Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Senin, 08 Februari 2016

Sejarah Awal Kota Banyumas(06-Tamat)


(Sumber Gambar diunduh dari Blog Patikrajaku-blog. Peta Kabupaten Banyums)


1.Kunjarakunjadesya 

Purbasora tewas dalam pertempuran melawan kemenakannya, Rake Sanjaya. Rake Sanjaya berhasil menguasai kembali tahta Galuh warisan  Senna, ayahnya yang sempat lepas. Kemudian tercapai kompromi dan perdamaian hasil musyawarah sesama keturunan Wretikandayun, yakni Sang Hyang Sampakwaja, Sang Hyang Kedul dan Rake Sanjaya. Keputusannya, tahta Galuh diperintah oleh dua orang yakni Permana Dikusuma dan Tamperan Barmawijaya. Rake Sanjaya diakui sebagai Maharaja yang berkuasa atas seluruh wilayah Kerajaan Galuh.

 Permana Dikusuma adalah turunan Purbasora dan Tamperan Barmawijaya adalah turunan Senna lewat Rake Sanjaya. Dengan kata lain Tamperan adalah putra Sanjaya dengan istrinya dari daerah Bogor. Temperan yang naik tahta Galuh mewakili Permana Dikusuma, masih sangat belia, hingga kelak dengan mudah  terlibat cinta dengan Dewi Pangreyep, istri muda Permana Dikusuma yang seusia dengannya. Meraka berdua berusia sekitar sembilan belas tahun ketika saling jatuh cinta. Perkawinan Dewi Pangreyep dengan Tamperan, menghasilkan seorang putra, yakni Rakean Banga, yang kelak menjadi Raja Galuh Timur yang berpusat di Pasirluhur. Rakean Banga dalam tradisi Babad Pasir dikenal sebagai Arya Bangah.

Setelah sukses menaklukan Galuh dan mendapat pengakuan sebagai Maharaja dari Dahyang Sampakwaja dan Sang Hyang Kidul, Rake Sanjaya pun mengangkat dirinya sebagai Maharaja Rake Mataram dan mengendalikan kerajaannya yang berpusat di  Kunjarakunjadesya. Dimanakah letak Kunjarakunjadesya yang masih diperdebatkan sejarawan?  

Van der Meulen mula-mula sempat menempatkan Kunjarakunjadesya di Kalimantan, tetapi akhirnya diletakkan di Gedongsanga, arah timur laut Gunung Kembar Sindara-Sumbing. Jadi letak pusat Mataram Hindu itu diduga ada di antara lokasi Kalingga dan mata air Sungai Serayu, di sekitar wilayah tempat Sanjaya meletakkan Patung Bima Lukar. 

Kunjarakunjadesya, menurut Dr.Purbocaroko, berasal dari kata kunja yang berarti gajah, sehingga kunjarakunjadesya diartikan sebagai wilayah gajah. Purbocaroko menempatkan Kunjarakunjadesya di Sleman, dengan alasan kata sleman bersasal dari saliman, yang artinya gajah. Van der Meulen mendukung pendapat yang menolak kata sleman berasal dari saliman. Sleman berasal dari salimaR, suatu jenis tanaman, bukan gajah atau liman, bantah van der Meulen. Bisa jadi yang dimaksud kunjarakunjadesya bukan hanya hutan gajah, sebagaimana diduga van der Meulen. Tetapi ada makna lain yang harus dicari untuk mengungkap misteri dibalik kata kunjarakunjadesya.

Kunjarakunjadesya harus dicari di sepanjang sungai Serayu, karena dari sanalah Senna yang membayangkan dirinya sebagai Bima mengawali penyusuran Sungai Ciserayu dari Cindaga sampai ke mata air Sungai Serayu di kaki Gunung Dieng. Bima dalam mitologi kisah wayang Bima Bungkus, berhasil menundukkan  Gajah Sena, yang ingin berinkarnasi atau menitis ke dalam tubuh manusia. Permohonan Gajah Sena akhirnya dikabulkan Batara Guru. Gajah Sena yang berwarna putih akhirnya dituntun Dewa Bayu untuk memecahkan bungkus yang menutupi tubuh bayi Bima yang berada di tengah hutan. Dengan menggunakan gadingnya bungkus bayi Bima pun berhasil dirobek, lahirlah Bima sebagai anak kecil yang sudah berpakaian ksatria lengkap, mirip kisah Minerva atau Athena, Putri Zeus dalam mitologi Yunani yang juga lahir dengan mengenakan  pakaian perang wanita lengkap. 

Perang tanding pun pecah antara Bima cilik dengan Gajah Sena. Dalam peperangan itu, Bima dengan cepat tumbuh menjadi pemuda remaja dan berhasil membunuh Gajah Sena dengan kuku pancanakanya. Gajah Sena tewas, tapi berhasil berinkarnasi ke dalam raga Bima, sehingga Bima menyandang nama Brata Sena atau Bharata Sena.

       Dengan demikian kunjarakunjadesya harus dihubungkan dengan letak patung Bima Lukar, yakni suatu wilayah di kaki gunung Dieng. Kata desya juga ada kemiripan dengan kata dieng, setidak-tidaknya ada persamaan huruf d.

 Prof.Dr.Sugeng Priyadi, juga sempat menduga bahwa letak Kunjarakunjadesya ada di Kedunguter, Banyumas, dengan alasan di daerah Kebasen ada sungai, yang bernama Sungai Gajah. Tapi di Kedunguter tidak pernah ditemukan bangunan lingga atau pun patung Bima. Yang pernah ada adalah arca lancingan dari jaman yang masih amat jauh dari jaman Senna dan Rake Sanjaya, yakni berasal dari tahun 3000 SM. Sedang Senna dan Rake Sanjaya hidup pada abad ke-8 Masehi.

Kunjarakunjadesya, mengandung dua kali kata kunja, karena itu mestinya bukan hanya bisa diartikan sebagai wilayah hutan gajah, tetapi bisa juga diartikan sebagai wilayah gajah-gajah atau wilayah dua gajah. Siapakah yang dimakud dua gajah? Jawabannya jika secara topografi sulit ditemukan, mitologi Hinduisme mungkin bisa dijadikan alternatip jawabannya. 

Yang dimaksud dengan dua gajah tidak lain adalah Bima sendiri yang bernama Sena dan ruh Gajah Sena yang menyatu dalam raga Bima. Jadi Bima adalah representasi dua oknum gajah menjadi satu dalam dirinya, yang menyebabkan Bima punya kekuatan dua kali kekuatan Gajah. Itu sebabya Bima dengan mudah membuat sungai Serayu. 

Kunjarakunjadesya sebagai wilayah dua gajah, juga simbol dari Dewa Indra dan Dewa Bayu. Kedua dewa itu dilukiskan dalam mitologi para dewa sebagai gemar bepergian dengan mengendarai gajah. Dalam kisah Bima Bungkus, Dewa Bayu digambarkan menuntun Gajah Sena yang berwarna putih. Demikian pula Dewa Indra, sering dilukiskan berkeliling di Suralaya dengan menunggang gajah jika akan menghadiri undangan rapat para dewa dari Betara Guru. 

Batara Indra sering dilukiskan sebagai dewa yang paling bertanggung jawab atas keamanan istana para dewa di Suralaya. Demikianlah Kunjarakunjadesya, dapat diartikan wilayah Dewa Indra dan Dewi Bayu di dunia, yang tidak lain tempatnya di lereng selatan kaki Gunung Dieng, tidak jauh  dari Patung Bima Lukar. 

Wilayah itu merupakan pusat awal Kerajaan Mataram Hindu, sebelum akhirnya berpindah pindah, untuk suatu alasan yang tidak bisa kita ketahui sebab-sebabnya. Mungkin penyebabnya adalah bencana alam yang beberapa kali menimpa ibu kota Mataram Hindu. Coba kalau dulu Rake Sanjaya memindahkan pusat Mataram Hindu ke Kedunguter, Banyumas. Pasti aman dari bencana ya ?. 

2. Banyak atau Angsa,  Binatang Yang Disucikan.


Jangan lupa keris Sang Adipati Mrapat pun diberi nama gajah, yakni keris Gajah Hendra. Diam diam Sang Adipati Mrapat Jaka Kahiman mengakui bahwa leluhurnya pada masa lalu di samping menyembah Dewa Syiwa atau Batara Guru, juga memuja Dewa Indra sebagai dewa hujan, awan dan binatang air seperti angsa. Gajah Hendra bisa diartikan Gajah Dewa Indra. Keris Gajah Hendra, berarti keris pemberian Dewa Indra yang gemar menunggang gajah.

Leluhur bangsa Galuh juga memuja binatang air angsa sebagai simbol pemujaaan kepada Dewa Awan yang mendatangkan hujan, jauh sebelum Hinduisme dipeluk leluhur bangsa Galuh. Itu sebabnya Kerajaan Galuh Kawali dan Kerajaan Pajajaran mempunyai tradisi berupa larangan memakan daging angsa. Memakan daging angsa merupakan  suatu pamali atau larangan leluhur bangsa Galuh.

 Kita juga dengan mudah menemukan nama-nama ksatria Galuh dan Pajajaran  yang memakai kosa kata banyak. Misalnya dalam kisah Raden Kamandaka-Dewi Ciptarasa. Kita jumpai nama-nama  Banyakcatra, Banyakngampar, Banyakbelabur, yang dilanjutkan menjadi nama-nama para kstaria Kadipaten Pasirluhur, seperti Banyakkesumba, Banyakbelanak, Banyakgaleh dan lainnya lagi.  Di Kerajaan Majapahit juga ada tokoh dengan nama Banyakwide. Di Banyumas dalam Perang Diponegoro juga muncul nama Banyakwide. Akhirnya ada mitos juga di daerah Banyumas, khususnya turunan Adipati Wirasaba VI, pantangan makan daging angsa atau daging banyak. Sebab salah satu penyebab  malapetaka yang menimpa Sang Adipati Wirasaba VI dalam tragedi Sabtu Pahing, konon akibat Sang Adipati melanggar larangan leluhurnya, yakni  makan daging banyak yang disuguhkan Ki Ageng Bener.

Pamali memakan daging banyak yang menjadi tradisi Kerajaan Galuh Kawali itu,  adalah sisa-sisa bentuk pemujaan kepada Dewa Awan, Dewa Hujan atau Dewa Indra dalam visi Hinduisme.  Leluhur bangsa Galuh memang memandang dirinya adalah keturunan luh atau air yang semuanya berasal dari Dewa Awan. Demikianlah nama angsa atau banyak yang dijadikan nama sejumlah ksatria Galuh-Pajajaran-Majapahit dan Kadipaten Pasirluhur, menunjukkan bentuk sisa-sisa pemujaan kepada Dewa Awan dan Dewa Indra. Demikian juga pamali atau larangan makan daging banyak. 

Tradisi memuja Dewan Awan juga tampak pada benda-benda perlengkapan pusaka Kerajaan Surakarta yang diwujudkan dalam bentuk patung angsa mini, yang mereka sebut banyak dhalang. Demikianlah pemakaian nama banyak pada para ksatria Pasirluhur dan Galuh seperti telah disebut di atas, bukan menunjukkan bahwa para ksatria itu secara biologis merupakan  trah banyak. Sebab mereka memang bukan turunan angsa. Mereka adalah turunan leluhur bangsa Galuh yang dulu para leluhur mereka menganggap angsa atau banyak sebagai binatang suci, sekaligus merupakan simbol pemujaan kepada Dewa Awan, Dewa Hujan dan Dewa Indra. Para Dewa  yang dipuja itu diharapkan menjadi pelindung mereka ketika mereka membangun peradaban sungai dan pantai,  serta menjadi putra-putra sungai yang dengan gagah berani menjadi  penguasa air, sungai, danau, dan lautan dengan gelombang dan ombaknya untuk mewujudkan kesejahteraan mereka di muka bumi.

 Jauh sebelum dunia berteriak-teriak agar komunitas penduduk dunia menyelamatkan air sebagai sumber kehidupan penting di muka bumi, leluhur bangsa Galuh sudah lebih dahulu merintisnya dan memeloporinya. Menjaga air dan lingkungan kehidupan sudah lama menjadi kearifan lokal bangsa Galuh. Dan tentu saja seharusnya juga menjadi kearifan lokal penduduk Lembah Serayu, khususnya wong Banyumas.

3.Asal-Usul Toponim Banyumas  Dari Sudut Tradisi Jawa.

Tibalah saatnya kita bicarakan asal usul toponim Banyumas. Kisah petualangan Senna yang telah dikemukakan di atas, bisa memperkaya wawasan kita dan mempermudah menemukan asal muasal toponim Banyumas, bukan hanya dari sudut pandang tradisi Jawa dan Banyumas saja. Tetapi juga dari sudut pandang tradisi  Sunda Galuh Kawali.  Dari manakah sebenarnya asal muasal topinim Banyumas? 

Asal nama kota Banyumas sudah banyak diungkapkan baik dalam tradisi lisan maupun tulisan. Nama toponim Banyumas sebagian besar dikaitkan dengan sosok Sang Pendiri Kabupaten Banyumas, Adipati Mrapat Jaka Kahiman. Versi yang paling populer adalah mengaitkan nama Sungai Banyumas dengan nama Kota Banyumas. Sejumlah versi asal usul toponim Banyumas adalah sebagai berikut:

1.      Kisah Kayu Mas. Kisah ini menceriterakan bahwa ketika Sang Adipati Mrapat sedang membangun kota Banyumas, tiba-tiba ada pohon kayu mas yang terbawa aliran sungai Serayu dan berhenti tidak jauh dari tempat pembangunan kota Banyumas. Sang Adipati yang diberitahu, sangat gembira dan memerintahkan agar batang kayu mas itu diangkat ke darat. Batang kayu mas tadi dijadikan salah satu tiang pendopo rumah kabupaten. Dari asal kayu mas yang hanyut terbawa air itu, Sang Adipati memberi nama kota yang sudah selesai dibangunnya itu, Kota Banyumas. Banyumas disini diartikan sebagai berasal dari kayu mas yang terbawa air atau banyu. Jadilah toponim Banyumas.

2.      Kisah Kota Selarong. Kisah ini, sudah dikemukakan di depan, berkaitan dengan musim kemarau yang panjang. Ketika hujan tiba-tiba turun, penduduknya menyambutnya dengan saling berteriak bersahut-sahutan mengucapkan kata,”banyu!”, dan kata “mas!” Maka terbentuklah toponim Banyumas.

3.      Kisah Sungai Banyumas. Toponim Banyumas dikaitkan dengan nama sebuah sungai yang merupakan anak sungai Pasinggangan. Sungai itu diberi nama  sungai Banyumas, karena di kanan kirinya tumbuh pohon tembaga yang disebut juga pohon kayu mas. Dari banyaknya pohon kayu mas itulah, anak sungai Pasinggangan itu, diberi nama sungai Banyumas. Ketika Sang Adipati Mrapat memberi nama kabupaten yang didirikannya, dipilihlah nama Sungai Banyumas sebagai nama kabupaten yang baru didirikan, sehingga terbentuklah toponim Kota Banyumas.

4.      Kisah Sumur Mas. Kisah Sumur Mas merupakan kisah yang dikemukakan oleh Prof.Dr.Sugeng Priyadi,M.Hum, peneliti berbagai versi Babad Banyumas. Beliau mengatakan dalam tulisannya, bahwa Sungai Banyumas berasal dari mata airnya yang bernama Sumur Mas. Dari Sumur Mas itulah mengalir sungai yang kemudian diberi nama Sungai Banyumas. Jadi makna banyumas adalah banyu yang mengalir dari Sumur Mas. Jadilah Sungai Banyumas.Adapun nama Sumur Mas berasal dari ajaran kejawen yang menjelaskan bahwa kata Sumur Mas, merupakan ungkapan dari Sumur Sirahing Banyumas, yang kemudian menjelma menjadi Sumur Mas. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa nama Banyumas-Sumur Mas, Sumur Sirahing Banyumas, berasal dari konsep Selarong yang merupakan konsep kebudayaan Jawa yang berhubungan dengan tata letak yaitu sangsang bawana balik atau kawula katubing kala. (Sugeng Priyadi, SIP Publishing Banyumas, 2015).Tidak ada penjelasan apa arti sangsang bawana balik dan kawula katubing kala, kecuali penjelasan singkat bahwa orang yang tinggal di situ merupakan orang yang disegani. Mungkin yang dimaksud dengan  sangsang bawana balik adalah sungsang buwana balik, sebuah konsep ajaran kebatinan yang bersumber dari ajaran Islam Kejawen, Manunggaling kawula-gusti. 

Demikian pula konsep Selarong dan kawula katubing kala, merupakan konsep mistik ketuhanan manunggaling kawula-gusti yang diartikulasikan dalam bentuk simbol-simbol yang memang menjadi ciri khas para penganut mistik kebatinan dan para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Tentu semua versi yang menjelaskan asal muasal toponim Banyumas itu, harus kita hargai sebagai kekayaan folklore atau adat istiadat dan ceritera rakyat yang merupakan bagian dari local wisdom dan bagian dari kekayaan rohani rakyat Banyumas. Tidak ada alasan untuk meragukan semua tradisi lisan dan tradisi tulis yang berusaha menjelaskan topinim asal muasal kota Banyumas. Sebab semua versi itu bersifat hipotetis atau dugaan yang bersifat sementara. 

Lagi pula, semua versi berasal dari kepingan-kepingan kisah yang terpencar-pencar, kemudian sejalan dengan perjalanan waktu, tenggelam ke dalam memori publik. Ketika orang berusaha mengingat kembali memori publik yang telah lama tertinggal di masa yang sudah amat jauh dari sang juru kisah itu, terbentuklah berbagai macam versi dengan aneka macam variasinya. Hasilnya bisa sesuai fakta sejarah, bisa juga tidak. Tetapi sebagai folklore tetap harus dihargai dan dihormati. 

Dengan aneka macam kisah tadi, kita juga bisa dengan mudah melacak periode sejarah munculnya berbagai macam versi dari kisah asal muasal topnim Banyumas itu. Hampir dapat dipastikan semua versi itu muncul setelah kota Banyumas resmi berdiri sebagai pusat institusi pemerintahan Kabupaten Banyumas, lengkap dengan perangkat birokrasi pendukungnya. Dengan demikian semua versi yang menceriterakan asal muasal toponim Banyumas itu berasal dari abad ke -17 M – 19 M atau jaman setelah wilayah Kejawar jatuh ke tangan kekuasaan Kerajaan Islam Demak dan kerajaan-kerajaan penerusnya, yakni Pajang, Mataram, Kartusura, Surokarto sampai akhir abad ke -19 M, ketika daerah Banyumas jatuh ke tangan Pemerintah Hindia Belanda. 

Pada masa Banyumas ada di bawah Pemerintah Hindia Belanda, tradisi sastra tulis Banyumas justru mulai menggeliat yang dimotori para Pujangga Banyumas, mulai dari Tumenggung Cokrokusumo, Patih. R.Arya Wiriaatmaja, Patih Purwosuprojo, RM.Brotodirejo, Ngatijo Darmosuwondo, Adisawarno dan para penulis Babad Banyumas lainnya. Termasuk Kanjeng Bupati Cakaranegara II ( 1864 – 1879 M), yang setelah pensiun tinggal di grumbul Gendayakan, sehingga dikenal sebagai Kanjeng Bendoro Gendayakan. Bisa jadi Kanjeng Bendoro Gendayakan inilah penulis kitab Naskah Kalibening yang salinannya ditemukan di tangan  juru kunci makam Kalibening oleh Prof. Dr.Sugeng Priyadi,M.Hum.

Kisah Sumur Mas, Sumur Sirahing Banyumas, sebagai asal nama Sungai Banyumas dan kota Banyumas yang dikaitkan dengan mitos Selarong dari sudut pandangan ajaran Kejawen, seperti telah dikemukakan oleh Prof.Dr.Sugeng Priyadi, M.Hum, menunjukkan bahwa kisah itu baru muncul antara awal abad ke -19 M sampai akhir abad ke-19 M.  Konsep Sumur Mas, Sumur Sirahing Banyumas, Selarong, dunia sungsang buwana  balik dan kawula katubing kala, bisa kita temukan dalam kitab Bimasuci, karya Yasasipura I, Pujangga Kraton Surakarta, yang selesai ditulis pada tahun 1803 M. Memang buku itu ditulis dalam bentuk tembang sehingga menurut para penganut kebatinan dianggap lebih sakral dari pada bentuk prosa. 

Kitab Bimasuci ditulis dengan doa dalam bahasa Jawa Kuno, Awighnam astu namas siddhi, yang artinya, Semoga tiada rintangan, segala puji telah sempurna dipanjatkan. Terbitnya kitab Bimasuci yang di kalangan peminat sastra pedalangan lebih populer dengan sebutan Kitab Dewaruci, menandai tonggak sejarah bangkitnya sastra mistik atau sastra suluk Islam Kejawen sekaligus juga bangkitnya sastra dan kebudayaan Jawa pada abad ke -19 M.

 Pengaruh kebangkitan sastra dan kebudayaan Jawa, ikut melanda Banyumas baru pada akhir abad ke -19 M, yang ditandai dengan lahirnya sastra babad Banyumas yang dipelopori para Pujangga Banyumas seperti telah disebut di atas.

 Dengan demikian ketika Sang Adipati Mrapat mendirikan kota Banyumas menjelang akhir abad ke-16 M,  ajaran Islam kejawen belum dikenalnya. Sebab Yasadipura I, penulis kitab Bimasuci yang berisi konsep ajaran manunggaling kawula gusti dalam visi ajaran Islam, pun belum lahir. Saat itu proses transisi dari masyarakat Hindu-Budha ke arah masyarakat Islam baru berproses memasuki tahap-tahap awal. Negosiasi, adaptasi, akulturasi, asosiasi sampai sinkretisasi masih sedang berlangsung secara damai dan alami, sampai masing-masing pihak  memperoleh keunggulan atau harus menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi baru yang terpaksa harus diterima masing-masing pihak, jika pilihan lain tidak tersedia. 

4.Asal-Usul Toponim Banyumas Dari Sudut Tradisi Sunda

Dari berbagai versi tradisi Jawa dan Banyumas yang mencoba menjelaskana asal-usul toponim Banyumas di atas, sama sekali tidak pernah dikemukakan  apa nama anak Sungai Pasinggangan itu, sebelum diberi nama dengan kosa kata Jawa, Sungai Banyumas.

 Dugaan sementara orang bahwa sebelum diberi nama Sungai Banyumas, anak sungai Pasinggangan itu belum punya nama, jelas merupakan dugaan yang bukan hanya keliru. Tetapi juga bertentangan dengan tradisi leluhur Bangsa Galuh yang menggap sungai adalah sesuatu yang suci, sehingga jika orang menemukan sungai dan tidak memberinya nama, bisa dianggap tidak menaruh hormat pada sungai yang dianggap suci itu. Lain halnya jika sungai itu hanya sungai kecil berupa selokan atau wawangunan pembuangan air. 

Kosa kata banyumas, jelas merupakan alih bahasa dari bahasa Sunda menjadi bahasa Jawa Karena itu menemukan kosa kata banyumas dalam bahasa Sunda, tinggal mengalih bahasakan  kata banyumas kembali  ke dalam bahasa Sunda.   Kata banyu dalam bahasa Jawa, disebut cai jika dialih bahasakan ke dalam bahasa Sunda. Sedang mas dalam bahasa Jawa, ada beberapa pilihan jika akan dialihbahasakan ke dalam bahasa Sunda, yakni emas dan sindai. Kata lain dari cai yang juga dikenal dalam bahasa Sunda dan Jawa adalah tirta yang berasal dari bahasa Sansekerta dan sering dipakai untuk nama orang. Demikian pula kata kancana yang berarti emas, dikenal dalam bahasa Sunda maupun bahasa Jawa. Kata kancana sama dengan tirta umumnya dipakai untuk nama orang.  Misalnya Dewi Tirtakancana, Rahyang Wastukancana dan lainnya lagi. 

Sindai  yang berarti emas, menurut Van der Meulen merupakan bahasa Sunda lama yang kini sudah menghilang dari kamu bahasa Sunda yang beredar di pasaran. Namun pada abad ke-8 M, ketika Senna mendirikan perkemahan di timur pertemuan Sungai Pasinggangan dan anak sungainya, kosa kata  sindai masih layak untuk dipertimbangan sebagai nama anak sungai Pasinggangan itu.

 Dengan demikian, kosa kata banyumas, jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Sunda Galuh Kawali adab ke- 8 M, akan terbentuk kosa kata Cisindai, dari kata cai dan sindai atau   banyu dan mas. Bisa saja  hasil alih bahasa kosa kata banyumas ke dalam bahasa Sunda menjadi ciomas. Tetapi kosa kata emas untuk nama orang atau sungai sebagai sesuatu yang sakral, sangat jarang dijumpai dalam tradisi orang Sunda. Kecuali memang wilayah itu benar-benar mengandung tambang emas, seperti Ciomas di Banten Selatan.

 Kosa kata lain untuk menyebut emas sebagai makna simbolik adalah kata kancana atau sindai. Jika kancana digunakan untuk nama orang, maka sindai sangat cocok untuk nama sesuatu yang dianggap sakral atau suci. Demikanlah, nama anak Sungai Pasinggangan sebelum berubah menjadi Sungai Banyumas adalah Sungai Cisindai. Bisa jadi Sang Senna yang memberi nama Cisindai, anak Sungai Pasinggangan itu. Di sisi timur pertemuan antara Sungai Cisindai dan Sungai Pasinggangan itulah Senna berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya dengan membangun perkemahannya, bersamadhi  dan membayangkan  dirinya sebagai Sang  Bima Sena yang sedang berguru kepada Dahyang Drona dari Padepokan Sokalima. 

 Nama Sungai Ciserayu, Pasinggangan dan Cisindai, memiliki nilai simbolik dan historis yang erat kaitannya dengan perjuangan Senna merebut kembali tahta kerajaannya yang hilang. Ternyata perjuangan Senna berhasil, Kerajaan Galuh yang sempat lepas berhasil dikuasai kembali lewat putranya, Rake Sanjaya. Bahkan putra Senna itu sebelumnya telah berhasil mendirikan kerajaan baru, yakni Kerajaan Mataram Hindu. 

Sebagai tokoh yang leluhurnya bukan hanya dari Majapahit, tetapi juga dari Galuh-Pajajaran nistaya Adipati Mrapat Jaka Kahiman, pernah mendengar kisah Senna dan Sanjaya yang biasa dikisahkan lewat sastra lisan oleh para juru pantun, sebelum diabadikan dalam bentuk sastra tulis dalam kitab Carita Parahiyangan. Siapakah sosok yang bertindak sebagai juru pantun bagi Bagus Semangun Jaka Kahiman saat masih anak-anak?

 Siapa lagi kalau bukan Ibu angkatnya, Nyi Demang Mranggi Semu Demang Kejawar, putri Arya Baribin yang Ibunya adalah Dyah Ayu Ratna Pamekas, Putri Kerajaan Pajajaran yang tentu saja tidak asing dengan tradisi sastra pantun sebagai sarana mendidik jiwa para ksatria Kerajaan Galuh dan Pajajaran.

Ketika Sang Adipati Mrapat hendak membangun rumah kadipaten di tempat itu, riwayat Senna menjadi salah satu dasar pertimbangannya. Tentu Sang Adipati Mrapat sadar sepenuhnya, bahwa kadipaten yang akan didirikannya itu adalah bagian kerajaan Jawa, yakni Kerajaan  Pajang. Karena itu nama Sungai Cisindai segera diganti dengan nama Jawa, Sungai Banyumas. Nama Banyumas kemudian dipilih sebagai nama kadipaten yang baru didirikannya. Pemilihan nama Cisindai yang kemudian diubah jadi Banyumas, tentunya dimaksudkan sebagai bagian dari usaha mengenang perjuangan Senna, Rake Sanjaya dan Kerajaan Mataram Hindu yang pernah didirikan leluhurnya itu. 

Secara kebetulan nama Mataram sudah diambil lebih dulu oleh Ki Ageng Pemanahan sebagai nama dari kadipaten yang didirikannya di tepi hutan Mentawis. Sebab nama Mataram dipilih Ki Ageng Pamanahan karena Ki Ageng Pamanahan punya harapan Kadipaten Mataram yang didirikannya itu kelak bisa berkembang sehingga menyamai kemasyhuran Kerajaan Mataram Kuno yang didirikan Senna- Rake Sanjaya, yang tidak lain adalah leluhur Sang Adipati Mrapat juga.  Suatu harapan yang sama dengan harapan Kanjeng Adipati Mrapat  ketika mendirikan Kadipaten Banyumas. Memang sesungguhnya secara historis, Kadipaten Mataram berdiri mendahului Kadipaten Banyumas. Tetapi sebagai kerajaan, Kadipaten Banyumas mendahului berdirinya Kerajaan Mataram ( 1586 M atau 1587 M) yang menggantikan Kerajaan Pajang( 1586 M).

Demikianlah asal-usul toponim Banyumas, dipandang dari tradisi dan sejarah Kerajaan Galuh Kawali dan Kerajaan Pajajaran. Suatu kerajaan leluhur Sang Adipati Mrapat Jaka Kahiman juga disamping Kerajaan Majapahit. Bukankah Sang Adipati adalah cucu Dyah Ayu Ratna Pamekas Kirana? Sedangkan nenek Sang Adipati Mrapat itu adalah  istri Raden Arya Baribin. Nenek Sang Adipati Mrapat itu  adik Raden Banyakcatra Kamandaka dan putri bungsu Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi ( 1482 – 1522 M) yang bertahta di Kerajaan Pakuan Pajajaran. Wallahualam.[Tammat]

Jumat, 05 Februari 2016

Sejarah Awal Kota Banyumas (05)

(Pelabuhan Segara Anakan, Muara Sungai Serayu di Teluk Penyu,Cilacap-Banyumas, Sumber Gambar Wikipedia-Tropen Musium)


Cipari memang gudang beras. Senna dapat saja memutuskan belok ke kanan menuju Cipari dengan anak buahnya. Penduduk setempat pun dipastikan akan menyambutnya. Bukankah Senna adalah Raja Galuh? Tetapi risikonya juga besar. Jika pasukan Purbasora mengejarnya ke  Cipari, dengan mudah mereka akan menemukan Senna. Dapat dipastikan pasukan Purbasora akan menuju Cipari, karena mereka menduga, jika Senna dan parjuritnya kelaparan, akan kemana mereka lari jika tidak ke Cipari?  Ternyata Senna memang cerdas. Dia tidak ke Cipari, tetapi memilih meneruskan perjalanan menembus jalan setapak di tengah hutan, sebelum akhirnya tiba di Cimanggu.

Memang bahasa Sunda padi bukan pari, tapi pare. Dari kata Cipare, lama-lama berubah menjadi Cipari ketika banyak orang Jawa bermukim di daerah itu. Kata Cipare, diucapkan oleh lidah Jawa jadi Cipari. Dari sudut topografi, daerah Cipari lebih layak dianggap lumbung padi dari pada lumbung pare dalam bahasa Jawa yang buahnya pahit itu. Bisa jadi nama Cipari baru muncul setelah Dayeuhluhur jatuh ke dibawah kekuasaan Mataram. Atau ketika orang Belanda membangun sebuah stasiun kereta api disitu. Jadi nama Cipari berasal dari suatu jaman yang belum terlalu lama. Suatu perubahan dari Cipare menjadi Cipari.

Cimanggu juga sudah dikenal pada abad ke- 8 M. Majenang malah belum dikenal. Toponim Majenang dan Madura, baru terbentuk pada abad ke-17 M, ketika Mataram berekaspansi ke barat untuk menaklukan Dayeuhluhur dan Galuh. Toponim Majenang, Wanareja dan Madura adalah toponim Jawa, sehingga mudah disimpulkan desa-desa itu adalah bentukan orang Jawa Mataram.Manggu sendiri adalah nama tanaman buah yang dalam bahasa Jawa dan Indonesia dikenal sebagai buah manggis.

Tibalah Senna di Cimanggu, sebuah desa makmur yang dapat dipastikan perangkat desanya akan menyambut dan membantu Senna. Bagaimanapun   Senna adalah Raja Galuh yang bertahta selama tujuh tahun. Mustahil rakyat Cimanggu tidak mengenalnya. Senna bisa jadi istirahat di Cimanggu hanya semalam dan esok harinya melanjutkan pelarian ke timur dan tiba di Karangpucung. Karangpucung sama dengan Cimanggu, desa kuno yang sudah dikenal pada abad ke-8 M. Pucung juga nama buah untuk membuat sayur rawon dan brongkos. Orang Jawa menyebutnya keluak. Bahasa latinnya, Pangium edull dari Familia Flacovirtiaceae.

Besar kemungkinan di Karangpucung, Senna berkemah 2-3 hari, sebagai persiapan menembus hutan dengan jalan setapak, berkelak kelok, tetapi sangat menyenangkan karena di situ banyak tumbuh pohon kelapa dan pohon aren, sumber energi yang penting bagi para petualang dan penjelajah hutan. 

Leluhur Senna adalah Bangsa Galuh, putra-putra sungai pencipta kebudayaan muara sungai dan hilir sungai. Leluhur Senna adalah penjelajah hutan dan penyusur sungai dari hilir ke hulu yang gagah berani dan pantang menyerah. Mereka memiliki ketrampilan menjelajah hutan, menyusuri sungai dari muara sampai mata air. Mereka menjadi penjelajah hutan menyusuri  pinggiran sungai ke  arah hulu untuk menemukan mata air sungai, hanya berebekal peralatan sederhana dan ringan yang dibawa, seperti alat-alat pertanian dan perlengkapan memasak,  alat berburu dan berbekal bibit keladi (Colocasia antiquorum) dan ubi jalar (Dioscorea esculanta). Sambil menyusuri pinggiran sungai menuju hilir, mereka juga menanam keladi dan ubi jalar, sehingga mereka tidak akan pernah kehabisan bahan makanan, karena mereka terus membangun lumbung bahan makanan sepanjang perjalanan menuju hilir.  

Tradisi lain suku bangsa Galuh  yang diwarisi dari leluhurnya di Lembah Sungai Mekong, Vietnam adalah membangun pemukinan dan pusat  pemerintahan di muara sungai dan di hilir sungai, sesuai dengan filosofi dan pandangan hidup mereka yang menganut  sungai sebagai asas ibu dan gunung sebagai asas bapak. Mata air sungai-sungai besar di kaki gunung mereka anggap  pusat jati diri mereka, asal muasal mereka sebagai putra-putra sungai, sebab di situlah Sang Ibu dan Sang Bapak bertemu dan memadu kasih yang telah melahirkan leluhur mereka. Gagasan ini melahirkan konsep yang menganggap gunung, mata air di kaki gunung, dan sungai yang mengalir dari padanya sebagai sesuatu suci, disakralkan dan mereka puja.

Setelah berkemah beberapa hari untuk memulihkan tenaga di Karangpucung, Senna dan pasukan memulai  menembus jalan setapak berlika-liku yang sekarang dikenal sebagai daerah Lumbir.Toponim Lumbir sama sekali tidak dikenal dalam kamus Jawa Banyumas maupun Sunda. Kemungkinan ketika Senna melintasi daerah ini masih berupa hutan di pinggir perbukitan yang di sepanjang kakinya banyak tumbuh pohon kelapa dan aren. Toponim Lumbir mungkin berasal dari kata limbung, berubah menjadi limbur, akhirnya berubah jadi lumbir. Arti limbung dalam bahasa Sunda adalah, “ukuran luhurna heunte  ngimbangan kana gedena”. Artinya ukuran tingginya tidak sama dengan besarnya. Bisa jadi lumbir melukiskan pohon kelapa yang sudah lama tidak dipetik, buahnya banyak yang bergelantungan, sehingga tidak seimbang dengan tinggi pohonya yang kecil lurus. Atau juga bisa untuk menggambarkan pohon aren yang buahnya dan daunnya begitu rimbun dan tak seimbang dengan tinggi batangnya. Tampaknya lumbir adalah nama untuk menyebut sebuah hutan yang kaya dengan corak pohon yang menghasilkan buah kelapa, aren dan lainnya lagi seperti digambarkan di atas. Setelah menjadi pemukiman orang memberi nama desa Lumbir.

Hutan Mangli

Setelah berhasil menembus hutan Lumbir, Senna dan prajurit pengawalnya istirahat lagi, sebagai persiapan untuk menempuh wilayah datar memanjang ke timur sampai akhirnya tiba di sebuah hutan yang dalam teks Babad Banyumas dikenal dengan hutan Mangli.

 Kosa kata mangli tidak ditemukan dalam kamus bahasa Jawa Banyumas. Tetapi dalam kamus bahasa Sunda dikenal, kosa kata mangle, yakni tumbuhan rawa dan tepi sungai sejenis pandan yang tingginya bisa sampai dua meter, termasuk famili Pandanaceae. Nama latin mangle adalah Pandanus ammaryllifolisus,  baunya harum semerbak, sehingga dipakai jadi nama sebuah majalah bahasa Sunda yang tetap terbit sampai sekarang, Mangle. Maksudnya mungkin majalah yang termashur karena isinya yang beraneka ragam, kebanyakan terjemahan karya sastra bermutu karangan orang-orang barat ke dalam bahasa Sunda. 

Dari kata mangle tadi, orang Jawa dan Banyumas mengubahnya jadi mangli, untuk menyebut nama kawasan pepohonan yang seperti jati, jambu, pohon lo yang di sekelilingnya banyak pohon pandan atau mangle. Pohon jambu adalah pohon yang banyak dikenal oleh orang Sunda dan Jawa. Dalam kamus Bahasa Sunda dikenal banyak sekali nama jambu, misalnya: jambu batu, jambu dipa, jambu bol, jambu aer, jambu monyet, jambu dehem, jambu batu atau jambu kulutuk. Ada lagi sejenis jambu aer yang warnanya merah. Orang Sunda menyebutnya jambu Samarang. Mungkin jambu Samarang ini yang disebu jambu mangli oleh orang Jawa. Nama pohon jambu yang mungkin disebut jambu mangli oleh orang Jawa adalah jambu mawar, buahnya  kuning kehijau-hijauan, bentuk bulat, berbau sedap layaknya bunga mawar. Bahasa latinnya Eugenia jambos. Kadang-kadang jambu mawar sering dianggap saudaranya jambu kopo atau Eugenia densiflora.

Orang Sunda maupun orang Jawa, sama-sama mengenal kosa kata lawang. Tetapi toponim Jatilawang belum terbentuk pada abad ke-8 M. Sebelum toponim Jatilawang, namanya Jambu. bisa jadi dahulu bernama Karangjambu atau Cijambu. Sebab di sebelah barat hutan Lumbir terdapat toponim Karangpucung dan Cimanggu. Pucung dan manggu, seperti halnya jambu, menunjukkan nama pohon tanaman keras. Besar kemungkinan pola vegetasi hutan ketika perjalanan Senna semakin mendekati Sungai Serayu merupakan hutan dengan pola yang unik, sehingga disebut hutan Mangle. 

Hutan Mangle yang dilihat Senna dan anak buahnya ketika dia bergerak melintasi Rawalo sampai tiba di tepi Sungai Serayu, bisa jadi sama dengan Raden Patah ketika melihat banyak tumbuhan glagah yang menempati wilayah luas di Bintaran. Tumbuhan glagah yang meluas itu dalam Babad Pajang disebut hutan Glagah, tempat Raden Patah dan anak buahnya kemudian membangun sebuah kadipaten yang diberi nama Kadipaten Bintara. Demikian pula Senna dan pengawalnya, memberi nama hutan yang dipenuhi pohon mangle itu sebagai hutan Mangle. Glagah sama dengan mangle bukan tanaman keras.

Hutan Mangle adalah hutan rimbun dengan banyak tanaman mangle yang tumbuh mengisi sela-sela pohonan dengan tanaman keras seperti jambu, pucung, manggu, jati, lo,  kandaga, dan lainnya lagi. Jalan lurus Jatilawang – Rawalo- Jembatan Cindaga, dapat dipastikan pada abad ke-8 M, masih merupakan jalan selebar beberapa meter yang menyusuri tepi hutan yang ada di sisi utara yang berupa hutan Mangle dengan tanaman keras paling dominan adalah jambu dan pohon lo. Sedang di sebelah selatan jalan merupakan bentangan rawa luas dengan aneka tumbuhan rawa, seperti bahan pembuat tikar, atap kajang dan mangrove.

 Kondisi topografi Rawalo ketika Senna dan pengawalnya melintasi daerah itu, bisa diperbandingkan dengan topografi Patimuan-Rawaapu-Cintaduy dan Kalipucang yang pada awal tahun 1970 masih dapat disaksikan orang. Konon pada tahun 1970 M, jika orang menuju Pangandaran dari Sidareja-Kedungreja-Patimuan-Rawaapu-Kalipucang, dan tiba di Pangandaran, jalan itu masih membelah daerah rawa, di kanan dan kirinya dengan aneka tumbuhan rawa. Sekarang rawa-rawa  di sepanjang jalur Sidareja Patimuan-Rawaapu-Citanduy–Kalipucang, sudah banyak yang berubah jadi pemukiman penduduk. Demikian pula sisa-sisa kondisi geografi Jatilawang – Rawalo pada abad ke-8 M, sudah tidak mungkin bisa kita lihat lagi pada jaman sekarang ini. Jatilawang dan Rawalo sudah berubah jadi Kota Kecamatan yang terus-menerus menggeliat menuju masyarakat dengan pola masyarakat kota.

Hutan Mangle yang dilewai Senna dan prajurit pengawalnya, meliputi areal yang sangat luas. Bukan hanya mencapai sisi barat Sungai Serayu, tapi juga mencapai sisi timur Sungai Serayu membentang dari selatan ke utara, dari Cindaga sampai Pertemuan Sungai Serayu dan Pasinggangan. Sebab habitat utama mangle memang pinggir rawa dan pinggir sungai. Hanya tanaman keras yang tumbuh di sisi timur Serayu rupanya mulai mengalami perubahan, karena perubahan struktur tanah yang semakin mendekati kaki pegunungan Serayu. Pohon jambu dan lo nampaknya mulai berkurang. Tetapi pohon jati, kandaga, asam, bambu dan lainnya lagi mulai bermunculan dengan pohon mangle tetap secara dominan memenuhi tempat di antara sela-sela pohon keras terebut. 

Ketika orang Jawa Majapahit-Demak-Pajang-Mataram mulai  berkuasa di daerah itu, lalu berakulturasi dan berasosiasi melalui perkawinan campur dengan orang Sunda Galuh Lembah Serayu, nama hutan mangle berubah jadi hutan Mangli. Demikianlah kosa kata banyumas, dawuhan,  dan kalibening, seperti halnya kosa kata mangli, merupakan kosa kata Jawa, yang merupakan transliteralisasi dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Jawa. Nama desa yang benar-benar baru dan bukan hasil alih bahasa dari bahasa Sunda ke Jawa tampaknya adalah desa Papringan. Orang Sunda menyebut bambu atau pring dalam bahasa Jawa, adalah awi. Tidak adanya toponim dengan kata awi, bukan berarti di sepanjang  tepi timur Serayu tidak ada pohon awi.


Perkemahan  Sang Senna

Begitu tiba di tepi sungai besar yang setara dengan Citanduy, Senna dan pengikutnya langsung bersorak kegirangan. Mereka yakin akan selamat dari kejaran Purbasora. Senna pun memimpin mereka menyeberangi sungai dan mendarat dengan mudah di pinggir timur sungai yang banyak ditumbuhi pohon kandaga, dengan tetap di sela-selanya banyak ditumbuhi pohon mangle. Adanya pohon kandaga di tepi sungai dengan di selang-selingi pohon mangle, jelas merupakan tempat rimbun dan nyaman sebagai  suatu tempat berlindung  dan bersembunyi dari kemungkinan dikejar pasukan Purbasora. 

Lagi pula mitos sungai sebagai sesuatu yang suci sebagai bagian dari tradisi leluhur bangsa Galuh, memudahkan Senna untuk menyelamatkan diri. Andaikata pasukan Purbasora berhasil mengejar Senna sampai tepi sungai, pasukan pengejar itu tidak akan berani menyeberangi sungai. Sebab berperang di sekitar sungai yang dianggap suci, merupakan suatu pamali atau tabu. Mereka yang berani menyeberang, akan bernasib malang, sial  dan mereka percaya siapa yang menyeberang sungai suci untuk mengalahkan musuh dengan mudah akan dapat dikalahkan musuhnya. Itulah sebabnya, Senna langsung memberi nama sungai suci itu Ciserayu, dari kata Sirrhayu yang artinya selamat. Senna dan anak buahnya telah berhasil diselamatkan sungai suci yang bermata air di kaki Gunung Dieng. 

Bukan mustahil ketika akan memberikan nama Ciserayu, Senna ingat nama sungai Serayu dalam kisah Mahabharata. Senna pun mengidentifikasikan dirinya sebagai Sang Bima yang dalam Mahabharata dimitoskan sebagai tokoh yang telah membangun Narmada Serayu beserta adiknya, Arjuna. Senna sendiri memberikan nama kepada putranya, Sanjaya, sebuah nama lain dari Arjuna dalam Mahabharata. Secara tidak sadar dengan memberikan nama sungai Ciserayu, Senna telah memulai tradisi memindahkan kisah Mahabharata dari tanah Hindu ke tanah Jawa. Tradisi Senna ini kelak diikuti oleh para pujangga Jawa, khususnya pujangga kraton Surakarta, yang mengganggap mereka adalah keturunan Pandawa lewat Parikesit yang juga dianggap telah menurunkan Raja Jayabaya dari Kediri.

Tradisi sastra Galuh Kawali sebenarnya memang lebih banyak dipengaruhi Mahabharata dari pada Ramayana. Sedangkan tradisi sastra  Kerajaan Jawa pada mulanya  lebih banyak dipengaruhi Ramayana. Hal ini bukan berarti kerajaan-kerajaan Jawa tidak mengenal Mahabharata atau kerajaan-kerajaan Sunda tidak mengenal Ramayana. Kerajaan Tarumanegara adalah Kerajaan Sunda yang memeluk agama Wisnu, tentu saja mengenal dengan baik Ramayana. Demikian pula banyak pujangga Jawa yang menggubah episode-episode Mahabharata, seperti Hariwangsa, Gatotkacasraya, Bharatayudha, Arjuna Wiwaha dan lainnya lagi. 

Hanya saja pengaruh sastra Mahabharata dilingkungan kerajaan Jawa memang semakin intensif setelah Kerajaan Singasari dan Majapahit berkuasa di Jawa Timur, sebab Kerajaan Singasari dan Majapahit telah beralih memeluk agama Syiwa, mengikuti jejak Kerajaan Galuh dan Pajajaran yang lebih dulu memeluk agama Syiwa. Sedangkan kerajaan wangsa Isyana, Kahuripan dan Kediri Lama memeluk agama Wisnu, mengikuti jejak Kalingga dan Tarumanegara yang lebih dahulu menjadi penganut agama Wisnu. 

 Ketika Senna akan melanjutkan tradisi leluhurnya menyusuri hutan Mangle di pinggir timur sungai Ciserayu ke arah hilir, tiba-tiba dijumpainya sungai Pasinggangan yang bertemu dengan sungai Banyumas. Tempat pertemuan dua sungai semacam itu dalam tradisi leluhur bangsa Galuh, merupakan suatu tempat  istimewa yang memiliki daya ghaib, sehingga sangat sayang jika ditinggalkan begitu saja. Lebih-lebih Senna memang dalam posisi memerlukan daya ghaib. Bukan hanya agar selamat dari kejaran musuhnya. Tetapi juga agar dapat membalas dendam dan merebut kembali tahta Kerajaan Galuh warisan ayahnya yang lepas diambil secara paksa oleh Purbasora.

Senna segera menyeberangi Sungai Pasinggangan dan memutuskan membangun perkemahan untuk menetap sementara waktu di sebelah timur pertemuan sungai Pasinggangan dengan anak sungainya yang kelak dikenal sebagai sungai Banyumas. Paling tidak Senna akan menetap selama tiga bulan atau 100 hari jika digunakan angka mistik untuk memperoleh daya gaib di tempat pertemuan dua sungai semacam itu. Seratus hari juga merupakan waktu yang memadai untuk membangun lumbung makanan dengan bertanam keladi, ketela rambat, jagung dan padi lahan kering atau gaga dan sayur-sayuran  di sekitar perkemahan. Sebab setelah seratus hari tanaman yang mudah ditanam itu dapat dipanen sehinggga dapat dijadikan bekal untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju hilir sungai Serayu. Senna dan prajuritnya juga punya cukup waktu untuk membuat rakit, pelampung, kail untuk menangkap ikan, bahkan tombak kayu atau bambu untuk melumpuhkan buaya. Semua bahan bahan itu dengan mudah bisa diperoleh dari wilayah di sekitar mereka berkemah. Pohon bambu nampaknya juga cukup banyak. 

Aktivitas Senna selama tinggal sementara waktu di perkemahannya, selain memimpin anak buahnya bercocok tanam, membuat rakit dan melatih ketrampilan bela diri, adalah bersamadhi di tempat-tempat sunyi .agar daya ghaib alam sekitarnya dapat diserap oleh dirinya. Konsep wahyu mungkin belum dikenal Senna dan para prajurit pengawalnya. Tetapi kepercayaan adanya tempat-tempat suci dan memiliki daya ghaib, sudah mereka kenal sebagai ajaran warisan leluhurnya. Dapat dipastikan Senna dan anak buahnya berusaha bergerak ke arah hilir sungai Pasinggangan maupun sungai Banyumas untuk menemukan mata air ke dua sungai itu dan juga untuk menemukan mata air dari setiap anak sungai Serayu yang ditemukan di situ. Besar kemungkinan Sumber Tirthas atau Sumur Pasucen di Kompleks Pemakaman Kalibening itu sudah ditemukan Senna dan anak buahnya.

Senna yang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh Bima, dalam samadhinya  membayangkan berjumpa dengan Sang Guru Dahyang Drona. Dahyang Drona telah memuji Bima dan Arjuna karena berhasil membangun sungai yang indah Narmada Serayu dengan anak sungainya. Sebagai ganjaran kepada Bima, Dahyang Drona siap mengajarkan ilmu kepada Bima, tetapi Bima diharuskan mencari lebih dahulu air suci Tirta Pawitra. Tirta artinya air, pawitra artinya suci. Jadi Tirta Pawitra artinya, air yang mahasuci. Berkat petunjuk gurunya itu, Bima akhirnya mendapat ilmu pelepasan. Bukan dari Dahyang Drona memang tapi dari  Sang Acintya, Dia yang tak telukiskan.. Setelah mendapat ilmu pelepasan itu, Bima menjadi manusia yang sakti, suci dan kekasih para dewa. Bima lalu melanjutkan pergi bertapa ke Pertiwijati. Bima sangat berterimakasih pada gurunya Dahyang Drona. Sebab tanpa petunjuk Dahyang Drona Bima tidak mungkin betemu dengan Sang Acintya yang telah mengajarkan kepadanya ilmu  asal muasal manusia, moksa, dan visi tat twam asi. 

Dengan bersamadhi di tempat yang memiliki daya ghaib itu dan membayangkan perjalanan Bima berguru pada Dahyang Drona, Senna memang berharap bisa menyadap daya-daya ghaib alam sekitarnya yang disakralkan sehingga dia pun menjadi sakti dan dekat dengan para dewa. Dalam posisi menjadi kekasih dewa itu, Senna berharap keinginanya untuk memperoleh kembali tahtanya yang hilang mendapat perkenan dan bantuan  para dewa. 

Selesai menjalankan samadhai dan berkemah kurang lebih tiga bulan atau 100 hari, Senna dan anak buahnya melanjutkan petualangannya menyusuri Sungai Serayu menuju tempat suci berikutnya yaitu mata air sungai Serayu. Sebagai putra-putra sungai, Senna dan anak buahnya tidak mengalami kesulitan jika dia harus menyusuri  Sungai Serayu ke arah hilir. Leuhur mereka adalah pencipta peradaban sungai dan pantai. Aneka macam jenis alat angkutan air dari yang hanya untuk mengangkut satu atau beberapa orang sampai membuat rakit yang mampu menyeberangkan gajah, mereka sudah mampu membuatnya. Demikianlah juga Senna dan anak buahnya. Mereka dipecah-pecah jadi kelompok-kelompok kecil yang bergerak di atas rakit bambu yang dengan lincah mampu mengarungi Sungai Serayu dengan melawan arus. Tentu perjalannya selang seling antara jalan darat dan jalan sungai tergantung keadaan medan. Lagi pula rakit yang dibuatnya dengan mudah bisa diangkat ke darat. 

Dalam perjalanannya menyusuri Sungai Serayu ke arah hilir, dapat dipastikan Senna akan berjumpa dengan muara  Sungai Klawing. Sungai Klawing sering disebut sebagai Sungai Cingcinggoling. Kata Cingcinggoling berasal dari kata cicing yang artinya diam dan goling yang artinya berputar. Jadi Cingcinggoling  adalah permukaan air yang diam tapi berputar, yang menunjukkan muara sungai Klawing ketika masuk Sungai Serayu, membentuk pusaran air yang  bergerak di tempat. Tradisi Kerajaan Galuh Kawali, nampaknya juga mengenal dengan baik Sungai Cingcinggoling. Dalam pantun Sunda Lutung Kasarung dikisahkan mengenai sebuah kedung dari sebuah sungai. Kedung itu disebut kedung Sipatahunan. Kedung Sipatahunan jelas terletak di Sungai Cingcinggoling dan bukan di Sungai Logawa.  

Setelah menempuh perjalanan yang rumit, panjang, dan sukar, akhirnya Senna dan anak buahnya tiba di kaki Gunung Dieng di depan mata air Sungai Serayu. Di situ kembali Senna berkemah dan bersamadhi, seperti halnya Bima yang juga bertapa di Pertiwijati, setelah berguru kepada Dhyang Drona di Padepokan Sokalima. Kelak  Rake Sanjaya mengenang petualangan ayahnya menyusuri Sungai Serayu dari Cindaga sampai di kaki Gunung Dieng atau Parahiyangan itu, dengan membuatkan  patung Bima Lukar yang ditempatkan di salah satu mata air Sungai Serayu, sebagai bentuk pemujaan kepada Sang Hyang Syiwa, Dewa Indra, Dewa Bayu dan Dewa Brahma sekaligus.

Lingga Bima yang sengaja diperlihatkan secara menyolok itu  melambangkan Dewa Syiwa yang sedang di puja Senna. Nama Bima sendiri mengandung arti, dia yang menakutkan, sebuah epitet Dewa Syiwa. Bima juga dianggap putra Dewa Angin atau Bayu. Dewa Bayu merupakan pasangan Dewa Indra, dewa pencipta awan dan hujan, tetapi juga dewa yang dipuja Arjuna atau Sanjaya. Dewa Indra juga disimbolkan sebagai pencipta mata air sungai Serayu. Sedang Dewa Brahma, adalah Dewa Api, simbol energi Bima yang luar biasa, tetapi juga simbol api dari kawah Gunung Dieng. Demikianlah penempatan patung Bima Lukar, melukiskan perjuangan Senna memohon perlindungan para dewa yang dipuja  itu agar melindungi perjuangan Senna-Sanjaya yang berniat membangun Kerajaan Mataram Hindu di sekitar tempat itu. Dengan demikian penempatan patung Bima Lukar itu juga semacam peletakan batu pertama pembangunan dinasti baru Kerajaan Mataram Hindu.

Carita Parahiyangan menyebutkan bahwa Senna melanjutkan perjalannya menuju Merapi-Merbabu. Penulis Carita Parahiyangan mungkin tertukar antara kisah Sanjaya dan kisah Senna. Bukan Senna yang mengunjungi Merapi-Merbabu, tetapi Sanjaya ketika pusat Kerajaan Mataram Hindu yang berpindah-pindah itu, mulai pindah ke wilayah sebelah timur Gunung Dieng. 

Kemana Senna setelah selesai bersamadhi di kaki Gunung Dieng yang oleh van der Meulen disebutnya sebagai wilayah dari para dahyang atau parahiyangan yang  sebenarnya? Naskah Wangsakerta mungkin benar jika menyebutkan bahwa ketika berpetualang itu Senna sudah punya putra dengan adik tirinya Sannaha, cucu Ratu Sima yang tinggal di Kalingga.  Sannaha itu bagi Rake Sanjaya atau Rakean Jambri adalah ibu sekaligus juga bibi. Demikian pula Senna, dapat disebut ayah, tetapi dapat disebut juga paman. Sebab dari sudut Sannaha, Senna adalah kakak titinya, satu ayah beda ibu. Sanna dan Sannaha memang melakukan proses perkawinan Manu. 

Rake Sanjaya disebut juga Rakean Jambri, yang berarti pemuda pemilik rambut yang menutupi dahi. Mungkin sebuah mitos untuk menunjukkan bahwa putra Senna-Sannaha yang diperoleh dari hasil perkawinan Manu itu memiliki daya ghaib dan kesaktian luar biasa yang terletak pada rambutnya. Karena menurut van der Meulen letak Kerajaan Kalingga di Grobogan, Purwodadi arah timur laut Dieng, tentu ke sanalah Senna melanjutkan perjalannya setelah memohon pertolongan para dewa yang bersemayam di Parahiyangan atau dataran tinggi Dieng.

 Kedatangan Senna di Kalingga tentu untuk meminta pertolongan istrinya dan anaknya merebut kembali tahta Kerajaan Galuh yang telah lepas dari tangannya. Van der Meulen menduga Senna tak lama kemudian mangkat, sehingga Carita Parahiyangan lebih banyak berkisah perjuangan Rake Sanjaya dari pada Senna. Rake Sanjaya berhasil membangun Kerajaan Mataram Hindu, kemudian bergerak ke barat untuk menundukkan kerajaan Galuh  yang berada di bawah kendali Purbasora. Perang Mataram – Galuh pun  pecah. Sebuah perang saudara memperebutkan tahta Kerajaan Galuh. Rake Sanjaya mengambil alih perjuangan Senna dan berhasil merebut kembali tahta Kerajaan Galuh warisan leluhurnya.[]