Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Sabtu, 18 Agustus 2018

(09) Mengenal Lebih Dekat : Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab





9.Pengkhianatan Gubernur Mesir Ali Pasya.
 Ketika itu Perang Koalisi selesai. Napoleon pun meringkuk di Pulau St.Helena. Monarki Eropa merayakan kemenangannya dengan menyelenggarakan Konggres Wina. Dinasti Bourbon naik tahta Perancis menggantikan Napoleon. Seolah-olah ikut larut dalam pesta perayaan kemenangan negara-negara koalisi atas Perancis, Sultan Mahmud II yang bodoh itu ikut juga larut dalam pesta kemenangan atas Kerajaan Islam Arab Saudi.

Padahal kerusakan luar biasa dialami penduduk Hijaz akibat serbuan brutal tentara Ali Pasya. Bukan hanya harta penduduk yang dirampas, tetapi wanita-wanita pun banyak yang diperkosa tentara non muslim Mesir. Lebih-lebih lagi kekayaan Kerajaan Islam Arab Saudi, nyaris habis dijadikan barang jarahan yang diangkut dari Dariyyah ke Kairo dan dinikmati Ali Pasya beserta keluarganya.

Tetapi Sultan Mahmud II segerai menuai akibat dari kebodohnnya itu. Tahun 1821 M, meletus pemberontakan Yunani. Kembali Mahmud II menugaskan Ali Pasya untuk memadamkan pemerontakan Yunani. Tahun 1823 M dengan membawa puluhan ribu pasukan Ibrahim Pasya mendarat di Yunani. Perancis, Inggris dan Rusia, segera memberikan dukungan pada perang kemerdekaan Yunani untuk melepaska diri dari kekuasaan Turki Utsmani. 

Saat sedang sibuk memantau perang Yunani, di Istambul meletuslah  pemberontakan pasukan elit Turki Utsmani, Janissary (1826 M ). Sultan Mahmud II terpaksa mengerahkan segenap kekuatannya untuk menghancurkan pasukan elit itu. Pemberontakan Jenissary berhasil dilumpuhkan. Akhirnya pasukan elit itu dibubarkan. Tetapi pada tahun 1827 M, Inggris dan Perancis, berhasil mengusir Ibrahim Pasya yang tengah menduduki Yunani. Perang pun meletus, Pasukan Ibrahim Pasya di Yunani berhasil dihancurkan tentara Inggris dan Perancis. Akhirnya  Ali Pasya memerintahkan Ibrahim Pasya untuk meninggalkan Yunani dan kembali ke Mesir. Korban nyawa yang diderita Mesir adalah 30.000 tentara Mesir tewas dalam perang di Yunani itu. 

Rusia pun tidak melewatkan peluang memaklumkan perang kepada Turki Utsmani dalam rangka memberikan dukungan pada kemerdekaan Yunani (1828-1829 M). Perang yang berlangsung 2 tahun itu berakhir dengan kekalahan Turki Utsmani yang harus melepaskan Adrianopel. Dalam Konperensi London, Rusia, Perancis, dan Inggris memaksa Sultan Mahmud II agar melepaskan Yunani dan memberinya kemerdekaan. Sultan Mahmud II yang semakin terjepit itu pun tak berkutik. Yunani pun lepas dari Turki Utsmani dan menjadi negara merdeka.

Kemalangan Sultan Mahmud II belum juga berakhir. Kini Ali Pasya mulai berulah, setelah melihat Yunani bisa merdeka. Kenapa Mesir tidak? Demikian yang berkecamuk dalam benaknya. Mula-mula dia mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Sultan Mahmud II untuk mengganti kerugian yang diderita Mesir dalam usahanya memadamkan pemberontakan Yunani. Karena Sultan Mahmud II menolak, Ali Pasya segera menyerang Syam dan mendudukinya. Sultan Mahmud II nyaris tak dapat berbuat apa-apa. Alangkah dungunya Sultan Mahmud II saat dia meminta pertolongan pada Rusia, musuh bebuyutannya itu. Sultan Mahmud II wafat pada tahun 1839 M, meninggalkan warisan Kesultanan Turki Utsmani, The Sick Man”, yang wilayahnya siap dibag-bagi dan diperebutkan Rusia, Inggris, dan Perancis.

Sejarah perjalan Dinasi Turki Utsmani mungkin akan lain, apabila Mahmud II tidak buru-buru menggilas Kerajaan Islam Arab Saudi. Akan tetapi merangkulnya dan menjadikan mereka penguasa dan penjaga tanah Hijaz yang tunduk pada pemerintah Turki Utsmani dan menjadikan mereka  partner yang paling dapat dipercaya  dalam melawan kolonialisme dan imperialisme barat. Militansi tentara Muwahhidun dan moral yang mereka junjung tinggi dalam setiap medan pertempuran, justru bisa dijadikan model bagi Dinasti Utsmani dalam memperbaharui angkatan perangnya yang sudah mulai mengalami demoralisasi. Kerajaan Islam Arab Saudi justru dapat dijadikan sahabat yang terpercaya bagi Turki Utsmani guna mengimbangi ambisi Gubernur Mesir Ali Pasya yang meluap-luap itu. Sayang sekali, hal-hal yang demikian tidak mampu dipikirkan oleh Mahmud II. Kelak barulah Sultan Hamid II ( 1876 – 1909 M) yang mulai menyadarinya. Tetapi segalanya telah terlambat. Jarum sejarah tidak mungkin diputar mundur. 

Sementara itu, diam-diam Kerajaan Islam Arab Saudi yang mewarisi semangat founding fathernya Dwi Tunggal Raja Muhammad Ibn Saud dan Muhammad Ibn Abdul Wahhab, mampu bangkit kembali dilanjutkan oleh anak-anak keturunannya. Maka mulailah Kerajaan Islam Arab Saudi memasuki tahapan sejarahnya ke-II ( 1818- 1884 M). Kebangkitannya kembali tak mungkin dibendung. Bahkan oleh kekuatan imperilaisme dan kolonilaisme barat mana pun.

Seorang Sejarawan Mesir Al Jabarati, yang mengagumi gaya dan cara berperang tentara Muwahhidun yang unik itu menuliskanyanya sbb :

“Pada waktu masuk waktu shalat, juru adzan mereka maju dan mengumandangkan adzan dan mereka pun berbaris di belakang seorang imam untuk melaksanakan shalat dengan khusyuk. Sedangkan jika waktu shalat tiba dan perang tengah berkecamuk, maka salah seorang di antara mereka mengumandangakn adzan dan melakukan shalat khauf. Sebagian di antara mereka maju dan sebagian yang lain mengakhirkan shalatnya. Mereka berperang dengan memegang teguh pesan Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal, ”Janganlah kalian mengejar orang-orang yang telah melarikan diri, janganlah kalian melakukan apa pun terhadap orang yang terluka.Dan barang siapa yang melepaskan senjatanya, dia telah aman.” Mereka juga berperang dengan berpegang pada amanat Ali bin Abi Thalib  yang lain, ”Hati-hatilah! Jangan kalian bertindak kasar terhadap wanita, walaupun mereka mencela kehormatan kalian dan menghina para pemimpin kalian. Sesungguhnya seorang laki-laki yang memperlakukan seorang wanita dengan kasar dan sinis, maka dia akan mendapatkan sangsinya.”

Pada ekspedisi pertama penaklukan Kerajaan Islam Arab Saudi ( 1811- 1814 M), nyaris tentara Mesir senantiasa mengalami kekalahan berhadap-hadapan dengan tentara Muwahhidun.

Selanjutnya Al Jabarti membandingkan dengan gaya berperang pasukan Ali Pasya, anak-anaknya Ibrahim Pasya dan Thugun Pasya pada waktu melakukan ekspedisi penaklukan Kerajaan Islam Arab Saudi ( 1815- 1818 M) yang berakhir dengang kemenangan tentara Mesir sbb :

“Kebanyakan dari pasukan Mesir tidak beragama. Di antara mereka banyak yang tidak peduli pada agama. Mereka berperang dengan dibarengi kotak-kotak minuman haram yang memabukkan. Di tengah mereka tidak pernah terdengan adzan dan ditegakkan shalat. Tidak pernah terlintas di pikiran mereka untuk menegakkan syiar-syiar agama. Tidak heran, ketika mereka memperoleh kemenangan, kerusakan pun merajalela. Mereka membunuh, memperkosa wanita-wanita, merampas harta benda, dan apa saja yang dapat dirampasnya.” 

Bagi Kerajaan Islam Arab Saudi kekalahan dalam perang adalah ujian bagi kesabarannya. Ada pun kemenangan adalah anugerahNya  yang harus disyukurinya. Itulah Kerajaan Islam Arab Saudi yang didirikan oleh duet dwi tunggal Muhammad- Ibnu Saud dan Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.
Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab sendiri  wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, yang bertepatan dengan tahun 1792 M, ketika Kerajaan Islam Arab Saudi episode pertama itu tengah berada di puncak kejayaannya. Dia  menjabat Menteri Penerangan Kerajaan Islam Arab Saudi selama 46 tahun dan  meninggalkan 18 orang anak yang kelak dengan gigih melanjutkan gagasan reformasi dan ajaran Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab yang telah ditetapkan sebagai doktrin resmi Kerajaan Islam Arab Saudi ( Tammat,19-08-2018).



Jumat, 17 Agustus 2018

(08) Mengenal Lebih Dekat : Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab




8.Konflik Turki Utsmani VS Kerajaan Islam Arab Saudi.
Sementara itu, pada tahun 1798 M, perwira muda Perancis yang tengah naik daun, Napoleon Bonaparte, berhasil menduduki Mesir. Dengan demikian Perancis telah memiliki pijakan yang kuat bukan hanya untuk berekspansi ke tanah Hijaz saja. Tetapi juga untuk berekspansi ke India yang dikuasai Inggris dan ke negeri-negeri lain di Asia Tenggara. Sayang sekali bagi Perancis, Napoleon tidak lama menduduki Mesir, karena dia harus segera kembali ke Perancis. Pengganti Napoleon di Mesir tidaklah sekuat Napoleon. Sehingga Turki Utsmani sesudah  mengumumkan perang terhadap Perancis, segera mengirimkan ekspedisi militer ke Mesir untuk merebut kembali wilayah Turki Utsmani yang hampi hilang itu.

Pada tahun 1805, Muhammad Ali Pasya, komandan pasukan ekspedisi Turki Utsmani, berhasil mengambil alih Mesir dari tangan Perancis. Dia pun diangkat sebagai Gubernur Mesir oleh Sultan Salim III. Tapi sungguh malang nasib Sultan Salim III. Dia terlambat menyadari kemungkinan pengkhianatan Muhammad Ali Pasya. Karena itu, dia berusaha untuk mencopot Ali Pasya dan menariknya kembali ke Istambul. Tapi Ali Pasya bukan orang bodoh. Dia meminta dukungan ulama-ulama Mesir yang baru saja dibebaskan dari penjajahan Perancis. Karena kepandaian Ali Pasya mendekati ulama-ulama Al Azhar yang terlanjur menganggap Ali Pasya adalah pahlawan yang berhasil membebaskan Mesir dari cengkeraman Perancis, para ulama Al Azhar memberikan dukungan penuh pada Ali Pasya. Akibatnya Sultan Salim III tidak berkutik dan membatalkan rencananya untuk mencopotnya. Padahal Sultan Salim III tahu persis bahwa Ali Pasya menyimpan agenda tersendiri untuk menjadi penguasa Mesir bagi dirinya sendiri. Bukan bagi kepentingan Turki Utsmani.

Sultan Salim III wafat pada tahun 1808 M, sehingga tidak sempat menyaksikan pengkhianatan Ali Pasya terhadap Turki Utsmani. Penggantinya, Sultan Mahmud II ( 1808- 1839 M), sama bodohnya dengan Ali Pasya. Keduanya sama-sama terpukau dengan gagasan Revolusi Perancis, ”liberte,egalite dan fraternite ( kebebasan, persamaan dan persaudaraan) dan  reputasi Kaisar Napoleon Bonaparte yang tengah naik daun menjadi penguasa baru di daratan Eropa. Tetapi masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda.

Sultan Mahmud II ingin berguru kepada Perancis, dengan maksud memperkuat angkatan bersenjata Turki Utsmani dengan harapan bisa mempertahankan keutuhan wilayah Turki Utsmani dari ancaman musuh-musuhnya. Saat itu Napoleon Bonaparte setelah berhasil mengangkat dirinya sendiri menjadi Kaisar Perancis (1803- 1813 M), lalu mengobarkan perang di seluruh Eropa daratan dengan maksud untuk menumbangkan monarki di Eropa, menggantinya menjadi suatu republik, tetapi yang harus tunduk kepada Perancis. Akibat ambisi Napoleon itu pecahlah perang koalisi monarki di Eropa melawan Perancis. Perang Koalisi melawan Perancis berlangsung enam kali. Nyaris hampir semua perang koalisi itu dimenangkan Perancis. Sebelum tahun 1803 pecah Perang Koalisi dua kali. Antara tahun 1804 – 1811 M, meletus perang koalisi sampai empat kali. Tiga kali di antaranya dimenangkan Perancis. Tentara Napoleon dengan dukungan artileri dan kavaleri  memang unggul di Eropa daratan. Napoleon hanya gagal untuk menaklukan Inggris dan gagal pula menduduki Rusia karena ancaman badai salju yang tebal (1812 M). Napoleon baru dikalahkan oleh pasukan koalisi dalam pertempuan di Lepzig (1813 M) yang memaksanya turun dari tahtanya dan menyebabkan pembuangan dirinya ke Pulau Elba.

Lawan-lawan Perancis dalam Perang Koalisi itu antara lain Austria, Prusia, Belanda, Rusia, Spanyol, Portugal dan Inggris. Turki sendiri bersikap netral. Sebenarnya negara-negara koalisi terutama Inggris dan Rusia sudah khawatir sekali kalau-kalau Turki Utsmani ikut terjun dalam medan pertempuran membantu Perancis. Lebih-lebih bila diingat Sultan Mahmud II dan Gebernur Mesir Muhammad Ali Pasya adalah pengagum Napoleon. Oleh karena itu Rusia cepat-cepat membuat perjanjian damai dengan Turki, agar Rusia dapat berkonsentrasi menghadapi Perancis, sekaligus mencegah Turki membantu Perancis. Inggris lebih licik lagi. Untuk mengalihkan perhatian Turki Utsmani dari kemungkinan membantu Perancis dalam Perang Koalisi, Inggris menghasut Sultan Mahmud II yang memang bodoh itu untuk memerangi Kerajaan Islam Arab Saudi.

Seperti telah diungkapkan di depan Inggris yang memiliki pangkalan di Teluk Arab, sangat cemas dan merasa terancam dengan kebangkitan Kerajaan Islam Arab Saudi yang telah memantapkan dirinya sebagai penguasa hampir seluruh tanah Hijaz, kecuali Yaman. Inggris sendiri tengah sibuk menghadapi blokade Perancis dan kemungkinan pendaratan pasukan Perancis. Lebih-lebi saat itu tentara Perancis sudah ada yang mendarat di Irlandia. Inggis menghasut Sultan Mahmud II dengan memfitnah Kerajaan Islam Arab Saudi bahwa Kerajaan Islam Arab Saudi yang telah menguasasi hampir sebagian besar wilayah Hedzjaz itu, bermaksud hendak mendirikan negara sendiri yang merdeka lepas dari Turki Utsmani. Difitanahnya juga Kerajaan Islam Arab Saudi itu hendak mendirikah Khalifah Arabiyah.

Sultan Mahmud II, segera termakan hasutan Inggris. Maka segera dilakukan tindakan untuk menghancurkan Kerajaan Islam Arab Saudi itu. Mula-mula Sultan Mahmud II menyuruh Gubernur Irak untuk memerangi Kerajaan Islam Arab Saudi. Ternyata Gubernur Irak merasa tidak sanggup. Lalu Gubernur Syam ditugaskan pula. Tapi Gubernur Syam pun tidak sanggup. Akhirnya tidak ada pilihan lain bagi Mahmud II untuk menugaskan Gubernur Mesir Ali Pasya. Tentu saja Ali Pasya menyambut tugas itu dengan gembira. Sebab dalam benaknya, Ali Pasya tengah menympan agenda untuk membentuk Negara  Mesir yang kuat dan merdeka lepas dari Turki yang wilayahnya mencakup pula tanah Hijaz dan Syam. Sesungguhnya Muhammad Ali Pasya lah yang punya ambisi teritorial untuk kepentingan dirinya sendiri, keluarganya, dan keturunannya. 

Perang antara Mesir dan Kerajaan Islam Arab Saudi pun pecah (1811- 1818 M ). Perang berlangsung sampai tujuh tahun. Ali Pasya mengerahkan segenap kekuatannya untuk menggempur Arab Saudi. Tetapi Arab Saudi dengan tentara Muwahhidunya gigih mempertahankan diri, sehingga membuat tentara Mesir kewalahan. Sayang sekali pada tahun 1814 M, Raja Saud III yang gagah perkasa itu wafat. Putranya Abdullah ( 1814- 1818 M ), segera mengambil alih pimpinan. Ali Pasya mengerahkan putranya, Tughun Pasya dan Ibrahim Pasya. Bahkan Ali Pasya ikut terjun sendiri masuk ke tanah Hijaz dengan membawa sejumlah tentara tambahan. Hampir sebagain besar tentara Mesir yang berperang melawan Kerajaan Islam Arab Saudi itu, terdiri dari orang-orang non muslim, seperti Kristen Koptik Mesir, Kristen Georgia, dan Armenia serta tentara Yahudi bayaran. Berulang kali tentara Muwahhiun itu menemukan tentara Mesir yang berhasil dibunuhnya itu, ternyata dalam keadaan tidak bersunat.

Akibat dari gempuran yang terus-menerus dari tentara Mesir, akhirnya Riyadh jatuh dan Kota Dariyyah terkepung. Untuk menghindari korban lebih banyak, Raja Abdullah memilih menyerah kepada Ibrahim Pasya. Dia lalu dibawa ke Mesir. Dari Mesir lalu dikirim ke Istambul. Disana Sultan Mahmud II memerintahkan agar Raja Abdullah diarak keliling kota dengan maksud untuk mempermalukannya. Sesudah itu Raja Abdulla di gantung. Dan kepalanya dibuang ke Selat Bosporus. Dia pun mati syahid. Semoga Allah swt menerima amal ibadahnya dan perjuangannya.(bersambung)

Rabu, 01 Agustus 2018

(07) Mengenal Lebih Dekat : Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab






7.Duet Perjuangan Ibnu Saudi- Ibnu Wahhab membangun Kerajaan Islam Arab Saudi Tahap- I (1745 – 1818 M).

Dalam waktu relatif singkat seluruh Dariyyah berhasil di ajak kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw, setelah Syekh berhasil mendirikan sebuah masjid berlantai tanah sebagai pusat untuk mengajarkan dan menyebarkan gagasan-gagasan reformasinya.

Berbagai metode dakwah dijalankan oleh Syekh, seperti dengan taklim, penulisan brosur, dan menerbitkan buku-buku kecil yang berisi nasihat-nasihat agama. Semua brosur dan buku-buku yang ditulisnya itu, senantiasa disertai hujjah dan dalil yang menjelaskan kebenaran dari apa yang dia dakwahkan. Dia mengajak ummat untuk menumpas segala macam kemungkaran, menghancurkan kubah-kubah kuburan, mencegah semua sarana yang akan mengantarkan ke jalan kemusyrikan dan melakukan ibadah sepenuhnya hanya kepada Allah SWT.

Pada awalnya Syekh berdakwah dengan cara lemah lembut, damai, pelan-pelan sambil mengetuk pintu hati dengan hikmah dan nasihat yang sejuk. Syekh terus saja mengajar siapa yang datang menghadiri majelisnya dan senantiasa menerangkan akidah yang dianutnya. Sayangnya dakwah Syekh yang disampaikan dengan lemah lembut itu, mendapat tantangan yang hebat dari kelompok konservatif dan tradisional yang sangat keras. Kebenaran dibalas dengan pendustaan, nasihat yang baik ditanggapi dengan lecehan dan konspirasi. Akhirnya Syekh mengambil kesimpulan, sudah saatnya dakwahnya itu memasuki episode jihad guna memerangi berbagai macam bentuk kemungkaran dengan menggunakan kekuatan. Persis sebagaimana diajarkan oleh seorang penyair Arab.

“Jika tak ada lagi, kecuali kepala tombak yang harus menjadi tunggangan, maka tak ada jalan lain bagi yang terpaksa kecuali menungganginya.”

Sasaran jihadnya yang pertama adalah penguasa kota tetangganya, penguasa Riyadh, Syekh Dahlan ibn Dawwas, yang terkenal sebagai penguasa yang kejam, lalim dan dengan gigih menghalang-halangi dakwah Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab. Pada tahun 1747 M, konfik bersenjata dengan penguasa Riyadh pun pecah dan berlangsung cukup lama, 28 tahun! Raja Saud aktif terjun dalam peperangan demikian pula Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab. Mereka berdua berhasil membentuk tentara Muwahhidun  yang amat kuat, tangguh, dan disiplin. Syekh sendirilah yang langsung melakukan perekrutan pasukan, mengumpulkan mereka, melatihnya, dan akhirnya mempersiapkan pemberangkatan pasukan ke medan jihad.

Walapun demikian, di tengah-tengan kesibukannya menyiapkan pasukan, Syekh tetap meluangkan waktunya untuk mengajar, menulis surat kepada orang-orang penting, mendampingi Raja menerima tamu dan delegasi. Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahab menduduki Menteri Penerangan dalam Kerajaan Islam Arab Saudi.

Setahap demi setahap tentara Muwahhidun itu berhasil meraih kemenangan demi kemenangan di medan pertempuran.   Tetapi  ketika kemenangan hampir tercapai, pada tahun 1764 M, Raja Saud wafat. Untunglah putranya yang menggantikannya, Abdul Azis, juga seorang raja yang cakap. Pada tahun 1773 M, tentara Kerajaan Islam Arab Saudi berhasil merebut kota Riyadh. Penguasa Kota Riyadh, Syekh Dahlan Ibn Dawas berhasil melarikan diri. Tapi sejak itu, Kerajaan Islam Arab Saudi menjadi penguasa tunggal diseluruh Nejd.

Setelah ditaklukannya Kota Riyadh, dakwah Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab dengan cepat berkembang di seluruh Nejd. Orang pun berbondong-bondong secara sukarela menjadi penganut dan pengikut ajarannya. Berbagai bentuk bid’ah, khurofat, dan ritual pemujaan kuburan, kepercayaan pada tahyul, dan klenik langsung lenyap dari seluruh wilayah Nejd. 

Padahal wilayah Nejd pada mulanya merupakan wilayah yang  sangat gigih mempraktekkan bermacam-macam bid’ah dan penyembahan berhala yang berupa kuburan orang-orang suci atau wali. Praktek peribadatan yang berbau syirik merata di mana-mana. Bukan hanya makam-makam berkubah yang mereka sembah. Pohon-pohonan, batu-batuan, gua-gua yang dianggap keramat pun disembah. Di Nejd pada masa itu pun banyak ahli sihir, banyak pula dukun yang dipercayai kata-katanya, padahal tidak berdasarkan landasan yang kuat. Masyarakat Nejd  pada masa itu juga percaya kepada jin serta memohon pertolongan kepada mereka dengan melakukan penyembelihan hewan sebagai sesaji kepada mereka.

Tetapi setelah Nejd berada di bawah naungan Kerajaan Islam Arab Saudi yang berpegang pada doktrin tauhid murni sebagaimana yang telah diajarkan oleh al Qur’an dan Sunnah Nabi saw, Nejd pun berubah menjadi wilayah yang berkelimpahan, penuh barokah, dan pertolongan Allah SWT datang, keamanan dan kesejahteraan pun mulai mendatangi Kerajaan Arab Saudi. Kerajaan yang aman sejahtera dan berkelimpahan di bawah maghfirah dan ampunan  Allah swt pun terbentuk. Itulah kerajaan yang terbebas dari berbagai macam bid’ah, khurofat, tahyul, dan klenik. Para raja penguasa  yang cakap dari Kerajaan Islam Arab Saudi Tahap-I berturut-turut adalah sbb : Muhammad Ibn Saud (1725 -1764 M), Abdul Aziz I ( 1764- 1803 M), Saud III ( 1803 – 1814 M) dan Abdullah I ( 1814 – 1818 M ).

Pada tahun 1789 M, Revolusi Perancis meletus dan Perancis muncul jadi superpower baru yang kuat di Eropa daratan di bawah perwira muda yang berbakat, Napoleon Bonaparte. Perancis dibawah Napoleon tampil menjadi pesaing Inggris yang sudah lebih dulu menjadi salah satu super power dunia.  Pada saat Revolusi Perancis meletus, Sultan Salim III  ( 1789-1807 M)  Turki Utsmani naik tahta. Sementara itu, Abdul Aziz I  dengan tentara Muwahhidunnya, siap-siap untuk melakukan ekspansi ke luar Nejd untuk mengamankan wilayah Hijaz dari ancaman Inggris maupun Perancis yang menyimpan agenda tersembunyi untuk menguasai tanah Hijaz. Dari sudut geopolitik pada jaman itu, wilayah Hijaz sudah merupakan wilayah penting, baik untuk kepentingan ekspansi yang bersifat ideologis keagamaan maupun yang bersifat kepentingan ekonomi, politik, dan teritorial.

Karena itu langkah Raja Abdul Aziz I untuk menguasai tanah Hijaz dibawah kendalinya guna menyelamatkan dari ancaman kolonialisme dan imperialisme barat, merupakan langkah  strategis yang tepat. Lebih-lebih bila diingat, Kesultanan Turki Utsmani pada saat itu tengah mengalami masa-masa degradasi dan kemunduran, karena didera oleh sejumlah masalah ekonomi, politik, teritorial, dan militer  akibat rongrongan terus-menerus dari dunia Kristen, terutama Rusia.

Pada tahun 1790 M, tentara Abdul Azis I sudah sampai di perbatasan Irak. Sebelas tahun kemudian, Karbala di Irak berhasil diduduki ( 1801 M). Tetapi kelompok Syiah  terus melakukan perlawanan, hingga seorang militan Syiah yang menyamar berhasil membunuh Raja Abdul Aziz I, hingga tewas ( 1803 M).  Tetapi penggantinya Raja Saud ibn Abdul Asiz atau  Raja Saud III  (1803-1814 M),  adalah juga raja yang cakap. Pada tahun 1804 M, Madinah pun berhasil dikuasainya. Kemudian Makkah (1807 M), dan Jeddah (1809 M).  Pada tahun 1811 M, Kerajaan Islam Arab Saudi telah membentang dari Allepo di utara sampai Samudra Hindia di selatan. Dari Teluk Persia di timur sampai Laut Merah di Barat. Nyaris hampir seluruh tanah Hezjas telah berada di bawah kendali Kerajaan Islam Arab Saudi. Inggris yang berada di Teluk Arab mulai merasa cemas dengan kebangkitan Kerajaan Islam Arab Saudi (bersambung).