Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Selasa, 21 Juni 2016

Sejarah Walisongo (08) : Sunan Kudus Ja'far Shodiq, Panglima Perang Demak Penakluk Kerajaan Kediri Baru




1 Sunan  Ngudung .

Mendengar nama Sunan Ngudung, tentulah muncul dalam benak kita suatu pertanyaan, dimana sih letaknya kota  Ngudung? Agaknya  kata Ngudung berasal dari kata Tedunan, sebuah  desa di sebelah utara  Kota Kudus sekarang ini, berada di tepi Sungai Tanggulangin yang mengalir ke Kota Kudus.

Ada juga yang mengatakan letak Ngudung tidak jauh dari Jipang Panolan, sebuah Kadipaten yang pernah dipimpin oleh Arya Penangsang. Dia adalah tokoh yang legendaris, kontroversial dan antagonis dalam kisah-kisah babad dan pementasan  ketoprak atau drama Jawa  yang populer seperti Ketoprak Mataram. Kalau begitu, siapakah sebenarnya Sunan Ngudung itu?

Menurut sebuah sumber Portugal yang dijadikan bahan rujukan oleh  Slamet Mulyana dan De Graaf, Sunan Ngudung yang disebut-sebut dalam Babad Tanah Jawi sebagai  Panglima Perang Pertama Kerajaan  Islam Demak dalam penaklukan Kerajaan  Hindu-Buddha Kediri Majapahit (1527 M), identik atau sama dengan Pate Orob. Orob, mungkin berasal dari salah ucap  orang Portugal dari kata Arab. Dengan demikian yang dimaksud dengan Pate Orob sebenarnya adalah Adipati yang berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian menurut sumber Portugal itu, Sunan Ngudung adalah seorang Adipati yang berasal dari keturunan Arab.  Pada masa itu, memang sudah banyak keturunan Arab yang berhasil menjadi penguasa daerah. Bisa jadi sumber Portugal itu ada benarnya. Sebab Arya Teja I, mertua Sunan Ampel, juga keturunan Arab yang nama aslinya Abdurachman. Dia mengganti  nama Arabnya dengan Arya Teja, suatu nama yang lebih bercorak Jawa.

Tetapi dari hasil penelusuran Drs.Widji Saksono, Sunan Ngudung bukan keturunan Arab. Dia adalah keturuan Pasai juga, seperti halnya Sunan Giri dan Syarif Hidayatullah dalam versi Serat Walisana. Ayah Sunan Ngudung adalah Khalif Husein atau Khalif Kusen, putra ke empat Syekh Mulana Ishak.

 Sunan Ngudung ikut bertempur melawan Portugal dalam perang laut Demak–Portugal tahun 1513 M di bawah Panglima Perang Pati Unus. Sunan Ngudung lama merantau ke Malaka. Wajar jika Tome Pires menganggap Sunan Ngudung pendatang baru di Jepara dan menduganya sebagai orang Arab. Sekembali dari Malaka Sunan Ngudung menggantikan kedudukan ayahnya menjadi penguasa Tedunan. 

Nama Arab Pate Orob adalah Rahmatullah, karena itu dia terkenal sebagai Penghulu Rahmatullah saat menjabat sebagai Imam Besar Masjid Demak. Orang-orang Portugal sering menyebut Sunan Ngudung sebagai Sunan Kudus Senior untuk membedakannya dengan putranya  Sunan Kudus Yunior yang juga terkenal sebagai Panglima Perang Kerajaan Islam Demak. Sunan Kudus Yunior, putra Sunan Kudus Ngudung, nama sebenarnya adalah Jafar Shodiq.

Di lingkungannnya, Sunan Ngudung dipandang sebagai tokoh yang disegani dan dihormati. Raden Patah, Patih Unus dan Sultan Trenggono, semua penguasa Demak itu menaruh rasa hormat pada Sunan  Ngudung. Konon dengan Adipati Unus, menantu Raden Patah dan  Raja Demak II (1518-1521 M), masih ada hubungan keluarga dekat. Sunan Ngudung adalah paman dari Adipati Unus. Di samping seorang pemeluk Islam yang taat dan menguasai dengan baik Ilmu-ilmu  Keislaman, dia juga adalah panglima perang yang gagah berani.

Beberapa kali Sunan Ngudung berhasil mempertahankan wilayah Jepara, Jipang, Tedunan, Rembang dan Juwana dari gangguan Kerajaan Hindu Kediri. Kerajaan di pedalaman Jawa Timur ini sering mencoba melakukan ekspansi wilayah ke arah barat untuk mendesak Kerajaan Islam Demak. Suatu saat pasukan Kediri di bawah  perintahPatih Umdara, Patih Kerajaan Kediri, melakukan ofensif besar-besaran menyerang Juwana dan Rembang yang berada di Timur Laut Demak. Sunan Ngudung beserta anak buahnya berjuang habis-habisan untuk mengusir pasukan Kediri. Akhirnya Rembang berhasil direbut kembali. Tetapi  Juwana gagal diselamatkan.

Sultan Trenggono yang naik tahta pada tahun 1521 M, berkenalan dengan seorang ulama dari Pasai yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji, bernama Syekh Nurullah. Syekh Nurullah segera saja mempunyai pengaruh yang kuat terhadap Trenggono. Dialah yang mendorong agar Kerajaan Islam Demak secara bertahap menerapkan hukum syariat Islam. Istilah penghulu mulai diperkenalkan dalam sistem pemerintahan Demak. Sunan Ngudung yang semula menjabat sebagai Imam Besar Masjid Demak, ditetapkan sebagai penghulu  pertama Kerajaan Islam Demak. Tugasnya memang melaksanakan Hukum Syariat Islam, tetapi masih terbatas pada  soal-soal peribadatan seperti urusan Pernikahan, pemakaman, warisan  dan soal-soal  ritual peribadatan seperti Salat, Puasa dan Zakat.

Syekh Nurullah kemudian mengangkat dan menobatkan Trenggono sebagai  Raja Demak yang bergelar Sultan, hingga sejak itu dia terkenal sebagai Sultan Trenggono. Hubungan Syekh Nurullah menjadi semakin dekat, saat Syekh Nurullah menikah dengan adik perempuan Sultan Trenggono. Ternyata Syekh Nurullah adalah seorang negarawan yang cakap dan  panglima perang yang gagah berani juga. Maka Sultan Trenggono mengangkat Syekh Nurullah menjadi penasihatnya. Sunan Ngudung dan Syekh Nurullah, berbagi tugas. Syekh Nurullah bertugas sebagai penasihat Sultan di bidang politik, sedang Sunan Ngudung ditetapkan sebagai Hakim syariat, Ketua Dewan Walisongo dan Imam Besar Masjid Demak.

Karena sama-sama memiliki bakat  militer, Syekh Nurullah diangkat sebagai panglima perang untuk melakukan ekspansi  ke  wilayah Jawa Barat yang sebagian besar masih berada di bawah kekuasaan Pajajaran. Sedangkan  Sunan Ngudung ditetapkan sebagai panglima perang untuk melakukan ekspansi ke wilayah Jawa Timur dan pedalaman Jawa Tengah yang masih berada di bawah kekuasan Kediri.

Sejak runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 M, peta kekuatan politik di Pulau Jawa terbagi  menjadi tiga kekuatan yakni :

a.Kerajaan Kediri Baru (1486 -1527 M).

Kerajaan ini merupakan kelanjutan Kerajaan Keling yang menyerang  Majapahit pada tahun 1478 M. Raja Kediri Ranawijaya adalah cucu Sri Kertawijaya (1447-1451M), karena itu ia mengklaim bahwa  Kerajaan Kediri adalah penerus dan pewaris Kerajaan Majapahit yang telah runtuh pada tahun 1478 M, yang sering diabadikan dengan ungkapan dalam Candra Sangkala, Sirna ilang kertaning bumi.

Kitab Pararaton, yang berarti kitab berisi kisah raja-raja Majapahit memang tidak menyebutkan kerajaan manakah yang menyerang Majapahit pada tahun 1478 M yang telah menyebabkan keruntuhannya itu. Akibatnya penggubah Babad Tanah Jawi dan Babad Kediri, membuat fantasi yang keliru, bahwa yang menyerang Majapahit pada tahun 1478 M adalah Kerajaan Islam Demak pimpinan Raden Patah, sebab Raden Patah mendapat gelar Senapati Jimbun.

Padahal gelar  Senapati Jimbun diperoleh Raden Patah, karena dia sukses melakukan ekspansi ke wilayah barat dan luar Jawa. Pekalongan, Tegal, Pemalang, Brebes, Cirebon dan Indramayu, berhasil ditaklukkan, hingga wilayah Pantai Utara Pulau Jawa yang strategis, subur dan kaya dengan produksi beras itu, jatuh ke tangan Kerajaan Islam Demak. Raden Patah juga berhasil menaklukkan Palembang di Sumatra Selatan dan Sukadana di Kalimantan Barat. Tidak ada fakta sejarah yang berhasil membuktikan bahwa Raden  Patah pernah menyerang Majapahit.

Hampir  dapat dipastikan mustahil Raden Patah akan menyerang Majapahit, karena sebelum Majapahit jatuh, Kadipaten Demak merupakan wilayah yang tunduk pada Raja Majapahit. Lagi pula  Kadipaten Demak diresmikan oleh Raja Majapahit terakhir Dyah Suraprabhawa (1466-1478 M) dan Raden Patah diangkatnya sebagai  Adipati  Demak.

Berdasarkan penelusuran sejarah oleh Slamet Mulyana, ternyata yang menyerang Kerajaan Majapahit sehingga menyebabkan keruntuhannya adalah  Adipati Keling Girindrawardhana Dyah Wijayakarana. Dia adalah putra  bungsu Sri Kertawijaya. Karena  Dyah Suraprabhawa adalah adik Sri Kertawijaya, dengan sendirinya Raja Majapahit terakhir itu adalah paman dari Adipati Keling. Sedangkan Ranawijaya yang kelak menjadi Raja Kediri adalah putra  Girindrawardhana Dyah Wijayakarana yang berarti cucu Sri Kertawijaya.    

Dari alur kekerabatan  penguasa Keling dan Kediri yang berhasil diungkap ahli sejarah dari Universitas Indonesia itu, dapat kita simpulkan bahwa sebab-sebab dari runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1478 M, adalah akibat perang saudara perebutan tahta di antara para  keturunan Raja Wikramawardhana (1389- 1429M). Keturunan Dyah Suraprabhawa dan Keturunan Sri Kertawijaya masing-masing  merasa sebagai ahlis waris yang sah atas tahta Majapahit.

Dalam konflik perebutan tahta itu, keturunan Sri Kertawijaya muncul sebagai pemenang. Tidak heran bahwa Sri Kertawijaya sering disebut-sebut sebagai Brawijaya I dan Ranawijaya disebut sebagai Brawijaya VII atau terakhir. Hanya saja buku Babad Tanah Jawi yang baru ditulis pada awal abad ke 18 M, tidak bisa membedakan mana yang merupakan Brawijaya pertama dan mana yang terakhir.

Karena itu kalau kita membaca buku Babad Tanah Jawi ataupun buku babad yang lain yang menggunakan buku Babad Tanah Jawi sebagai sumber, perlu dilakukan koreksi seperlunya  agar kisah yang dituturkan itu  sejalan dengan fakta sejarah. Misalnya jika di dalamnya disebut Brawijaya terakhir, maka yang dimaksud adalah Ranawijaya  Raja Kediri Majapahit. Serangan tentara Kerajaan Islam Demak ke Majapahit, harus diartikan sebagai serangan Demak ke Kediri Majapahit pada tahun 1527 M atas perintah Sultan Trenggono bukan atas perintah Raden Patah. Sebab pada tahun 1527 M, Raden Patah Senapati Jimbun telah wafat (1518 M).



b.Kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran (1433 -1579 M)

Kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran berpusat di Pakuan dekat Bogor. Wilayahnya hampir meliputi seluruh wilayah Jawa Barat, Banten, DKI dan Lampung. Tetapi dari laporan pengelana Portugal Tome Pires yang sempat singgah di Banten  Tahun 1513 M, melaporkan bahwa kota-kota pelabuhan di Jawa Barat yang masuk wilayah Pajajaran hanyalah Banten, Pontang, Cikande, Tonara dan Sunda Kalapa. Sama sekali tidak disebut pelabuhan Muara Jati, Garage atau pun Cirebon termasuk wilayah Pajajaran.

Menurut De Graaf, memang  daerah Cirebon dan mungkin juga Indramayu, sejak perempat akhir abad 15 M, sudah  berada di bawah pengaruh Demak. Karena itu berita-berita dari kronik lokal Cirebon yang menyatakan bahwa sejak paruh ke dua abad 15 M, di Cirebon telah banyak penduduknya yang beragama Islam dapat dibenarkan. Tetapi berita kronik lokal yang menyatakan bahwa Cirebon masih berada di bawah kekuasaan Pajajaran, nampaknya malah meragukan.  Justru karena wilayah Cirebon dan mungkin juga Indramayu telah berada di bawah orbit kekuasaan Demak, maka Pajajaran merasa terancam oleh Kerajaan Islam yang baru muncul itu yang telah berkembang menjadi Negara Maritim yang terkuat di Pulau Jawa. Bahkan pada tahun 1513 M, berani menyerang Portugal di Malaka.

Memang  armada Portugal bukan tandingan Demak. Tetapi  armada Demak tetap merupakan armada yang kuat di Asia Tenggara, apalagi di Jawa. Jelas armada Demak bukan lawan yang seimbang bagi Kediri dan Pajajaran.

Karena khawatir atas ancaman Demak, Kediri dan Pajajaran mencoba membangun aliansi dengan Portugal di Malaka. Pada tahun 1514 M, baik Kediri maupun Pajajaran mengirimkan utusannya ke Malaka untuk meminta perlindungan Portugal.  Pada tahun 1522 M, Pajajaran bahkan lebih dulu berhasil menandatangani kerjasama militer dengan Portugal di Malaka. Sebagai bukti adanya kerjasama militer dan ekonomi antara Pajajaran dan Portugal, maka Portugal membangun sebuah pedro ( stone pillar) atau tugu peringatan di tepi Sungai Ciliwung Sunda Kalapa.

Pemancangan Pedro itu, bagi Portugal memiliki arti yang penting dan mengandung dua makna yaitu :

Pertama,  pedro itu sebagai tanda bahwa  Portugal akan melindungi kepentingan ekonomi dan keamanan Pajajaran dari ancaman Demak. Maka di situ kelak akan dibangun benteng pertahanan Portugal yang kuat untuk melindungi Pajajaran.

Kedua, pedro itu sebagai tanda pemberitahuhan kepada pihak Spanyol bahwa wilayah Pajajaran tak boleh diganggu gugat, karena Pajajaran telah masuk sebagai wilayah jajahan Portugal.

Memang  Spanyol dan Portugal pada tahun 1492 M, telah menandatangani  perjanjian Tordesillas yang pada pokoknya berisi kesepakatan untuk membagi dunia menjadi dua wilayah, yakni wilayah yang diperuntukkan bagi jajahan Spanyol dan wilayah yang diperuntukkan bagi jajahan Portugal. Karena itu secara politis, sebenarnya sejak tahun 1522 M, Kerajaan Pajajaran telah berada di bawah jajahan Portugal. Dan pedro yang telah didirikannya itu sebagai tandanya.



c. Kerajaan Islam Demak (1481 – 1546 M ).

Wilayah Kerajaan Islam Demak pada awal berdirinya, sebenarnya tidak terlalu luas. Tuban di Jawa Timur yang merupakan bandar pelabuhan yang kuat, masih merupakan wilayah Kediri. Kecuali Giri dan sebagian besar Gresik, wilayah pantai utara dan pedalaman Jawa Timur  tunduk sepenuhnya pada Kediri. Demikian pula daerah Jawa Tengah  Selatan,  di sekitar lembah Bengawan Solo yang subur sampai Pengging, bukan wilayah Demak. Tetapi merupakan wilayah Kediri.

Wilayah Demak di Jawa hanyalah daerah sepanjang pantai utara Jawa Tengah ke arah Barat sampai Banten dan Indramayu. Wilayah Jawa Tengah  yang masuk Demak adalah  daerah lembah Serayu dan Citanduy sampai sungai Citarum di wilayah Jawa Barat Selatan. Di sebelah barat Citarum merupakan wilayah Pajajaran.     

Di daerah Banyumas ditemukan kronik lokal, Babad Pasir. Isinya menceriterakan proses Islamisasi daerah lembah Serayu, lembah Citanduy dan daerah lereng selatan Gunung Slamet. Konon Sultan Demak Raden Patah pernah mengirim seorang suci yang bernama Makhdum  kelembah Serayu guna berdakwah kepada Raja Pasir. Jelaslah bahwa orang suci yanng bernama Makhdum itu tidak lain adalah salah seorang anggota Dewan Walisongo, Makhdum Ibrahim yang kelak terkenal sebagai Sunan Bonang.

Suatu bukti bahwa Sunan Bonang pernah berdakwah di daerah ini adalah ditemukannya sejenis golok yang menjadi senjata khas dari daerah ini yang disebut kudi. Kudi ini adalah golok kreasi Sunan Bonang yang dalam Babad Kediri dikisahkan digunakan oleh Sunan Bonang untuk menghancurkan patung-patung berhala di Kota Kediri.

Ternyata dakwah  Makhdum Ibrahim di lembah Serayu itu  berhasil.  Raja Pasir yang bernama Banyak Belanak itu masuk Islam secara sukarela. Bahkan kemudian ia menjadi pejuang Islam yang hebat. Raja Pasir ini meneruskan dakwah Islam ke barat maupun ke timur wilayah Banyumas. Ke barat hasil dakwahnya tembus wilayah Pasundan sampai batas timur Sungai Citarum. Ke timur medan dakwahnya sampai Sindoro-Sumbing di sebelah timur daerah Dieng. Karena jasa-jasanya, Sultan Demak menganugerakhan seorang putri dari Pati dan gelar Senapati Mangkubumi kepada Raja Pasir.

Raja Pasir ini memerintah daerah lembah Serayu atas nama Sultan Demak. Batas timur Kadipatennya adalah gunung Sindoro-Sumbing yang disebutnya sebagai  Tugu Mekangkang. Sedang batas barat sampai Udung-udung Karawang di tepi Sungai Citarum.

Bila berita Babad Pasir ini dapat dipercaya, berarti pada  dasa warsa ke dua abad ke 16 M, Wilayah Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Pakuan hanyalah lembah Citarum sisi sebelah barat sampai laut Sunda dan sebagian Lampung saja.

Akibat adanya persekutuan segitiga, yakni Kediri dan  Pajajaran di Jawa dengan Portugal di Malaka, maka Demak secara geopolitis dan geostrategis berada dalam posisi terkepung. Kondisi ini cepat disadari oleh Syekh Nurullah dan Sunan  Ngudung yang memiliki wawasan bahari yang cukup luas akibat pengalaman-pengalaman  pelayarannya yang cukup. Maka mereka segera menyusun strategi ofensif untuk menaklukkan Kediri dan Pakuan sebelum Portugal berhasil membangun benteng pertahanan, baik di Sunda Kalapa maupun Tuban.



2 Sunan Kudus   Jafar Shodiq Menaklukan Kediri.

Sunan Ngudung, ayah Jafar Shodiq sebenarnya telah lama menunggu saat yang tepat untuk menaklukan Kediri. Ia sering kesal karena Kediri beberapa kali menyerang perbatasan timur Kerajaan Demak.  Juwana, daerah yang dekat dengan Demak, telah jatuh ketangan  Kediri.  Maka kesempatan yang ditunggu-tunggu pun tiba saat Sultan Trenggono memutuskan untuk melakukan penaklukan Sunda Kalapa dan Tuban.

Kedua Kota Pelabuhan itu merapakan bandar yang penting bagi Pajajaran dan Kediri. Syekh Nurullah mendapat tugas untuk menaklukan Sunda Kalapa dan wilayah Pajajaran lainnya dan Sunan Ngudung mendapat tugas menaklukan Tuban dan Kediri, serta wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah lainnya.

Saat itu  Sunan Ngudung sudah punya putra laki-laki  yang bernama Ja’far Shodiq. Dia adalah remaja yang cekatan, cedas menguasai Ilmu-ilmu Keislaman seperti ayahnya dan memiliki bakat memimpin. Oleh ayahnya sudah sering diberi tugas untuk memobilisasi rakyat guna kepentingan bela negara maupun operasi militer. Dalam penaklukan Tuban dan Kediri, Sunan Ngudung memohon kepada  Sultan Trenggono agar remaja yang berbakat itu dijadikan wakilnya. Dan Sultan pun menyetujuinya.

Dalam waktu singkat Ja’far Shodiq telah berhasil membentuk satuan-satuan tempur yang terdiri  dari para santri yang siap untuk berjihad. Setelah segala persiapan siap, Sunan Ngudung membawa pasukannya ke arah timur. Sebagai sasaran antara yang diserang lebih dulu adalah Juwana dan pantai utara Jawa Timur sampai Tuban. Dalam waktu singkat, dengan mudah  Juwana dan Tuban jatuh. Pasukan Demak segera bergerak melanjutkan penyerangan ke arah selatan menuju Kediri, pusat Kerajaan.

 Patih  Umdara di Kediri rupanya sudah mendengar jatuhnya Tuban dan Juwana ke tangan Demak. Ia segera mempersiapkan pasukannya dan bergerak ke luar kota untuk menghadang tentara Demak. Dalam usaha mempertahankan Kediri, Patih Umdara dibantu oleh dua perwira andalannya, yakni Adipati Terung II  dan Pangeran Handayaningrat. Bahkan Adipati Klungkung  dari Bali ikut berpartisipasi  berjuang  mempertahankan Kerajaan Hindu Kediri.

Maka bertemulah kedua pasukan itu di tepi Sungai Sedayu. Pertempuran hebat antara kedua pihak tak dapat dihindarkan lagi. Adipati Pengging  Handayaningrat gugur dalam pertempuran. Besar kemungkinan Ja’far Shodiqlah yang berhasil menewaskan Adipati Pengging itu. Hal ini membuat pasukan Demak semakin bersemangat. Sunan Ngudung yang ikut langsung terjun dalam pertempuran berhadapan dengan Adipati Terung II.

Dalam pertempuran itu, Sunan Ngudung agaknya ragu-ragu untuk membunuh Adipati Terung. Tetapi akibatnya malah fatal bagi dirinya.  Mungkin Sunan Ngudung masih berharap Adipati Terung II  akan berbalik arah berpihak kepada tentara  Muslim dan berpaling ke pihak Demak. Adipati Terung II ini adalah putra dari dipati Terung I yang mengabdi kepada Raja Majapahit terkahir Dyah Suraprabhawa.

Tetapi sikap ragu-ragu Sunan Ngudung ini berakibat fatal. Ia menjadi lengah. Adipati Terung II melancarkan serangan maut yang mematikan. Tubuh Sunan Ngudung  terkena hunjaman senjata tajam yang menyebabkan luka-luka pada sekujur tubuhnya. Darah pun mengalir. Nyawanya tak terselamatkan. Sunan Ngudung syahid seketika. Pasukan Demak yang tadinya bertempur penuh semangat, langsung menghentikan pertempuran.

Mereka amat sedih dan berduka cita  menyaksikan panglima perangnya gugur dalam medan pertempuran. Pasukan Kediri yang sudah terdesak segera mengundurkan diri ke dalam Kota Kediri diikuti Adipati Terung II yang berhasil menyelamatkan diri setelah berhasil menewaskan Panglima Perang   Demak.

Kita akan lihat sejenak  siapakah   Adipati Terung II yang telah  menewaskan Sunan Ngudung itu. Dalam Babad Tanah Jawi hanya disebutkan bahwa Sunan Ngudung tewas oleh Adipati  Terung yang mengabdi pada Raja Majapahit. Dapat dipastikan bahwa Adipati Terung yang menewaskan Sunan Ngudung itu bukanlah Adipati Terung yang mengabdi pada Raja Majapahit terakhir.

Sebab menurut kisah  Babad Tanah Jawi sendiri, saat Adipati Terung mengabdi pada Raja Majapahit terakhir usianya masih amat muda. Katakanlah usianya saat tahun 1478 M, ketika Majapahit runtuh sekitar  20 tahun.  Setelah Kerajaan Kediri Majapahit berdiri, dia tetap mengabdi pada Kediri dan mengakui kedaulatan Kediri atas wilayah Terung, yakni wilayah yang terletak antara Surabaya dan Mojokerto sekarang ini. Karena mengakui kedaulatan Kediri maka dia tetap menjadi Adipati Terung dan tidak diganggu gugat oleh Kediri. Katakanlah dia itu adalah Adipati Terung I.

Pada tahun 1527 M, ketika ia bertempur membela Kediri, usianya sudah 69 tahun. Tentu sebuah usia yang sudah cukup tua untuk dapat mengalahkan Sunan Ngudung  yang lebih muda yang usianya saat itu sekitar 57 tahun. Agak mustahil seorang Adipati yang sudah berusia hampir kakek-kakek mampu mengalahkan Sunan Ngudung yang lebih muda. Apa lagi dia Panglima Perang yang perkasa.

Karena itu, besar kemungkinan Adipati Terung yang menurut Babad Tanah Jawi berhasil membunuh Sunan Ngudung adalah Adipati Terung II, putra dari Adipati Terung I.  Nampaknya Adipati Terung II ini memang sebaya atau sedikit lebih muda dari Sunan Ngudung. Demikianlah kita telah mencoba melacak identitas Adipati Terung yang dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi  secara kurang lengkap itu. 

Menyaksikan ayahnya syahid dalam medan pertempuran, Ja’far Shodiq segera mengambil alih kepemimpinan. Ia memutuskan menunda penyerbuan  ke dalam Kota Kediri dan memerintahkan pasukannya untuk pulang ke Demak sambil membawa jenazah ayahnya.

Sultan Trenggono amat berduka cita dengan syahidnya Panglima Perang yang diseganinya itu. Setelah dirawat sebagaimana mestinya, jenazah Sunan Ngudung  dimakamkan di sebelah barat Masjid Demak.  

Usai pemakaman, Sultan Trenggono menunjuk Ja’far Shodiq  menggantikan kedudukan ayahnya. Dia diangkat sebagai Penghulu Masjid Demak dan Panglima Perang wilayah timur dengan tugas melanjutkan operasi penaklukan Kediri. Untuk keperluan penaklukan Kediri, Ja’far Shodiq memohon pada Sultan agar meminta bantuan pasukan dari Palembang  untuk menaklukan Kediri. Memang dalam pertempuran yang lalu ada sejumlah pasukan Demak yang syahid juga. Sementara itu tentara Demak yang dibawa  Syekh Nurullah untuk penaklukan Sunda Kalapa belum kembali.

Di samping itu agaknya Ja’far Shodiq berharap, bila ada sejumlah tentara Palembang yang ikut serta dalam ekspedisi penaklukan Kediri, Adipati Terung II yang keturunan Palembang itu, semangat  tempurnya pasti akan menurun karena harus bertempur dengan pasukan yang akan mengingatkan asal-usulnya moyangnya. Sultan Trenggono menyetujui usul Ja’far Shodiq. Dan memang tak lama kemudian datang bantuan prajurit dari Palembang. Maka operasi penaklukan Kediri di bawah Panglima Ja’far Shodiq segara dimulai.

Kerajaan Kediri segera bersiap-siap menyongsong gelombang serangan yang ke dua. Pasukan Kediri berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari kepungan tentara Demak yang datang bagaikan air bah. Setelah pengepungan beberapa hari, rupanya semangat pasukan Kediri cepat menurun. Pasukan Ja’far Shodiq berhasil menerobos benteng pertahanan Kota Kediri. Raja diiringi Patih Umdara dan sejumlah pengawalnya berhasil  meloloskan diri  menuju Sengguruh dan membuat benteng pertahanan di sana.

Pada mulanya Ja’far Shodiq beserta pasukannya  berusaha melakukan pengejaran. Tetapi melihat medan yang berat, Ja’far Shodiq tidak mau terjebak pada kemenangannya yang baru saja diraihnya. Karena itu, dia tidak meneruskan  pengejaran sampai Sengguruh. Baginya target penaklukan Kediri telah tercapai. Sultan Trenggono merasa gembira misi penaklukan Kediri berhasil. Dan Sultan semakin gembira karena ekspedisi penaklukan Sunda Kalapa oleh Syekh Nurullah juga berhasil. 


3. Sunan Kudus Ja'far Shodiq Menaklukkan Pengging


Di depan telah dikisahkan bahwa Adipati Pengging Handayaningrat gugur dalam pertempuran mempertahankan Kediri. Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa istri Adipati Handayaningrat adalah Putri Pambayun, putri pertama Putri Campa dengan Sri Brawijaya I alias Sri Kertawijaya. Dari Pernikahan itu mereka mempunya dua orang putra. Yang tertua bernama  Kebo Kenanga dan yang muda Kebo Kanigara. Setelah Majapahit jatuh, Kadipaten Pengging merupakan salah satu dari sejumlah  kadipaten yang tunduk pada kekuasaan Kediri.

Adipati Handayaningrat adalah pemeluk agama Hindu Buddha yang taat. Demikian pula putra yang keduanya, Kebo Kanigara.  Sedang Putranya  yang pertama Kebo Kenanga, sempat menjadi mualaf  dan masuk Muslim karena dakwah Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Tetapi setelah Syekh Siti Jenar ikut berdakwah ke Pengging, Kebo Kenanga berserta sejumlah kerabatnya di Pengging  menjadi pengikut setia Syekh Siti Jenar.

Begitu Kediri jatuh dan Handayaningrat gugur, Pengging berada pada posisi yang sulit. Bagi Demak sikap Pengging membingungkan. Sekalipun Kediri sudah jatuh, ternyata Kadipaten Pengging belum juga mau mengakui kedaulatan Kerajaan Islam Demak.

Sultan Trenggono kembali menugaskan  Sunan Kudus Ja’far Shodiq untuk menyelesaikan kasus Pengging. Ja’far Shodiq seorang ulama yang cakap, taat pada syariat, tegas tetapi bijaksana. Dalam  kasus Pengging Ja’far Shodiq mula-mula menempuh jalan damai. Dia berharap  Ki Ageng Pengging Kebo Kenanga secepatnya mengakui kedaulatan Demak, hingga tak perlu ada konflik bersenjata. Demak sendiri secara de facto sudah mengijinkan Ki Ageng Pengging Kebo Kenanga meneruskan jabatan ayahnya.

Sikap lunak Demak terhadap Pengging sebenarnya dapat dimengerti. Pada waktu Demak menyerbu Kediri, Kebo Kenanga menolak ajakan ayahnya untuk ikut berperang membela Kediri. Menurut Serat Kanda pada awalnya  Kebo Kenanga  sudah mengikuti ajakan ayahnya. Tetapi  karena saran dari gurunya Syekh Siti Jenar, Kebo Kenanga tidak mau meneruskan berperang membela Kediri.

Bahkan dalam salah satu versi disebutkan, bahwa dalam pertempuran itu Kebo Kenanga berbalik membela Demak melawan Kediri. Berbeda dengan adiknya Kebo Kanigara, dia gigih membela Kediri bersama ayahnya. Tetapi setelah Kediri jatuh Kebo Kanigara  melarikan diri bersembunyi di puncak Merapi. Menurut kisah dalam buku-buku babad, di sana Kebo Kanigara bertapa di dasar kawah gunung Merapi, hingga tubuhnya terbakar dan menemui ajalnya

Sikap Kebo Kenanga yang tidak membela Kediri saat diserbu Demak, menyebabkan Demak pada mulanya bersifat lunak terhadap Pengging. Bahkan Pengging diberi tenggang waktu tiga tahun untuk menentukan sikapnya. Tetapi sampai tenggang waktu yang telah ditetapkan ternyata Pengging belum mau juga mengakui kedaulatan Demak. Maka tidak ada jalan lain kecuali harus dilakukan ekspdisi militer untuk menaklukan Pengging. Walapun begitu  Ja’far Shodiq masih mengirimkan utusan lagi untuk kembali mengingatkan Pengging atas keonsekwensi dan akibatnya bila tak mau mengakui kedaulatan Demak.

Karena sampai batas waktu yang telah ditetapkan Pengging belum juga menentukan sikap, Demak segera mengambil langkah untuk menduduki Pengging dan menangkap Ki Ageng Pengging dan penasihatnya, Syekh Siti Jenar. Pada tahun 1530 M, setahun setelah penaklukan  Madiun, Ja’far Shodiq dengan sejumlah pasukannya bergerak ke arah selatan menuju Pengging.

Sebenarnya pemimpin Pengging yang lain seperti Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang, telah mengingatkan  Ki Ageng Pengging dan Syekh Siti Jenar agar mau mengakui kedaulatan Demak. Tetapi saran itu ditolak oleh Ki Ageng Pengging dan Syekh Siti Jenar.  Maka ketika Demak menyerbu Pengging, hampir tidak ada perlawanan yang berarti, karena sikap pemimpin Pengging yang terpecah.

Dengan mudah Pengging dapat ditaklukan. Ki Ageng Pengging  yang mencoba bertahan dengan pasukan pengawalnya yang tak seberapa berhasil ditangkap. Ja’far Shodiq langsung melaksanakan eksekusi hukuman mati  atas Ki Ageng Pengging  saat itu juga.

Sementara itu guru mistiknya Syekh Siti Jenar berhasil lolos dan menyelamatkan diri. Dia melarikan diri ke Kediri, kemudian ke Cirebon. Tetapi akhirnya  setelah bersembunyi hampir lima belas tahun, dia tertangkap juga di  sana dan dieksekusi  mati (1545 M). Pelaksana eksekusi mati atas Syekh Siti Jenar, juga dilakukan oleh   Sunan Kudus Ja’far Sidiq yang sengaja datang ke Cirebon  atas perintah Sultan Demak.



4 Sunan Kudus Ja'far Shodiq Membangun Masjid Kudus


Sejarawan   Belanda De Graaf memberitahukan kepada kita bahwa pada tahun 1543 M, Sunan Kudus mulai membangun masjid di Kudus. Kemudian dia meletakkan diri dari jabatan Penghulu dan Imam Besar Masjid Demak. Konon Sunan Kudus Ja’far Shodiq ingin lebih berkonsentrasi kepada soal-soal dakwah dan pengembangan  agama Islam di tempat tinggalnya. Sultan Trengggono mengabulkan permintaan itu dan sebagai penggantinya diangkat Sunan Kalijaga yang sudah beberapa lama menjadi penasihat Sultan Trenggono dan bertempat tinggal di Kadilangu setelah pindah dari Cirebon.

Maka dengan resmi sejak tahun 1543 M, Sunan Kalijaga menjabat sebagai  Penghulu Masjid Demak . Dengan mundurnya Sunan Kudus sebagai Penghulu dan Imam Besar Masjid Demak, maka pengaruh Sunan Kalijaga makin menguat. Agaknya sejak tahun 1543 M, saat Sunan Kalijaga memegang jabatannya, corak Islam Kerajaan Demak mulai terbuka terhadap budaya lokal. Pementasan wayang kulit dengan iringan gamelan  semakin sering dipentaskan di halaman depan Masjid Demak. Demikian pula acara Garebeg  Maulud dan Syawal yang  merupakan cikal bakal perayaan Sekaten di Kraton Solo, Yogya dan Cirebon, semuanya berawal dari Masjid Demak pada masa Sunan Kalijaga menjadi Penghulu Masjid Demak.

Sementara itu sejak mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Penghulu Masjid Demak,  Ja’far Shodiq lebih banyak bermukim di Kudus. Dan sejak itulah ia dikenal sebagai Sunan Kudus. Kota Kudus sendiri semula merupakan sebuah desa yang sepi. Tetapi dengan berdirnya Masjid Kudus dan Pesantren yang didirikan Sunan Kudus, tempat yang semula sepi itu, lama-kelamaan menjadi ramai. Banyak pedagang yang berdatangan dan ikut bermukim di kota yang baru berkembang itu.

Konon tanah untuk pembangunan Masjid Kudus berasal dari tanah wakaf yang diserahkan oleh seorang China Muslim yang bernama The Ling Sing. Dia terkagum-kagum  kepada kedalaman Ilmu-ilmu Keislaman yang dimiliki oleh Sunan Kudus. Bahkan bisa jadi ia pun banyak belajar dan mendalami Islam dari Sunan Kudus, hingga ia terkenal dengan sebutan Kiai  Telingsing.

Kiai Telingsing ini, memiliki ketrampilan di bidang seni ukir dan pahat yang diajarkannya kepada para santri dan penduduk Kudus yang berminat. Kini daerah Kudus terkenal pula dengan seni pahat dan ukiran, seperti halnya Jepara, berkat ilmu seni pahat dan seni ukir Kiai Telingsing yang diwariskan kepada penduduk Kudus.

Sering kita dengar kisah, bahwa Sunan Kudus adalah seorang wali yang amat taat pada syariat hingga menolak budaya lokal dan karenanya berbeda paham dengan Sunan Kalijaga. Sebenarnya pandangan ini kurang tepat.

Ternyata   Sunan Kudus juga terbuka kepada budaya lokal. Sebagai bukti corak arsitektur Mesjid Kudus tidak mengandung unsur arsitektur masjid-masjid di Timur Tengah. Padahal Sunan Kudus Ja’far Shodiq pernah menunaikan ibadah haji, hingga pastilah pernah melihat corak masjid-masjid di Timur Tengah dari dekat.  Tetapi corak arsitektur Masjid Kudus yang dibangunnya, diwarnai corak arsitektur bangunan-bangunan tempat ibadah di Jawa pada masa pra Islam.

Secara keseluruhan corak bangunan Masjid Kudus mirip bangunan sebuah pagoda, yakni bangunan tempat ibadah  orang-orang China non Muslim. Bukti lainnya, Sunan Kudus melarang para santrinya memakan daging sapi. Padahal daging sapi tidak diharamkan dalam ajaran Islam. Larangan itu dimaksudkan untuk menghormati penduduk sekitar Kota Kudus yang saat itu masih banyak yang memeluk agama Hindu. Inilah bentuk toleransi gaya Sunan Kudus. Hingga sekarang ini larangan Sunan Kudus itu masih diikuti oleh sebagian besar penduduk Kudus. Karena itu di Kota Kudus,  kerbau lebih banyak dipotong dari pada sapi, terutama pada  Hari Raya Qurban. Masjid Kudus selesai dibangun pada tahun 1549 M.

Walapun Sunan Kudus sudah mengundurkan diri sebagai Penghulu Masjid Demak, nampaknya dia belum melepaskan jabatannya sebagai Panglima Perang. Hal ini terbukti bahwa setelah tahun 1543 M, masih ada operasi militer ke Jawa Timur, yakni Penaklukan Sengguruh. Besar kemungkinan pada saat penaklukan Sengguruh Sunan Kudus masih memegang jabatan Panglima Perang Wilayah Timur.

Hanya setelah Sengguruh jatuh pada tahun 1545 M, rupanya barulah Sunan Kudus benar-benar mundur dari semua jabatan publik yang dipeganggnya di Kerajaan Islam Demak. Eksekusi Syekh Siti Jenar di Cirebon, nampaknya juga terjadi sekitar tahun 1545 M, yakni setelah Sunan Kudus  menyelesaikan tugas akhirnya menaklukan Sengguruh, walapun sudah melepaskan jabatan Penghulu dan Imam Besar Masjid Demak.

Pada saat Demak melakukan penyerbuan ke Panarukan  pada tahun 1546 M, Sunan Kudus tidak disebut-sebut lagi sebagai Panglima Perang. Bahkan disebutkan dalam sejumlah sumber, Sultan Trenggonolah yang langsung memimpin operasi penaklukan  Panarukan. Malah menurut  Husein Djajadiningrat, Syekh Nurullah, iparnya yang saat itu berada di Banten  dimintai bantuan agar ikut serta dalam operasi militer  penaklukan Panarukan. Ekspedisi ini gagal, karena Sultan Trenggono terbunuh saat berada di Pasuruan.

Berbagai sumber menyebutkan bahwa usia Sunan Kudus cukup panjang. Ada yang mnyebutkan beliau wafat pada tahun 1628 M dan jenazahnya dimakamkan di samping Masjid Kudus. Kapan Sunan Kudus dilahirkan? Ceritera-ceritera babad tak ada satupun yang mengungkapkannya. Tetapi bila pendapat De Graaf dan Slamet Mulyana kita jadikan pegangan, yaitu bahwa  penaklukan Kediri terjadi pada tahun 1527 M. Dan berdasarkan  kisah-kisah babad Sunan Kudus saat itu masih  remaja katakanlah 25 tahun. Maka Sunan Kudus Ja’far Shodiq dilahirkan kira-kira pada tahun 1502 M.

Konon Sunan Kudus menikah dengan putri Sunan Bonang. Tetapi sumber lain menyebutkan bahwa Sunan Kudus menikah dengan putri Adipati Terung II. Adipati Terung II adalah  perwira pasukan Kediri yang menyebabkan gugurnya Sunan Ngudung, ayah Sunan  Kudus.

Nampaknya Sunan Kudus telah memaafkan Adipati Terung II, yang setelah Kediri jatuh, berpihak kepada Demak, masuk Islam dan ikut serta dalam ekspdisi penaklukan wilayah lain di Jawa Timur setelah Kediri jatuh, seperti Lamongan, Surabaya, Pasuruhan, Mamenang dan Pananggungan. Bahkan salah satu putri Adipati Terung II diserahkan kepada Sunan Kudus untuk diperistri.[]



  Catatan :
Artikel berikutnya : Sunan Muria - Radaen Umar Said
http://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-walisongo-09-sunan-murio-raden.html 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar