(Sumber Gambar diunduh dari Blog Patikrajaku-blog. Peta Kabupaten Banyums)
1.Kunjarakunjadesya
Purbasora
tewas dalam pertempuran melawan kemenakannya, Rake Sanjaya. Rake Sanjaya
berhasil menguasai kembali tahta Galuh warisan
Senna, ayahnya yang sempat lepas. Kemudian tercapai kompromi dan
perdamaian hasil musyawarah sesama keturunan Wretikandayun, yakni Sang Hyang
Sampakwaja, Sang Hyang Kedul dan Rake Sanjaya. Keputusannya, tahta Galuh
diperintah oleh dua orang yakni Permana Dikusuma dan Tamperan Barmawijaya. Rake
Sanjaya diakui sebagai Maharaja yang berkuasa atas seluruh wilayah Kerajaan
Galuh.
Permana Dikusuma adalah turunan Purbasora dan
Tamperan Barmawijaya adalah turunan Senna lewat Rake Sanjaya. Dengan kata lain
Tamperan adalah putra Sanjaya dengan istrinya dari daerah Bogor. Temperan yang
naik tahta Galuh mewakili Permana Dikusuma, masih sangat belia, hingga kelak
dengan mudah terlibat cinta dengan Dewi
Pangreyep, istri muda Permana Dikusuma yang seusia dengannya. Meraka berdua
berusia sekitar sembilan belas tahun ketika saling jatuh cinta. Perkawinan Dewi
Pangreyep dengan Tamperan, menghasilkan seorang putra, yakni Rakean Banga, yang
kelak menjadi Raja Galuh Timur yang berpusat di Pasirluhur. Rakean Banga dalam
tradisi Babad Pasir dikenal sebagai Arya Bangah.
Setelah
sukses menaklukan Galuh dan mendapat pengakuan sebagai Maharaja dari Dahyang
Sampakwaja dan Sang Hyang Kidul, Rake Sanjaya pun mengangkat dirinya sebagai
Maharaja Rake Mataram dan mengendalikan kerajaannya yang berpusat di Kunjarakunjadesya. Dimanakah letak
Kunjarakunjadesya yang masih diperdebatkan sejarawan?
Van
der Meulen mula-mula sempat menempatkan Kunjarakunjadesya di Kalimantan, tetapi
akhirnya diletakkan di Gedongsanga, arah timur laut Gunung Kembar Sindara-Sumbing.
Jadi letak pusat Mataram Hindu itu diduga ada di antara lokasi Kalingga dan
mata air Sungai Serayu, di sekitar wilayah tempat Sanjaya meletakkan Patung
Bima Lukar.
Kunjarakunjadesya,
menurut Dr.Purbocaroko, berasal dari kata kunja yang berarti gajah, sehingga
kunjarakunjadesya diartikan sebagai wilayah gajah. Purbocaroko menempatkan
Kunjarakunjadesya di Sleman, dengan alasan kata sleman bersasal dari saliman,
yang artinya gajah. Van der Meulen mendukung pendapat yang menolak kata sleman
berasal dari saliman. Sleman berasal dari salimaR, suatu jenis tanaman, bukan
gajah atau liman, bantah van der Meulen. Bisa jadi yang dimaksud kunjarakunjadesya
bukan hanya hutan gajah, sebagaimana diduga van der Meulen. Tetapi ada makna
lain yang harus dicari untuk mengungkap misteri dibalik kata kunjarakunjadesya.
Kunjarakunjadesya
harus dicari di sepanjang sungai Serayu, karena dari sanalah Senna yang
membayangkan dirinya sebagai Bima mengawali penyusuran Sungai Ciserayu dari
Cindaga sampai ke mata air Sungai Serayu di kaki Gunung Dieng. Bima dalam mitologi kisah
wayang Bima Bungkus, berhasil menundukkan Gajah Sena, yang ingin berinkarnasi atau menitis
ke dalam tubuh manusia. Permohonan Gajah Sena akhirnya dikabulkan Batara Guru.
Gajah Sena yang berwarna putih akhirnya dituntun Dewa Bayu untuk memecahkan
bungkus yang menutupi tubuh bayi Bima yang berada di tengah hutan. Dengan
menggunakan gadingnya bungkus bayi Bima pun berhasil dirobek, lahirlah Bima
sebagai anak kecil yang sudah berpakaian ksatria lengkap, mirip kisah Minerva
atau Athena, Putri Zeus dalam mitologi Yunani yang juga lahir dengan
mengenakan pakaian perang wanita lengkap.
Perang
tanding pun pecah antara Bima cilik dengan Gajah Sena. Dalam peperangan itu,
Bima dengan cepat tumbuh menjadi pemuda remaja dan berhasil membunuh Gajah Sena
dengan kuku pancanakanya. Gajah Sena tewas, tapi berhasil berinkarnasi ke dalam
raga Bima, sehingga Bima menyandang nama Brata Sena atau Bharata Sena.
Dengan demikian kunjarakunjadesya harus
dihubungkan dengan letak patung Bima Lukar, yakni suatu wilayah di kaki gunung
Dieng. Kata desya juga ada kemiripan dengan kata dieng, setidak-tidaknya ada persamaan
huruf d.
Prof.Dr.Sugeng Priyadi, juga sempat menduga
bahwa letak Kunjarakunjadesya ada di Kedunguter, Banyumas, dengan alasan di
daerah Kebasen ada sungai, yang bernama Sungai Gajah. Tapi di Kedunguter tidak
pernah ditemukan bangunan lingga atau pun patung Bima. Yang pernah ada adalah
arca lancingan dari jaman yang masih amat jauh dari jaman Senna dan Rake
Sanjaya, yakni berasal dari tahun 3000 SM. Sedang Senna dan Rake Sanjaya hidup
pada abad ke-8 Masehi.
Kunjarakunjadesya,
mengandung dua kali kata kunja, karena itu mestinya bukan hanya bisa diartikan sebagai
wilayah hutan gajah, tetapi bisa juga diartikan sebagai wilayah gajah-gajah
atau wilayah dua gajah. Siapakah yang dimakud dua gajah? Jawabannya jika secara
topografi sulit ditemukan, mitologi Hinduisme mungkin bisa dijadikan alternatip
jawabannya.
Yang
dimaksud dengan dua gajah tidak lain adalah Bima sendiri yang bernama Sena dan
ruh Gajah Sena yang menyatu dalam raga Bima. Jadi Bima adalah representasi dua
oknum gajah menjadi satu dalam dirinya, yang menyebabkan Bima punya kekuatan
dua kali kekuatan Gajah. Itu sebabya Bima dengan mudah membuat sungai Serayu.
Kunjarakunjadesya
sebagai wilayah dua gajah, juga simbol dari Dewa Indra dan Dewa Bayu. Kedua
dewa itu dilukiskan dalam mitologi para dewa sebagai gemar bepergian dengan
mengendarai gajah. Dalam kisah Bima Bungkus, Dewa Bayu digambarkan menuntun
Gajah Sena yang berwarna putih. Demikian pula Dewa Indra, sering dilukiskan
berkeliling di Suralaya dengan menunggang gajah jika akan menghadiri undangan
rapat para dewa dari Betara Guru.
Batara
Indra sering dilukiskan sebagai dewa yang paling bertanggung jawab atas
keamanan istana para dewa di Suralaya. Demikianlah Kunjarakunjadesya, dapat
diartikan wilayah Dewa Indra dan Dewi Bayu di dunia, yang tidak lain tempatnya
di lereng selatan kaki Gunung Dieng, tidak jauh
dari Patung Bima Lukar.
Wilayah
itu merupakan pusat awal Kerajaan Mataram Hindu, sebelum akhirnya berpindah
pindah, untuk suatu alasan yang tidak bisa kita ketahui sebab-sebabnya. Mungkin
penyebabnya adalah bencana alam yang beberapa kali menimpa ibu kota Mataram
Hindu. Coba kalau dulu Rake Sanjaya memindahkan pusat Mataram Hindu ke
Kedunguter, Banyumas. Pasti aman dari bencana ya ?.
2. Banyak atau Angsa, Binatang Yang Disucikan.
Jangan
lupa keris Sang Adipati Mrapat pun diberi nama gajah, yakni keris Gajah Hendra.
Diam diam Sang Adipati Mrapat Jaka Kahiman mengakui bahwa leluhurnya pada masa
lalu di samping menyembah Dewa Syiwa atau Batara Guru, juga memuja Dewa Indra sebagai
dewa hujan, awan dan binatang air seperti angsa. Gajah Hendra bisa diartikan
Gajah Dewa Indra. Keris Gajah Hendra, berarti keris pemberian Dewa Indra yang
gemar menunggang gajah.
Leluhur
bangsa Galuh juga memuja binatang air angsa sebagai simbol pemujaaan kepada
Dewa Awan yang mendatangkan hujan, jauh sebelum Hinduisme dipeluk leluhur
bangsa Galuh. Itu sebabnya Kerajaan Galuh Kawali dan Kerajaan Pajajaran mempunyai
tradisi berupa larangan memakan daging angsa. Memakan daging angsa merupakan suatu pamali atau larangan leluhur bangsa
Galuh.
Kita juga dengan mudah menemukan nama-nama
ksatria Galuh dan Pajajaran yang memakai
kosa kata banyak. Misalnya dalam kisah Raden Kamandaka-Dewi Ciptarasa. Kita
jumpai nama-nama Banyakcatra,
Banyakngampar, Banyakbelabur, yang dilanjutkan menjadi nama-nama para kstaria
Kadipaten Pasirluhur, seperti Banyakkesumba, Banyakbelanak, Banyakgaleh dan
lainnya lagi. Di Kerajaan Majapahit juga
ada tokoh dengan nama Banyakwide. Di Banyumas dalam Perang Diponegoro juga
muncul nama Banyakwide. Akhirnya ada mitos juga di daerah Banyumas, khususnya
turunan Adipati Wirasaba VI, pantangan makan daging angsa atau daging banyak.
Sebab salah satu penyebab malapetaka
yang menimpa Sang Adipati Wirasaba VI dalam tragedi Sabtu Pahing, konon akibat
Sang Adipati melanggar larangan leluhurnya, yakni makan daging banyak yang disuguhkan Ki Ageng
Bener.
Pamali
memakan daging banyak yang menjadi tradisi Kerajaan Galuh Kawali itu, adalah sisa-sisa bentuk pemujaan kepada Dewa
Awan, Dewa Hujan atau Dewa Indra dalam visi Hinduisme. Leluhur bangsa Galuh memang memandang dirinya
adalah keturunan luh atau air yang semuanya berasal dari Dewa Awan. Demikianlah
nama angsa atau banyak yang dijadikan nama sejumlah ksatria Galuh-Pajajaran-Majapahit
dan Kadipaten Pasirluhur, menunjukkan bentuk sisa-sisa pemujaan kepada Dewa
Awan dan Dewa Indra. Demikian juga pamali atau larangan makan daging banyak.
Tradisi
memuja Dewan Awan juga tampak pada benda-benda perlengkapan pusaka Kerajaan
Surakarta yang diwujudkan dalam bentuk patung angsa mini, yang mereka sebut
banyak dhalang. Demikianlah pemakaian nama banyak pada para ksatria Pasirluhur
dan Galuh seperti telah disebut di atas, bukan menunjukkan bahwa para ksatria
itu secara biologis merupakan trah
banyak. Sebab mereka memang bukan turunan angsa. Mereka adalah turunan leluhur
bangsa Galuh yang dulu para leluhur mereka menganggap angsa atau banyak sebagai
binatang suci, sekaligus merupakan simbol pemujaan kepada Dewa Awan, Dewa Hujan
dan Dewa Indra. Para Dewa yang dipuja
itu diharapkan menjadi pelindung mereka ketika mereka membangun peradaban
sungai dan pantai, serta menjadi
putra-putra sungai yang dengan gagah berani menjadi penguasa air, sungai, danau, dan lautan
dengan gelombang dan ombaknya untuk mewujudkan kesejahteraan mereka di muka
bumi.
Jauh sebelum dunia berteriak-teriak agar
komunitas penduduk dunia menyelamatkan air sebagai sumber kehidupan penting di
muka bumi, leluhur bangsa Galuh sudah lebih dahulu merintisnya dan
memeloporinya. Menjaga air dan lingkungan kehidupan sudah lama menjadi kearifan
lokal bangsa Galuh. Dan tentu saja seharusnya juga menjadi kearifan lokal
penduduk Lembah Serayu, khususnya wong Banyumas.
3.Asal-Usul Toponim Banyumas Dari Sudut Tradisi Jawa.
Tibalah
saatnya kita bicarakan asal usul toponim Banyumas. Kisah petualangan Senna yang
telah dikemukakan di atas, bisa memperkaya wawasan kita dan mempermudah
menemukan asal muasal toponim Banyumas, bukan hanya dari sudut pandang tradisi
Jawa dan Banyumas saja. Tetapi juga dari sudut pandang tradisi Sunda Galuh Kawali. Dari manakah sebenarnya asal muasal topinim
Banyumas?
Asal
nama kota Banyumas sudah banyak diungkapkan baik dalam tradisi lisan maupun
tulisan. Nama toponim Banyumas sebagian besar dikaitkan dengan sosok Sang
Pendiri Kabupaten Banyumas, Adipati Mrapat Jaka Kahiman. Versi yang paling populer
adalah mengaitkan nama Sungai Banyumas dengan nama Kota Banyumas. Sejumlah
versi asal usul toponim Banyumas adalah sebagai berikut:
1.
Kisah
Kayu Mas. Kisah ini menceriterakan bahwa ketika Sang Adipati
Mrapat sedang membangun kota Banyumas, tiba-tiba ada pohon kayu mas yang
terbawa aliran sungai Serayu dan berhenti tidak jauh dari tempat pembangunan
kota Banyumas. Sang Adipati yang diberitahu, sangat gembira dan memerintahkan
agar batang kayu mas itu diangkat ke darat. Batang kayu mas tadi dijadikan
salah satu tiang pendopo rumah kabupaten. Dari asal kayu mas yang hanyut
terbawa air itu, Sang Adipati memberi nama kota yang sudah selesai dibangunnya
itu, Kota Banyumas. Banyumas disini diartikan sebagai berasal dari kayu mas
yang terbawa air atau banyu. Jadilah toponim Banyumas.
2.
Kisah
Kota Selarong. Kisah ini, sudah dikemukakan di depan,
berkaitan dengan musim kemarau yang panjang. Ketika hujan tiba-tiba turun,
penduduknya menyambutnya dengan saling berteriak bersahut-sahutan mengucapkan
kata,”banyu!”, dan kata “mas!” Maka terbentuklah toponim Banyumas.
3.
Kisah
Sungai Banyumas. Toponim Banyumas dikaitkan dengan nama
sebuah sungai yang merupakan anak sungai Pasinggangan. Sungai itu diberi
nama sungai Banyumas, karena di kanan
kirinya tumbuh pohon tembaga yang disebut juga pohon kayu mas. Dari banyaknya
pohon kayu mas itulah, anak sungai Pasinggangan itu, diberi nama sungai
Banyumas. Ketika Sang Adipati Mrapat memberi nama kabupaten yang didirikannya, dipilihlah
nama Sungai Banyumas sebagai nama kabupaten yang baru didirikan, sehingga
terbentuklah toponim Kota Banyumas.
4.
Kisah
Sumur Mas. Kisah Sumur Mas merupakan kisah yang dikemukakan
oleh Prof.Dr.Sugeng Priyadi,M.Hum, peneliti berbagai versi Babad Banyumas.
Beliau mengatakan dalam tulisannya, bahwa Sungai Banyumas berasal dari mata
airnya yang bernama Sumur Mas. Dari Sumur Mas itulah mengalir sungai yang
kemudian diberi nama Sungai Banyumas. Jadi makna banyumas adalah banyu yang
mengalir dari Sumur Mas. Jadilah Sungai Banyumas.Adapun
nama Sumur Mas berasal dari ajaran kejawen yang menjelaskan bahwa kata Sumur
Mas, merupakan ungkapan dari Sumur Sirahing Banyumas, yang kemudian menjelma
menjadi Sumur Mas. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa nama Banyumas-Sumur Mas,
Sumur Sirahing Banyumas, berasal dari konsep Selarong yang merupakan konsep
kebudayaan Jawa yang berhubungan dengan tata letak yaitu sangsang bawana balik atau kawula
katubing kala. (Sugeng Priyadi, SIP Publishing Banyumas, 2015).Tidak
ada penjelasan apa arti sangsang bawana
balik dan kawula katubing kala, kecuali penjelasan singkat bahwa orang yang
tinggal di situ merupakan orang yang disegani. Mungkin yang dimaksud dengan sangsang
bawana balik adalah sungsang buwana
balik, sebuah konsep ajaran
kebatinan yang bersumber dari ajaran Islam Kejawen, Manunggaling kawula-gusti.
Demikian
pula konsep Selarong dan kawula katubing kala, merupakan konsep mistik
ketuhanan manunggaling kawula-gusti yang diartikulasikan dalam bentuk
simbol-simbol yang memang menjadi ciri khas para penganut mistik kebatinan dan
para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Tentu
semua versi yang menjelaskan asal muasal toponim Banyumas itu, harus kita
hargai sebagai kekayaan folklore atau adat istiadat dan ceritera rakyat yang
merupakan bagian dari local wisdom dan bagian dari kekayaan rohani rakyat
Banyumas. Tidak ada alasan untuk meragukan semua tradisi lisan dan tradisi
tulis yang berusaha menjelaskan topinim asal muasal kota Banyumas. Sebab semua
versi itu bersifat hipotetis atau dugaan yang bersifat sementara.
Lagi
pula, semua versi berasal dari kepingan-kepingan kisah yang terpencar-pencar,
kemudian sejalan dengan perjalanan waktu, tenggelam ke dalam memori publik.
Ketika orang berusaha mengingat kembali memori publik yang telah lama
tertinggal di masa yang sudah amat jauh dari sang juru kisah itu, terbentuklah
berbagai macam versi dengan aneka macam variasinya. Hasilnya bisa sesuai fakta
sejarah, bisa juga tidak. Tetapi sebagai folklore tetap harus dihargai dan
dihormati.
Dengan
aneka macam kisah tadi, kita juga bisa dengan mudah melacak periode sejarah munculnya
berbagai macam versi dari kisah asal muasal topnim Banyumas itu. Hampir dapat
dipastikan semua versi itu muncul setelah kota Banyumas resmi berdiri sebagai
pusat institusi pemerintahan Kabupaten Banyumas, lengkap dengan perangkat
birokrasi pendukungnya. Dengan demikian semua versi yang menceriterakan asal
muasal toponim Banyumas itu berasal dari abad ke -17 M – 19 M atau jaman
setelah wilayah Kejawar jatuh ke tangan kekuasaan Kerajaan Islam Demak dan
kerajaan-kerajaan penerusnya, yakni Pajang, Mataram, Kartusura, Surokarto
sampai akhir abad ke -19 M, ketika daerah Banyumas jatuh ke tangan Pemerintah
Hindia Belanda.
Pada
masa Banyumas ada di bawah Pemerintah Hindia Belanda, tradisi sastra tulis
Banyumas justru mulai menggeliat yang dimotori para Pujangga Banyumas, mulai
dari Tumenggung Cokrokusumo, Patih. R.Arya Wiriaatmaja, Patih Purwosuprojo,
RM.Brotodirejo, Ngatijo Darmosuwondo, Adisawarno dan para penulis Babad
Banyumas lainnya. Termasuk Kanjeng Bupati Cakaranegara II ( 1864 – 1879 M),
yang setelah pensiun tinggal di grumbul Gendayakan, sehingga dikenal sebagai
Kanjeng Bendoro Gendayakan. Bisa jadi Kanjeng Bendoro Gendayakan inilah penulis
kitab Naskah Kalibening yang salinannya ditemukan di tangan juru kunci makam Kalibening oleh Prof.
Dr.Sugeng Priyadi,M.Hum.
Kisah
Sumur Mas, Sumur Sirahing Banyumas, sebagai asal nama Sungai Banyumas dan kota
Banyumas yang dikaitkan dengan mitos Selarong dari sudut pandangan ajaran
Kejawen, seperti telah dikemukakan oleh Prof.Dr.Sugeng Priyadi, M.Hum,
menunjukkan bahwa kisah itu baru muncul antara awal abad ke -19 M sampai akhir
abad ke-19 M. Konsep Sumur Mas, Sumur
Sirahing Banyumas, Selarong, dunia sungsang buwana balik dan kawula katubing kala, bisa kita
temukan dalam kitab Bimasuci, karya Yasasipura I, Pujangga Kraton Surakarta,
yang selesai ditulis pada tahun 1803 M. Memang buku itu ditulis dalam bentuk
tembang sehingga menurut para penganut kebatinan dianggap lebih sakral dari
pada bentuk prosa.
Kitab
Bimasuci ditulis dengan doa dalam bahasa Jawa Kuno, Awighnam astu namas siddhi,
yang artinya, Semoga tiada rintangan, segala puji telah sempurna dipanjatkan. Terbitnya
kitab Bimasuci yang di kalangan peminat sastra pedalangan lebih populer dengan sebutan
Kitab Dewaruci, menandai tonggak sejarah bangkitnya sastra mistik atau sastra
suluk Islam Kejawen sekaligus juga bangkitnya sastra dan kebudayaan Jawa pada
abad ke -19 M.
Pengaruh kebangkitan sastra dan kebudayaan
Jawa, ikut melanda Banyumas baru pada akhir abad ke -19 M, yang ditandai dengan
lahirnya sastra babad Banyumas yang dipelopori para Pujangga Banyumas seperti
telah disebut di atas.
Dengan demikian ketika Sang Adipati Mrapat
mendirikan kota Banyumas menjelang akhir abad ke-16 M, ajaran Islam kejawen belum dikenalnya. Sebab Yasadipura
I, penulis kitab Bimasuci yang berisi konsep ajaran manunggaling kawula gusti
dalam visi ajaran Islam, pun belum lahir. Saat itu proses transisi dari
masyarakat Hindu-Budha ke arah masyarakat Islam baru berproses memasuki tahap-tahap
awal. Negosiasi, adaptasi, akulturasi, asosiasi sampai sinkretisasi masih sedang
berlangsung secara damai dan alami, sampai masing-masing pihak memperoleh keunggulan atau harus menyesuaikan
diri dengan kondisi-kondisi baru yang terpaksa harus diterima masing-masing
pihak, jika pilihan lain tidak tersedia.
4.Asal-Usul Toponim Banyumas Dari
Sudut Tradisi Sunda
Dari
berbagai versi tradisi Jawa dan Banyumas yang mencoba menjelaskana asal-usul
toponim Banyumas di atas, sama sekali tidak pernah dikemukakan apa nama anak Sungai Pasinggangan itu, sebelum
diberi nama dengan kosa kata Jawa, Sungai Banyumas.
Dugaan sementara orang bahwa sebelum diberi
nama Sungai Banyumas, anak sungai Pasinggangan itu belum punya nama, jelas
merupakan dugaan yang bukan hanya keliru. Tetapi juga bertentangan dengan
tradisi leluhur Bangsa Galuh yang menggap sungai adalah sesuatu yang suci,
sehingga jika orang menemukan sungai dan tidak memberinya nama, bisa dianggap
tidak menaruh hormat pada sungai yang dianggap suci itu. Lain halnya jika
sungai itu hanya sungai kecil berupa selokan atau wawangunan pembuangan air.
Kosa
kata banyumas, jelas merupakan alih bahasa dari bahasa Sunda menjadi bahasa
Jawa Karena itu menemukan kosa kata banyumas dalam bahasa Sunda, tinggal
mengalih bahasakan kata banyumas kembali
ke dalam bahasa Sunda. Kata banyu
dalam bahasa Jawa, disebut cai jika dialih bahasakan ke dalam bahasa Sunda.
Sedang mas dalam bahasa Jawa, ada beberapa pilihan jika akan dialihbahasakan ke
dalam bahasa Sunda, yakni emas dan sindai. Kata lain dari cai yang juga dikenal
dalam bahasa Sunda dan Jawa adalah tirta yang berasal dari bahasa Sansekerta
dan sering dipakai untuk nama orang. Demikian pula kata kancana yang berarti
emas, dikenal dalam bahasa Sunda maupun bahasa Jawa. Kata kancana sama dengan
tirta umumnya dipakai untuk nama orang.
Misalnya Dewi Tirtakancana, Rahyang Wastukancana dan lainnya lagi.
Sindai yang berarti emas, menurut Van der Meulen
merupakan bahasa Sunda lama yang kini sudah menghilang dari kamu bahasa Sunda
yang beredar di pasaran. Namun pada abad ke-8 M, ketika Senna mendirikan
perkemahan di timur pertemuan Sungai Pasinggangan dan anak sungainya, kosa kata sindai masih layak untuk dipertimbangan
sebagai nama anak sungai Pasinggangan itu.
Dengan demikian, kosa kata banyumas, jika
dialihbahasakan ke dalam bahasa Sunda Galuh Kawali adab ke- 8 M, akan terbentuk
kosa kata Cisindai, dari kata cai dan sindai atau banyu
dan mas. Bisa saja hasil alih bahasa kosa
kata banyumas ke dalam bahasa Sunda menjadi ciomas. Tetapi kosa kata emas untuk
nama orang atau sungai sebagai sesuatu yang sakral, sangat jarang dijumpai dalam
tradisi orang Sunda. Kecuali memang wilayah itu benar-benar mengandung tambang
emas, seperti Ciomas di Banten Selatan.
Kosa kata lain untuk menyebut emas sebagai
makna simbolik adalah kata kancana atau sindai. Jika kancana digunakan untuk
nama orang, maka sindai sangat cocok untuk nama sesuatu yang dianggap sakral
atau suci. Demikanlah, nama anak Sungai Pasinggangan sebelum berubah menjadi
Sungai Banyumas adalah Sungai Cisindai. Bisa jadi Sang Senna yang memberi nama
Cisindai, anak Sungai Pasinggangan itu. Di sisi timur pertemuan antara Sungai
Cisindai dan Sungai Pasinggangan itulah Senna berusaha mewujudkan
mimpi-mimpinya dengan membangun perkemahannya, bersamadhi dan membayangkan dirinya sebagai Sang Bima Sena yang sedang berguru kepada Dahyang
Drona dari Padepokan Sokalima.
Nama Sungai Ciserayu, Pasinggangan dan
Cisindai, memiliki nilai simbolik dan historis yang erat kaitannya dengan
perjuangan Senna merebut kembali tahta kerajaannya yang hilang. Ternyata perjuangan
Senna berhasil, Kerajaan Galuh yang sempat lepas berhasil dikuasai kembali
lewat putranya, Rake Sanjaya. Bahkan putra Senna itu sebelumnya telah berhasil
mendirikan kerajaan baru, yakni Kerajaan Mataram Hindu.
Sebagai
tokoh yang leluhurnya bukan hanya dari Majapahit, tetapi juga dari
Galuh-Pajajaran nistaya Adipati Mrapat Jaka Kahiman, pernah mendengar kisah
Senna dan Sanjaya yang biasa dikisahkan lewat sastra lisan oleh para juru
pantun, sebelum diabadikan dalam bentuk sastra tulis dalam kitab Carita
Parahiyangan. Siapakah sosok yang bertindak sebagai juru pantun bagi Bagus Semangun
Jaka Kahiman saat masih anak-anak?
Siapa lagi kalau bukan Ibu angkatnya, Nyi Demang
Mranggi Semu Demang Kejawar, putri Arya Baribin yang Ibunya adalah Dyah Ayu
Ratna Pamekas, Putri Kerajaan Pajajaran yang tentu saja tidak asing dengan
tradisi sastra pantun sebagai sarana mendidik jiwa para ksatria Kerajaan Galuh
dan Pajajaran.
Ketika
Sang Adipati Mrapat hendak membangun rumah kadipaten di tempat itu, riwayat
Senna menjadi salah satu dasar pertimbangannya. Tentu Sang Adipati Mrapat sadar
sepenuhnya, bahwa kadipaten yang akan didirikannya itu adalah bagian kerajaan
Jawa, yakni Kerajaan Pajang. Karena itu nama
Sungai Cisindai segera diganti dengan nama Jawa, Sungai Banyumas. Nama Banyumas
kemudian dipilih sebagai nama kadipaten yang baru didirikannya. Pemilihan nama Cisindai
yang kemudian diubah jadi Banyumas, tentunya dimaksudkan sebagai bagian dari
usaha mengenang perjuangan Senna, Rake Sanjaya dan Kerajaan Mataram Hindu yang
pernah didirikan leluhurnya itu.
Secara
kebetulan nama Mataram sudah diambil lebih dulu oleh Ki Ageng Pemanahan sebagai
nama dari kadipaten yang didirikannya di tepi hutan Mentawis. Sebab nama
Mataram dipilih Ki Ageng Pamanahan karena Ki Ageng Pamanahan punya harapan
Kadipaten Mataram yang didirikannya itu kelak bisa berkembang sehingga menyamai
kemasyhuran Kerajaan Mataram Kuno yang didirikan Senna- Rake Sanjaya, yang
tidak lain adalah leluhur Sang Adipati Mrapat juga. Suatu harapan yang sama dengan harapan Kanjeng
Adipati Mrapat ketika mendirikan
Kadipaten Banyumas. Memang sesungguhnya secara historis, Kadipaten Mataram
berdiri mendahului Kadipaten Banyumas. Tetapi sebagai kerajaan, Kadipaten
Banyumas mendahului berdirinya Kerajaan Mataram ( 1586 M atau 1587 M) yang
menggantikan Kerajaan Pajang( 1586 M).
Demikianlah
asal-usul toponim Banyumas, dipandang dari tradisi dan sejarah Kerajaan Galuh
Kawali dan Kerajaan Pajajaran. Suatu kerajaan leluhur Sang Adipati Mrapat Jaka
Kahiman juga disamping Kerajaan Majapahit. Bukankah Sang Adipati adalah cucu
Dyah Ayu Ratna Pamekas Kirana? Sedangkan nenek Sang Adipati Mrapat itu adalah istri Raden Arya Baribin. Nenek Sang Adipati
Mrapat itu adik Raden Banyakcatra
Kamandaka dan putri bungsu Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi ( 1482 – 1522 M)
yang bertahta di Kerajaan Pakuan Pajajaran. Wallahualam.[Tammat]