Tokoh Walisongo sudah banyak ditulis orang, terutama tokoh Walisongo di Pulau Jawa. Tetapi siapa leluhur Walisongo ditinjau dari sudut sejarah? Banyak orang tidak tahu, bahwa tokoh karismatik itu bukan orang Arab Hadramut. Tetapi dia adalah seorang ulama besar dari Kerajaan Islam Samudra Pasai. Nama Syekh Jumadilkubro banyak disebut-sebut sebagai tokoh besar, suci, bahkan sakti dalam sejumlah legenda dalam kronik lokal seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah Banten, Sejarah Tanah Pasundan, Wawacan Sunan Gungung Jati, dan lainnya lagi.
Syekh
Jumadil Kubro dalam sejumlah kitab babad, dilukiskan sebagai tokoh mistik, yang
secara samar-samar dihubung-hubungkan dengan Imam Zaenal Abidin, cicit
Rasulullah, dengan Raden Rahmat Sunan Ampel, dan tokoh-tokoh suci lainnya. Akibat dari
banyaknya kisah legenda yang dikaitkan dengan Syekh Jumadil Kubro, maka
sosoknya sebagai tokoh sejarah dan jejak-jejak sejarahnya menjadi kabur dan
lenyap dari ingatan kolektip masyarakat.Ternyata
penelusuran Syekh Jumadil Kubro sebagai tokoh sejarah, memberikan informasi menarik, yaitu bahwa Syekh Jumadil Kubro yang diduga oleh Marten van Bruinssen
sebagai orang Arab dari Hadramaut, ternyata adalah putra Sultan ke-5 Samudra
Pasai, Sultan Zaenal Abidin ( 1383 – 1405 M). Bagaimana hubungan kekerabatan
Sultan Zaenal Abidin, putranya Syekh Jumadil Kubro dengan tokoh lain yang juga
menjadi tokoh legenda, yakni Syekh Maulana Ishak dan Syekh Ibrahim Asmara? Mari
kita telusuri jejek-jejak sejarah para leluhur Walisongo itu dan masa hidupnya
setelah dilakukan rekonstruksi historiografi secara sederhana.
a. Sultan
Zaenal Abidin (1383 – 1405 M)
Sejak penaklukan, Kerajaan Islam Pasai,
oleh Kerajaan Majapahit, Pasai berstatus sebagai vasal atau kerajaan bawahan dari Kerajaan
Majapahit. Tetapi otonomi yang seluas-luasnya tetap diberikan
kepada Pasai. Bahkan Sultan
Ahmad Jamaluddin diampuni dan boleh tetap menduduki singgasananya. Hanya saja
tiap tahun harus mengirim utusan dan upeti ke Majapahit sebagai tanda takluk.
Beruntung bahwa dari Kerajaan Islam Pasai muncul seorang raja yang mampu
menurunkan tiga ulama besar legendaris yakni Syekh Jumadilkubro, Syekh Maulana
Ishak dan Syekh Makhdum Ibrahim Asmara. Naskah Tapel Adam, sebuah naskah berbahasa Jawa yang terbit di
Pasai menyebutkan bahwa Syekh Jumadilkubro adalah putra Raja Pasai ke-5, Sultan Zaenal
Abidin (1383 -1405 M). Syekh Jumadilkubro mempunyai dua orang putra yang juga
menjadi ulama besar. Yang sulung adalah Syekh Maulana Ishak, sedang adiknya,
Syekh Makhdum Ibrahim Asmara.
Dalam tradisi kronik Jawa, Sultan Zaenal Abidin sering
dikacaukan dengan Imam Zaenal Abidin( wafat 716 M) , putra dari Imam Husein(
wafat 683 M), cicit Rasulullah saw, lewat Siti Fatimah. Akibat dari
kekacauan ini, dalam tradisi kronik Jawa, Syekh Jumadilkubro sering dianggap
seorang ulama dari Makkah, keturunan
langsung Nabi saw. Demikian pula Syekh
Makhdum Ibrahim Asmara, sering dianggap sebagai ulama dari Samarkand,
karena adanya persamaan bunyi antara Asmara dan AsSamarkandi.
Informasi
dari naskah Tapel Adam itu yang
menyatakan bahwa Makhdum Ibrahim Asmara adalah putra Pasai, bukan putra dari
Samarkand, sesungguhnya memiliki nilai informasi yang
penting, khususnya dalam upaya menelusuri sejarah tokoh Walisongo
di Jawa.
Apalagi
secara samar-samar informasi dalam naskah Tapel Adam itu, sejalan dengan
informasi dalam Serat Walisana karya Sunan Giri, yang mengungkapkan bahwa Makhdum Ibrahim Asmara, ayah Sunan Ampel
adalah keturunan dari Syekh Jumadilkubro.
Barangkali
silsilah keturunan yang digunakan Serat Walisana untuk melukiskan hubungan
kekerabatan antara Syekh Jumadilkubro dan Makhdum Ibrahim Asmara, terlalu umum,
hingga pembaca mengira bahwa hubungan kekerabatan itu amat jauh. Maka pembaca yang kurang
teliti akan mencoba mereka-reka, bahwa Syekh Jumadilkubro berasal dari negeri
Arab.
Padahal
hubungan kekerabatan antara Syekh Jumadilkubro dan Makhdum Ibrahim Asmara
begitu dekat, yakni Syekh Jumadilkubro adalah
ayah Makhdum Ibrahim Asmara, yang berarti kakek Sunan Ampel. Syekh
Jumadilkubro juga ayah Maulana Ishak. Dengan demikian antara Maulana Ishak dan
Makhdum Ibrahim Asmara adalah kakak beradik. Maka Sunan Ampel adalah kemenakan
Maulana Ishak. Maulana Ishak sering dianggap sebagai ayah dari Sunan Giri.
Anggapan ini jelas keliru. Maulana Ishak adalah kakek dari Sunan Giri.
Memang
dari dua ulama asal
Pasai itu, yakni Maulana Ishak dan Makhdum
Ibrahim Asmara, telah diturunkan sejumlah orang wali yang penting di Pulau Jawa,
yakni Sunan Giri, Sunan Gunungjati, Sunan Ngudung Rahmatullah, Sunan Ampel
dan Sunan Bonang. Karena itu kita
perlu menyelidiki dan membuat rekontruksi tahun kelahiran Syekh
Jumadilkubro, Maulana Ishak dan
adiknya Makhdum Ibrahim Asmara.
b. Syekh Jumadilkubro (1370 – 1447 M )
Ibnu Batuttah menjelaskan dalam kitabnya, bahwa saat dia
mengunjungi Pasai yang ke dua kalinya, yakni tahun 1346 M, dia sempat
menyaksikan hajat Sultan Muhammad Dzahir menikahkan putranya. Dapat dipastikan
putranya itu adalah putra mahkota Ahmad Jamaluddin yang naik tahta pada tahun
1354 M, menggantikan ayahandanya, Sultan Muhammad Dzahir yang wafat.
Jika kita
anggap kelahiran putra pertama Sultan
Ahmad Jamaluddin selang satu tahun dengan tahun pernikahannya, maka kita dapat
memperkirakan tahun kelahiran putra mahkota Zaenal Abidin, yakni tahun 1347 M.
Bila kita anggap Zaenal Abidin menikah pada usia 20 tahun, karena rata-rata
para pangeran di Asia Tenggara menikah pada usia antara 18 – 25 tahun, maka
Sultanah Bahiah yang kelak menggantikan Zaenal Abidin lahir sekitar tahun 1368
M, karena tahun 1367 M adalah tahun pernikahan putra mahkota Zaenal Abidin.
Sultanah Bahiah yang naik tahta pada tahun 1405 M,
menggantikan Sultan Zaenal Abidin yang wafat, adalah seorang putri. Dengan
demikian Zaenal Abidin tidak punya putra mahkota. Tetapi dari seorang selir,
mempunyai putra, yakni Jumadilkubro.
Kita bisa menduga, jarak usia antara Sultanah Bahiah dan adik tirinya
Jumadilkubro, tidak akan terlalu jauh. Katakanlah tiga tahun. Berarti
Jumadilkubro lahir pada tahun 1370 M.
Banyak
orang yang bingung dengan nama Jumadilkubro. Karena dalam kronik lokal
yang ada di Jawa seperti Babad Tanah
Jawi, Sejarah Banten dan Babad Cirebon, banyak disebut nama tokoh yang memakai
nama Jumadil. Misalnya saja Jumadil Akbar, Jumadil Kabir dan Jumadilkubro.
Menurut Dr.Husein Jayadiningrat, sebenarnya nama-nama itu menunjuk pada nama
satu orang yang sama yaitu Jumadilkubro.
Menurut
Martin van Bruinssen, kata kubro aneh karena dipakai untuk nama seorang
laki-laki. Sebab dalam tata bahasa Arab, kata kubro menunjuk kepada kata
feminin. Tetapi bagi Husein Jayadiningrat tidak aneh, karena arti akbar, kubro ataupun kabir, mengandung
arti awal. Jadi Jumadilkubro, Jumadil Akbar dan Jumadil Kabir identik dengan
Jumadilawal, yakni nama bulan ke-5 dari nama-nama bulan dalam kalender Qomariah, baik kalender Hijriyah, maupun
kalender Jawa.
Dari
penjelasan Dr.Husein Jayadiningrat, dapat disimpulkan bahwa Jumadillkubro
adalah tokoh yang dilahirkan pada bulan Jumadilawal. Sudah jelas bahwa nama
Jumadilkubro hanyalah nama panggilan saja. Lalu siapa nama aslinya?
Martin
van Bruinssen menduga bahwa nama asli Jumadilkubro adalah Najamuddin Al Kubro.
Martin juga menyebut adanya kisah yang dikembangkan oleh para Sayyid dari
Hadramaut yang datang ke Indonesia pada abad-18 M, yang menyebut nama
Jamaluddin Husein Al Akbar sebagai leluhur Syekh Jumadilkubro.
Anehnya,
menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Wali Songo, Martin van Bruinssen
menuduh bahwa nama Jamaluddin Al Husein itu, hanyalah upaya para Sayyid untuk
mengoreksi legenda-legenda Jawa yang menurutnya sudah tepat ( Agus Sunyoto;
2012: 70 ).
Bagaimana
mungkin legenda- legenda Jawa dikatakan lebih tepat, padahal di dalamnya banyak sekali kisah-kisah yang berbau mitos
yang didasarkan atas fantasi para
penggubahnya dan sering menyimpang dari fakta sejarah yang sebenarnya?
Karenanya kisah-kisah yang berbau mitos dan legenda dalam kronik lokal memang
perlu dikritisi agar sesuai dengan fakta dan kejadian sejarah yang sebenarnya.
Kisah
dari para Sayyid yang menyatakan bahwa Syekh Jumadilkubro memiliki leluhur yang
bernama Jamaluddin Husein al-Akbar, sesungguhnya justru hampir mendekati fakta
sejarah. Tokoh yang disebut-sebut sebagai Jamaluddin Husein al-Akbar itu, sebenarnya
adalah Sultan Ahmad Jamaluddin( 1354- 1383 M ), Sultan Pasai ke-4, ayah dari
Sultan Zaenal Abidin ( 1383 – 1405 M), yang dengan sendirinya adalah kakek dari
Syekh Jumadilkubro.
Karena
Syekh Jumadilkubro, seperti telah
disebutkan di atas adalah putra dari Sultan Zaenal Abidin, Sultan Pasai
ke-5. Maka dengan demikian memang betul, bahwa Syekh Jumadilkubro punya
leluhur, yakni kakeknya yang bernama Sultan Ahmad Jamaluddin (1354 -1383 M).
Kakeknya itu adalah Sultan Pasai, bukan
dari Hadramaut ataupun negeri Arab lainnya.
Martin
menduga bahwa nama asli Jumadilkubro adalah Najamuddin al-Kubro. Tetapi yang
paling mendekati adalah Ahmad Jamaluddin, karena ayahnya, Zaenal Abidin, yang
tidak punya seorang putra mahkota, tentu
berharap agar anak laki-lakinya itu, sekalipun hanya dari seorang selir tetapi
dapat mengikuti jejak kakeknya yaitu
Ahmad Jamaluddin.
Dengan
demikian nama asli Syekh Jumadilkubro adalah Ahmad Jamaluddin al Kubro,
mengikuti nama kakaknya. Bukan
Najamuddin al Kubro.
c. Syekh Maulana Ishak (1390 - 1465 M )
Kita akan melanjutkan penelusuran tahun
kelahiran Maulana Ishak dan adiknya,
Makhdum Ibrahim Asmara.
Jika kita anggap Jumadilkubro menikah
pada usia 20 tahun, maka pada tahun 1390 M adalah tahun pernikahan Jumadilkubro. Dan anak pertamanya, Maulana Ishak kira-kira akan lahir di sekitar tahun 1390-
1391 M juga. Sedang adiknya Makhdum
Ibrahim Asmara, katakanlah lahir tiga atau empat tahun kemudian, berarti Makhdum Ibrahim Asmara lahir di
sekitar tahun 1394 M.
Kita lanjutkan dengan Maulana Ishak dan adiknya Makhdum
Ibrahim Asmara. Berdasarkan penelusuran Drs. Widji Saksono dalam bukunya
Mengislamkan Tanah Jawa yang bersumber dari Serat Walisana, disebutkan bahwa
Maulana Ishak punya enam orang putra, berturut-turut dari
yang tertua yakni (1)Sayyid Es, (2)Syekh Jakub, (3)Syekh Waliyul Islam, (4)Syekh Kusein, (5)Syekh Maghribi dan (6)Syekh
Gharibi.
Pada tahun 1428
M, Maulana Ishak
sudah berusia 38 tahun. Andaikata dia menikah juga pada usia 20 tahun, maka pada tahun 1428 M, setelah lima belas tahun berumahtangga akan punya enam anak. Bila jarak kelahiran ke
enam putranya itu rata-rata tiga
tahun, maka kita bisa memperkirakan tahun-tahun kelahiran ke
enam putra Maulana Ishak itu.
Yakni, (1)
Sayyid Es lahir sekitar tahun 1411 M, (2) Syekh Yakub lahir sekitar tahun 1414 M,
(3)Syekh Waliyul Islam lahir sekitar tahun 1417 M, (4)Syekh Kusen lahir sekitar tahun
1420 M, (5)Syekh Maghribi lahir sekitar tahun 1423 M. Dan akhirnya si bungsu
(6) Syekh Gharibi akan lahir sekitar tahun 1426 M.
Ketiga putra tertua
Syekh Maulana Ishak ini pada sekitar tahun 1450 M, saat
usia mereka antara 30-39 tahun, hijrah
ke Jawa dalam rangka melaksanakan dakwah Islam ke wilayah
Kerajaan Majapahit di Jawa Timur dan Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Sayyid Es ke Cirebon, Syekh Yakub bin
Maulana Ishak ke Gresik dan Syekh Waliyul Islam ke Pasuruan. Mereka
semua akhirnya menikah dengan wanita bangsawan pribumi putri para penguasa
daerah setempat. Dan Syekh Kusen,
putra Syekh Maulana Ishak yang ke empat, pada tahun 1455 M, menyusul kakaknya
hijrah pula ke Jawa.
Kemudian menyeberang ke Madura dan berdakwah
di sana. Akhirnya Syekh Kusen berhasil pula menyunting putri penguasa setempat.
Dari perkawinannya dengan putri Madura itu, Syekh Kusen dikaruniai beberapa putra dan putri. Salah
seorang putranya yang kelak menonjol mengikuti jejak kakeknya adalah Syekh
Sabil. Dia diperkirakan lahir tahun 1470 M. Syekh Sabil pergi berguru ke
Malaka, kemungkinan besar juga ke Pasai, negeri leluhurnya, kemudian kembali ke
Jawa dan menetap di Jepara. Kelak dikenal sebagai Sunan Ngudung Rahmatullah.
Putra Syekh Maulana Ishak yang ke-5
Syekh Maghribi akhirnya menyusul kakaknya juga Sayyid Es, bermukim di
Muarajati, kemudian bermukim di daerah Pemalang yang berada di lereng utara
Gunung Slamet. Syekh Maghribi akhirnya menikah dengan gadis pribumi juga dan
mendirikan pesantren di Banjarcahyana, sebelah tenggara Gunung Slamet.
Kemudian putra bungsu Syekh Maulana
Ishak, Syekh Gharibi, mengikuti tradisi kakak-kakaknya menuju Jawa Barat,
akhirnya bermukim di Banten.
Sementara itu, putra tertua Syekh
Maulana Ishak, Sayyid Es yang
hijrah ke Cirebon berusia
sekitar 39 tahun. Dalam tradisi
lokal Cirebon dan Jawa Barat, Sayyid Es ini dikenal sebagai Syekh Nurjati, pendiri
Pesantren Gunungjati. Syekh Nurjati kelak menurunkan Sayyid Zen Abdul Qodir
yang dalam tradisi lokal dikenal dengan Syarif Hidayatulah atau Sunan
Gunungjati I atau Sunan Gunungjati Sepuh.
Memang agak aneh, bahwa putra tertua
Syekh Maulana Ishak itu bergelar sayyid. Padahal biasanya para ksatria Pasai
itu bergelar makhdum, yang merupakan gelar para bangsawan Kerajaan Islam Delhi.
Sayyid sendiri adalah gelar kebangsawanan Arab yang biasanya dinisbatkan kepada
keturunan Nabi saw lewat cucu Nabi saw yakni Husein ra. Rupanya putra tertua
Syekh Maulana Ishak itu, lebih suka mengambil gelar sayyid yang lebih berwarna
Arab dari pada gelar makhdum yang lebih berwarna India. Kelak putra Sayyid Es,
yakni Sayyid Zen Abdul Qodir, setelah naik haji, mengambil gelar syarif, yang
merupakan gelar bangsawan Arab keturunan Nabi saw juga, tetapi lewat jalur cucu
Nabi saw, yakni Hasan ra. Gelar Sayyid Zen Abdul Qodir, setelah naik haji
adalah Syarif Hidayatullah yang kelak dikenal sebagai Sunan Gunungjati I.
Syekh Yakub,
putra kedua Maulana Ishak, menurunkan Raden Paku atau Sunan Giri dan
Syekh Husein atau Syekh Kusen, menurunkan Sunan Ngudung Rahmatullah dan
cucunya, Sunan Kudus Ja’far Shodiq.
d. Makhdum Ibrahim Asmara(1394 -1446 M)
Bagaimana dengan adik Maulana Ishak, Makhdum Ibrahim Asmara? Dia diperkirakan baru menikah pada tahun 1416 M dengan Dyah Candrawulan Putri kedua Raja Campa Jaya
Simhawarman III yang dalam Serat Walisana disebut Raja Kiyan. Putri pertamanya
Dyah Dwarawati menikah dengan Sri Kertawijaya, calon Putra Mahkota Kerajaan
Majapahit yang menikah pada tahun 1415 M.
Makhdum Ibrahim
Asmara, punya dua putra, yang pertama Raden Santri, lahir sekitar tahun 1417 M,
sedang adiknya Raden Rahmat, kelak menjadi Sunan Ampel, lahir sekitar tahun
1420 M.
Di telinga orang Jawa, mungkin nama Ibrahim Asmara terdengar aneh. Karena
kata asmara lazimnya digunakan untuk perempuan. Karena itu banyak orang yang
menduga kata Asmara dibelakang nama Ibrahim adalah salah ucap dari kata
Samarkand, sebuah kota di Uzbekistan, Asia Tengah. Menurut mereka nama yang
seharusnya adalah Ibrahim As Samarkandi. Diucapkan dalam lidah Jawa menjadi Ibrahim Asmoro Qondi. Benarkah anggapan itu ?
Sebenarnya dengan mengetahui bahwa di
depan nama Ibrahim Asmara terdapat gelar Makhdum, kita
dengan mudah dapat menduga bahwa Ibrahim Asmara adalah seorang pendakwah
yang berasal dari Kerajaan Islam Samudra Pasai. Karena gelar Makhdum merupakan
gelar tradisi para pangeran dari Kerajaan Islam Pasai.
Dengan demikian Ibrahim Asmara adalah salah seorang pangeran dari Samudra
Pasai. Bukan dari Samarkand atau Tyulen. Ada sejumlah kemungkinan yang dapat
menjelaskan asal muasal kata Asmara selain yang diduga sebagai perubahan dari
kata As Samarkandi.
Kemungkinan pertama sebelum tinggal di Campa, dia bernama Makhdum Maulana Ibrahim, karena
kakaknya bernama Makhdum Maulana Ishak. Jadi ada kesejajaran antara nama
dirinya dengan nama kakaknya. Saat tinggal di Campa, komunitas pedagang muslim
yang tinggal di Campa juga cukup banyak. Di antara mereka tentu banyak yang bernama Ibrahim.
Untuk membedakannya dengan Ibrahim-Ibrahim
yang lain, Makhdum Maulana Ibrahim menambahkan kata Samudra di belakang namanya. Jadilah dia
bernama Makhdum Maulana Ibrahim As Samudrani. Lama kelamaan orang lebih senang
menyebutnya sebagai Ibrahim As Sumatrani. Kemudian kata
As Sumatrani, berubah menjadi Asmarani. Hasil kontraksi terakhir, dari Asmarani, berubah menjadi
Asmara. Jadilah dia disebut oleh masyarakat sebagai Ibrahim Asmara. Dan nama
terakhir ini lebih populer dimasyarakatnya. Bukankah kata Samudra memang juga telah berubah menjadi Sumatra?
Bisa jadi pernah pula terpikirkan olehnya untuk memilih kata Pasai, dari pada Samudra, sehingga
namanya menjadi Ibrahim Al Pasai. Tetapi kata Pasai punya konotasi kurang baik,
konon ia bermakna binatang berkaki empat yang dalam dalam Mashab Safii dianggap
najis. Sedang Samudra mempunyai makna lebih positip, yakni semut besar.
Kemungkinan kedua memang sejak lahir dia memang sudah menyandang nama
Asmara dibelakang namanya. Bukankah bahasa Melayu juga mengenal kosa kata
asmara yang bisa saja berarti yang terkasih atau tersayang. Bisa jadi dia
adalah seorang lelaki yang memang
sangat diharap-harapkan kehadirannya
dalam keluarganya, setelah kelahiran kakak sulungnya yang juga seorang
laki-laki. Tradisi kerajaan Melayu,
sangat mengharapkan lahirnya anak laki-laki di tengah-tengah keluarganya. Jadi
tidak ada yang aneh dalam penggunaan nama
Asmara di belakang kata Ibrahim, karena ia mengandung arti yang
tersayang atau yang terkasih.
Kemungkinan ketiga, istri Makhdum Maulana Ibrahim yang putri Raja Campa mempunyai sejumlah nama.
Selain Dyah Candra Wulan, dia juga bernama Rara Sucina,
juga bernama Dyah Retna Siti Asmara. Dyah Retna Siti Asmara, juga cantik,
bahkan melebihi kecantikan kakaknya Dyah Dwarati yang menjadi istri Raja
Majapahit. Jadi Ibrahim Asmara bisa berarti Ibrahim yang beristrikan Dyah Retna
Siti Asmara, putri Raja Campa yang dikisahkan kecantikannya dapat berubah dalam
sehari sebanyak tujuh kali.
Dari sejumlah kemungkinan di atas, akan
lebih mendekati fakta sejarah, bila menetapkan Ibrahim Asmara, ayah Raden
Rahmat adalah putra Pasai, dari pada menganggapnya sebagai pendakwah dari
Samarkand. Atau lebih-lebih dari Tyulen.
Menetapkan Ibrahim Asmara sebagai
pendakwah yang berasal dari Samarkand ataupun Tyulen, disamping kurang
mendekati fakta sejarah, juga terlalu kental kandungan unsur mitosnya.
Dengan kata lain anggapan bahwa Ibrahim Asmara
adalah seorang pendakwah dari Samarkand ataupun Tyulen, hanyalah sebuah mitos
yang tidak berdasar, spekulatip, dan hanya dicari-cari dan ditemukan secara tidak sengaja. Informasi
dalam naskah Tapel Adam bahwa Ibrahim Asmara putra Pasai, amat layak untuk
dipercaya sebagai fakta sejarah.[]