediri pada
jaman kuno yang dikagumi orang Jawa karena ramalan-ramalannya yang terkenal. Dikisahkan
bahwa patung wanita raksasa yang dirusak oleh Sunan Bonang di pusat Kota Kediri itu, adalah patung
raksasa yang sangat mengagumkan. Posisinya jongkok
ke arah barat. Tingginya 16 kaki, lebar pinggangnya 10 kaki. Konon seandainya
dipindahkan dengan diangkat oleh 800
orang tanpa alat tak akan kuat. Arca raksasa wanita itu dikenal oleh penduduk
setempat sebagai Buta Nyai, artinya adalah raksasa wanita.
Dikisahkan bahwa Sunan Bonang telah merusak patung Buta Nyai itu dengan melukai
dahi patung dan mematahkan lengannya. Tindakan
nekad Sunan Bonang itu telah membuat marah Ki Yaksanetra, raja Jin
penjaga Kota Kediri. Dia
marah bukan main, lalu menampakkan diri dan
menegur Sunan Bonang dengan kasar :
“Arca
raksasa baik-baik kenapa Tuan rusak tanpa sebab? Sekarang jelek rupanya. Ini
adalah hasil karya Sang Prabu Jayabaya. Nah sekarang apakah hasilnya dengan
tuan yang telah merusakkannya dan
memecahkannya?“
Sunan
Bonang menjawab sambil marah pula, “Engkau ini sebangsa setan berani bertengkar dengan manusia. Itu
namanya setan yang sangat kurang ajar !”
“Ya,
tetapi apa bedanya ? Tuan adalah Sunan, sedang aku adalah Raja !” jawab Ki Yaksanetra tak kalah sengit.
Sunan
Bonang mencoba menjelaskan dengan kepala
dingin, ”Ketahuilah, makanya patung ini aku rusak, agar supaya jangan dipuja
bayak orang, diberi sesaji dan dibakari kemenyan. Jika orang memuja berhala,
namanya kafir, sesat lahir batin.“
Ki
Yaksanetra mencoba membantah, ”Orang Jawa sudah tahu, bahwasanya arca itu
dibuat dari batu, tidak punya kekuasaan dan bukan Tuhan. Patung itu diberi
sesaji, dibakari kemenyan agar semua mahluk halus tidak tinggal di pohon dan
tanah. Karena pohon dan tanah memberikan hasil bagi manusia. Mereka telah aman
dan nyaman tinggal di arca batu. Kini mereka tuan usir. Kemana mereka harus
tinggal? Sungguh tuan telah sewenang-wenang mengganggu mereka. Tuan tetap
berhati jahat dan kejam terhadap sesama makhluk Tuhan. Lebih baik manusia Jawa
tetap menghormati wujud arca. Bukankah orang Arab juga menyembah Ka’bah yang berujud batu dan karenanya
lebih-lebih sesatnya ? “
Sunan
Bonang menjawab entang, “Ka’bah di
Makkah itu buatan Nabi Ibrahim !”
Bagi
pembaca yang teliti, tak dapat disangsikan lagi, bahwa kisah dialog antara
Sunan Bonang dan Raja Jin Ki Yaksanetra
itu hanyalah kisah fantasi dari penggubah Kitab Damarkeli.
Idenya
diperoleh dari kisah Nabi Ibrahim,
ketika Nabi Ibrahim menyuruh kaumnya untuk berhenti menyembah
patung berhala. Kisahnya sbb.
“Ketika
semua penduduk Kota Ur keluar kota untuk mempersiapkan hari raya keagamaan
kaumnya, Nabi Ibrahim dengan membawa
kapak besar masuk ke dalam ruangan penyembah berhala. Di dalamnya terdapat
puluhan patung. Di depan patung tersedia
aneka jenis makanan yang siap disajikan dalam acara ritual penyembahan berhala.
Nabi Ibrahim melihat patung yang paling besar.
Tetapi patung raksasa yang terbesar itu tak diapa-apakan.
Yang dirusaknya adalah patung-patung kecil yang ada di dekat patung raksasasa
itu. Kampak yang telah digunakan untuk merusak patung-patung yang kecil itu,
diikat dengan tali dan dikalungkan ke leher patung yang paling besar. Nabi Ibrahim kemudian diam-diam meninggalkan
ruangan itu.
Dengan
aksinya itu, Nabi Ibrahim ingin
menunjukkan kepada kaumnya, bahwa patung
yang mereka sembah, puja dan diberi
sesaji itu, bukanlah obyek sesembahan. Karena patung-patung itu hanyalah benda
mati yang tak dapat memberikan manfaat ataupun mendatangkan mudarat. Buktinya,
Nabi Ibrahim tetap selamat dan sehat wal
afiat, sekalipun dia telah menghancurkan banyak patung.
Nabi Ibrahim ditangkap penguasa dan dibakar dalam
api unggun yang menyala. Tetapi karena mukjizat dari Allah SWT, Nabi Ibrahim selamat dan pergi meninggalkan Kota
Ur, kota kelahiranya.”
Demikianlah
sepenggal kisah Nabi Ibrahim yang mengilhami penulis Babad Kediri menggubah
kisah Sunan Bonang yang kebetulan menyandang nama Ibrahim itu, sebagai tokoh
yang telah merusak patung-patung yang bertebaran di Kota Kediri. Memang keadaan
penduduk dan Kota Kediri pada masa pra Islam, persis sama seperti penduduk Kota
Ur, kota tempat Nabi Ibrahim hidup pada
masa remajanya. Saat itu di Kota Kediri banyak patung-patung berhala
obyek sesembahan manusia.
Tetapi
kisah Sunan Bonang merusak patung-patung
di Kota Kediri, sukar untuk dapat dipercaya. Besar kemungkinan fantasi
itu timbul karena adanya kesamaan nama
antara Sunan Bonang yaitu Makhdum
Ibrahim dengan nama seorang Nabi yang juga amat terkenal dengan kisahnya tadi,
yakni Nabi Ibrahim.
Bahwa Sunan Bonang pernah mencoba berdakwah ke Kota
Kediri, dapat dibenarkan dari sudut sejarah. Tetapi tindakan Sunan Bonang
merusak patung-patung di Kota Kediri, hanyalah spekulasi dari penggubah kisah.
Kalau benar ada perusakan terhadap patung-patung di Kota Kediri, maka dapat
dipastikan persitiwa itu terjadi pada tahun 1527 M, saat Kota Kediri diserang
oleh Kerajaan Islam Demak di bawah piimpnan Panglima Perang Kerajaan Islam Demak, Sunan Kudus.
Bisa jadi Sunan Kudus dan bukan Sunan Bonang yang memerintahkan pasukannya
untuk menghancurkan patung-patung itu, guna mengurangi wibawa Kerajaan Hindu Buddha
Kediri yang saat itu telah berhasil ditaklukkan.
Pada tahun
1527 M itu Sunan Bonang sudah wafat, karena diperkirakan beliau wafat pada tahun 1525 M. Pada waktu
Demak menyerang Kediri (1527 M), yang dalam Babad Tanah Jawi
secara keliru digambarkan sebagai
serangan ke Kraton Majapahit sebelum pindah ke Keling, Sunan Bonang
tidak lagi disebut-sebut . Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 1527 M itu, memang benar bahwa Sunan Bonang sudah wafat. Beliau
dimakamkan di Tuban, tempat nenek moyangnya dari garis ibu.
5 Het Boek
Van Bonang
Di antara
para wali perintis dakwah Islam di tanah Jawa, Sunan Bonang termasuk wali yang
gemar menulis. Salah satu kumpulan tulisannya dihimpun dalam sebuah buku yang
dikenal dengan nama Primbon Sunan
Bonang. De Graaf, ahli Sejarah Jawa, menolak anggapan bahwa Primbon Sunan
Bonang itu adalah karangan Sunan Bonang. De Graaf menganggap bahwa Primbon
Sunan Bonang hanyalah berisi kumpulan
catatan Sunan Bonang tentang bebagai hal yang berkaitan dengan ajaran
Islam.
Menurut
Drs. Widji Saksono, karya tulis Sunan Bonang itu terdiri atas dua buah
buku. Buku Pertama disebutnya sebagai Primbon I, ditulis dalam bahasa dan huruf
Jawa. Sedang Primbon II, ditulis dalam huruf Jawa, tetapi bukan dalam bahasa
Jawa tapi dalam bahasa Bali atau Lombok. Kedua buku itu lenyap dari masyarakat
kota Tuban. Lalu ditemukan kembali oleh
awak kapal pimpinan Cornelis de Houtman, yang berlabuh di Tuban pada bulan Juli 1597 M.
Ketika itu Armada
Cornelis De Houtman , sedang
dalam perjalanan pulang ke Negeri Belanda setelah hampir satu tahun mencari barang dagangan
berupa rempah-rempah. Saat berlabuh di Tuban, salah seorang awak kapal De
Houtman, berhasil memperoleh buku
tulisan Sunan Bonang tersebut. Kedua naskah itu, dibawa ke Belanda
bersama-sama hasil barang dagangannya
berupa 245 karung lada, 45 ton pala dan 30 bal bunga pala. Jumlahnya
memang tidak seberapa. Itu pun sebagian besar hasil dari merampas dan merampok
kapal-kapal lain yang ditemuinya di tengah laut. Namun begitu Cornelis De Houtman dalam pelayaran
perdananya itu berhasil meraup untung sebesar 87.000 gulden. Keuntungan itu
belum termasuk naskah kuna tulisan Sunan Bonang yang kemudian berhasil
dijualnya. Setelah beberapa kali pindah tangan, naskah itu berhasil disimpan di
Perpustakaan Universitas Leiden.
Buku
karya Sunan Bonang ini, menarik para
ahli Belanda. Pada tahun 1881 M, Dr. J.G.H Gunning menjadikan Primbon II
sebagai bahan penulisan tesisnya untuk meraih gelar doktor di Universitas
Leiden. Pada tahun 1916 M, Dr.B.J.O Schrieke, menjadikan Primbon I yang disebutnya
sebagai Het Boek Van Bonang, menjadi dasar penulisan tesis untuk meraih gelar
doktor, juga di Universitas Leiden. Akhirnya pada tahun 1921, Dr. H.Kraemer,
menyusul pendahulunya menjadikan Buku Primbon I dan Primbon II sebagai bahan rujukan dalam menyusun tesis
doktornya di Universitas Leiden.
Adapun
isi dari Primbon I dan II, sekalipun judulnya Primbon, isinya bukanlah hal-hal yang bersifat klenik, nujum atau pun
ramalan sebagaimana isi buku-bulu primbon pada masa yang lebih kemudian.
Isi Primbon I
dan II yang dikenal sebagai Het Boek Van Bonang itu adalah tentang ilmu-ilmu
agama Islam, mulai dari ushuludin, fikih atau syariat Islam, tauhid
atau ilmu kalam dan tasawuf. Tasawuf yang dibahas Sunan Bonang adalah tasawuf yang
Islami, sesuai dengan paham Ahli Sunnah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah
saw. Bukan tasawuf yang menyimpang dari aliran Suni, seperti tasawuf yang
diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Justru
ajaran tasawuf
Sunan Bonang itu disampaikan dalam rangka membentengi umat Islam dari pemikiran
dan gagasan tasawuf yang menyimpang yang
dapat melemahkan akidah Islamiah dan tauhid Umat
Islam pada saat itu. Dalam hal ini missi Sunan Bonang cukup
berhasil.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dimakamkan di Tuban. Jasanya sangat besar. Di bidang kenegaraan, bersama Sunan Giri, mendorong dan memberikan dukungan penuh kepada Adipati Bintara, Raden Patah untuk memproklamirkan berdirinya Kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Di bidang kebudayaan dan kesenian bersama muridnya Sunan Kalijaga, menciptakan boneka wayang dari kulit untuk mementaskan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana yang amat digemari penduduk. Kisah-kisah dalam kitab suci orang Hindu dan Buddha itu, telah digubah oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga ke dalam kisah-kisah wayang kulit dalam visi yang lebih sesuai dengan ajaran Islam.[].