Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Kamis, 23 Juni 2016

Syekh Siti Jenar dan Walisongo, di Antara Legenda, Mitos, dan Fantasi Libido Seksual.(Bagian-02)



 Samsyu Tabriz , Sufi dari Samarkand, Guru Jajaludin Rummi


 Ada pada berbagai bangsa

Kisah-kisah perkawinan sumbang semacam itu, sebenarnya banyak ditemukan dalam kisah-kisah legenda dan mitos yang  ada pada berbagai kebudayaan dari berbagai bangsa. Misalnya saja, kisah Oudipus putra dari Raja Tebe, Laius dan permaisurinya Jokaste dalam Mitologi Yunani. Setelah secara tidak sengaja membunuh ayahnya sendiri Raja Laius, secara tidak sengaja pula Oudipus menikahi Jokaste, ibunya sendiri. Dari perkawinan itu lahirlah anak-anaknya yang berjumlah empat orang. Dua orang putra, Eteokles dan Polineses serta dua orang putri yakni Ismene dan Antigon.


Di akhir kisah Oudipus baru mengetahui kesalahannya, maka gemparlah Kerajaan Tebe. Untuk menebus dosanya Oudipus mencungkil kedua matanya dengan perhiasan Jokaste, hingga menjadi buta. Kemudian Oudipus keluar meninggalkan singgasananya, terlunta-lunta dalam pengembaraannya masuk hutan keluar hutan hanya ditemani anaknya yang bungsu  Antigone. Akhirnya Oudipus raib dari tengah hutan. Konon dibawa Peri Hutan ke suatu tempat yang ada di dasar bumi yang bernama Hade. Di sana Oudipus menerima hukuman dan siksaan akibat perbuatannya melakukan perkawinan sumbang dengan ibunya, sekalipun tak disengajanya. Dalam mitologi Jawa jaman pra Islam dikenal kisah Watu Gunung yang melakukan perkawinan sumbang dengan  mengawini ibunya. Raja Baka yang sakti di Prambanan juga dikisahkan sebagai anak hasil perkawinan sumbang antara bapak dan anak. Dalam mitologi Sunda sangat terkenal kisah Sangkuriang yang juga hendak mengawini Danyang Sumbi, ibunya sendiri.


Selain di dalam mitologi, kisah perkawinan sumbang ternyata memang juga dilakukan oleh sejumlah tokoh sejarah. Tetapi terbatas hanya antara kakak dan adik. Bukan antara ayah dan anak kandung atau antara ibu dan anak kandung. Misalnya saja, dalam Sejarah Mesir, Raja-raja  Dinasti Ptolemy dikabarkan  banyak melakukan perkawinan sumbang dalam rangka menjaga kemurnian darah keturunannya. Cleopatra Philopator(51 -30 SM), Ratu Mesir yang terkenal cantik jelita itu, adalah putri dari Ptolemy XII (80-51 SM), yang menikahi adik kandungnya sendiri Cleopatra Trypahaina. Setelah kawin dengan  dengan Kaisar Romawi Yulius Caesar (100-44 SM), Cleopatra Philopator kawin lagi dengan Mark Antony (83-30 SM).

Ratu Mesir yang mampu membuat dua Jendral Romawi bertekuk lutut itu, ternyata adalah putri dari perkawinan sumbang ke dua orang tuanya. Kaisar Romawi Nero yang terkenal amat kejam, juga dikabarkan jatuh cinta pada adiknya sendiri. 

Akhirnya dalam Sejarah Majapahit, Raja Majapahit ke-2 Jayanegara ( 1309 -1328 M) atau Kala Gemet, putra Raden Wijaya, tidak mau mengambil seorang istri, karena konon ia jatuh cinta pada adiknya sendiri sekalipun beda ibu, yakni Tribhuana Tunggadewi dan Sri Rajendradewi, puri Raden Wijaya dengan permaisuri Gayatri. Demikianlah perkawinan sumbang dikisahkan oleh berbagai bangsa, baik sebagai legenda, mitos maupun kisah dalam sejarah.



 Penyimpangan hasrat libido

 Perkawinan sumbang atau incest, yakni perkawinan antar hubungan keluarga dekat,  seperti anak perempuan dengan ayahnya, anak laki-laki dengan ibunya, atau kakak dan adik yang berlainan jenis, menurut Husein Jayadiningrat, secara psiko analisa  merupakan salah satu bentuk dari gangguan kejiwaan  yang disebut sebagai penyimpangan hasrat seksual.


Pada awalnya hasrat seksual itu mencari obyek cinta kepada lingkungan dekatnya, seperti ayah, ibu dan saudara sekandung. Pada orang yang normal, hasrat semacam itu dapat dikendalikan, tetapi terpecah-pecah menjadi serpihan- serpihan yang tetap tersimpan di alam bawah sadarnya. Pada suatu ketika serpihan-serpihan hasrat seksual itu muncul dalam bentuk fantasi dan khayalan, yang mengakibatkan lahirnya kisah-kisah fantasi perkawinan sumbang semacam kisah-kisah di atas. Bagi mereka yang bendungan pertahanan  jiwanya tidak kuat, hasrat seksual itu dapat meledak, maka terjadilah perkawinan sumbang. Itulah sebabnya hampir semua tradisi dan agama mengutuk terjadinya perkawinan sumbang sebagai suatu perbuatan aib, dosa dan dikutuk oleh adat yang ada di sekelilingnya, dengan maksud agar setiap orang dapat menjaga agar bendungan hasrat seksual yang salah di dalam menemukan obyek cintanya tidak jebol.


Tetapi dalam kepercayan Jawa pra- Islam yang oleh Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Wali Songo disebutnya sebagai agama Kapitayan,  anak-anak dari hasil perkawinan sumbang antara ayah dan anak, dimitoskan sebagai memilki daya gaib dan kesaktian luar biasa. Demikian pula para pelaku perkawinan sumbang. Hal ini bisa kita lihat  pada  tokoh Watu Gunung, Raja Baka dan Sangkuriang yang semuanya dikisahkan sebagai tokoh-tokoh yang memilki daya gaib serta kesaktian yang luar biasa. Memang sebuah tema tentang orang-orang sakti dari para ksatria, seperti yang ada dalam dunia wayang merupakan tema-tema yang amat disukai oleh orang Jawa dan juga orang Sunda.


Kenapa anak hasil perkawinan sumbang orang sakti dan suci, dianggap memiliki kesaktian dan kedigdayaan luar biasa? Hal ini sebenarnya berkaitan dengan konsep reinkarnasi, emanansi,  pemancaran, menitis ataupun kelahiran kembali daya-daya gaib yang dianggap bisa terjadi melalui proses persanggamaan atau hubungan seksual. Semakin dekat hubungan darah dalam proses persanggamaan,  maka akan semakin sempurna pula proses pewarisan daya-daya  gaib kepada keturunannya. Bahkan dianggap akan terjadi semacam revitalisasi daya-daya gaib. Dapat dikatakan bahwa kultus pemujaan terhadap makam orang-orang suci dan sakti dapat dilacak asalnya berawal dari kultus pemujaan terhadap ritus-ritus persanggamaan dan alat-alat repoduksi baik laki-laki mapun perempuan.


Konsep pemujaan terhadap ritus persanggamaan yang berasal dari tradisi kepercayaan agama pra-Islam, dalam legenda dan mitos kebudayaan Jawa dan Sunda mengambil berbagai macam bentuk yang amat bervariasi dan luas, mulai dari pemujaan makam keramat seorang tokoh yang dilahirkan dari hasil perkawinan sumbang  tokoh sakti dan suci, pembuatan tugu yang berupa lingga dan yoni, pemujaan terhadap Dewi Kesuburan seperti Dewi Padi, pemujaan terhadap orang kerdil maupun anak kecil berkuncung sebagai lambang phalus, pemujaan terhadap wanita nareswari yakni wanita yang alat reproduksinya memancarkan sinar gaib sebagai suatu simbol akan daya gaibnya untuk melahirkan para raja atau penguasa, sampai kisah Bima Suci, Dewa Ruci maupun Nawa Ruci. Dalam kisah Bima Suci maupun Nawa Ruci yang merupakan mitos pemujaan terhadap tokoh Bima, yang sering dikaitkan dengan ajaran  yang amat populer dikalangan orang Jawa yakni konsep mistik Ketuhanan Manuggaling  Kawula Gusti, sebenarnya juga berakar pada konsep pemujaan terhadap ritus persanggamaan. Hal ini bisa kita saksikan pada patung Bima di candi Sukuh yang terkenal itu.

Salah satu sekte agama Buddha yang memuja ritual persanggamaan sebagai cara untuk mencapai persatuan hamba dan tuhan adalah aliran Tantrayana yang sangat berkembang di Jawa Timur pada masa Kerajaan Kediri, Singasari bahkan Majapahit. Raja terakhir Singasari, Sri Kertanegara (1268- 1292 M), dikenal sebagai pengikut Tantrayana yang gemar melakukan pesta ritual persanggamaan secara massal. Dia dikabarkan terbunuh saat sedang melakukan pesta ritual persanggamaan massal.

Mahapatih Gajah Mada juga disebut-sebut sebagai pengikut Tantrayana, tetapi tidak ada berita bahwa dia pernah melakukan ritual persanggamaan masal. Akhirnya Syekh Siti Jenar, mantan anggota Dewan Walisono Kerajaan Islam Demak yang dipecat karena mengajarkan ajaran sesat, diduga secara sembunyi-sembunyi juga mengajarkan ritualitas persanggamaan sebagai salah satu cara untuk mencapai kondisi ekstase atau trance yang diklaimnya sebagi puncak persatuan hamba dan tuhan. Hal ini bisa dilihat pada kisah Lebe Lontang, murid Syekh Siti Jenar yang mengajarkan Dzikir Ojrad Ripangi. Besar sekali kemungkinannya, dari komunitas pengikut sekte agama Buddha Tantrayana, telah dilahirkan anak-anak dari hasil hubungan perkawinan sumbang atau incest. Hanya kasus-kasus ini tidak terungkap dalam sejarah, karena sifat keanggotan sekte ini yang bersifat rahasia dan tertutup.

Setelah Islam datang, kepercayaan adanya daya gaib kepada anak-anak hasil perkawinan sumbang yang berasal dari kepercayaan agama Kapitayan bagi orang  Jawa atau agama Sunda Pituin  bagi orang Sunda, maupun sekte agama Buddha Tantrayana,  masih  sempat merembes menjadi bagian dari kepercayaan  masyarakat  yang secara formal sudah memeluk Islam.

Jadi kepercayaan warisan agama lama masa pra- Islam seperti Kapitayan, Sunda Pituin, maupun Tantrayana yang masih hidup sebagai bagian dari tradisi ritualitas kehidupan keagamaan umat Islam yang sering dianggap sebagai local wisdom, antara lain pemujaan terhadap kuburan orang suci dan sakti hasil dari perkawinan sumbang atau incest, maupun orang suci dan sakti sebagai pelaku perkawinan sumbang, khususnya perkawinan sumbang antara ayah dan anak gadisnya sendiri. Contoh yang nyata adalah pemujaan terhadap makam yang diduga makam Bureroh  di Gagesik dan makam Syamsu Tabris di Demak. Makam-makam semacam itu, dianggap menyimpan daya gaib yang apabila berhasil disadap ke dalam tubuh seorang peziarah, akan mampu memancarkan aura pada si peziarah sehingga dia akan memiliki daya gaib  mendatangkan kekuasaan, kekayaan, mudah mendapatkan jodoh dan kemakmuran pada dirinya.

Dalam kronik Cirebon karya Penghulu Abdulkahar, Syamsu Tamresy  anak  Jumadilkubro, dikisahkan sebagai  tokoh yang sakti, karena dia adalah anak hasil perkawinan sumbang Jumadilkubro dengan anak gadisnya, Dewi Hani. Di Kerajaan Campa Syamsu Tamresy menikahi Rara Sucina, putri Raja Campa. Dari hasil perkawinan mereka berdua, lahirlah putranya yang bernama Raden Rahmat, yang kelak  bernama Sunan Ampel. Dalam kisah Penghulu Abdulkahar itu, tidak dikisahkan adanya pemujaan terhadap makam Syekh Jumadilkubro, maupun makam putranya Syamsu Tamresy.

Dengan mudah kita dapat menduga, bahwa usaha mengait-ngaitkan Raden Rahmat yang kelak menjadi seorang wali yang akan banyak menurunkan para wali di Tanah Jawa sebagai anak Syamsu Tamresy, sebenarnya hanyalah usaha untuk menjelaskan bahwa Raden Rahmat juga memiliki daya-daya gaib dan kesaktian yang luar biasa yang akan tetap tersimpan secara abadi di dalam makamnya maupun makam para wali keturunannya, sebab dia adalah keturunan dari orang tuanya yang sakti karena orang tuanya terlahir sebagai anak incest.. 

Siapakah sebenarnya Syamsu Tamresy ataupun Syamsu Tabris, yang telah dimitoskan sebagai orang suci dan sakti hasil perkawinan sumbang ayahnya yang bernama Syekh Jumadilkubro dan yang disebut-sebut oleh kronik Cirebon sebagai ayah Raden Rahmat atau Sunan Ampel ?.

Syamsu Tabris, Syamsu Tamresy, maupun Syamsu Tomres, sebenarnya adalah satu nama yang menunjuk kepada seorang tokoh sejarah. Nama aslinya adalah  Syamsuddin At Tabrizi, seorang sufi legendaris yang amat mashur kelahiran Kota Tabriz, sebuah kota di Barat Laut Caspia, termasuk wilayah Iran Utara, dekat perbatasan Azerbaijan.

 Dia hidup pada paruh pertama abad ke- 13 M. Kota Tabriz, tidak hanya dekat dengan Samarkand, tetapi juga dekat dengan Tyulen. Wajar bila kemudian ada orang yang menganggap bahwa Ibrahim Asmara, ayah Raden Rahmat berasal dari Samarkand.

Anggapan ini bukan hanya karena adanya  asosiasi atau kemiripan antara kata Asmara dan  As Samarkandi. Tetapi gagasan dan fantasi Penghulu Abdulkahar yang menyamakan  ayah Raden Rahmat, Ibrahim Asmara, dengan Syamsu Tamresy, jelas ikut berperan terhadap munculnya anggapan bahwa seperti halnya Syamsuddin At Tabrizi, Ibrahim Asmara pun adalah pendakwah yang berasal dari daerah-daerah yang tidak terlalu jauh dari Tabriz yang berada disekitar Laut Caspia. Kalau tidak  Tyulan, ya Samarkand. Atau menyatukan kedua kota itu. Bermukim di Samarkand, tetapi imigran dari Tyulen.



 f. Fakta Sejarah Syamsuddin At Tabrizi.

Syamsuddin At  Tabrizi, sebenarnya memang seorang sufi pengembara yang hebat, pandai menarik masa, ungkapan ungkapan pandangan sufistiknya mampu mempesona dan memukau banyak orang. Muridnya yang amat mencintainya dengan seluruh jiwa raganya adalah Jalaluddin Rumi (1207 – 1273 M), yang kemudian juga berkembang menjadi seorang sufi yang terkenal. Tetapi nasib hidupnya amat tragis.

 Syamsudin At Tabrizi, dibunuh pada suatu malam secara beramai-ramai dengan cara diculik oleh anak ke-2 Jalaluddin Rumi, Alauddin Walad. Dia dibantu murid-murid dari  pesantren asuhan Sultan Walad,  anak sulung Jalaluddin Rumi yang berada di Kota Konya, Asia Kecil. Tubuh Sufi yang dituduh menyebarkan ajaran bid’ah itu, diseret ramai-ramai setelah sebelumnya dihujani tusakan pisau oleh penculiknya, kemudian di masukkan kedalam sebuah sumur tua dengan maksud untuk disembunyikan.

Peristiwa yang mengerikan itu terjadi pada tahun 1247 M, saat Jalaluddin Rumi berusia 40 tahun. Sebenarnya Jalaluddin Rumi sempat mencoba mencegah agar gurunya itu tidak keluar menemui kerumunan orang-orang yang pada malam yang naas itu, berteriak-teriak dari luar memanggil-manggil namanya.

Tetapi Syamsuddin At Tabrizi dengan tenang berdiri, melangkah ke pintu sambil berkata kepada Jalaluddin Rumi:

 “Nampaknya aku memang dipanggil untuk menghadapi kematian.“

Jalaluddin Rumi yang menggigil ketakutan, terpaksa ikut berdiri mengikuti gurunya, sambil berbisik:

”Sesungguhnya hanya kepadaNyalah semua ciptaan dan takdir.Terpujilah Allah Tuhan Alam semesta. Semoga kita selamat sentausa.”

 Di malam yang gelap itu, mereka berdua sama sekali tidak tahu siapa yang tengah mengepungnya dan juga tidak menyadari maut yang tengah mengamcamnya.

Saat pintu rumah Jalaluddin itu terbuka, tiba-tiba dari arah luar yang gelap gulita, sebilah pisau yang berkilat-kilat bergerak cepat menghunjam berulang kali perut Sufi yang malang itu. Darah cepat mengucur dari tubuh Syamsuddin At Tabrizi dan ia  pun sempoyongan seperti hendak  jatuh ketanah.

Tiba-tiba Sufi itu mengeluarkan jeritan aneh yang sejenak sempat membuat heran dan gentar mereka yang menyerangnya. Namun, sebelum tubuh yang berlumuran darah itu jatuh ke tanah, tangan-tangan yang cekatan dari penyerangnya dengan sigap dan cepat menarik dan menyeret keluar tubuh yang sudah tak berdaya itu.

Mereka membawanya lari di dalam gelap, menyembunyikan tubuh yang sudah tak bernyawa itu dengan cara memasukkannya ke dalam sumur tua dan diam-diam menguburkanya di situ.

Jalaluddin Rumi langsung shock dan jatuh sakit akibat  mengalami peristiwa yang mengerikan itu. Paginya Sultan Walad, putra sulung Jalaluddin Rumi, dengan dibantu sejumlah murid  pesantrennya, mencoba mencari-cari jasad  sufi korban penculikan malam itu.

Ternyata tidak berhasil ditemukan. Tetapi selang bebera hari kemudian Sultan Walad pada suatu malam dalam tidurnya bermimpi  didatangi Syamuddin At Tabrizi yang memberitahu bahwa dirinya tengah tertidur di dasar sebuah sumur tua. Begitu bangun dari mimpinya, Sultan Walad mengajak anak buahnya mendatangi sebuah sumur tua untuk membuktikan kebenaran dari mimpinya itu.

Ternyata mimpinya benar. Jazad   sufi itu ditemukan terkubur di dasar sebuah sumur tua. Paginya jenazah Syamsuddin At Tabrizi diangkat ramai-ramai. Setelah dirawat sebagaimana mestinya, jenazah itu dikuburkan  secara layak. Sufi Besar itu dimakamkan berdampingan dengan makam ayah Jalaluddin, Muhammad Bahauddin Walad, yang terletak di samping bangunan masrasah di kota Konya yang didirikannya.

Sementara itu, ketujuh orang komplotan pembunuh Syamsuddin At Tabrizi, tiba-tiba terkena penyakit aneh. Mereka satu persatu meninggal secara tidak wajar, termasuk Alauddin Walad, adiik Sultan Walad, putra Jalaluddin Rumi yang ikut serta dalam komplotan penculikan dan pembunuhan Sufi guru spiritual ayahnya.

Pada upacara pemakaman jenazah Syamsuddin At Tabrizi, Jalaluddin Rumi sendiri tidak hadir. Dia sangat terpukul dan sedihnya bukan main ditinggalkan oleh guru spiritualnya yang amat dicintainya dengan cara yang amat tragis dan dramatis. Berhari-hari ia mengurung dirinya di rumahnya. Setelah kesehatannya pulih kembali, dia menggubah sebuah kitab puisi yang amat indah yang sengaja ia persembahkan untuk mengenang mendiang guru spiritualnya yang berjudul Divan I Syamsu Tabriz.

 Sepeninggal gurunya, Jalaluddin Rumi berkembang menjadi sufi hebat juga. Dia mendirikan suatu tarekat yang terkenal dimana-mana, baik di dunia timur maupun barat, yang dikenal sebagai Darwis yang menari atau The  Whirling Dervishes.

Pandangan sufistik Jalaluddin Rumi dimuat dalam karya agungnya Matsnawi. Mastnawi ditulis pada masa-masa episode akhir dari hidupnya. Selama hampir lima belas tahun dari akhir masa hidupnya itu, Jalaluddin Rumi terus menerus menghasilkan  puisi-puisi sufistiknya yang diciptakan saat dia berada dalam keadaan ekstase atau tranche. Murid-murid setianya  dengan tekun terus menerus mencatat karya agung yang terdiri atas 25.700 kuplet yang dikumpulan menjadi  6 jilid yang kemudian dikenal sebagai Matsnawi.

Melalui Matsnawi pandangan sufistik Jalaluddin Rumi sampai juga ke Samudra Pasai dan Asia Tenggara. Sunan Kalijaga disebut-sebut sebagai seorang wali yang pernah belajar tarekat Jalaliyah atau Maulawiyah yakni tarekat yang didirikan oleh Jalaluddin Rumi, di Pulau Upih di Pantai Barat  Semenanjung Malaka.

 Pandangan tarekat Jalaliyah disebut-sebut sebagai amat dinamis, memandang dunia dengan pandangan optimis, penuh dengan gerak, menggunakan musik, amat toleran, tidak menolak syariat Islam, dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Amat jauh berbeda dengan tarekat yang didirikan oleh Syekh Datuk Kahfi di Cirebon yang banyak dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Sufi  Mansyur Al Halaj yang bersifat ekstrim, memandang hidup dengan pesimis, menolak syariat Islam, lebih menekankan pada ajaran  berupa teknik menjemput maut yang selalu dinanti-nantikannya, karena pandangannya yang ekstrim dan pesimistis bahwa hidup di dunia adalah kematian, sebagaimana juga nampak pada salah satu muridnya, Syekh Siti Jenar.

Bersamaan dengan tersebarnya tarekat Jalaluddin Rumi dan pandangan-pandangan sufistiknya, kisah kematian Syamsuddin At Tabrizi  yang dramatis itu nistaya ikut tersebar juga.

Kisah dramatis kematian Syamsuddin At Tabrizi itulah yang telah mengilhami lahirnya kisah-kisah fantasi berbau mitos  tokoh yang bernama Syamsu Tamresy, Syamsu Tomres, maupun Syamsu Tabris.

Ia dilukiskan sebagai orang suci yang sakti, punya daya gaib, bisa merubah dirinya menjadi sekuntum bunga tanjung dari emas sebagai lambang kekayaan dan keberlimpahan, makam tempat mengubur jasadnya ataupun makam keturunannya mampu mendatangkan kekayaan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi para peziarah.

Daya gaib itu diperoleh karena, sesuai dengan kepercayaan agama pra-Islam yang berkembang di kalangan orang Jawa dan orang Sunda, bahwa dia adalah anak hasil dari perkawinan sumbang seorang tokoh suci. Dan tokoh suci tetapi yang  berperilaku menyimpang  itu adalah Syekh Jumadilkubro!

 Barang kali mitos yang aneh semacam itu, hanya tejadi di Pulau Jawa. Seorang yang melakukan perbuatan amoral, justru di puja karena dianggap akan mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran. Bandingkan dengan kisah Oudipus dan keturunannya yang harus menanggung dosa dan hidup sengsara dan terlunta-lunta, padahal perbuatan itu dilakukan secara tidak sengaja.

Tetapi apapun kisah misteri yang menyelimuti kematian Syamsuddin At Tabiz, adalah mustahil Syamsuddin At Tabrizi, Syamsu Tabris ataupun Syamsu Tamresy adalah ayah Raden  Rahmat. Sebab sufi legendaris itu, meninggal pada tahun 1247 M, di Kota Konya, Asia Kecil, sedang Raden Rahmat, baru lahir pada tahun 1420 M di Kota Campa. Jadi terbentang jarak hampir dua abad antara keduanya. Dengan demikian Syamsu Tamresy, bukanlah Ibrahim Asmara, juga bukan ayah Raden Rahmat. Anggapan bahwa Syamsu Tamresy ayah Raden Rahmat adalah mitos. Demikian pula anggapan bahwa Ibrahim Asamara, ayah Raden Rahmat, berasal dari Samarkand atau Tyulen, hanyalah mitos yang tidak memiliki nilai historis.[Bersambung]

Catatan : Artikel Lanjutan, "Legenda dan Mitos dari Sunan Gresik - Sunan Panggung
 https://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-syekh-siti-jenar-dan-walisongo_56.html
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar