Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Selasa, 24 Mei 2016

Sejarah Walisongo (03) : Sunan Bonang - Makhdum Ibrahim, Tak Pernah Lelah Berdakwah



1 Tahun Kelahiran
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel dari istrinya Dyah Ayu Retna Siti Manila, putri Arya Teja I, Adipati Tuban. Dalam ceritera-ceritera tutur maupun babad, tidak pernah disebutkan kapan tahun kelahirannya.
Demikianlah memang sifat dari  buku-buku babad, kronik lokal atau lebih-lebih lagi ceritera tutur. Jarang sekali yang menyebutkan tahun kelahiran sang tokoh. Kalau toh  disebutkan juga, terkadang tidak tepat dan tidak akurat, sehingga sering menyulitkan untuk kepentingan penyelidikan. Untunglah ada juga ahli-ahli sejarah yang bekerja berdasarkan kaidah-kaidah tertentu dan berdasarkan cara-cara ilmiah, sehingga seringkali tahun kelahiran, masa hidup dan waktu kematian sang tokoh dapat  ditetapkan. Memang kadang-kadang tidak tepat benar, tetapi paling tidak dapat mendekati kenyataannya yang sebenarnya.
Dr.Schrieke dari Universitas Leiden, dalam bukunya Het Boek van Bonang, sebagaimana dikutip oleh Drs.Widji Saksono, memperkirakan bahwa Pernikahan Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan  putri Adipati Tuban itu, terjadi pada tahun 1450 M. Pada saat itu yang bertahta di Kerajaan Majapahit adalah Sri Kertawijaya (1447-1451M). Karena menurut Babad Tanah Jawi, raja-raja Majapahit itu dikenal dengan nama   Brawijaya, maka Sri Kertawijaya juga dikenal sebagai Raja Brawijaya. Hanya Brawijaya keberapakah Sri Kertawijaya itu?
Para ahli sejarah dan peminat babad belum dapat menetapkan dengan pasti dan muncul perbedaan pendapat. Sebagian ahli menyatakan bahwa nama Brawijaya sebenarnya hanyalah mitos yang didasarkan cerita tutur yang ditulis kembali oleh penggubah Babad Tanah Jawi. Tetapi tentu ada pendapat yang lain lagi yang menyatakan mitos atau bukan, nama Brawijaya sudah menjadi realitas yang diakui keberadaanya oleh masyarakat Jawa Timur. Lagi pula memang ada nama-nama raja Majapahit yang diakhiri dengan kata Wijaya. Pendiri kerajaan Majapahit sendiri juga bernama Raden Wijaya. Raja Majapahit yang bertahta pada tahun 1447-1451 M ,juga memakai nama Wijaya yaitu Sri Kertawijaya. Cucunya yang kelak menjadi Raja  Keling Majapahit dan Kediri Majapahit (1486-1527 M), juga memakai nama Wijaya, yaitu Ranawijaya.
Ahli sastra dan sejarah Jawa umumnya berpendapat bahwa kata Brawijaya berasal dari kata Bhra dan Wijaya. Bra itu berarti cerlang atau cemerlang, yang sama artinya dengan  arti Sri. Jadi arti Brawijaya adalah Raja Wijaya yang Cemerlang. Demikianlah,  pada saat Sunan Ampel menikah, maka yang menjadi raja Majapahit adalah  Brawijaya I atau Sri Kertawijaya.
Dari pernikahannya dengan putri Arya Teja I itu, Sunan Ampel  dikaruniai tiga anak. Menurut Dr.Husein Djajadiningrat, anak  Sunan Ampel dengan putri Arya Teja  itu ada tiga orang dengan urut-urutan sebagai berikut : Nyai  Maloko, Nyai Gedeng Pancuran dan Sunan Bonang. Jadi Sunan Bonang adalah anak ke  tiga Sunan Ampel. Tetapi menurut Babad Tanah Jawi, ketiga anak Sunan Ampel adalah Nyai Ageng Manyura, Sunan Bonang dan Sunan Drajat.
Pendapat senada  dikemukakan Al Hamid Al Husaeni yang menyatakan bahwa Sunan Bonang adalah anak kedua Sunan Ampel. Bedanya dengan Babad Tanah Jawi, menurut Al Husaeni, seorang ulama dari kota Tuban, putra Sunan Ampel itu ada empat orang. Urut-urutannya adalah Nyai Ageng Manyura, Sunan Bonang, Sunan Drajat dan seorang putri lagi yang tak diketahui namanya. Harun Nasution, hampir sependapat dengan Al Husaeni, hanya urut-urutannya saja yang berbeda. Menurutnya, yang pertama adalah Sunan Bonang, yang kedua Sunan Drajat, yang ketiga Nyai Ageng Maloko dan yang ke empat tak diketahui namanya. Hamka sependapat dengan Harun Nasution. Karena itu Hamka menegaskan bahwa Sunan Bonang lahir pada tahun 1450 M. 
Sementara itu, Schrieke manduga Sunan Bonang adalah anak ke tiga Sunan Ampel, yang lahir pada tahun 1465 M. Pendapat Schrieke ini agak aneh, terutama karena dia memperkirakan bahwa Sunan Ampel  wafat pada tahun 1467 M. Drs. Wiji Saksono menolak pendapat Dr.Schrieke dengan cara berkelakar. Apakah mungkin anak yang baru belajar merangkak sudah bisa belajar menjadi murid Sunan Ampel? Kita tahu bahwa Sunan Ampel mendidik Sunan Bonang dan Sunan Drajat bersama-sama santri-santri lainnya di Pesantren Ampel Denta yang didirikannya.
Kita akan berpegang saja pada pendapat Dr. Hamka yang lebih realistis, yakni Sunan Bonang adalah putra sulung Sunan Ampel yang lahir pada tahun 1450 M, yang juga merupakan tahun pernikahan Sunan Ampel. Hanya saja, pernikahan Sunan Ampel terjadi pada awal tahun, sedang kelahiran Sunan Bonang pada akhir tahun 1450 M. Besar kemungkinan yang lahir tahun 1465 M, seperti yang diduga oleh Dr.Schrieke adalah Sunan Drajat. Ada yang berpendapat bahwa Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, tetapi bukan dari istri putri Arya Teja. Jika demikian, maka  jumlah anak Sunan Ampel dari pernikahannya dengan putri Arya Teja itu, hanya tiga orang, seperti yang telah dikemukakan oleh Dr. Husein Djajadiningrat di atas. Hanya saja  urut-urutannya dibalik. Sunan Bonang bukan anak bungsu, tetapi anak pertama. Jadi urutannya adalah sbb : Sunan Bonang, Nyai Gede Maloko dan Nyai Gedeng Pancuran. Sunan Drajat adalah adik Sunan Bonang tetapi beda ibu.
Tidak lama setelah pernikahannya itu, Raden Rahmat kedatangan seorang ulama dari negeri Pasai, kakak sepupunya sendiri yang bernama Sykeh Yakub bin Maulana Ishak. Syekh Yakub bin Maulana Ishak meminta saran kepada Sunan Ampel ke daerah mana sebaiknya dia berdakwah di wilayah Jawa Timur. Sunan Ampel menyarankan agar kakak sepupunya itu berdakwah ke daearah Blambangan yang kepercayaan Hindunya amat kuat.
Antara tahun 1450-1455 M, Syekh Yakub bin Maulana Ishak mencoba berdakwah ke daerah Blambangan sesuai  saran Sunan Ampel. Ternyata ulama dari Pasai ini gagal mengislamkan penguasa Blambangan. Tetapi dia berhasil menyunting putri Raja Blambangan.  Lahirlah putranya yang diberi nama Raden Paku, dan kelak menjadi Sunan Giri.

2 Makhdum Ibrahim.
Betapa gembira Sunan Ampel saat mengetahui istrinya melahirkan seorang bayi laki-laki. Istrinya  Dyah Retno Manila tentu ikut  gembira karena dapat melahirkan seorang anak laki-laki yang memang amat diharapkan oleh suaminya. Sunan Ampel memberi nama anak itu Makhdum Ibrahim. Sebuah nama yang terdengar sedikit aneh, terutama karena ada kata Makhdum.
Kata kedua, Ibrahim tentu tidak asing lagi bagi kita. Nama Ibrahim mengingatkan kepada kita nama seorang nabi  yang cerdas, kritis, lurus, taat pada perintah Allah SWT, Nabi Ibrahim AS. Dia menjadi Bapak yang menurunkan  banyak  nabi , termasuk Nabi  kita Muhammad saw. Tetapi Makhdum?
Nama ini ternyata adalah sebuah nama gelar yang biasa diberikan kepada orang-orang terhormat dan terkemuka di Kerajaan Islam Delhi di India. Gelar Makhdum juga banyak dipakai oleh para pangeran dan ulama dari Pasai. Misalnya saja nama ulama Pasai yang terkenal sebagai ahli bahasa Arab dan Melayu yakni Makhdum Patahan. Dialah ulama Pasai yang pertamakali menterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu kitab tasawuf  Durru’l-manzum karangan Maulana Abu Ishak. Pemakaian gelar Makhdum oleh bangsawan Pasai menunjukkan adanya pengaruh dan hubungan kebudayaan yang erat antara Kerajaan Islam Delhi- Gujarat dan Pasai.
Ayah Sunan Ampel sendiri juga memakai gelar Makhdum yakni Makhdum Ibrahim Asmara. Besar kemungkinan Ulama menantu Raja Campa itu syahid pada saat Kerajaan Campa diserang Kerajaan Koci, sehingga untuk mengenang  ayahnya itu, Sunan Ampel memberi nama anak laki-laki pertamanya itu dengan nama Makhdum Ibrahim yang tidak lain adalah nama dari ayah Sunan Ampel. Pemberian nama  Makhdum oleh Sunan Ampel kepada putra laki-laki pertamanya itu juga menunjukkan bahwa ada ikatan kekerabatan yang erat antara Campa dan Pasai.
Dengan nama Makhdum Ibrahim yang bisa diartikan Ksatria Ibrahim, Sunan Ampel punya harapan agar anak lelakinya yang pertama itu kelak dapat menjadi sosok yang berwibawa dan terkemuka dalam bidang agama Islam seperti halnya Nabi  Ibrahim.
Agaknya harapan Sunan Ampel itu tidak sia-sia dan mendapat perkenan dari Allah SWT. Ternyata Makhdum Ibrahim tumbuh menjadi anak yang sehat, kuat, sabar, ulet, penyayang terhadap sesama. Tetapi dia juga tegas terhadap prinsip-prinsip dasar dari   agama Islam yang diyakini kebenarnnya.
Beberapa bulan setelah  Sunan Bonang lahir, Raja Majapahit Sri Kertawijaya (1447-1451 M) mangkat. Penggantinya adalah adiknya lain ibu, yakni Rajasawardhana Sang Sinagara. Dia hanya memerintah selama tiga tahun (1451-1453 M). Menurut Prof.Slamet Mulyana, selama dia memegang tahta Kerajaan Majapahit selalu sakit-sakitan. Bahkan beredar kabar burung, bahwa  Sang Raja itu menderita sakit ingatan. Sepeninggal Sang Sinagara, tahta kerajaan dibiarkan kosong (1454-1456 M). Kekosongan pemerintahan Majapahit dan Sang Raja sebelumnya yang tidak efektif mengendalikan pemerintahan karena sakit-sakitan, tentu saja berdampak besar pada stabilitas kerajaan.
Penguasa daerah yang jauh dari pusat siap-siap untuk melepaskan diri. Sementara penguasa kadipaten yang dekat seperti Tumapel, Daha, Kediri, Keling , Wengker dan lainnya lagi, siap-siap bersaing untuk mengambil alih tahta kerajaan. Bila tidak tercapai kata sepakat di antara ahli waris pastilah akan timbul konflik. Dan bila terjadi konflik tentulah akan berupa perang saudara, karena hampir semua   adipati dari kadipaten yang dekat dengan pusat itu  mempunayi ikatan kekerabatan yang erat.
Mereka rata-rata adalah anak-anak Wikramawardhana yang memang jumlahnya amat banyak. Mereka semuanya merasa punya hak atas tahta kerajaan Majapahit. Tetapi pada tahun 1456 M itu, bisa dicapai kata sepakat, sehingga Hyang Purwawisesa dapat naik tahta (1456-1466 M). Demikian pula pada tahun 1466 M, saat Hyang Purwawisesa mangkat, Dyah Suraprabhawa naik tahta (1466- 1478 M).
Sunan Ampel dengan cermat mengamati perkembangan Kerajaan Majapahit yang labil dan mulai goyah itu. Tetapi posisinya tetap sebatas pengamat di pinggir lapangan dari panggung  politik tempat kebijakan Sang Raja dipentaskan. Sunan Ampel tetap tekun mengembangkan pesantrennya untuk mendidik  santri-santrinya agar bisa  membangun masyarakat Islami yang bebas dari diskriminasi kasta dan lebih menghargai kemanusiaan. Sunan Ampelpun  mendidik putranya itu dengan sabar dan tekun.
Rupanya Sunan Bonang memang memiliki bakat dan kecerdasan yang luar biasa dalam ilmu-ilmu  agama. Dia tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan pesantren yang dipimpin  ayahnya itu. Sunan Bonang praktis mendapatkan bimbingan dan gemblengan langsung dari Sunan Ampel. Bakat intelektual Sunan Bonang segera kelihatan. Dalam waktu yang relatip singkat, ilmu-ilmu yang diajarkan ayahnya dapat dikuasainya dengan baik  antara lain, tauhid, fikih, tareh, Rukun Islam, Rukun Iman, tatabahasa Arab ,tafsir bahkan tasawuf. 
Sunan Ampel adalah penganut  Mashab Safei dari aliran Suni. Tetapi karena kecerdasan Sunan Bonang dalam waktu singkat dia sudah memahami mashab-mashab Islam yang lain, dengan cara belajar secara otodidak melalui  buku-buku koleksi perpustakaan pribadi Sunan Ampel yang memang cukup luas.
Pada saat Pesantren Ampel berdiri sudah ada kitab-kitab agama yang beredar  dengan cara disalin dan diterjemahkan kedalam bahasa Melayu dengan menggunanakan huruf  Arab Melayu atau huruf Jawi. Buku-buku  tentang Keislaman saat itu, banyak yang disalin dari tulisan para Ulama-ulama dari Pasai. Memang  Pasai sejak abad ke 13 dan 14 M, sudah berkembang menjadi pusat studi  Keislaman  yang berpengaruh di Asia Tenggara. Bahkan buku-buku sastra  agama telah banyak yang disalin dan diterjemahkan orang dari buku-buku sastra Parsi dan Arab. Misalnya saja, riwayat Nabi Muhammad saw, kisah para nabi, riwayat para sahabat  Nabi  saw dan kisah orang-orang suci. Buku-buku yang bercorak  sastra agama kebanyakan bernilai didaktik dan bermanfat bagi pembentukan pribadi dan watak para santri agar berjiwa Islami, beriman dan bertakwa. Walaupun harus diakui pula ditemukan  adanya buku-buku sastra agama yang menyimpang  karena isinya yang berupa pemujaan secara berlebihan kepada sang tokoh.
Demikian pula buku-buku tasawuf. Baik yang  Islami maupun yang menyimpang sudah dapat ditemukan dan ramai menjadi bahan pembicaraan. Salah satunya adalah ajaran Wihdatul Wujud,  ajaran Hulul atau Ittihad. Paham Wihdatul Wujud dan Hulul sampai juga ke Pulau Jawa. Tetapi Sunan Ampel cukup bijaksana dan waspada terhadap  ajaran tasawuf yang menyimpang. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa semua santri didikan Sunan Ampel adalah para santri yang taat pada  ajaran syariat. Padahal saat itu tasawuf yang bercorak hulul dan wihdatul wujud secara samar-samar sudah mulai menembus ke Pulau Jawa. Sunan Ampel dan santri-santrinya mampu melindungi dirinya  dari  ajaran tasawuf yang menyimpang, karena Sunan Ampel sudah memiliki salinan kitab Ihya Ulumuddin karya  Al Ghazali. Kitab Al Ghazali ini, adalah kitab yang bisa menuntun seorang santri agar  dalam penghayatan makrifat ketuhanan, tetap berada di jalur syariah sebagaimana yang diajarkan dan dipraktekkan oleh  Rasulullah saw.
Pada usia sekitar dua puluh lima tahun, bersama Raden Paku yang kelak bernama Sunan Giri, sahabatnya sesama murid Sunan Ampel, Sunan Bonang  pergi ke Malaka.Tujuan semula  untuk menunaikan ibadah haji. Mereka beberapa bulan tinggal di Malaka dan berguru kepada para ulama-ulama terkenal yang ada di situ. Kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanan ke Pasai, Sumatra. Di sana mereka berdua berguru kepada ulama terkenal yang ada di situ, antara lain adalah Syekh Yakub bin Maulana Ishak, ayah Raden Paku sendiri.  Setelah berguru  beberapa bulan, Syekh Yakub bin Maulana Ishak malah menyuruh mereka berdua untuk pulang ke Pulau Jawa saja, agar bisa membantu Sunan Ampel dalam melaksanakan tugas dakwahnya di tanah Jawa. 
“Naik haji, dapat ditunda dulu, karena Pulau Jawa saat ini sangat memerlukan kehadiran kalian berdua. Lebih-lebih  lagi Kerajaan Majapahit tengah dilanda krisis,” ujar Syekh Yakub bin Maulana Ishak memberi nasihat. Karena mematuhi nasihat Syekh Yakub bin Maulana Ishak, mereka berdua pun kembali ke Jawa. Raden Paku segera membangun pesantren baru di puncak ketinggian bukit Giri, hingga Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Makhdum Ibrahim sendiri kembali ke Pesantren Ampel Denta dan membantu ayahnya mengelola pesantren Ampel Denta. Ternyata apa yang diperkirakan oleh ayah Raden Paku, bahwa Kerajaan Majapahit tengah mengalami krisis, benar adanya. Tak lama sesudah  Sunan Bonang dan Sunan Giri tiba di Pulau Jawa, Raja Majapahit mangkat.

3 Runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Babad tanah Jawi menceriterakan bahwa runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 M, yang ditandai dengan candra sangkala, ”Sirna ilang kertaning bumi. konon  adalah akibat dari serangan tentara Islam dari Demak di bawah pimpina Raden Patah. Ternyata berdasarkan penelusuran sejarah, kisah runtuhnya Kerajaan Majapahit sebagai akibat dari serangan Kerajaan Islam Demak pimpinan Raden Patah, ternyata  tidak memiliki dasar yang kuat.
Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan bahwa setelah Sunan Ampel wafat, para wali bermusyawarah untuk mengangkat Raden Patah sebagai Sultan Demak. Kemudian disusunlah program untuk menyerang Majapahit. Rapat dipimpin oleh Sunan Bonang dan  ditetapkan Sunan Ngudung, ayah Sunan Kudus sebagai panglima perang.
Kenapa serangan ke Majapahit, baru dilakukan setelah Sunan Ampel wafat? Menurut ceritera babad, Raden Patah pernah menghadap  Raja Brawijaya yang menurut Babad Tanah Jawi adalah ayah Raden Patah. Dalam kesempatan itu, Raden Patah mengajak agar ayahnya, yakni Raja Brawijaya bersedia memeluk agama Islam. Tetapi Raja Brawijaya tidak bersedia. Hal ini membuat Raden Patah kecewa. Selesai menghadap Raja Brawijaya, Raden Patah tidak langsung kembali ke Demak, tetapi menghadap Sunan Ampel lebih dulu. Pada kesempatan itu  Raden Patah minta ijin kepada  Sunan Ampel untuk menyerang Majapahit.
“Kanjeng Sunan, ijinkanlah kami berbicara. Mengingat jumlah orang Jawa yang masuk Islam masih sedikit, mohon perkenan Kanjeng Sunan, untuk menyerang Majapahit, karena hingga kini Sang Raja masih tetap memeluk agama Buddha. Selama Rajanya orang Jawa belum memeluk Islam, jumlah orang Jawa yang masuk Islam tidak akan banyak,” ujar Raden Patah meminta ijin kepada Sunan Ampel yang menurut Babad Tanah Jawi adalah guru dan juga kakeknya karena Raden Patah menikah dengan cucu Sunan Ampel.
Sunan  Ampel menjawab pelan, “ Oh, cucuku. Sang Raja ayahmu salahnya apa? Bukankah dia tidak melarangmu untuk menyebarkan agama Islam? Ketahuilah, adapun sebabnya Sang Raja belum mau memeluk agama Islam adalah karena Allah memang belum mengijinkanNya. Karena itu bersabarlah.“
Mendengar jawaban itu, Raden Patah sangat kecewa, kemudian pulang kembali ke Demak. 
Kisah Babad Tanah Jawi ini, di samping bertentangan dengan fakta sejarah yang ada, juga mengandung unsur yang sedikit tendensius karena bisa ditafsirkan hendak menyudutkan Raden Patah dan Kerajaan Islam Demak. Dengan kisah seperti di atas, pembaca akan memperoleh kesan bahwa Raden Patah adalah anak yang tidak tahu membalas budi kepada orang tuanya. Hanya karena persoalan perbedaan keyakinan agama, Raden Patah sampai hati mengangkat senjata untuk menghancurkan kerajaan ayahnya.
Tetapi dari  hasil penelitian sejarah menunjukkan bahwa pada saat itu Kerajaan Demak belum  terlalu kuat untuk menyerang Majapahit. Memang betul bahwa Kerajaaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M. Tetapi menurut penelitian Prof. Dr. Slamet Mulyana, penyebab runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 M itu, bukan disebabkan oleh serangan tentara Islam Demak, sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Jawi. Majapahir runtuh pada tahun 1478 M akibat dari perang perebutan tahta di antara para keturunan Raja Wikramawardhana (1389-1429M).
Wikramawardhana adalah menantu dan sekaligus kemenakan Hayam Wuruk yang naik tahta pada tahun 1389 M, setelah Hayam Wuruk mangkat.
Pernikahan Wikramawardhana dengan putri Hayam Wuruk, ternyata Kusumawardhani  hanya menurunkan satu anak laki-laki saja. Satu-satunya putra mahkota inipun meninggal pada usia yang masih amat muda. Akibatnya pewaris tahta Kerajaan Majapahit jatuh ke tangan putra-putri Wikramawardhana dari para selirnya. Karena selirnya banyak, maka putra-putri Wikramawardhana juga banyak.
Pada tahun 1429 M, putri Wikramawardhana, Suhita naik tahta. Tetapi pada tahun 1447 M, adik Suhita, Sri Kertawijaya naik tahta, karena Suhita mangkat. Tahun 1451 M, Sri Kertawijaya mangkat. Maka adiknya Sang Sinagara menggantikannya. Tetapi Sang Sinagara hanya bertahta selama tiga tahun, itu pun tidak efektif, karena konon selama memegang tahta, Sang Sinagara menderita sakit ingatan.
Setelah Sang Sinagara mangkat, tahta Kerajaan Majapahit dibiarkan kosong hampir selama tiga tahun. Kosongnya tahta Kerajaan Majapahit itu, menunjukkan bahwa di antara para ahli waris tahta, tidak tercapai kesepakatan, siapa yang berhak menduduki tahta Majapahit.
Pada tahun 1456 M, barulah Bhre Kahuripan yang bergelar Hyang Purwawisesa(1456-1466 M),  berhasil mengambil alih tahta Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1466 M, Hyang Purwawisesa mangkat.
Adapun penggantinya adalah Bhre Tumapel. Dia adalah yakni Singawikramawardhana  Dyah Suraprabhawa. Dia adalah adik dari Sri Kertawajaya, juga adik Sang Sinagara. Dengan demikian Dyah Suraprabhawa  adalah putra Wikramawardhana. Pada saat Dyah Suraprabhawa naik tahta Majapahit, yang menjadi  Adipati Keling atau Bhre Keling adalah putra bungsu dari Sri Kertawijaya yang bernama Girindrawardhana Dyah Wijayakarana. Dia mempunya dua orang putra yaitu Wijayakusuma dan  Ranawijaya.
Sebagai putra bungsu dari Sri Kertawijaya,  Bhre Keling Wijayakarana merasa  punya hak atas tahta Kerajaan Majapahit. Rupanya setelah Dyah Suraprabhawa, pewaris tahta Majapahit tingkat anak  Wikramawardhana sudah habis. Dengan sendirinya sepeninggal Dyah Suraprabhawa, akan timbul perebutan tahta Majapahit pada tingkat cucu Wikramawardhana.  Bhre Keling Wijayakarana mengetahui bahwa pamannya Dyah Suraprabhawa bermaksud mewariskan tahta Majapahit pada putra-putra keturunannya.
Bila hal ini terjadi, peluang keturunan Sri Kertawijaya untuk menduduki tahta Majapahit akan semakin kecil. Bagi Wijayakarana  untuk memperoleh tahta Majapahit, tidak ada jalan lain kecuali  mengambil tahta Majapahit dengan jalan kekerasan.  Itulah jalan pikiran Brhe Keling Wijayakarana, putra bungsu Sri Kertawijaya. Maka sambil menunggu saat yang tepat, Wijayakarana melepaskan sementara kedudukannya sebagai Adipati Keling dan menyerahkan jabatan itu kepada putra sulungnya Wijayakusuma. Wjayakarana sendiri pindah ke daerah Jinggan, yang berada berapa kilometer di sebelah utara kota Kerajaan Majapahit.
Wijayakarana mengaku tinggal di Jinggan karena ingin menjadi pendeta dengan cara memperdalam pengetahuan agama Hindu-Buddhanya. Tetapi pengakuannya itu ternyata hanyalah tipu muslihat saja. Tujuan yang sebenarnya, dia sedang menyusun suatu strategi untuk merebut tahta  Kerajaan Majapahit pada saat yang dianggapnya tepat. 
Di Jinggan Wijayakarana bergaul erat dengan seorang Brahmanaraja yang benama Ganggadara.  Persahabatan antara keduanya, ternyata bukanlah persahabatan biasa. Tetapi lebih merupakan persekutuan politik. Brahmaraja Ganggadara berjanji akan  membantu Wijayakarana merebut tahta Majapahit bila saatnya kelak telah tiba. Tentu saja Wijayakarana juga memberikan janji-janji tertentu, bilamana kelak cita-cita dan usahanya itu berhasil.
Dengan adanya persekutuan rahasia itu, praktis  Ibukota  Kerajaan Majapahit sudah terkepung   dari dua arah. Dari arah utara, Wijayakarana dibantu Brahmana Ganggadara dengan sejumlah anak buahnya yang berada di Jinggan. Dari arah selatan, Wijayakusuma dibantu adiknya Ranawijaya dan sejumlah pasukannya yang berada di  Kadipaten Keling.
Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada tahun 1478 M, setelah sakit beberapa lama Raja Majapahit Dyah Suraprabhawa mangkat. Tidak lama setelah acara berkabung selesai, Wijayakarana dibantu Brahmanaraja Ganggadara mulai melancarkan serangan dari arah utara. Sementara itu, Wijayakusuma dengan dukungan pasukan dari Keling, melancarkan serangan dari arah selatan. Mendapat serangan yang mendadak dan tiba-tiba itu, keturunan  Raja yang telah mangkat mencoba bertahan. Tetapi apa daya, musuh yang menyerang labih kuat dan lebih siap. Pertahanan  Kota Majapahit pun jebol, pertempuran hanya berlangsung singkat. Pasukan penyerbu berhasil menaklukan  pasukan kerajaan  pendukung keturunan  raja yang telah mangkat.
Maka jatuhlah Kerajaan Majapahit. Pusat pemerintahan segera dipindahkan ke Keling. Keling muncul  sebagai kerajaan baru yang mengaku sebagai penerus Kerajaan Majapahit. Sejak itu keturunan Sri Kertawijaya (1447-1451 M), memegang tahta kerajaan Majapahit yang berpusat di Keling.  Sejak saat itu pulalah sebenarnya, nama Brawijaya mulai muncul. Sri Kertawijaya, dikenal sebagai Brawijaya yang memperistri  Putri Campa dan juga  Putri  keturunan China yang kelak menjadi ibu Raden Patah. Dengan demikian Sri Kertawijaya identik dengan Brawijaya I dalam Babad Tanah Jawi. Dan Ranawijaya identik dengan Brawijaya VII atau Brawijaya terakhir. 
Tidak lama setelah berhasil mengambil alih tahta Kerajaan Majapahit, Wijayakarana  mangkat. Putra sulungnya Wijayakusuma ditunjuk menjadi pengganti. Tetapi Wijayakusuma  juga tidak lama memerintah. Akhirnya tahta Kerajaan Majapahit yang berpusat di Keling itu, jatuh ketangan Ranawijaya. Maka Ranawijaya pun  naik tahta. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1486 M. Dan pada saat itulah Ranawijaya memenuhi janji ayahnya kepada Brahmana  Ganggadara  yang telah ikut berjasa dalam perebutan tahta Kerajaan Majapahit. Brahmana  Ganggadara mendapat hadiah tanah dari Ranawijaya sebagi balas jasa atas segala jasa dan pengorbanannya. 
Dengan dipindahkannya  Ibukota Kerajaan Majapahit ke Keling, secara politis sebenarnya Kerajaan Majapahit sudah runtuh sejak tahun 1478 M. Sebagai gantinya muncul Kerajaan Keling yang mengaku sebagai penerus Kerajaan Majapahit. Dalam kenyatannnya tidak semua daerah secara otomatis  mau mengakui  kedaulatan Kerajaan Keling Majapahit. Banyak di antara mereka yang mengaggap bahwa hubungan dengan Kerjaan Majapahit telah terputus begitu Kerajaan Majapahit dipindahkan dan mengalami pergantian tahta. Salah satu di antaranya adalah Kadipaten Giri. Sunan Giri menyatakan wilayahnya sebagai wilayah merdeka yang lepas dari Kerajaan Keling Majapahit. Tetapi Sunan Giri sendiri tidak berminat menjadi penguasa duniawi. Sunan Giri lebih tertarik pada masalah-masalah dakwah dan pengembangan Agama Islam. Karena itu, dia mendorong  Raden Patah, Adipati Demak untuk secepatnya membentuk Kerajaan Islam Demak. Akhirnya Raden Patah diwisuda oleh para wali  pimpinan Sunan Giri menjadi Sultan Kerajaan Islam Demak, disaksikan oleh para wali  bekas santri Sunan Ampel, seperti Sunan Bonang. Raden Patah sendiri adalah juga mantan santri Sunan Ampel. Bahkan  Raden Patah juga menikahi putri Sunan Ampel yang bernama Nyai Ageng Mandaka. Proklamasi berdirinya Kerajaan Islam Demak   terjadi pada tahun 1481 M, kurang lebih tiga tahun setelah runtuhnya Majapahit.
Dengan munculnya  Kerajaan Islam Demak   di Barat Laut Kerajaan Keling, maka  Keling merasa terancam. Karena itu Ranawijaya akhirnya memindahkan  ibukota  kerajaannnya ke Kediri. Dengan demikian berdirilah Kerajaan Kediri, yakni kerajaan yang mengaku  sebagai penerus Majapahit. Ranawijaya berharap pemindahan kerajaannya ke kota kerajaan lama Kediri, akan mampu membangkitkan kembali kejayaan Majapahit. Dan harapan Ranawijaya ini, hampir saja menjadi kenyataan. Ranawijaya penguasa Kerajaan Kediri Majapahit (1486 -1527M dan Kerajaan Sengguruh (1527 -1545 M), inilah  yang oleh Babad Tanah Jawi disebut-sebut sebagai  Brawijaya terakhir. Karena itu anggapan Babad Tanah Jawi bahwa  ayah Raden Patah adalah Brawijaya terakhir jelas keliru. Raden Patah bukanlah anak Ranawijaya. Tetapi anak Sri Kertawijaya, Raja Majapahit yang pernah memiliki istri selir Putri Campa dan istri Putri China.
Ranawijaya sendiri adalah cucu dari Sri Kertawijaya. Jadi  memang ada alur hubungan keluarga antara Raden Patah dan Ranawijaya. Ranawijaya  adalah kemenakan Raden Patah lewat jalur Wijayakarana, putra bungsu Sri Kertawijaya dari jalur permaisuri.  Karena itu usia Wijayakarana lebih tua dari Raden Patah, karena Raden Patah hanya  anak dari istri seorang selir. Dan selir itu, seorang putri peranakan keturunan China. Ketika Putri China itu sedang mengandung,  diserahkan kepada Adipati Palembang, Arya Damar. Dengan demikian Raden Patah adalah putra Brawijaya I yakni Sri Kertawijaya(1447-1451 M).


4 Dakwah Sunan Bonang Di Kediri.
Setelah kerajaan Demak berdiri dan Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan, status masjid Demak pun meningkat. Dari semula masjid Kadipaten, menjadi masjid kerajaan. Dalam rangka meningkatkan kewibawaan Masjid Demak sebagai masjid kerajaan, pada tahun 1490 M, atas permintaan istri Raden Patah, Sunan Bonang diminta menjadi Imam Besar Masjid Demak. Cukup lama juga Sunan Bonang memegang jabatan itu.
Pada tahun 1505 M, Sunan Bonang meletakkan jabatan, karena ingin lebih berkonsentrasi pada kegiatan dakwah ke wilayah Jawa Timur. Saat itu, hampir seluruh wilayah Jawa Timur, kecuali Giri, belum mau mengakui  kedaulatan Kerajaan Islam Demak. Wilayah Tuban sendiri, malah mengakui kedaulatan Kerajaan Kediri. Demikian pula wilayah Kadipaten Pengging. Mula-mula Sunan Bonang tinggal di Karang Kemuning, di desa Bonang, dekat Tuban . Karena itu dia terkenal sebagai Sunan Bonang.
Saat itu yang menjadi Adipati Tuban adalah Adipati Arya Teja III. Arya Teja III ini adalah cucu Arya Teja I. Sedang Arya Teja I adalah mertua Sunan Ampel atau kakek Sunan Bonang. Jadi Arya Teja III adalah saudara sepupu Sunan Bonang. Walaupun sudah memeluk Islam seperti kakeknya, Arya Teja III ini lebih suka mengakui kedaulatan Kerajaan Hindu Kediri di bawah Ranawijaya daripada  Kerajaan Islam Demak di bawah Raden Patah. Hal ini membuat Sunan Bonang agak gelisah juga. Lebih-lebih lagi karena sikap Arya Teja III, sekalipun pemeluk Islam, kecenderungannnya pada kepercayaan Hindu Buddha  masih tebal.
Bahkan dia lebih suka memakai gelar Wila Tikta yang berbau Hindu Buddha daripada memakai nama gelar warisan kakek dan ayahnya yang menurut anggapannya berbau  Islami. Sunan Bonang dengan tekun berusaha mengembangkan Islam pada masyarakat Tuban. Hasilnya tidak sia-sia. Sunan Bonang bahkan berhasil mendidik Raden Sahid, putra Bupati Tuban yang masih kemenakannya itu, menjadi ulama yang hebat  dan disegani. Raden Sahid kelak terkenal sebagai Sunan Kalijaga.
Pada saat menetap di Tuban inilah Sunan Bonang mencoba untuk menyiarkan dakwah Islam ke pusat Kerajaan Hindu Buddha di  Kediri. Dr. H.J De Graaf, ahli Sejarah Jawa, mencatat pada saat Sunan Bonang melancarkan dakwah Islam ke Kediri, dia bermarkas di desa Singkel, sebuah desa di luar Kota Kediri yang terletak di tepi Sungai Brantas. Di sini Sunan Bonang berhasil membangun sebuah masjid yang sangat kokoh dan kuat. Menurut buku Babad Kediri, dakwah Sunan Bonang ke Kota Kediri sat itu mengalami kegagalan. Memang dakwah Sunan Bonang mengalami tantangan yang berat. Hal ini tentu dapat kita mengerti. Saat itu Kota Kediri merupakan pusat Kerajaan Hindu Buddha yang mengklaim sebagai penerus Kerajaan Majapahit. Bagi Sunan Bonang sendiri, melakukan dakwah adalah merupakan kewajibannya yang mulia. Karena itu soal hasil, dia tidak terlalu mempersoalkannya dan  menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT.
Namun isi Babad Kediri sendiri banyak mengandung bias. Buku  ini baru ditulis dua atau  tiga abad setelah  runtuhnya Kediri akibat serangan Kerajaan Islam Demak pada tahun 1527 M. Karena itu isi Babad Kediri, bukan hanya mengekor isi  Babad Tanah Jawi  tentang jatuhnya Majapahit yang ternyata keliru dan tidak berdasarkan fakta sejarah. Tetapi isi Babad Kediri juga mengandung kebencian kepada Kerajaan Islam Demak. Misalnya, disebutnya Raden Patah, Sultan Demak yang memang keturunan peranakan China, dengan nada yang agak menghina  sebagai Babah Fatah.
Seperti halnya Babad Tanah Jawi, Babad Kediri  juga mengisahkan jatuhnya Kerjaan Majapahit sebagai akibat serbuan tentara Islam Demak pimpinan Raden Patah. Raden Patah dianggap anak yang tak tahu adat sopan santun Jawa. Karena sebagai anak Brawijaya, telah menyerang dan merusak Kerajaan ayahnya. Padahal Brawijaya bukan hanya telah memberi keleluasaan Raden Patah untuk menyebarkan Islam. Raden Patah juga telah direstui dan diangkat sebagai Adipati Demak. Sunan Bonang ikut dikecam habis-habisan, karena dianggap sebagai sosok yang mendorong-dorong Raden Patah untuk menyerang Kerajaan Majapahit.
Berbeda dengan Babad Tanah Jawi yang tidak secara terang-terangan membela kepercayaan agama Hindu Buddha, Babad Kediri dengan tegas menyatakan bahwa agama Buddha lebih cocok untuk orang Jawa, sedangkan agama Islam lebih cocok untuk orang Arab. Menurut Babad Kediri, agama Buddha mengajarkan budi atau makrifat. Sedangkan Islam mengajarkan tarekat.
 Di sini nampak jelas bahwa penggubah Babad Kediri, sama sekali tidak paham arti dari makrifat dan tarekat, kecuali bahwa makrifat diartikan sebagai hal-hal yang bersifat batiniah, sedangkan tarekat diartikan sebagai hal-hal yang bersifat lahiriah. Dalam pandangan orang Jawa, hal-hal yang bersifat batiniah lebih utama dari pada hal-hal yang bersifat lahiriah.
Tentu saja pandangan Babad Kediri itu banyak kelirunya. Agama Islam bukan hanya mengajarkan hal-hal yang bersifat lahiriah saja. Hal-hal yang bersifat batiniah yang disebut dengan iman dan takwa, merupakan hal yang penting bahkan amat penting. Tetapi aspek lahiriah juga tidak dilupakan, seperti menjalankan syariat Islam. Pendeknya Islam mengajarkan keseimbangan antara hal-hal yang bersifat lahiriah dan yang bersifat batiniah. Karena manusia terdiri atas unsur jazadi dan rochani, dan kedua unsur itu perlu mendapatkan perhatian agar diperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Menurut Babad Kediri, kegagalan Sunan Bonang dalam berdakwah di Kediri, karena Sunan Bonang telah berdakwah dengan cara-cara yang tidak simpatik. Misalnya, diberitakan bahwa Sunan Bonang telah berjalan-jalan di tengah Kota Kediri sambil membawa sebuah kudi, yakni sebilah golok yang  bagian bawahnya menggelembung seperti lengkungan perut. Kemudian dengan goloknya itu, Sunan Bonang merusak setiap patung berhala yang ditemuianya di sudut-sudut kota. Salah satu patung raksasa yang dirusak Sunan Bonang adalah sebuah patung raksasa wanita yang amat besar.
Kitab sastra Jawa yang berjudul Damarkeli, juga mengisahkan perbuatan tidak senonoh dari Sunan Bonang karena telah merusak sebuah patung raksasa yang diklaimnya sebagai patung karya Raja Jayabaya (1135-1157 M). Raja  Jayabaya adalah Raja Kediri  pada jaman kuno yang dikagumi orang Jawa karena ramalan-ramalannya yang terkenal. Dikisahkan bahwa patung wanita raksasa yang dirusak oleh Sunan Bonang  di pusat Kota Kediri itu, adalah patung raksasa yang sangat mengagumkan. Posisinya jongkok ke arah barat. Tingginya 16 kaki, lebar pinggangnya 10 kaki. Konon seandainya dipindahkan dengan  diangkat oleh 800 orang tanpa alat tak akan kuat. Arca raksasa wanita itu dikenal oleh penduduk setempat sebagai Buta Nyai, artinya adalah raksasa wanita.
Dikisahkan bahwa Sunan Bonang telah merusak patung Buta Nyai itu dengan melukai dahi patung dan mematahkan lengannya. Tindakan nekad Sunan Bonang itu telah membuat marah Ki  Yaksanetra, raja Jin penjaga  Kota Kediri. Dia marah bukan main, lalu  menampakkan diri dan menegur Sunan Bonang dengan kasar :
“Arca raksasa baik-baik kenapa Tuan rusak tanpa sebab? Sekarang jelek rupanya. Ini adalah hasil karya Sang Prabu Jayabaya. Nah sekarang apakah hasilnya dengan tuan yang telah  merusakkannya dan memecahkannya?“
Sunan Bonang menjawab sambil marah pula, “Engkau ini sebangsa setan berani bertengkar dengan manusia. Itu namanya setan yang sangat kurang ajar !”  
“Ya, tetapi apa bedanya ? Tuan adalah Sunan, sedang aku adalah Raja !”  jawab Ki Yaksanetra tak kalah sengit.
Sunan Bonang mencoba  menjelaskan dengan kepala dingin, ”Ketahuilah, makanya patung ini aku rusak, agar supaya jangan dipuja bayak orang, diberi sesaji dan dibakari kemenyan. Jika orang memuja berhala, namanya kafir, sesat lahir batin.“
Ki Yaksanetra mencoba membantah, ”Orang Jawa sudah tahu, bahwasanya arca itu dibuat dari batu, tidak punya kekuasaan dan bukan Tuhan. Patung itu diberi sesaji, dibakari kemenyan agar semua mahluk halus tidak tinggal di pohon dan tanah. Karena pohon dan tanah memberikan hasil bagi manusia. Mereka telah aman dan nyaman tinggal di arca batu. Kini mereka tuan usir. Kemana mereka harus tinggal? Sungguh tuan telah sewenang-wenang mengganggu mereka. Tuan tetap berhati jahat dan kejam terhadap sesama makhluk Tuhan. Lebih baik manusia Jawa tetap menghormati wujud arca. Bukankah orang Arab juga menyembah  Ka’bah yang berujud batu dan karenanya lebih-lebih sesatnya ? “
Sunan Bonang menjawab entang, “Ka’bah  di Makkah itu buatan Nabi  Ibrahim !”
Bagi pembaca yang teliti, tak dapat disangsikan lagi, bahwa kisah dialog antara Sunan Bonang dan  Raja Jin Ki Yaksanetra itu hanyalah kisah fantasi dari penggubah Kitab Damarkeli.
Idenya diperoleh dari kisah Nabi  Ibrahim, ketika Nabi  Ibrahim  menyuruh kaumnya untuk berhenti menyembah patung berhala. Kisahnya sbb.
“Ketika semua penduduk Kota Ur keluar kota untuk mempersiapkan hari raya keagamaan kaumnya, Nabi  Ibrahim dengan membawa kapak besar masuk ke dalam ruangan penyembah berhala. Di dalamnya terdapat puluhan patung. Di depan patung  tersedia aneka jenis makanan yang siap disajikan dalam acara ritual penyembahan berhala.
Nabi  Ibrahim melihat patung yang paling besar. Tetapi patung raksasa yang terbesar itu tak diapa-apakan. Yang dirusaknya adalah patung-patung kecil yang ada di dekat patung raksasasa itu. Kampak yang telah digunakan untuk merusak patung-patung yang kecil itu, diikat dengan tali dan dikalungkan ke leher patung yang paling besar. Nabi  Ibrahim kemudian diam-diam meninggalkan ruangan itu.
Dengan aksinya itu, Nabi  Ibrahim ingin menunjukkan  kepada kaumnya, bahwa patung yang  mereka sembah, puja dan diberi sesaji itu, bukanlah obyek sesembahan. Karena patung-patung itu hanyalah benda mati yang tak dapat memberikan manfaat ataupun mendatangkan mudarat. Buktinya, Nabi  Ibrahim tetap selamat dan sehat wal afiat, sekalipun dia telah menghancurkan banyak patung.
Nabi  Ibrahim ditangkap penguasa dan dibakar dalam api unggun yang menyala. Tetapi karena mukjizat dari Allah SWT, Nabi  Ibrahim selamat dan pergi meninggalkan Kota Ur, kota kelahiranya.”
Demikianlah sepenggal kisah Nabi Ibrahim yang mengilhami penulis Babad Kediri menggubah kisah Sunan Bonang yang kebetulan menyandang nama Ibrahim itu, sebagai tokoh yang telah merusak patung-patung yang bertebaran di Kota Kediri. Memang keadaan penduduk dan Kota Kediri pada masa pra Islam, persis sama seperti penduduk Kota Ur, kota tempat Nabi  Ibrahim hidup pada masa remajanya.  Saat itu di  Kota Kediri banyak patung-patung berhala obyek sesembahan manusia.
Tetapi kisah Sunan Bonang merusak patung-patung  di Kota Kediri, sukar untuk dapat dipercaya. Besar kemungkinan fantasi itu timbul karena  adanya kesamaan nama antara Sunan Bonang  yaitu Makhdum Ibrahim dengan  nama seorang Nabi  yang juga amat terkenal dengan kisahnya tadi, yakni Nabi  Ibrahim.
Bahwa  Sunan Bonang pernah mencoba berdakwah ke Kota Kediri, dapat dibenarkan dari sudut sejarah. Tetapi tindakan Sunan Bonang merusak patung-patung di Kota Kediri, hanyalah spekulasi dari penggubah kisah. Kalau benar ada perusakan terhadap patung-patung di Kota Kediri, maka dapat dipastikan persitiwa itu terjadi pada tahun 1527 M, saat Kota Kediri diserang oleh Kerajaan Islam Demak di bawah piimpnan Panglima Perang Kerajaan Islam Demak, Sunan Kudus. Bisa jadi Sunan Kudus dan bukan Sunan Bonang yang memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan patung-patung itu, guna mengurangi wibawa Kerajaan Hindu Buddha Kediri yang saat itu telah berhasil ditaklukkan.
Pada tahun 1527 M  itu Sunan Bonang  sudah wafat, karena diperkirakan beliau wafat pada tahun 1525 M. Pada waktu Demak menyerang Kediri (1527 M), yang dalam Babad Tanah Jawi secara  keliru digambarkan sebagai serangan ke Kraton Majapahit sebelum pindah ke Keling, Sunan Bonang tidak lagi disebut-sebut . Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 1527 M itu, memang benar bahwa Sunan Bonang sudah wafat. Beliau dimakamkan di Tuban, tempat nenek moyangnya dari garis ibu.

5  Het Boek Van Bonang
Di antara para wali perintis dakwah Islam di tanah Jawa, Sunan Bonang termasuk wali yang gemar menulis. Salah satu kumpulan tulisannya dihimpun dalam sebuah buku yang dikenal dengan nama   Primbon Sunan Bonang. De Graaf, ahli Sejarah Jawa, menolak anggapan bahwa Primbon Sunan Bonang itu adalah karangan Sunan Bonang. De Graaf menganggap bahwa Primbon Sunan Bonang hanyalah berisi kumpulan  catatan Sunan Bonang tentang bebagai hal yang berkaitan dengan ajaran Islam. 
Menurut Drs. Widji Saksono, karya tulis Sunan Bonang itu terdiri atas dua buah buku. Buku Pertama disebutnya sebagai Primbon I, ditulis dalam bahasa dan huruf Jawa. Sedang Primbon II, ditulis dalam huruf Jawa, tetapi bukan dalam bahasa Jawa tapi dalam bahasa Bali atau Lombok. Kedua buku itu lenyap dari masyarakat kota Tuban. Lalu ditemukan kembali  oleh awak kapal pimpinan Cornelis de Houtman, yang berlabuh di  Tuban pada bulan Juli 1597 M.
Ketika  itu Armada  Cornelis De Houtman , sedang  dalam perjalanan pulang ke Negeri Belanda setelah  hampir satu tahun mencari barang dagangan berupa rempah-rempah. Saat berlabuh di Tuban, salah seorang awak kapal De Houtman, berhasil memperoleh buku  tulisan Sunan Bonang tersebut. Kedua naskah itu, dibawa ke Belanda bersama-sama hasil barang dagangannya   berupa 245 karung lada, 45 ton pala dan 30 bal bunga pala. Jumlahnya memang tidak seberapa. Itu pun sebagian besar hasil dari merampas dan merampok kapal-kapal lain yang ditemuinya di tengah laut. Namun begitu  Cornelis De Houtman dalam pelayaran perdananya itu berhasil meraup untung sebesar 87.000 gulden. Keuntungan itu belum termasuk naskah kuna tulisan Sunan Bonang yang kemudian berhasil dijualnya. Setelah beberapa kali pindah tangan, naskah itu berhasil disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden.
Buku karya Sunan Bonang ini, menarik para  ahli Belanda. Pada tahun 1881 M, Dr. J.G.H Gunning menjadikan Primbon II sebagai bahan penulisan tesisnya untuk meraih gelar doktor di Universitas Leiden. Pada tahun 1916 M, Dr.B.J.O Schrieke, menjadikan  Primbon I yang disebutnya sebagai Het Boek Van Bonang, menjadi dasar penulisan tesis untuk meraih gelar doktor, juga di Universitas Leiden. Akhirnya pada tahun 1921, Dr. H.Kraemer, menyusul pendahulunya menjadikan Buku Primbon I dan Primbon II  sebagai bahan rujukan dalam menyusun tesis doktornya di Universitas Leiden.
Adapun isi dari Primbon I dan II, sekalipun judulnya Primbon, isinya bukanlah  hal-hal yang bersifat klenik, nujum atau pun ramalan sebagaimana isi buku-bulu primbon pada masa  yang lebih kemudian.

Isi Primbon I dan II yang dikenal sebagai Het Boek Van Bonang itu adalah tentang ilmu-ilmu agama Islam, mulai dari ushuludin, fikih atau syariat Islam, tauhid atau ilmu kalam dan tasawuf. Tasawuf yang dibahas Sunan Bonang adalah tasawuf yang Islami, sesuai dengan paham Ahli Sunnah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Bukan tasawuf yang menyimpang dari aliran Suni, seperti tasawuf yang diajarkan oleh Syekh  Siti Jenar. Justru ajaran  tasawuf Sunan Bonang itu disampaikan dalam rangka membentengi umat Islam dari pemikiran dan gagasan tasawuf  yang menyimpang yang dapat melemahkan akidah Islamiah dan tauhid Umat Islam pada saat itu. Dalam hal ini missi Sunan Bonang cukup berhasil.

Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dimakamkan di Tuban. Jasanya sangat besar. Di bidang kenegaraan, bersama Sunan Giri, mendorong dan memberikan dukungan penuh kepada Adipati Bintara, Raden Patah  untuk memproklamirkan berdirinya Kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Di bidang kebudayaan dan kesenian bersama muridnya Sunan Kalijaga, menciptakan boneka wayang dari kulit untuk mementaskan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana yang amat digemari penduduk. Kisah-kisah dalam kitab suci orang Hindu dan Buddha itu, telah digubah oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga ke dalam kisah-kisah wayang kulit dalam visi yang lebih sesuai dengan ajaran Islam.[].