Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Rabu, 22 Juni 2016

Sejarah Walisongo (09) : Sunan Murio - Raden Umar Said, Berdakwah DiTengah Kaum Dhuafa



 1 Pangeran Panggung

Suatu saat  terjadilah peristiwa yang menghebohkan masyarakat santri yang tinggal di sekitar Masjid  Demak. Tidak  ada  dalam sejarah manapun kecuali di Demak, ada seorang  Pangeran Muda dengan enaknya masuk ke dalam masjid. Bukan untuk salat, mengaji atau berzikir, tetapi hanya sekedar untuk bermain-main. Tujuannya ialah hendak menghina dan melecehkan simbol-simbol agama Islam. Pangeran Muda itu masuk masjid bukannya membawa kitab suci  Al Qur’an ataupun perlengkapan salat seperti sajadah. Pangeran Muda itu masuk ke masjid  dengan membawa  dua ekor anjing kesayangannya yang diberinama Ki Tokid dan Ki Iman.


Masjid adalah tempat ibadah dan tempat suci, di situ para santri beribadah menghadap Allah SWT. Masjid sama dengan Pura bagi umat Hindu, Pagoda bagi umat Buddha atau Gereja bagi umat Nasrani. Tetapi bagi Sang Pangeran yang merupakan murid Syekh Siti Jenar itu, tempat lapang di dalam masjid dianggapnya taman bermain bagi  kedua anjing kesayangannya.


Setelah masuk ke dalam masjid bersama kedua anjingnya, Pangeran Muda  itu lari-lari kian kemari, ke barat, ke timur, ke utara dan ke selatan. Kedua anjingnya tentu saja ikut lari-lari kian ke mari mengikuti polah majikannya yang konon sudah menguasai ilmu sejati dari gurunya. Saat Sang Pangeran lari-lari mendekati rak-rak buku yang tentu saja berisi kitab-kitab pelajaran agama – mungkin kitab turutan dan salinan Al Qur’an- kedua anjingnya yang bernama Ki Tokid dan Ki Iman itu mengobrak abriknya.


Memang dalam kisah-kitah tasawuf, ada sufi yang gemar memelihara anjing. Mereka antara lain Hasan Mansyur Al Hallaj (858-921 M) dan Ibnu Araby (1102 -1240 M). Al Hallaj, sufi dari Baghdad ke mana-mana juga membawa dua anjing besar kesayangannya. Bila Al Hallaj bertamu mengunjugi muridnya, anjing kesayangnnya itu dibawanya serta. Jika Al Hallaj menerima jumuan makan di menja makan, kedua anjingnya ikut duduk di kursi sampingnya menghadap meja makan. Hal yang sama dilakukan pula oleh Sufi Andalusia Ibnu Araby. Konon bagi seorang sufi, anjing adalah melambangkan nafsu yang ada pada manusia. Dengan membawa anjing, seorang sufi konon ingin memberitahu komunitasnya bahwa dia sudah mampu mengendalikan nafsunya akan cinta dunia yang menghalangi jalan menuju puncak makrifatnya. Ya, mengendalikan nafsu sebagaimana dia sudah mampu mengendalikan anjing  kesayangnnya. Tetapi kedua sufi besar itu tak pernah sekalipun melecehkan masjid dengan membawa anjingnya masuk dan bermain-main dalam masjid.


Andaikata perilaku Pangeran Muda itu terjadi di jaman kita sekarang ini, sekalipun perbuatan itu dilakukan di negara paling sekuler pun, pastilah Pangeran Muda itu  akan terkena hukuma pidana dengan tuduhan pasal-pasal penghinaan dan penodaan agama. Apalagi kalau dilakukan di Baghdad pada abad ke 13 M, pastilah Pangeran Muda itu telah dijatuhi hukum qisas.


Tetapi peristiwa itu terjadi di Demak pada dasawarsa ke empat abad 16 M. Para santri di sekitar  Masjid Demak sangat toleran dan tak pernah mau main hakim sendiri. Sekalipun Demak adalah Kerajaan Islam. Hukum pidana berdasarkan hukum syariat seperti  qisas, belum diterapkan.

Pasukan keamanan Kerajaan setelah mendengar laporan dari para santri yang tinggal di sekitar Masjid Demak, segera bertindak. Pangeran muda  itu ditangkap. Demikian pula kedua  anjingnya itu sebagai barang bukti.


Dewan Walisongo pun segera bersidang.  Akhirnya Sultan Trenggono memutuskan hukuman kurungan beberapa bulan  kepada Pangeran Panggung, nama pangeran yang telah menghina  Masjid Kerajaan itu. Hukumannya masih  ditambah lagi dengan  hukuman buang  kewilayah pedalamam Jawa Tengah selatan yakni daerah sekitar  pegunugan Menoreh di Bagelen.


Berdasarkan  hukum Islam, Sultan Demak seharusnya menghukum qisas Pangeran Panggung agar supaya penghinaan terhadap masjid tidak dilakukan oleh siapa pun, karena terhadap  barang siapa  yang melakukannya mendapatkan pidana berat. Tetapi menurut De Graaf, Kerajaan Islam Demak memang belum memberlakukan hukum fiqih terhadap perkara-perkara  pidana dan perdata. Untuk hukum pidana dan perdata, Demak masih menggunakan  perangkat hukum warisan Kerajaan Majapahit yang telah dimodifikasi. Nama kitab hukum Kerajaan Islam Demak adalah Salokantara.


Kitab ini adalah kitab hukum Kerajaan Islam Demak yang disusun sendiri oleh Raden Patah. Raden Patah mengambil bahan-bahannya  untuk menyusun kitab hukumnya itu dari kitab hukum Jawa Kuno yang pernah dipakai di Majapahit. Kitab yang dipakai sebagai acuan adalah kitab hukum Kerajaan Majapahit Kutaramanawa. Penguasaan Raden Patah atas Kitab Kutaramanawa, menunjukkan  bahwa Raden Patah memang benar-benar pernah menjabat Adipati Kadipaten Demak  yang tunduk pada Majapahit, yakni pada masa  Raja Majapahit terakhir Dyah Suraprabhawa (1466-1478 M). Mustahil Raden Patah menguasai kitab hukum Majapahit, bila tidak pernah menjadi pejabat dari Pemerintahan Kerajaan Majapahit.


Dalam Kerajaan Islam Demak, belum dikenal hukum pidana dan hukum perdata yang bersumber dari fikih. Dengan demikian hukuman qisas yang pada umumnya berlaku pada Kerajaan Islam yang berdasarkan hukum fiqih,  belum dikenal dalam sistem  hukum Kerajaan Islam Demak. Hukuman  yang terberat bagi para pemberontak yang menentang raja  hanya ada dua yakni pidana mati dan pidana buang. Pada masa Raden Wijaya memerintah Majapahit (1293- 1309M), Lembu Sora dianggap telah melakukan pelanggaran pidana berat karena menusuk sampai tewas Mahisa Anabrang yang tengah berkelahai dengan Rangga Lawe  di dasar Sungai Tambak Beras. Lembu Sora bermaksud   menyelamatkan keponaknnya, Rangga Lawe.


Dharmayaksa, semacam jaksa penuntut pada jaman sekarang, mengusulkan kepada Raja agar Lembu Sora dihukum mati. Raja tidak sampai hati, karena Lembu Sora adalah adik Aria Wiraraja, Bupati Sumenep yang besar jasanya. Maka Raja hanya menjatuhkan pidana buang ke Tulembang. Tetapi Lembu Sora menolak putusan Raja dan memilih mengangkat senjata. Akhirnya Lembu Sora tewas dalam pertempuran melawan tentara Raja.


Demikian pula yang terjadi pada masa Kerajaan Islam Demak. Syekh Siti Jenar dan Ki  Ageng Pengging dijatuhi hukuman mati, karena Kadipaten Pengging menolak mengakui kedaultan Demak. Baik Syekh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging tidak dihukum  qisas. Karena hukum qisas tak dikenal dalam Kitab Hukum Salokantara.


Cara melakukan hukuman mati, pada umumnya ditusuk dengan keris. Kadang-kadang Si Terpidana diberi sebilah keris untuk digunakan  membunuh dirinya sendiri. Tetapi dalam kasus Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging, Sunan Kudus Ja’far Shodiqlah yang melakukan eksekusi atas nama Sultan Trenggono dengan cara menusukkan keris ke dalam tubuh Ki Ageng Pengging dan Syekh Siti Jenar. Hal yang sama dilakukan oleh Amangkurat II saat menghukum mati Trunojoyo  yang memberontak terhadap  Raja Mataram, Amangkurat I.

Dalam kitab Kutaramanawa dan Salokantara, tidak ada hukum pidana mati untuk kasus-kasus penyebaran agama atau kepercayan yang berbeda dengan agama negara. Raja Majapahit bahkan tidak melarang adipatinya yang beragama non Hindu memegang jabatan dalam pemerintahan. Adipati Terung, Adipati Tuban  Arya Teja dan Adipati Demak adalah nama-nama adipati dari Kerajaan Majapahit yang beragama Islam. Karena itu sangat tidak mungkin Demak menghukum mati Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging, jika persoalannya hanyalah soal perbedaan  keyakinan dan kemurtadan. Pangeran Panggung saja yang telah melakukan penghinaan terhadap tempat ibadah kerajaan, hanya dijatuhi hukuman badan dan hukuman buang ke daerah Bagelen. 


Mengenai  Sistem Hukum Kerajaan Islam Demak, Sejarawan Belanda De Graaf menulis sebagai berikut :

“Dalam pemerintahan  Negara Islam Demak, sudah seharusnya disediakan tempat bagi hukum Islam, yaitu fiqih. Menurut teorinya, seharusnya fiqih itu di negara Islam mempunyai kedudukan yang tertinggi. Tetapi umum mengetahui, bahwa keadaan demikian boleh dikatakan tidak pernah ada di manapun. Di Jawa hukum adat dan hukum peradilan yang bercorak Hindu masih bertahan di samping hukum Islam. Fiqih  hanya terbatas pada Hukum Perkawinan dan yang bersangkutan dengan itu. Juga segala perkara yang dalam arti sempitnya termasuk bidang ibadah tentunya dikuasai oleh fiqih” (De Graaf;1986 :77).


Pernyataan De Graaf itu dengan jelas memperkuat fakta bahwa dalam bidang hukum perdata dan pidana, Kerajaan Islam Demak belum sepenuhnya menggunakan hukum Islam, tetapi menggunakan warisan hukum Kerajaan Hindu, sebagaimana yang termuat dalam kitab Hukum Salokantara yang merupakan modifikasi dari kitab Hukum Kutaramanawa dari Kerajaan Majapahit. Hukum Islam baru diberlakukan terbatas pada masalah-masalah ibadah seperti salat, puasa, hukum waris, hukum perkawinan dan penguburan jenazah.

Sebenarnya dengan pernyataanya itu  De Graaf   telah mematahkan kisah-kisah fantasi dalam kitab-kitab babad maupun kronik lokal yang menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar, Ki Ageng  Pengging dan  Pangeran Panggung  telah dihukum mati dengan cara di qisas di alun-alun atau dibakar hidup-hidup. Semua itu bertentangan dengan fakta sejarah yang ada. Karena bukan hanya cara menghukum yang demikian itu tidak dikenal dalam sistem hukum Kerajaan Islam Demak.


Tetapi lebih-lebih lagi karena kasus-kasus perbedaan keyakinan dan penyebarannya, tidak dianggap sebagai tindak pidana. Kalau toh terjadi tindak pidana penghinaan terhadap  agama, hukuman pidana yang dijatuhkannya bukanlah hukuman mati. Paling jauh adalah hukuman buang seperti yang telah dialami oleh Pangeran Panggung.



2 Identitas Pangeran Panggung.


Siapakah sebenarnya Pangeran Panggung itu?  Dari sejumlah kisah dalam kita-kitab babad dan kronik lokal yang beredar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, setidak-tidaknya ada tiga buah versi yang menjelaskan identitas dari Pangeran  Panggung.


a.Pangeran Panggung adalah adik Sunan Ngudung.

Jika benar Pangeran Panggung adalah adik Sunan Ngudung, berarti ia adalah paman Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Padahal Sunan Kudus adalah pelaku eksekusi Syek Siti Jenar. Usia Syekh Siti Jenar satu angkatan dengan usia sedikit lebih tua dari Sunan Kudus. Jika Pangeran Panggung adalah paman Sunan Kudus, berarti Pangeran Panggung satu generasi di atas Sunan Kudus dan Syekh Siti Jenar. Apa benar, jika Pangeran Panggung adik Sunan Ngudung, mau berguru dan menjadi murid Syekh Siti Jenar yang  usianya  satu generasi di bawahnya?  Karena itu versi ini amat lemah dan harus ditolak sekalipun sumbernya, menurut Ashad Kusuma Djaja  dari Serat Walisana ( Ashad Kusuma Djaja;2003 :154).


b. Pangeran Panggung adalah putra Brawijaya IV, Raja Majapahit.

Konon dia adalah cucu Raja Majapahit, Brawijaya IV. Istrinya adalah  cucu Brawijaya V yang bernama Wasi Bagena yang lahir di Jatinom Klaten. Untuk meneliti kebenaran kisah ini, kita perlu terlebih dahulu merekontruksi raja-raja Majapahit yang dikenal sebagai Raja Brawijaya. Selama ini,  setiap buku babad ataupun kronik lokal menyebut nama Brawijaya, tidak pernah dijelaskan kapan dia memerintah  Majapahit, akibatnya kisah Brawijaya ini nampak semrawut dan tidak jelas Brawijaya yang mana yang dimaksud oleh kitab-kitab babad dan kronik lokal itu.


Solichin Salam dalam bukunya Sekitar Walisongo, telah melakukan rekonstruksi urut-urutan Raja Brawijaya yang memerintah Majapahit sbb :

1.Prabu Kertawijaya  Brawijaya I  (1447-1451 M).

2.Prabu Rajasa Wardhana Brawijaya II  (1451-1453 M)

Tahun 1454-1456 M, tahta Kerajaan vakum.

3. Prabu Hyang Purwawisesa Brawijaya III( 1456 – 1466 M)





Sementara itu  Prof. Slamet Mulyana telah membuat rekontruksi  raja-raja Majapahit setelah Dyah Suhita (1429 -1447 M) sebagai berikut :

1.Sri Kertawijaya  (1447 – 1451 M).

2. Sang Sinagara (1451 -1453 M)

3. Hyang Purwawisesa(1456 – 1466 M)

4. Dyah Suraprabhawa (1466- 1478 M)

5. Girindrawardhana Dyah Wijayakarana(1478 – 1483 M)

6. Dyah Wijayakusuma (1483-1486 M)

7. Dyah Ranawijaya(1486 -1527 M )


Bila hasil rekontruksi Solichin Salam kita revisi dengan hasil penelitian Prof. Slamet Mulyana yang ternyata lebih akurat, meyakinkan dan didukung temuan dilapangan, kita dapat menyusun urut-urutan Raja Majapahit yang bergelar Brawijaya sbb :

1. Sri Kertawijaya Brawijaya I ( 1447 -1451 M)

2. Sang Sinagara Brawijaya II (1451 -1453 M) 

3. Hyang Purwawisesa Brawijaya III ( 1456 – 1466 M)

4. Dyah Suraprabhawa Brawijaya IV ( 1466 -1478 M )


Tahun 1478 M, Majapahit yang berpusat di Trowulan runtuh dan muncul Kerajaan Keling yang   kemudian dipindahkan ke Kediri. Baik Keling maupun Kediri mengaku sebagai penerus Majapahit. Memang hal ini dari segi garis keturunan dapat  dibenarkan. Raja yang bergelar Brawijaya selanjutnya adalah :

5. Girndrawardhana Dyah Wijayakarana Brawijaya V(1478-1483 M ).

6. Dyah Wijayakusuma Brawijaya VI (1483 – 1486 M)

7. Dyah Ranawijaya Brawijaya VII ( 1486 – 1527 M ).


Pada masa Dyah Ranawijaya Brawijaya VII atau Brawijaya terakhir, Kerajaan Keling dipindahkan ke Kediri., hingga muncul Kerajaan Kediri Majapahit. Pada tahun 1527 M, Kerajaan Kediri Majapahit runtuh karena serangan Demak. Menurut De Graaf, Raja bersama patihnya berhasil lolos dan mereka bertahan di Sengguruh, hingga muncul Kerajaan Sengguruh Majapahit ( 1527 -1545 M), dengan rajanya masih Ranawijaya Brawijaya VII dengan Patihnya yang setia  yang juga adalah mertuanya, Patih Umdara. Dengan demikian yang disebut-sebut sebagai Brawijaya terakhir dalam Babad Tanah Jawi adalah  Brawijaya VII Ranawijaya. Dia bukanlah ayah Raden Patah, tetapi kemenakan Raden Patah. Ranawijaya naik tahta Keling Majapahit pada usia yang masih amat muda, yakni 16 tahun. Jika demikian, maka Ranawijaya lahir pada tahun 1470 M. Dia mangkat di Panarukan setelah Sengguruh jatuh pada tahun 1545 M. Dengan demikian usia Ranawijaya adalah sekitar 75 tahun. Suatu usia yang cukup panjang pada jamannya.


Kita kembali pada Pangeran Panggung, Jika benar Pangeran Panggung cucu Brawijaya IV, berarti dia adalah cucu  Dyah Suraprabhawa (1466-1478 M). Dyah Suprabhawa Brawijaya IV, adalah Raja Majapahit terakhir. Karena dia mangkat pada tahun 1478 M, tentunya ayah  Pangeran Panggung akan lahir sebelum tahun 1478 M. Dalam perang memperebutkan tahta Majapahit, diduga semua putra Dyah Suraprabhawa yang mempertahankan kraton tewas semua, tidak satu pun yang selamat. Kalau toh ada yang selamat memang hanyalah cucu-cucu Dyah Suraprabhawa.Dan para cucu yang dibiarkan hidup  oleh musuh yang menyerbunya itu, dapat dipastikan tak akan ada yang lahir sesudah tahun 1478 M. Andaikata ada yang lahir pada tahun 1478 M, dan dia itu adalah Pangeran Panggung, maka usia Pangeran Panggung tetap akan lebih tua dari Syekh Siti Jenar yang baru lahir setelah peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan itu. Keterangan  Babad  Jalasutra yang mengatakan bahwa Pangeran Panggung cucu Brawijaya IV yang lahir tahun 1513 M, harus ditolak,. karena tidak sesuai dengan fakta sejarah.



c. Pangeran Panggung adalah putra Sunan Kalijaga.

Drs.Widji Saksono  dengan mengutip tulisan Dr. Rinkes dan Babad Semarang, menyebutkan bahwa Pangeran Panggung atau Sunan Panggung adalah putra Sunan Kalijaga dari istrinya Retno Siti Jenab, adik  perempuan  Sunan Gunungjati . Dia menulis sbb :


“Sunan Kalijaga kawin dengan Retno Siti Jenab, saudara perempuan Sunan Gunungjati. Dari Pernikahan ini, lahirlah Pangeran Panggung yang dalam lelewa (tingkah laku), mirip dengan ayahnya “ ( Wiji Saksono; 1995:33).


Latar belakang dari perilaku yang aneh dari Pangeran Panggung adalah karena dia menjadi murid Syekh Siti Jenar yang menganut paham tasawuf gullah, yakni  paham tasawuf yang ekstrim dan menyimpang. “Pangeran itu sangat sembrono, sinis dan mengejek keluhuran agama dengan menamakan anjing kesayangannya  sebagai Ki Tokid dan Ki Iman. Kedua anjing itu dibawa masuk ke dalam masjid  dan bertingkah mengotori kesucian masjid dengan bergurau berlari-larian bersama-sama”, tulis Wiji Saksono .


Akibat kelakuan yang nyentrik itu, Pangeran Panggung dihukum qisas dengan cara dibakar dalam api unggun di alun-alun. Serat Babad Jalasutra dan Malangsumirang tidak menyinggung penghinaan yang dilakukan Pangeran Panggung dengan kedua anjing kesayangannya itu. Hanya dikatakan, dia ditangkap dan dihukum mati dengan cara dibakar di alun-alun karena menyebarkan ajaran sesat  dari gurunya Syekh Siti Jenar. Pelaksanaan  mati dengan cara dibakar itu sesuai dengan Hukum Syariat yang diberlakukan Kerajaan Islam Demak, demikan menurut Serat Babad Jalasutra..


Sekalipun diberitakan bahwa Pangeran Panggung dihukum mati dengan cara dibakar di dalam api unggun di tengah-tengah alun-alun- persis kisah Nabi Ibrahim atau  Anoman Obong dalam Kisah Ramayana- faktanya Pangeran Panggung masih hidup dan selamat. Bahkan dia mampu mendirikan padepokan di kaki Bukit Menoreh, di Bagelen. Dari sana dia pindah ke Yogyakarta dan mendirikan sebuah padepokan pula di bukit Jalasutra, sebelah tenggara Kota Gede Yogyakarta, hingga dia dikenal sebagai  Ki  Ageng Jalasutra.

Karena Pangeran Panggung bukanlah nabi  seperti Nabi  Ibrahim atau Anoman,   maka fakta bahwa ia  masih hidup pasca dijatuhi hukuman, bahkan sempat menuliskan ajarannya  Serat Suluk Malangsumirang, justru membuktikan bahwa tidak ada hukuman mati dengan dibakar yang dilaksanakan terhadap Pangeran Panggung. Dengan kata lain, kisah hukuman mati dengan dibakar karena perbedaan keyakinan agama, hanyalah mitos dan fantasi para pengikut Syekh Siti Jenar untuk memberikan citra buruk pada Kerajaan Islam Demak. Sekaligus melakukan kultus terhadap Pangeran Panggung.Dengan menetapkan bahwa Pangeran Panggung adalah putra Sunan Kalijaga dari Pernikahannya dengan Retno Siti Jenab di Cirebon, maka kita dapat memperkirakan tahun kelahiran Pangeran Panggung.


Pernikahan Sunan Kalijaga dengan Retno Siti Jenab   adik Syekh Nurullah Sunan Gunungjati, terjadi sesudah tahun 1521 M. Karena pada tahun itulah Syekh Nurullah tiba di Pulau Jawa. Maka tahun 1522 M, adalah tahun Pernikahan Sunan Kalijaga dengan Retna Siti Jenab dapat dijadikan patokan. Kira-kira pada tahun itu jugalah  Pangeran Panggung itu lahir. Dengan demikian kita dapat menetapkan tahun kelahiran Pangeran Panggung penggubah Serat Suluk Malang Sumirang  itu, yakni lahir tahun 1522 M.  Jika dia meninggal pada tahun 1613 M, seperti disebutkan dalam Kitab Jalasutra ( Ashad Kusuma Djaja;2003:355), maka masa hidupnya lebih pendek (1522 -1613 M). Dan karenanya lebih wajar karena usinya hanya akan mencapai 91 tahun ketimbang  100 tahaun (1513 -1613 M), sebagaimana disebut dalam Serat Suluk Malang Sumirang. 


3 Raden Umar Said.


Tentu saja Sunan Kalijaga amat bersedih memikirkan nasib yang menimpa putranya itu. Harapan agar Pangeran Panggung mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam dengan tetap menjunjung tinggi syariat Islam  seakan-akan  pupus sudah. Dan Sunan Kalijaga hanya bisa bertawakal dan berserah diri kepada Allah SWT. Sebagai ayah tentu saja Sunan Kalijaga sudah berusaha agar anaknya itu menjauhi ajaran tasawuf ekstrim dan menyimpang seperti yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Tetapi pada akhirnya Sunan Kalijaga memang tidak bisa memaksakan apa yang menjadi keyakinan anaknya itu. Tentu dengan catatan risiko dan akibatnya ditanggung sendiri.


Kini  Sunan Kalijaga mulai berharap pada putranya yang lain, yakni Raden Umar Said. Dia adalah putra Sunan Kalijaga dari istrinya Dewi Saroh yang  memberinya sejumlah putra dan putri kepada Sunan Kalijaga. Raden Umar Said adalah putra tertua dari Dewi Saroh. Tetapi sejumlah sumber berbeda pendapat  tentang identitas Dewi Saroh. Ada sumber yang menyebutkan bahwa Dewi Saroh adalah putri dari Maulana Ishak. Maulana Ishak adalah kakek Sunan Giri. Jadi Dewi Saroh tentulah bibi Sunan Giri. Sunan Giri berada satu generasi di atas Sunan Kalijaga. Jika Dewi Saroh adalah putra Maulana Ishak, tentulah sudah terlalu tua untuk dapat menjadi istri Sunan Kalijaga yang usianya dua generasi di bawahnya. Sumber lain menyebutkan bahwa Dewi Saroh adalah putri Sunan Bonang. Pendapat ini lebih dapat diterima, karena  Sunan Bonang  adalah paman Sunan Kalijaga dari jalur ayahnya, Adipati Wila Tikta. Adipati Wila Tikta adalah saudara sepupu tingkat cucu dari  Sunan Bonang, karena sama-sama cucu Arya Teja I, Adipati Tuban yang mertua Sunan Ampel.


Memang ada sumber yang mengatakan bahwa Sunan Bonang dikenal pula sebagai  Pangeran  Wahdat, artinya membujang terus sampai tua. Informasi ini sebenarnya meragukan. Lebih-lebih karena sumbernya berasal dari para Orientalis Belanda yang mengkaji karya tulis Sunan Bonang, Het Boek Van Bonang.  Mustahil Sunan Bonang menempuh hidup membujang, karena hidup membujang adalah cara hidup yang tidak Islami dan Nabi  saw sendiri tidak menyukai cara hidup yang demikian. Kemungkinan besar  Sunan Bonang memang membentuk rumah tangga tetapi tidak dikarunia keturunan. Karena itu dia mengambil sejumlah anak asuh. Jika ini yang terjadi, maka Dewi Saroh adalah anak asuh Sunan Bonang. Di samping Sunan Kalijaga yang menjadi menantu Sunan Bonang, ada pula sumber yang memberitakan bahwa Sunan Kudus Ja’far Shodiq juga menikahi anak perempuan Sunan Bonang. Dengan demikian berita bahwa Sunan Bonang   adalah Sunan Wahdat kurang tepat.


Karena Dewi Saroh adalah istri muda Sunan Kalijaga, kita dengan mudah dapat menetapkan tahun kelahiran Raden Umar Said, yakni pasti lebih muda dari tahun kelahiran Pangeran Panggung yang diperkirakan lahir tahun 1522 M. Sunan Bonang sendiri wafat pada tahun 1525 M. Maka lebih mudah untuk menduga, Pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh, terjadi sebelum Sunan Bonang wafat. Jika kita jadikan tahun 1524 M, jadi setahun sebelum Sunan Bonang wafat, sebagai tahun Pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh, maka Raden Umar Said akan  lahir pada tahun 1525 M. Dengan demikian  Pangeran Panggung, Raden Umar Said  dan Joko Tingkir yang lahir tahun 1524 M, adalah tokoh-tokoh  sejarah yang pada tahun 1543 M  merupakan generasi muda  yang akan memainkan peranan penting dalam pemerintahaan dan keagamaan Demak  pasca wafatnya  Sultan Trenggono. Pada tahun 1543 M, atas permintaan Sultan Trenggono, Sunan Kalijaga pindah  dari Cirebon ke  Kadilangu Demak.


Pada akhir dasa warsa keempat abad ke 16 M itu, Joko Tingkir  sudah menjadi menantu Sultan Trenggono dan menjabat Adipati Pajang, bahkan sedang merintis jalan untuk menduduki tahta tertinggi Demak. Hadiwijaya, pasca wafatnya Sultan Trenggono terlibat konflik melawan pemberontakan Jipang pimpinan Arya Penangsang.Sasaran dakwah Raden Umar Said  sebagian besar adalah kalangan rakyat jelata, kaum dhuafa, para petani, nelayan, pedagang kecil dan buruh pelabuhan dari masyarakat yang  tinggal di sekitar Bukit Muria. Di sana akhirnya berhasil mendirikan pesantren, hingga ia terkenal sebagai Sunan Muria.


Dalam berdakwah Raden Umar Said  banyak belajar kepandaian memainkan wayang kulit dan memainkan gending Jawa dari ayahnya. Rupanya Raden Umar Said  banyak mewarisi bakat  ayahnya. Bukan hanya dalam ilmu-ilmu agama, tetapi juga dalam kesenian. Ia dikabarkan pula banyak menciptakan lagu-lagu, seperti Sinom dan Kinanti.  Cara berdakwahnya amat bervariasi. Kadang-kadang dengan ceramah dan pengajian. Bila ada hajatan penduduk ia menawarkan pementasan wayang kulit. Kesempatan mengumpulkan orang itu digunakannya untuk menyampaikan dakwah Islam.


Sebagai juru dakwah yang sering mementaskan lakon wayang, tentu saja  Raden Umar Said sangat menguasai ceritera-ceritera yang bersumber dari Mahabarata dan Ramayana yang sudah amat populer di kalangan penduduk.  Padahal tokoh-tokoh dari ke dua kitab itu adalah tokoh-tokoh para ksatria dari India yang beragama Hindu. Kehidupan  spiritual para ksatria dalam wayang adalah menyembah para dewa, suatu cara  menyembah yang dilarang dalam ajaran Islam.


Menghadapi dilema semacam ini, Raden Umar Said tidak kekuarangan cara. Peran para dewa  sering  kurang ditampilkan. Kalau toh terpaksa harus ditampilkan, perannya bukanlah sebagai  obyek yang harus disembah, tetapi hanyalah semacam guru atau penasehat dari para ksatria. Dengan demikian secara tidak langsung Raden Umar Said melakukan desakralisasi para dewa dalam dunia wayang. Peran para dewa dalam dunia wayang sebatas sebagai perantara antara Tuhan Yang Maha Tinggi yang disebutnya Sang Hyang Tunggal, yang artinya Dia Yang Maha Esa. Para Dewa seperti Batara Guru, Wisnu dan Brahma  bukan lagi  penguasa tertinggi  alam semesta dunia wayang sebagaimana  doktrin agama Hindu. Penguasa tertingginya adalah Hyang Tunggal. Dan Dia ini tidak pernah dibuatkan boneka wayangnya. Lagu-lagu dalam pementasan pagelaran wayang yang diiringi gamelan, sepenuhnya berisi pesan-pesan moral yang bersumber dari Al Qur’an. Dengan amat kreatif Raden Umar Said ini mengikuti jejak ayahnya menjadikan pementasan wayang sebagai media dakwahnya.


Akibat dakwah melalui pementasan wayang  yang sarat dengan nilai-nilai  Islami dari Al Qur’an, maka masyarakat sekitar bukit Muria yang semula pemeluk Hindu dan Buddha, pelan-pelan secara sukarela menjadi pemeluk Islam. Apalagi mereka merasa lebih  nyaman dalam Keislamannya. Terutama karena tiadanya diskriminasi akibat pembagian kasta, lebih memperhatikan kepentingan kehidupan soal ekonomi keseharian mereka, dan cara peribadan Islam yang jauh lebih sederhana dan relatif murah tanpa upacara-upaca rumit yang menguras  harta benda mereka yang sudah amat terbatas. Dan yang lebih penting juga, para idola mereka para ksatria dalam  kisah Mahabharata dan Ramayana, tidak pernah direndahkan atau dilecehkan oleh Raden Umar Said.


Memang Umar Said termasuk salah satu pelopor pementasan wayang yang bercorak Islam. Menjelang akhir Krajaan Islam Demak, pentas wayang yang bercorak Islam sudah mulai masuk menjadi kesenian Kraton Demak. Dan tradisi ini terus berlanjut pada kraton-kraton berikutnya seperti Pajang, Mataram, Surakarta, Mangkunegaran, Yogyakarta dan Pakualaman. Pada masa  Kerajaan Islam Demak para dalang adalah sekaligus seorang santri. Tetapi setelah Islam Kejawen semakin brekembang dan menjadi corak Islam  kraton-kraton di Jawa, mulailah muncul kisah-kisah yang bersifat mistik kejawen. Dan dalang santri yang taat syariat lama-lama menghilang. Namun begitu ajaran moral dan budi pekerti luhur masih tetap dipertahankan.


4 Sunan Muria.                 


Sejak mendirikan pesantren, masjid dan tempat tinggal di ketinggian Gunung Muria, Raden Umar Said sudah dikenal dengan sebutan  Sunan Muria. Santrinya berdatangan dari mana-mana, karena ingin menimba ilmu dari Sunan Muria. Sunan Kalijaga merasa bangga dengan putranya itu. Tetapi ia selalu mengingatkan  putranya itu agar terus meneladani peri laku hidup Nabi saw, agar tidak terperosok dan salah jalan seperti yang  pernah dialami oleh kakaknya, Pangeran Panggung.


“Jangan engkau tinggalkan syariat Nabi  Muhammad saw. Engkau kuberi nama Umar agar engkau selalu ingat sahabat Nabi saw yang selalu taat pada  syariat Islam dan selalu menjadikannya Nabi saw sebagai contoh dan teladan yang paling baik dalam segala hal dalam kehidupan di dunia ini. Jadikanlah  Nabi saw teladan dan contoh dari kebaikan. Semoga engkau bisa belajar dari kesalahan kakakmu. Tetapi semoga Allah SWT mengampuni kakakmu dan memaafkan kesalahannya. Allah SWT Maha Pengampun semoga  menerima taubat hamba-hambaNya yang khilaf.”


Sunan Muria selalu ingat nasihat dari ayahnya itu. Sekalipun  ia telah dikenal dengan nama  Sunan Muria, ia tetap ingat bahwa nama Umar melekat pada dirinya. Dan ia selalu ingat kisah Umar bin Khatab,  dari seorang penyembah berhala tiba-tiba menjadi pengikut Nabi saw  yang setia. Sunan Muria pun sering menjadikan kisah Islamnya Umar bin Khatab menjadi bagian dari materi dakwahnya dan berulang kali  dikisahkan kepada para santrinya yang belajar kepadanya. Inilah kisah Umar bin Khatab yang mashur itu yang sempat dia ingat dan catat dari ceritera ayahnya, Sunan Kali Jaga :


“Umar bin Khatab masuk Islam ketika ia masih muda, sekitar dua puluh enam tahun. Tubuhnya kuat, badannya bidang, perawakannya tinggi besar, langkahnya panjang. Tabiatnya agak kasar. Tetapi budi pekertinya sebenarnya halus. Olah raga kegemarannya adalah gulat dan naik kuda. Umar muda jago berkelahai dan main pedang. Lawan-lawannya amat takut kepadanya. Sebelum masuk Islam, ia memusuhi dakwah Nabi saw. Bahkan pada suatu ketika ia amat jengkel pada Nabi saw karena membawa agama baru yang menurutnya bertentangan dengan agama dari nenek moyangnya. Akibatnya masyarakat yang tadinya rukun, menjadi terpecah belah. Karena kejengkelannya telah mencapai puncaknya, suatu saat ia mengambil pedang dan hendak membunuh Nabi saw  yang saat itu tengah mengajar di pesantren pertama yang didirikannya di rumah Sahabat Arqom yang terletak di balik  Bukit Sofa.


Tetapi  di tengah jalan, Umar bertemu dengan saudaranya yang menyarankan agar sebelum mendatangi Nabi  saw, dia  mengurus lebih dulu adiknya Fatimah yang sudah masuk Islam bersama suaminya Said. Darah Umar mendadak naik   saat  mengetahui bahwa adik dan iparnya sudah menjadi pengikut agama baru. Dengan pedang terhunus Umar segera pergi mendatangi rumah adiknya. Di depan pintu rumah adiknya yang tertutup, Umar tertegun seketika, karena Fatimah beserta suaminya  Said, tengah membaca ayat-ayat suci Al Qur’an  dengan nada yang amat merdu, mengharukan tetapi menyejukkan dan penuh keagungan. Tetapi setelah ketertegunannya hilang, Umar seperti diingatkan kepada tujuannya semula. Umar cepat mendobrak pintu dan melompat masuk. Fatimah dan Said yang terkejut karena tiba-tiba saja Umar dengan pedang terhunus tahu-tahu sudah berada di depannya, tubuhnya menggigil seketika.


Dengan cepat Fatimah berusaha menyembunyikan lembaran kulit yang  berisi tulisan  ayat-ayat suci Al Qur’an yang baru saja dibacanya. Tetapi Umar segera membentaknya ,


“Hai Fatimah, apa yang kau baca tadi? Engkau sudah jadi pengikut Muhammad?” bentuk Umar yang membuat Fatimah dan  Said gemetaran. “Berikan gulungan tulisan itu kepadaku!!!” Sejenak Fatimah nampak ragu-ragu.


‘Berikan atau kalian berdua kubunuh ?” bentak Umar lagi.


“Engkau bukan pengikut Muhammmad!” ujar Fatimah dengan bibir gemetaran. Tetapi Fatimah mencoba tetap tegar dan melanjutkan kata-katanya, “Aku akan berikan gulungan tulisan ini. Tetapi engkau harus berjanji tidak akan merobeknya. Bila engkau akan merobeknya, lebih baik bunuh saja kami berdua !”


Umar terkejut bukan main mendengar jawaban dari adiknya yang begitu berani.  Umar heran kenapa pengkut Muhammad begitu gigih mempertahankan  ajarannya seperti yang ada pada tulisan di atas  gulungan kulit kambing yang lembut itu. Apakah gerangan isinya? pikir Umar semakin penasaran.


“Singkirkan pedangmu,”  pinta Fatimah setelah melihat Umar diam sejenak. Entah mengapa Umar tiba-tiba saja patuh pada perintah Fatimah. Umar segera meletakkan pedangnya yang dari tadi dipegangnya. Fatimah menyerahkan gulungan yang berisi kutipan ayat Al Qur’an. Umar seperti tidak sabar menerima gulungan itu lalu mulai membacanya. Inilah isinya  dalam bentuk terjemahan :

  1. Tohaa
  2. Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah.
  3. Tetapi sebagi peringatan bagi orang yang takut  kepada Allah.
  4. Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi
  5. Yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah Yang bersemayam di atas Arsy
  6. KepunyaanNyalah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi dan semua yang ada di antara keduanya.
  7. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.
  8. Dialah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan  Dia. Dia yang mempunyai asma’ul husna(nam-nama yang baik ).

              (Q.S Toha :1 - 8)                                                                   


“Alangkah indahnya ayat-ayat ini”, guman Umar. Umar pun terus melanjutkan sampai ayat 16 :



   11.  Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?.

 12.  Ketika ia melihat api, lalu berkata kepada keluarganya ,”Tinggalkanlah kamu di sini, sesungguhnya aku melihat api. Mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit dari padanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk dai tempat api itu “.

13.  Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil,” Hai Musa, sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu, sesungguhnya kamu berada di tempat yang suci,Thuwa”

14.  Dan Aku akan memilih kamu, dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang hak selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat aku”

15.  Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan waktunya agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.

16.  Maka  sekali-kali janganlah kamu dipalingkan dari padaNya oleh orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa”

            (Q.S Toha :9 - 16)                                                                                



Selesai membaca ayat-ayat Al Qur’an Surat Toha ayat 1-16 itu, Umar terhenyak sejenak. Tiba-tiba sebuah kesadaran dan perasaan aneh menyelimuti dirinya. Kemudian katanya kepada Fatimah, “Adiku Fatimah dan Said. Bawalah aku kepada Nabi  Muhammad. Aku ingin menjadi pengikutnya.”


Mendengar itu, Fatimah dan Said segera meloncat memeluk Umar dengan perasaan penuh haru sambil bertakbir,” Allahu Akbar! Marilah kita segera menemui Nabi saw,” ajak Fatimah dan Said kepada kakaknya. Akhirnya Umar bin Khatab bertemu Nabi saw. Nabi saw membimbingnya  membaca kalimat Syahadat. Sejak itu Umar menjadi pengikut Nabi saw yang amat dicintainya itu.


Kisah Umar bin Khatab itu, amat berkesan dalam diri Raden Umar Said, hingga ia tak pernah meninggalkan syariat Islam dan tetap berada di jalan yang lurus. Kecakapannya, kecerdasannya dan pengaruhnya yang besar, menyebabkan Raden Umar Said diangkat menjadi anggota Dewan Walisongo. Dan dia adalah anggota Dewan yang paling muda. Sayang Dewan Walisongo kehilangan peranannya, setelah muncul Kerajaan Pajang yang lebih menonjol dengan Islam Kejawennya atau Islam Manunggaling  Kawula-Gusti.


 5 Menjadi Menantu Ki Ageng Ngerang.


Sunan Muria memiliki sejumlah putra dan putri. Istrinya yang pertama adalah putri Ki Ageng Ngerang dari Juwana. Ki Ageng Ngerang ini  ulama yang dihormati, dikenal pula sebagai seorang pendekar. Santrinya rata-rata memiliki kepandaian dalam ilmu bela diri dan olah keprajuritan. Putrinya cantik-cantik dan dia sendiri seorang yang kaya raya karena menguasai tanah pertanian yang luas. Putri pertamanya dipersunting oleh Ki Ageng Sela. Dari Pernikahan itu, lahirlah putranya Pamanahan. Putri kedunya menjadi istri Ki Ageng Pati dan dari mereka berdua lahirlah putranya Panjawi. Pamanahan, Panjawi dan Mas Karebet atau Jaka Tingkir kelak menjadi perwira tamtama yang mengabdi di Kerajaan Islam Demak. Putri Ki Ageng Ngerang yang ketiga menikah dengan Sunan Muria.


Pernikahan Sunan Muria dengan  Putri Ki Ageng Ngerang menjadi kisah legenda yang menarik, tetapi nampaknya kisah itu memang dapat dipercaya karena jalan ceriteranya yang logis, masuk akal dan tidak terlalu sarat dengan hal-hal yang mengandung unsur mistik. Daerah Juwana merupakan daerah sengketa yang diperebutkan oleh Kediri dan Demak.


Sebelum Kediri ditaklukkan Demak (1527 M), Juwana sudah merupakan wilayah Demak dan merapakan batas paling timur Demak.Tetapi daerah ini sering diganggu oleh Kediri. Ahli Sejarah Belanda De Graaf, sempat mencatat bahwa Patih Umdara dari Kediri pernah membawa sejumlah pasukan dan memporakporandakan Rembang dan Juwana. Terpaksa Sunan Ngudung Rahmatulah harus bersusah payah untuk mengusir pasukan Kediri.Rembang berhasil diselamatkan. Tetapi Juwana sempat lepas dan dikuasai Kediri. Tetapi setelah Kediri jatuh( 1527 M), tak berapa lama Juwana kembali di bawah Kerajaan Islam Demak.Untuk mengamankan Juwana Sultan Trenggono menempatkan Ki Ageng Ngerang di sana. Besar kemungkinan Ki Ageng Ngerang berasal dari daerah Pengging pula, seperti halnya Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Ngenis, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Sela dan lainnya lagi. Mereka adalah para ksatria dari daerah Pengging yang di Eropa disebut knigt sedang di Jawa disebut kentol.


Para kentol ini memiliki kepandaian dalam olah juda, keprajuritan dan pandai bertempur. Daerah Pengging memang gudangnya para kentol. Sudah sejak jaman Majapahit mereka banyak yang direkrut jadi komandan pasukan Majapahit. Handayaningrat yang menjadi menantu Brawijaya I, pada awalnya adalah seorang kentol dari Pengging. Karena berjasa memadamkan pemberontakan di Blambangan dan Bali, dia diangkat menjadi Adipati Pengging. Sebutan Ki Ageng nampaknya baru muncul pada masa Islam. Mereka adalah para kentol yang diangkat menjadi penguasa daerah dengan status setingkat Adipati atau kadang-kadang juga berada di bawah Adipati. Pada masa Pajang Sultan Hadiwijaya banyak mengerahkan para kentol dari Pengging untuk membuka daerah baru di sebelah barat Mataram, khususnya di daerah Bagelen dan Banyumas Selatan. Setelah behasil para kentol itu diangkat sebagai penguasa daerah dengan gelar Ki Ageng yang tunduk kepada Pajang.


Para Penguasa daerah di lembah Serayu dan Bogowonto yang subur itu antara lain Ki Ageng Wanasaba, Ki Ageng Toya Reka, Ki Ageng Toya Jene dan Ki Ageng Wirasaba. Para leluhur mereka semua adalah para kentol dari daerah Pengging. Demikian pula Ki Ageng Ngerang yang diserahi tugas oleh Demak untuk mengamankan daerah Juwana. Wajar saja bila Ki Ageng Ngerang menjadi  tokoh yang disegani di daerah itu. Ia memiliki tanah-tanah yang luas dan memiliki  padepokan yang mengajarkan Ilmu Seni Bela diri. Muridnya berdatangan dari berbagai daerah, bukan hanya dari wilayah Demak tetapi juga dari wilayah Kediri. Di antara murid-muridnya adalah para santri yang baru saja  memeluk Islam.


Kisah Raden Umar Said  yang terkenal menjadi legenda adalah kisah Kapa dan Gentiri. Kisahnya  kurang lebih sebagai berikut.
 

Ki Ageng Ngerang masih punya putri yang amat cantik yang bernama Dewi Roroyono yang sudah saatnya mempunyai jodoh. Sudah banyak yang melamarnya. Antara lain Raden Umar Said dari Padepokan Muria, Adipati Pathak Warak dari  Keling, dan Kapa serta adiknya Gentini. Baik Pathak Warak, Kapa maupun Gentiri adalah murid Wiku Lodhang Datuk. Sekalipun Wiku Lodang Datuk beragama Hindu, tetapi dia bersahabat baik dengan Ki Ageng Ngerang. Maka Wiku Lodhang Datuk menyetujui saja jika Adipati  Pathak Warak ingin memperistri putri Ki Ageng Ngerang. Sayangnya Sunan Muria sudah lebih dulu melamar. Karena itu lamaran Adipati Pathak Warak ditolak dengan halus, padahal Adipati Patah Warak menyatakan bersedia masuk Islam, bila lamarannya diterima. Tentu saja Ki Ageng Ngerang lebih suka memilih Umar Said menjadi menantunya.


Tidak senang dengan penolakan itu, Adipati Pathak Warak menyuruh orang untuk menculik Dewi Roroyono. Ternyata usaha penculikan itu berhasil. Akhirnya Ki Ageng Ngerang dan Raden Umar Said menghubungi Wiku Lodhang Datuk untuk meminta pertolongan membujuk Adipati Pathak Warak, mantan cantriknya itu agar mengembalikan Dewi Roroyono. Sebenarnya Raden Umar Said dan Ki Ageng Ngerang dapat saja menggunakan kekerasan untuk merebut Dewi Roroyono. Tetapi mereka khawatir akan keselamatan Roroyono.


Wiku Lodhang Datuk sangat menyesalkan perilaku Adipati Pathak Warak. Maka dia mengutus Kapa dan Gentini untuk menjemput Roroyono atas perintahnya. Ki Ageng Ngerang berjanji akan memberikan sejumlah tanah di darah Juwana kepada Kapa dan Gentiri apabila bisa menyelamatkan Roroyono dalam keadaan masih suci dan tidak dinodai. Kapa dan Gentiri segera menuju Keling dan ternyata berhasil membujuk Adipati Pathak Warak untuk mengembalikan Dewi Roroyono kepada orang tuanya. Mungkin karena malu kepada gurunya Wiku Lodhang Datuk, Adipati Pathak Warak menyerahkan kembali Dewi Roroyono dan memang masih dalam keadaan suci, tidak mau menodainya.


Ki Ageng Ngerang gembira sekali menerima putrinya kembali dalam keadaan sehat dan tetap suci. Sesuai dengan janjinya Kapa dan Gentini mendapat tanah yang luas di desa Buntar, hingga keduanya dapat hidup makmur dan kaya. Dewi Roroyono segera dinikahkan dengan Raden Umar Said. Selesai pernikahan, Dewi Roroyono diboyong ke Padepokan Muria, tempat tinggal Raden Umar Said.


Namun beberapa waktu kemudian Adipati Pathak Warak masih juga belum bisa melepaskan rasa cintanya kepada Dewi Roroyono. Ia menganggap Raden Umar Said adalah penghalang utamanya. Jika ia berhasil melenyapkan Raden Umar Said, nistaya ia akan bisa mempersunting Dewi Roroyono. Dan ia merasa lebih terhormat mendapatkan Dewi Roroyono melalui adu kekuatan, dari pada dengan cara menculik. Maka Adipati Pathak Warak pergi ke Muria dengan sejumlah pasukan. Kemudian menantang duel Raden Umar Said. Tantangan Adipati Pathak Warak diterima Raden Umar Said. Terjadilah perkelahaian di antara keduanya dengan disaksikan oleh pengikut dari kedua belah pihak. Ternyata Adipati Pathak Warak dengan mudah dapat ditaklukan oleh Raden Umar Said.


Namun ternyata Dewi Roroyono belum lepas dari ancaman. Kapa yang kini sudah jadi orang kaya, tiba-tiba jatuh cinta juga pada Dewi Roroyono yang pernah dijemputnya dari Keling dan diantarkan kembali kepada orang tuanya. Dia pun berniat untuk memperistri Dewi Roroyono, sekalipun   sudah bersuami. Kapa mengajak  Gentiri untuk menculik istri Raden Umar Said. Mereka berdua pun berangkat ke Padepokan Muria. Kebetulan saat itu Raden Umar Said sedang pergi ke Demak, hingga Dewi Roroyono sendirian saja di Padepokan Muria, hanya dijaga oleh santri-santrinya. Pada malam hari Kapa dan Gentiri berhasil masuk Padepokan. Mereka berbagi tugas. Gentiri mengecoh para pengawal sedang Kapa langsung menculik Dewi Roroyono. Strategi mereka berhasil. Dewi Roroyono berhasil diculik Kapa dan dibawa ketempat gurunya Wiku Lodhang Datuk di Pulau Seprapat. Tetapi Gentiri yang ditinggal berkelahai sendirian, ternyata berhasil dibunuh oleh santri-santri  Raden Umar Said.


Raden Umar Said yang tengah berada di Demak segera pulang setelah ada santrinya yang menyusul dan memberitahukan musibah yang tengah menimpa istrinya. Raden Umar Said langsung  menuju Pulau Seprapat menemui Wiku Lodhang Datuk. Terjadilah pertemuan mereka bertiga. Wiku Lodhang Datuk menjelaskan bahwa ia sangat menyesalkan kelakukan muridnya itu. Tetapi Kapa hanya mau menyerahkan Dewi Roroyono yang sama sekali belum disentuhnya itu, bila Raden Umar Said dapat mengalahkannya dalam adu kekuatan satu lawan satu.


Raden Umar Said langsung menyanggupinya. Perkelahaian antara kedua pendekar itupun segera digelar disaksikan oleh Wiku Lodhang Datuk dan para cantriknya. Bisa jadi Kapa semula mengharapkan gurunya itu akan membantunya. Ternyata Wiku Lodhang Datuk berjiwa ksatria. Dia biarkan saja Kapa melawan keperkasaan Raden Umar Said yang ternyata memang bukan tandingannya. Kapa luka parah dalam perkelahaian tersebut.Maka Raden Umar Said bisa membawa kembali istrinya yang sempat menginap di Pulau Seprapat itu. Beberapa hari kemudian Kapa meninggal menyusul adiknya akibat luka dalam yang dideritanya.


Demikian kisah legenda Kapa dan Gentiri yang amat populer dikalangan rakyat Juwana dan Muria,  yang tentu saja terus berkembang menjadi beberapa versi. Tetapi pokok ceriteranya sama, yakni kisah Pernikahan Raden Umar Said dengan Dewi Roroyono, gadis cantik putri Ki Ageng Ngerang. Dewi Roroyono adalah istri pertama Sunan Muria. Sedang istri keduanya adalah putri Sunan Kudus Ja’far Shodiq.

Dengan pernikahan ini, maka Sunan Kalijaga berbesanan dengan Sunan Kudus Ja’far Sodioq. Konon akibat dari  Pernikahan Sunan Muria dengan putri Ja’far Shodiq, maka hubungan yang sempat terganggu antara Sunan Kudus Ja’far Shodiq dengan Sunan Kalijaga, akibat pemberontakan Aria Penangsang dari Jipang Panolan yang menuntut hak tahta atas Kerajaan Demak, menjadi cair kembali. Nampaknya Sunan Muria berusia panjang, paling tidak sampai akhir abad ke 16 M. Dia adalah anggota Dewan Walisongo termuda. Makamnya di Gunung Muria, ramai dikunjungi para peziarah.Wallahualam[] 

Catatan : Artikel Sejarah Tokoh Walisongo Berikutnya, Syekh Siti Jenar :
https://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-walisongo-010-syekh-siti-jenar.html 

            














Tidak ada komentar:

Posting Komentar