Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Rabu, 22 Juni 2016

Sejarah Walisongo (10-1): Syekh Siti Jenar - Raden Hasan Ali Saksar (Bagian -1)



Syeh Siti Jenar, Penentang Dakwah Walisongo dan Penggagas Islam Kejawen



1 Riwayat Hidup Syekh Siti Jenar.

Dalam sejarah proses Islamisasi di Jawa, Dewan Walisongo mendapat tantangan yang berat dari seorang cendekiawan dan intelektual  Jawa penganut Hindu Buddha Tantrayana yang amat populer di kalangan para pengikutnya, Syekh Siti Jenar. Jejak sejarahnya telah lenyap, karena pada tahun 1545 M, Syekh Nurullah Sunan Gunungjati telah memerintahkan putranya Pangeran Pasarean membongkar dan memindahkan makam Syekh Siti Jenar dari  pemakakam umum  Pamlaten di pinggir Kota Cirebon, ke tempat yang dirahasiakan. Jenazah itu terpaksa harus dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan agar tidak dijadikan obyek pemujaan dan penyembahan oleh pengikut fanatiknya yang berdatangan dari berbagai penjuru. Pengikutnya berdatangan bukan hanya dari Kediri dan Jawa Timur. Banyak juga yang berdatangan dari Jawa Tengah, Jawa Barat bahkan Lampung.


Walalupun  makamnya telah dirahasiakan, tetapi  gagasannya  yang berisi ajaran  Manunggaling Kawula Gusti, terus hidup dan berkembang disebarkan oleh para cantrik pengikut setianya. Ajaranya itu dipersepsikan menjadi semacam doktrin Islam Kejawen yang dipeluk oleh Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram dan Empat Kerajaan pecahan Mataram, yakni Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Siapakah  Syekh Siti Jenar yang ajarannya banyak memukau para priyayi dan orang-orang  Jawa, bahkan sampai pada jaman kita sekarang ini ?.


Riwayat hidupnya tidak mudah  dilacak, tetapi dari berbagai sumber yang tertulis dalam berbagai babad dan kronik lokal yang berisi kisah-kisah Syekh Siti Jenar dan setelah menghilangkan berbagai unsur mistik, mitos dan legenda  yang tidak rasional, sebenarnya riwayat hidup Syekh Siti Jenar masih  dapat direkonstruksikan.

Syekh Siti Jenar lahir dengan nama Saksar, demikian Serat Walisana menyebutkan, putra seorang brahmana raja yang bernama Resi Bungsu. Resi Bungsu ini adalah salah seorang pengungsi dari Majapahit yang menyelamatkan diri  saat Majapahit jatuh pada tahun 1478 M, akibat serangan  Kadipaten Keling. Dia seorang pendeta Syiwa Buddha pengikut aliran Tantrayana yang saat itu memiliki banyak pengikut.


Resi Bungsu sendiri berasal dari Kediri. Pada awalnya  Resi Bungsu mengabdi pada Raja Majapahit Dyah Surabrabhawa (1466- 1478 M). Dia bersahabat dengan sejumlah pendeta yang terkenal saat itu, seperti Pendeta Syiwa Murti. Nampaknya Syiwa Murti tidak mengabdi pada Raja Majapahit, tetapi mengabdi pada Adipati Keling Girindrawardhana Dyah Wijayakarana. Adipati Keling ini adalah putra bungsu Sri Kertawijaya (1447-1451 M), sedang Dyah Suraprabhawa, Raja Majapahit terakhir adalah adik Sri Kertawijaya. Dengan demikian  Raja Majapahit itu adalah paman Adipati Keling. Karena Adipati Keling adalah putra bungsu Sri Kertawijaya, wajar saja jika dia merasa  punya hak atas tahta  Kerajaan Majapahit. Bisa jadi Pendeta Syiwa Murti inilah yang memperkenalkan Dyah Wijayakarana dengan Brahmana Ganggadara yang tinggal di Jinggan.  


Setelah Dyah Suraprabhawa  mangkat, maka terjadilah perebutan tahta di antara para cucu Wikramawardana(1389-1429 M). Keturunan Dyah Surabrabhawa dan pengikutnya rupanya merupakan pihak yang dikalahkan dan ditaklukkan oleh Adipati Keling Dyah Wijayakarana yang dibantu  putranya, Wijayakusuma dan dibantu juga oleh  Brahmana Ganggadara. Nampaknya  Syiwa Murti memilih berpihak kepada  Adipati Keling.

  
Resi Bungsu yang kebetulan pendukung keturunan Dyah Suraprabhawa, beserta sejumlah pengikutnya berhasil meloloskan diri. Mereka menyelamatkan diri dan meninggalkan Majapahit  menuju Cirebon. Kenapa ke Cirebon dan tidak pulang saja ke Kediri? Bukankah Resi Bungsu berasal dari Kediri? Tentu saja tidak.

Sebab Kediri  terlalu dekat dengan Keling. Lagi pula di Kediri banyak pendukung Adipati Keling. Resi Bungsu dan pengikutnya tidak mau dibantai di kampung halamannya sendiri. Satu-satunya jalan yang aman adalah menuju Tuban atau Gresik dan dari sana berlayar ke arah  barat meninggalkan Jawa Timur. Cirebon menjadi pilihan, karena mereka mengira Cirebon masih di bawah Kerajaan Hindu Pajajaran. Lagi pula Cirebon tidak terlalu jauh dari Tuban maupun  Gresik.


Syekh Siti Jenar alias Saksar tak mungkin lahir sebelum tahun 1478 M. Paling cepat Raden Saksar baru lahir pada tahun 1485 M. Tujuh tahun setelah Resi Bungsu tinggal di Cirebon merupakan waktu yang cukup  bagi Resi Bungsu dan pengikutnya untuk membangun rumah tangganya kembali setelah kehidupan ekonominya stabil dan mantap di lingkungan yang sama sekali asing dan baru itu.


Tentu di luar dugaan Resi Bungsu dan pengikutnya bahwa ternyata  Cirebon saat itu bukanlah kota Hindu atau Buddha. Tetapi sudah menjelma menjadi kota santri. Di situ sudah berdiri sebuah pesantren yang terkenal yakni Pesantren Gunungjati. Dalam kronik lokal disebutkan bahwa pada pertengahan abad 15 M, di Cirebon sudah ada pesantren yang didirikan oleh Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama pendatang dari Pasai. Selain itu ada lagi  pesantern rintisan Syekh Nurjati, juga ulama dari Pasai. Pesantren Syekh Datuk Kahfi(1420) lebih lama dari pada Pesantren Syekh Nurjati(1440 M).


Santri Syekh Nurjati, berasal dari berbagai latar belakang agama. Banyak siswanya yang berasal dari keluarga Hindu. Walang Sungsang dan Rara Santang misalnya, adalah santriwan dan santriwati yang berasal dari keluarga Hindu. Konon dari Pajajaran. Tentu saja mereka menjadi muslim dan muslimah karena belajar di pesantren.Pesantren Syekh Datuk Kahfi, karena mengajarkan tasawuf gullah, kemudian diambil alih oleh Sayyid Es dan putranya Sayyid Zen. Sejak itu pesantren itu bernama Pesantren Gunungjati. Bagi Resi Bungsu tak ada pilihan lain selain pesantren untuk pendidikan putranya. Di Cirebon sudah tidak ada padepokan Agama Hindu-Buddha. Bahkan penguasa Cirebon terakhir yang beragama Hindu, seperti Ki Gedeng Tapa dan Ki Gedeng Alang-Alang, telah menyerahkan kekuasaannya terhadap  Sayyid Es. Sayyid Es dalam tradisi lokal tidak lain adalah Syekh Nurjati itu. Dia adalah ayah Sayyid Zen atau Syekh Abdul Qodir.


Karena itu Resi Bungsu terpaksa  merelakan anaknya Raden Saksar berguru di Pesantren Gunungjati. Tentu saja bukan dengan maksud agar  anaknya itu menjadi muslim. Paling banter hanya berpura-pura muslim. Tujuannya adalah agar supaya anaknya itu kelak akan bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Lagi pula tidak ada salahnya punya pengetahuan agama Islam, tanpa harus menjadikan Islam sebagai keyakinan agamanya. Tambahan pula dengan belajar di pesantren putranya itu akan memiliki ketrampilan dalam bahasa Arab, menulis huruf Arab dan menulis serta membaca kitab-kitab berbahasa Melayu yang saat itu ditulis dalam huruf Arab Melayu atau yang dikenal sebagai huruf Jawi atau Pegon.Pendeknya banyak keuntungan yang akan diraih oleh putranya itu bila masuk pesantren. Soal keyakinan, Resi Bungsu bertekad akan mendidiknya sendiri di rumah dengan  keyakinan Hindu-Buddhanya.


Ternyata Raden Saksar adalah siswa yang berbakat dan cerdas. Dia adalah seorang otodidak yang mampu belajar mandiri. Karena itu setelah lama menimba ilmu di Pesantren Gunungjati, kira-kira pada usia 15 tahun  Saksar sudah menguasai berbagai ilmu  syariat Islam. Di  rumah, ayahnya tetap mengajarkan agama Hindu Buddhanya dengan maksud agar Saksar  tetap dalam keyakinan agama nenek moyangnya. Memang pada mulanya Resi Bungsu memasukkan Saksar ke pesantren bukan agar supaya Saksar  menjadi  santri. Tetapi ternyata Saksar benar-benar tertarik pada agama Islam. Bahkan pada usia 16 tahun dia menambahkan nama Islam di depan nama Hindu-Buddhanya yang merupakan  nama pemberian orang tuanya. Nama Islam yang dipilih adalah Hasan Ali. Dengan demikian namanya menjadi Hasan Ali Saksar. Agaknya pada usia inilah dia mulai mendalami ajaran tasawuf dari putra Syekh Datuk Kahfi maupun murid-murid Syekh Datuk Kahfi yang lain.


Tentu saja Resi Bungsu marah bukan main. Sebab Resi Bungsu memberi nama Saksar karena berharap agar  anaknya kelak bisa menjadi Pendeta Hindu Buddha seperti dirinya. Barangkali  Resi Bungsu berharap pula agar kelak Saksar dapat mengabdikan diri pada Raja Kediri atau Raja Pajajaran. Ternyata Saksar malah tertarik pada Islam. Maka diusirlah Saksar  dari rumahnya, karena dianggap telah meninggalkan agama orang tuannya. Dalam berbagai kisah babad, diceriterakan bahwa karena marah Resi Bungsu yang sakti itu telah mencipta anaknya menjadi seekor cacing, membungkusnya dengan tanah liat, lalu membuangnya ke sebuah danau. Mungkinkah manusia diciptakan menjadi cacing? Jelas tidak mungkin. Kisah itu hanya sebuah simbol saja. Mari kita cari makna simbolis dibalik kisah ini.


Danau adalah sumber air. Air dalam filosofi Hindu adalah lambang ilmu. Jadi danau bermakna sebagai sumber ilmu., tempat mencai ilmu atau padepokan. Dengan kata lain yang dimaksud dengan danau dalam kisah ini adalah padepokan atau tempat seorang pendeta Hindu mengajarkan ilmunya. Dibungkus dengan lumpur dan dilemparkan ke dalam danau agar tenggelam di dasar danau. Maksudnya adalah Saksar diusir, disuruh pergi berguru ke sebuah padepokan atau tempat pendeta Hindu menetap, tinggal lama di sana untuk belajar dan tidak boleh pulang jika belum menguasai betul kedalaman dari ilmu agama Hindu-Buddha. Jika dia bisa menguasai  ajaran Hindu-Buddha secara mendalam, maka Resi Bungsu yakin   Saksar  akan kuat lagi, dan layak menjadi manusia, tidak lemah keyakinannya seperti lemahnya seekor cacing. Kenyataan bahwa Saksar tertarik pada ajaran Islam, bagi Resi Bungsu menunjukkan bahwa jiwa dan keyakinan Hindu Buddha Saksar masih lemah, selemah cacing.   


Memang sebenarnya Saksar akhirnya dikirim ke Kediri untuk belajar kepada sahabatnya  Pendeta Syiwa Murti. Dari Pendeta Syiwa Murti inilah  Saksar belajar konsep  Manunggaling Kawula Gusti dalam visi agama Hindu Buddha. Syiwa Murti sendiri adalah pendeta yang cerdas yang meneruskan pengabdiannya kepada putra Adipati Keling, Raja Ranawijaya (1486- 1527 M) dari Kediri. Dia menulis naskah Nawa Ruci yang amat indah dilihat dari sudut kesusastraan  yang bercorak Hindu. Nawa Ruci ini berkisah tentang Bima dalam perjalanan mistiknya untuk menemukan air suci yang disebut Maha Parwitra. Dalam proses pencarian itu Bima bertemu dengan Dewa Nawa Ruci di tengah samudra. Bima  kemudian diajar  Ilmu Pelepasan oleh Dewa Nawa Ruci. Dengan ilmu itu seorang manusia akan  bisa manungal dengan Tuhannya. Kelak pada masa kebangkitan kesusastraan Kraton Surakarta pada  akhir abad 18 M,  naskah Nawa Ruci itu digubah oleh Pujangga Yasadipura I  menjadi  Serat Dewa  Ruci atau Bima Suci.


Dapat dipastikan Syekh Siti Jenar telah menyalin naskah  Nawa Ruci  untuk dirinya sendiri, kemudian  disalin lagi oleh murid-muridnya yang lain. Pada masa Kerajaan Pajang,  salinan naskah  ini sudah masuk perpustakaan Kraton. Dari Kraton Pajang, salinan naskah  Nawa Ruci itu tiba di Kraton Mataram dan akhirnya sampai di Perpustakan Kraton Surakarta. Dari sinilah Yasadipura I menggubahnya menjadi Serat Dewa Ruci  yang banyak dipentaskan oleh dalang dalam pentas wayang kulit. Banyak yang menganggap  Kisah Dewa Ruci adalah ciptaan Sunan Kalijaga. Jelas anggapan ini keliru. Ketika naskah ini disalin oleh Yasadipura I, Sunan Kalijaga sudah wafat.


Selesai belajar dari Pendeta Syiwa Murti, Hasan Ali Saksar pergi ke Giri dan belajar mistik Ketuhanan dalam visi  ajaran Islam. Sunan Giri dan keturunannya adalah para penulis yang hebat pada jamannya. Perpustakaan Giri merupakan perpustakaan yang paling lengkap pada masa itu. Hubungan yang baik antara Giri dan Pasai, menyebabkan Pesantren dan Kedaton  Giri dengan mudah mendapatkan salinan kitab-kitab Keislaman dari Pasai, termasuk di antaranya salinan kitab-kitab  tasawuf. Dapat dipastikan kitab tasawuf Al Ghazali Ihya Ulumudin sudah dimiliki Giri. Dan Sunan Giri  sendiri dalam pandangan tasawufnya sepenuhnya berpegang pada ajaran Al Ghazali, sehingga selamat dari tasawuf gullah atau tasawuf yang menyimpang. Pada masa itu, Sunan Giri dan para wali sudah mengetahui adanya tasawuf yang menyimpang yang bersumber dari ajaran Al Hallaj. Besar kemungkinan kitab tasawuf karangan Al Hallaj, At Thawwasin yang berisi ajaran tentang Hulul atau Ittihad telah sampai pula di perpustakan Giri. Rupanya  pada saat tinggal di Giri inilah Hasan Ali Saksar berhasil mempelajari dan mendalamai ajaran tasawuf Al Hallaj secara sembunyi-sembunyi, sehingga corak mistik Ketuhanannya bersesuaian  dengan ajaran  Ittihad atau Hulul dari Al Hallaj.

Akhirnya Hasan Ali Saksar meninggalkan Giri dengan keyakinan yang lebih mantap pada mistik Ketuhanan Al Hallaj maupun Syiwa Murti. Dia pun mulai melakukan sintesa dan memadukan kedua ajaran tersebut dengan menggunakan idiom-idiom dalam bahasa Arab maupun Jawa.  Dia pulang ke Cirebon setelah merantau hampir dua windu.


Pada saat itu usianya sudah hampir empat windu, yakni  sekitar 30 tahun. Ayahnya Resi Bungsu sudah tua dan sakit-sakitan, akhirnya meninggal. Tetapi bisa jadi Resi Bungsu bangga karena anaknya itu sudah mengusai ilmu mistik Ketuhanan yang cukup tinggi, bahkan melampaui dirinya yang hanya menguasai mistik Ketuhanan dalam visi agama Hindu Buddha.  Tentu  Resi Bungsu amat bangga dan tidak lagi menganggap anaknya itu  seperti  cacing yang lemah. Setelah ayahnya meninggal, Hasan Ali Saksar masih tetap tinggal di Cirebon. Agaknya dia tinggal di Cirebon antara tahun 1515- 1525 M. Pada tahun 1515 M itu juga dia merubah namanya menjadi Abdul Jalil, sebuah nama mistik yang Islami. Abdul berarti hamba, Jalil berarti Gusti yang berkuasa atau Tuhan. Jadi Abdul Jalil mengandung makna Hamba Tuhan. Bila diungkapkan dalam bahasa Jawa menjadi Kawula-Gusti.


Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon maupun kronik dari tradisi lokal Cirebon mengungkapkan bahwa pada tahun 1420 M, berdatangan ke Cirebon rombongan ulama berasal dari Pasai pimpinan Syekh Datuk Kahfi  bersama teman-temannya antara lain Syekh Abdurachman, Syekh Abdurahim dan Syekh Baghdad. Merekan semua adalah ulama-ulama pengikut tasawuf gullah yang mengajarkan Ilmu Al Haq, yakni Persatuan Hamba dan Tuhan. Di Cirebon mereka berhasil mendirikan Pesantren Syekh Datuk Kahfi. Tetapi karena mengajarkan tasawuf gullah, pada paruh ke dua abad ke -15 M, Sayyid Es beserta putranya Sayyid Zen berhasil menutupnya dan mengubahnya menjadi Pesantren Gunungjati. Sayyid Zen Raden Abdul Qodir memegang kendali Pesantren Gunungjati, hingga dia dikenal sebagai Sunan Gunungjati . Kita akan mnyebutnya dia sebagai Sunan Gunungjati Senior atau Sunan Gunungjati Sepuh. Sunan Gunungjati Senior ini yang dalam Serat Walisongo identik dengan Sayyid Zen Raden Abdul Qodir atu Syekh Abdul Qodir.. Sedang dalam tradisi Jawa Barat dan Cirebon, agaknya  Sunan Gunungjati Senior ini identik dengan Syarif Hidayatullah. Walapun para mantan santri Syekh Datuk Kahfi sudah tidak memegang pucuk pimpinan Pesantren Gunungjati, tetapi mereka tetap aktif menggelar sarasehan-sarasehan dan pengajian di tengah-tegah masyarakatnya. Ke dalam komunitas inilah Abdul Jalil nampaknya bergabung saat dia kembali ke Cirebon setelah selesai berguru di Jawa Timur. Dengan demikian pandangan-pandangan taswuf Abdul Jalil semakin mendalam.


Pada tahun 1521 M, Portugal dari Malaka menyerbu Pasai. Akibatnya banyak ulama-ulama Pasai yang pergi mengungsi ke daerah lain yang lebih aman, antara lain ke Aceh. Tetapi ada pula di antara mereka yang hijrah ke Jawa, antara lain ke Cirebon. Tahun 1522 M, merupakan tahun yang penting bagi aktivitas kegamaan di Cirebon. Pada tahun itu Syekh Nurullah, ulama Pasai yang meninggalkan Pasai tahun 1521 M, sepulang dari menunaikan ibadah haji ke Makkah, hijrah pula  ke Cirebon. Dia tinggal di Cirebon bersama adik perempuannya Retno Siti Jenab. Pada tahun itu pula Sunan Kalijaga yang baru pulang dari Kampung Upih, Malaka  dan bergelar Syekh Malaya, menuju Cirebon dan  tinggal di sana. Karena banyaknya pendatang baru dari Pasai ke Cirebon yang rata-rata memiliki Ilmu Keislaman yang cukup maju, kehidupan keagamaan Islam  di situ pun meningkat dan semakin semarak.


Pusat aktivitas Keislaman di Cirebon pada saat itu ada  di Pesantren Gunungjati, yang dipimpin Syekh Abdul Qodir. Tapi nampaknya tidak berapa lama setelah Syekh Nurullah tiba di Cirebon, dia segera mengambil alih kepemimpinan pesantren Gunungjati itu ke bawah kendalinya. Kemungkinan besar Syekh Abdul Qodir  Sunan Gunungjati Senior ini, sudah tua.  Kemungkinan lain, Syekh Nurullah menikahi putri bungsunya, sehingga dia tidak ragu-ragu menyerahkan pimpinan Pesantren Gunungjati di bawah kendali Syekh Nurullah.

Hubungan Syekh Nurullah dengan Sunan Kalijaga juga menjadi semakin erat, karena Sunan Kalijaga menikahi  adik perempunan Syekh Nurullah yang bernama Retna Siti Jenab. Pada tahun 1524 M, Syekh Nurullah lebih sering tinggal di Demak untuk membantu Raja Demak Trenggono. Dalam waktu singkat kepribadian, keulamaan dan keilmuan Syekh Nurullah menarik hati Trenggono. Karena itu Syekh Nurullah diangkat menjadi penasihat  Raja dalam urusan keagamaan. Bahkan Syekh Nurullah akhirnya dinikahkan dengan adik perempuan Trenggono, dan diangkat menjadi anggota Dewan Walisongo. Konon yang memberi gelar Sultan kepada Trenggono adalah Syekh Nurullah. Satu tahun setelah Syekh Nurullah menikahi adik Sultan Trenggono, lahirlah putranya yang pertama, Hassanudin(1525 M). Kelak dia mejadi penguasa Banten. Putranya yang kedua Pangeran Pasarean, kelak menjadi Penguasa Cirebon mewakili Syekh Nurullah. 


Pada awal dasa warsa ke tiga  abad ke 16 M itu,  karena Sunan Kalijaga, Abdul Jalil dan Syekh Nurullan tinggal di Cirebon, dapat dipastikan mereka bertiga saling mengenal. Dan mereka pun sering bertemu untuk mendiskusikan masalah-masalah agama. Tentu saja yang paling menarik minat mereka sebagai cendekiawan dan intelektual pada jaman itu adalah soal-soal mistik Ketuhanan. Hanya saja setelah Syekh Nurullah lebih banyak tinggal di Demak karena kesibukannya, maka dua cendekiawan yang masih menetap di Cirebon hanyalah Abdul Jalil dan Sunan Kalijaga saja. Dengan seringnya Syekh Nurullah tinggal di Demak, teman diskusi Abdul Jalil di Cirebon hanyalah Sunan Kalijaga. Karena Syekh Nurullah, Sunan Kalijaga dan Abdul Jalil karena pernah  sama-sama tinggal di Cirebon, maka mereka  sebenarnya bersahabat akrab. Usia Abdul Jalil delapan  tahun lebih tua dari  Sunan Kalijaga dan lima tahun lebih tua dari Syekh Nurullah.


Antara Sunan Kalijaga dan Abdul Jalil juga memiliki  banyak persamaan. Mereka berdua sama-sama cerdas, sama-sama memiliki bakat dalam mistik, ilmu makrifat dan tasawuf. Dan juga sama-sama punya minat yang mendalam terhadap kebudayaan Jawa. Karena itu mereka berdua sama-sama penggemar pentas wayang kulit yang bersumber dari  kisah-kisah Mahabharata maupun Ramayana. Sunan Kalijaga adalah  keturunan Bupati Tuban, yang berarti berasal dari golongan  priyayi atau ksatria, sedang Abdul Jalil berasal dari keturunan Pendeta Raja Kerajaan Majapahit. Jadi berasal dari golongan  brahmana. Dengan demikian kedua-duanya berasal dari lapisan atas masyarakatnya. Dan yang lebih penting lagi ke dua-duanya sama-sama memiliki ketertarikan  pada paham Persatuan Hamba-Tuhan yang diajarkan para mistikus Islam. Bedanya adalah Abdul Jalil menimbanya dari karya  Hassan Mansur Al Hallaj, melaui salinan kitab At Thawwasin yang dipelajarinya di Pesantren Giri. Sedangkan Sunan Kalijaga menimbanya dari karya Jalaluddin Rumi, mungkin lewat salinan kitab Mastnawi saat beliau berguru di Kampung Upih.


Karena itu corak pandangan mistik Abdul Jalil cenderung kepada paham hulul, ittihad atau reinkarnasi. Sedangkan corak mistik Ketuhanan Sunan Kalijaga cenderung kepada ajaran Wahdat al Wujud. Perbedan lain barangkali adalah Sunan Kalijaga tidak menolak syariat Islam sedangkan Abdul Jalil karena pengaruh Syiwa Murti dan latar belakang keluarganya, cenderung menolak syariat Islam. Hanya saja saat itu, Abdul Jalil masih menyembunyikan kecenderungannya itu. Secara lahiriah Abdul Jalil masih tekun menjalankan syariat Islam seperti salat, puasa dan lainnya lagi, dengan maksud agar dapat diterima oleh komunitas santri yang ada di sekelilingnya.


Suatu saat Sunan Kalijaga, mengajak Abdul Jalil, sahabatnya itu pergi ke Tuban. Rupanya  Sunan Kalijaga rindu kampung halaman setelah lama merantau. Ayahnya Adipati Wila Tikta sudah meninggal. Ipar dan  saudara sepupunya Raden Pamalad sudah menjadi Adipati Tuban, menggantikan mertuanya. Kesempatan ke Tuban itu, digunakan oleh mereka berdua mengunjungi Sunan Bonang di Pesantren yang didirikannya. Dalam pertemuan itu terjadi diskusi antara mereka bertiga. Topik diskusi adalah ilmu makrifat dengan topik ajaran Persatuan Hamba Tuhan yang saat itu tengah populer menjadi bahan kajian para wali sebagai paham yang harus ditangkal karena diaggap sesat. Dalam diskusi itu, baik Abdul Jalil maupun Sunan Kalijaga banyak mengajukan pertanyaan bagaimana pandangan dan sikap Sunan Bonang terhadap konsep ajaran Persatuan Hamba Tuhan.

Paham makrifat Sunan Bonang sama dengan paham makrifat para wali lainnya, yakni berpegang pada ajaran Al Ghazali yang taat  syariat. Sunan Bonang dengan tegas menjelaskan bahwa paham  Hulul, Ittihad, Wahdat al Wujud, dan Manunggaling Kawula-Gusti adalah paham makrifat atau tasawuf yang sesat, menyimpang dari ajaran Rasululllah saw. Sunan Bonang mengingatkan kepada ke dua cendekiawan muda itu agar berhati-hati pada ajaran tasawuf yang bersifat gullah atau menyimpang itu.


“Hamba dan Tuhan, memang akan bertemu kelak di akhirat. Melalui dzikir dan doa yang tekun, seorang hamba juga bisa mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Tetapi di puncak maqom dalam perjalanan makrifat seorang hamba, sedekat apapun seorang hamba dengan Tuhannya, keduanya tak mungkin bersatu. Tetap ada batas antara keduanya,” ujar Sunan Bonang memberikan penjelasan pandangan tasawufnya. Sunan Bonang tahu bahwa mantan santrinya yang telah menjadi  ulama dan cendekiawan muda itu, serta temannya  tertarik pada ajaran Persatuan Hamba Tuhan. Maka Sunan Bonang mengingatkan keduanya agar tetap berpegang teguh pada ajaran tauhid sebagaiman diajarkan oleh Nabi saw. Sebagai antitese dan penangkal  terhadap konsep Manunggaling Kawula Gusti, Sunan Bonang menyampaikan konsep Padudoning Kawula Gusti, yakni Ketidakmungkinan Persatuan Hamba Tuhan. Menurut Sunan Bonang, bersatunya hamba dan Tuhan, sehingga kedua kenyataan atau realitas itu lebur menjadi satu, saling tenggelam dan rasuk marasuki satu sama lain, tidak mungkin terjadi. Senantiasa akan ada batas  di antara keduanya. Tuhan tetap bukan maklhuk dan makhluk tetaplah bukan Tuhan.


”Baina humaa barzakkun laa yabgiyaan. Di antara keduanya ada batas yang tak dapat dilampaui . Maha Suci Allah dari persatuan dengan hambanya”, jelas Sunan Bonang seraya mengutip  Al Qur’an Surat Ar Rahman Ayat 20. Dalam literatur filsafat  tauhid ubudiyah sejalan dengan ungkapan ,”Creatio ex Nihillo”, yang artinya Tuhan menciptakan mahluknya dari tidak ada menjadi ada. Dalam Ilmu Kalam disebut,” Al  Ijad min Al Adam “, demikian penjelasan Dr. Simuh. Menurutnya inilah ajaran  makrifat yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist, serta dipegang teguh oleh para pengikut  Ahli Sunnah wal Jama’ah atau Islam aliran Suni. Sedangkan ajaran tasawuf Wujudiyah dan Manunggaling Kawula Gusti, tidak bersumber dari  ajaran Islam, sekalipun kadang-kadang disebut-sebut berasal dari Hadist Nabi saw dan  dibungkus dengan cara mengutip ayat-ayat Al Qur’an. Tetapi dengan cara menta’wilkan ayat-ayat Al Qur’an tersebut.


Kisah pertemuan Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan Syekh  Siti Jenar itu, sering di dramatisir menjadi mitos dan legenda di dalam sejumlah buku-buku babad. Di bawah ini salah satu kisah legenda tersebut, “Pada suatu waktu Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad atau tarekat kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu. Ternyata perahu itu bocor. Kebocoran itu lantas ditambalnya dengan lumpur. Kebetulan di dalam lumpur ada seekor cacing lembut. Mendengar wejangan atas pelajaran itu si cacing lantas mampu berbicara seperti manusia. Maka cacing itu kemudian disabda oleh Sunan Bonang menjadi manusia dan diberi nama Syekh Siti Jenar. Dia kemudian diangkat derajatnya menjadi wali.“( Sudirman Tebba; 203:26).


Dari kisah di dalam alinea yang amat singkat ini, tidak mungkin orang yang membacanya akan mengerti maknanya bila alinea itu hanya dibaca secara harfiah. Di dalamnya terkandung makna simbolik yang berisi fakta sejarah penting . Kita harus menafsirkannya dengan berpegang pada doktrin dalam kepercayaan Jawa kuno yang bersumber dari ajaran  Hindu-Buddha. Tafsir atas alinea tersebut kurang lebih sbb :


Pertama, kisah tersebut mengungkapkan sebuah fakta sejarah, bahwa memang telah terjadi pertemuan sarasehan atau diskusi segitiga antara tiga tokoh yakni Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan  Abdul Jalil. Sunan Bonang bertindak sebagai narasumber yang berpegang pada ajaran Syariat Islam. 

Kedua, perjalanan mistik seseorang untuk mendekatkan diri pada Tuhan, menurut ajaran Islam, harus ditempuh dengan melewati tiga tahap, yakni tahap mendalami syariat, hakekat dan makrifat. Syariat sering dilambangkan  dengan perahu, karena perahu adalah alat yang bisa membawa orang ke tengah danau atau samudra. Danau dan samudra adalah lambang sumber air atau tempat air. Danau dan samudra sering digunakan untuk melambangkan tempat sumber ilmu pengetahuan atau sumber ilmu, khususnya Ilmu-ilmu Ketuhanan, mistik, makrifat, tasawuf, ilmu kalam atau teologia. Adapun tengah-tengah danau atau samudra juga bisa menggambarkan tingkat penguasaan ilmu makrifat, ilmu Ketuhanan  atau tasawuf yang sudah berada pada tahap tinggi. Orang yang telah berada di tengah samudra atau danau, berarti adalah orang yang telah sempurna pengetahuan ilmu Ketuhanannya. Dia disebut  Insan Kamil, Manusia Sempurna atau Siddha Purusa. Siddha, artinya sempurna. Purusa artinya  manusia.                         


Ketiga, perahu bocor. Kalimat  ini mengandung sindiran kepada ajaran Syariat Islam. Yakni bahwa  Syariat Islam itu kurang sempurna. Karena itu bisa bocor, bisa tenggelam dan gagal mencapai puncak makrifat yang digambarkan secara simbolik sebagai sampai ke tengah samudra atau tengah danau. Perahu yang bocor ditambal dengan lumpur. Lumpur sama dengan air sama dengan ilmu. Jadi perahu ditambal dengan lumpur mengandung makna  Syariat Islam yang kurang sempurna itu masih perlu disempurnakan yakni ditambal atau dipadukan dengan ajaran Hindu Buddha.


Keempat, Abdul Jalil digambarkan sebagai cacing dalam lumpur. Cacing dalam lumpur dapat dibaca cacing dengan lumpur atau cacing dengan lempung atau tanah liat atau tanah kuat. Ungkapan ini mengandung makna mistik  dan identik dengan ungkapan keong dengan rumahnya, cacing dengan lumpurnya atau cacing dengan tanah liatnya, laut dengan asinnya, manis dengan madunya dan ungkapan senada lainnya yang mengandung arti Manunggaling Kawula Gusti. Abdul Jalil digambarkan sebagai cacing dalam lumpur, mengandung arti bahwa Abdul Jalil sebenarnya dalam diskusi itu sudah memiliki ilmu makrifat, ilmu kebenaran sejati atau  ilmu Al Haq.


Kelima,  setelah mendengar wejangan Sunan Bonang cacing menjelma menjadi manusia. Artinya dalam sarasehan itu, setelah Sunan Bonang menjelaskan   kaidah-kaidah  syariat, hakekat, makrifat  dalam visi mistik Islam. Tetapi  Abdul Jalil mencoba berdebat dengan mistik  Ketuhanan  dalam visi Hindu-Buddhanya yang dikatakan lebih sempurna dari pada visi mistik Ketuhanan menurut ajaran Islam. Alasan Abdul Jalil, dalam ajaran Hindu-Buddha,  manusia bisa mencapai puncak makrifat tanpa harus melalui syariat. Dia memberi contoh kisah Bima, bahwa Bima bisa berjalan ke tengah samudra Lawana-Udadhi tanpa menggunakan perahu, karena memiliki  Ilmu Jala Sangara. Untuk bertemu dengan Tuhan, bagi orang yang pandai tak diperlukan syariat. Syariat hanya diperlukan oleh orang yang tak pandai seperti halnya perahu diperlukan oleh orang yang kurang pandai berenang agar bisa menuju tengah samudra. Bagi orang yang bisa berenang karena memiliki Ilmu Jala Sangara, tidak perlu perahu atau syariat. Jala Sangara artinya adalah alat untuk menghilangkan rintangan, yaitu segala rintangan yang dapat menghalangi manusia bisa menyatu dengan Tuhannya. Rintangan itu adalah cinta kepada kehidupan duniawi. Jika orang sudah dapat melepaskan diri dari cinta kepada kehidupan duniawi yang berupa harta benda, kedudukan, anak anak dan wanita, tanpa harus menjalankan ajaran syariat  orang akan bisa bersatu atau manunggal dengan Tuhannya. Inilah doktrin pokok ajaran Manungaling Kawula Gusti, yang intinya adalah menghindari kehidupan dunia dan menemukan cara mati yang sempurna dengan menggunakan ilmu yang disebut ilmu Pelepasan. Dengan ilmu Pelepasan  maka manusia dapat bersatu dengan  tuhannya  dan selamat mencapai puncak kebahagian sejati atau nirwana.


Keenam, Sunan Bonang mengakui kebenaran pandangan Abdul Jalil, karena itu mengangkatnya menjadi seorang wali dan konon memberinya  nama Syekh Siti Jenar. Siti berarti Tanah, Uma atau Pertiwi. Jenar  melambangkan warna Langit Senjakala, Batara Guru, atau Wisnu. Maka Siti dan Jenar, Bumi dan Langit, Uma dan Guru, Pertiwi dan Wisnu, identik dengan pengertian misttik Abdul dan Jalil, Kawula dan Gusti, Hamba dan Tuhan. Sunan Bonang dikisahkan sebagai Wali  yang memberikan nama Siti Jenar dan mewisudanya menjadi Wali. Maknanya Sunan Bonang sebenarnya dianggap telah menyetujui  pandangan Abdul Jalil.


Demikianlah makna yang terkandung dalam kisah yang sering disebut sebagai asal usul nama Syekh Siti Jenar itu.  Dari kisah itu kita dapat menyimpulkan bahwa memang  benar telah terjadi pertemuan dan diskusi di antara mereka bertiga. Adapun hasil diskusi sebenarnya Abdul Jalil tetap pada pendiriannnya, demikian pula Sunan Bonang. Dan  Abdul Jalil dalam pertemuan itu sengaja menyembunyikan apa yang menjadi keyakinannya. Bahkan pura-pura memahami dan mengerti apa yang  yang menjadi pandangan Sunan Bonang. Rupanya pertemuan mereka bertiga adalah pertemuan terakhir, karena pada tahun 1525 M, tak lama setelah pertemuan itu, Sunan Bonang wafat. Dengan demikian ada kekosongan anggota Dewan Walisongo. Atas usul Syek Nurullah, maka  Sunan Kalijaga dan Abdul Jalil diangkat oleh Sultan Trenggono menjadi anggata Dewan Walisongo Kerajaan Islam Demak. Usul itu terjadi pada saat yang tepat. Sunan Bonang baru saja wafat dan Raden Patah yang sudah wafat sejak tahun 1518 M, belum ada gantinya. Raden Patah pada saat masih bertahta, masih merangkap sebagai anggota Dewan Walisongo. Jadi ketika Sunan Bonang wafat, Dewan Walisongo, yang tadinya kekurangan satu anggota, menjadi kekurangan dua anggota. Dengan diangkatnya Sunan Kalijaga dan Abdul Jalil, maka menjadi lengkaplah anggota Dewan Walisongo itu. Sayang memang komposisi yang tepat siapa-siapa saja yang menjadi anggota Dewan Walisongo pada saat itu, merupakan masalah yang sangat sukar untuk ditetapkan secara akurat.


Saat itu Dewan Walisongo dipimpin oleh Sunan Ngudung Rahmatullah yang terkenal amat taat pada Syariah. Dia adalah ayah Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Maka konflik dengan Abdul Jalil pun tak terhindarkan lagi. Lebih-lebih setelah   Abdul Jalil menginjak usia 5 windu atau 40 tahun. Dan dia mengganti  namnya menjadi  Syekh Siti Jenar (1525 M). Sebuah nama nonArab yang  lebih kental warna Jawanya dari pada warna Arabnya. Hanya kata  Syekh saja yang bernuasa Arab yang sengaja dipakai di depan namamnya.


Di atas disebutkan dalam legenda bahwa nama Syekh Siti Jenar, adalah nama pemberian Sunan Bonang. Tetapi pendapat lain menyebutkan nama Syekh Siti Jenar adalah nama ciptaan Abdul Jalil sendiri, ketika dia berusia lima windu atau 40 tahun Jawa. Pada saat itulah sebenarnya Syekh Siti Jenar mulai membuka kedoknya. Ia mulai menyebarkan ajaran-ajaran mistik Ketuhanannnya. Dia dengan tegas menolak ajaran  Syariat Islam, baik pada tingkat individu maupun negara. Dalam menyampaikan  ajarannnya, Dia banyak menggunakan idiom-idiom Arab dan Jawa, hingga melahirkan suatu varian Islam yang dikenal dengan Islam Kejawen atau Islam Manunggalig Kawula Gusti. Disebut Islam Kejawen karena ajarannya banyak disesuaikan dengan nilai-nilai Hindu Buddha yang memang sudah lebih dulu dimiliki orang Jawa hampir selama seribu tahun.


Karena Syekh Siti Jenar sudah tidak mungkin lagi diajak kembali ke jalan Islam syariat, maka Dewan Walisongo segera bertindak. Syek Siti Jenar dipecat  dari anggota Dewan Walisongo. Tetapi rupanya dia sendiri sudah siap, karena dia sudah punya ladang baru tempat menyebarkan ajaranya dan ternyata memperoleh banyak pengikut yakni di daerah Pengging, kurang lebih 80 km arah  selatan dari Demak. Ke sanalah Syekh Siti Jenar mencoba keberuntungannya. Karena Pengging belum masuk wilayah Demak, tetapi masuk wilayah Kerajaan Hindu Buddha Kediri, maka Dewan Walisongo dan Sultan Trenggono tak dapat melarangnya, apalagi menjatuhkan hukuman mati. Lagi pula  hukum  Islam yang dipraktekkan di Kerajaan Islam Demak saat itu, masih terbatas pada masalah-masalah ibadah saja, seperti salat, zakat, puasa, perkawinan dan penguburan. Bahkan untuk hukum waris pun kelihatnnya belum diterapkan.


Demikan pula dalam perkara-perkara perdata dan perkara pidana yang berkaitan dengan penodaan agama atau aliran sesat. Hukum pidana yang dipergunakan oleh Kerajaan Islam Demak, pada saat itu  masih menggunakan  hukum yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Hukum pidana dan perdata yang dipakai bersumber dari  kitab  Salokantara yang disusun  oleh   Raden Patah. Raden Patah mengambilnya dari kitab hukum Majapahit Kutaramanawa. Dengan demikian  kisah yang  menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging dihukum mati karena menyebarkan aliran sesat adalah fantasi belaka, bertentangan dengan fakta yang sebenarnya. Baik Ki Ageng Pengging maupun Syekh Siti Jenar dihukum mati, karena masalah politik. Bukan masalah agama atau perbedaan keyakinan. Masalah agama hanyalah masalah sekunder. Bukan masalah primer. Masalah primernya adalah masalah politik.[bersambung]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar