Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Rabu, 22 Juni 2016

Sejarah Walisongo (10-2) : Syekh Siti Jenar - Raden Hasan Ali Saksar (Bagian-2 Tamat)



Syekh Siti Jenar dan  Konflik Demak -Pengging


 Kira-kira pada tahun 1526 M, Dewan Walisongo di bawah pimpinan Sunan Ngudung Rahmatullah telah menetapkan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu menyimpang dari ajaran Islam. Karena itu, seperti telah disebutkan di atas, Syekh Siti Jenar akhirnya  dipecat dari keanggotaan Dewan Walisongo. Tentu saja dengan persetujuan  Sultan Demak Trenggono. Syekh Siti Jenar yang sebelumnya telah punya banyak pengikut di Pengging, segera pergi menuju  Kadipaten Pengging dan di sana melanjutkan menyebarkan ajarannya. Dan ternyata dia memperoleh banyak pengikut.


Kadipaten Pengging saat itu masih dipimpin oleh Adipati Handayaningrat yang tunduk kepada kedaulatan  Kerajaan Hindu Buddha Kediri Majapahit. Handayaningrat punya dua orang putra, yakni Kebo Kenanga, putra tertua dan Kebo Kanigara, putra kedua. Handayaningrat dan Kebo Kanigara, tidak begitu tertarik kepada ajaran Syekh Siti Jenar dan tetap setia kepada agama Hindu Buddhanya. Tetapi putra pertamanya, Kebo Kenanga, menjadi pengikut setia Syekh Siti Jenar. Dia pun mengajak sahabat-sahabatnya para tokoh-tokoh  dan ksatria Pengging seperti Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh, dan Ki Ageng Sela. Kebo Kenanga yang kelak terkenal sebagai Ki Ageng Pengging,  dengan mudah menjadi pengikut Syekh Siti Jenar, karena sebelumnya  dia bersama para sahabatnya itu adalah   mualaf  yang tengah mendalami syariat Islam akibat dakwah Sunan Kudus Ja’far Shodiq ke daerah ini .     


Ketika Kerajaaan Majapahit runtuh tahun 1478 M, dan berdiri Kerajaan Keling, Raden Patah  dengan dukungan Walisongo dan umat Islam daerah pesisir, tidak mau mengakui Keling dan memilih mendirikan  Kerajaan Islam Demak yang mandiri, berdaulat, merdeka dan lepas dari Kerajaan Majapahit yang telah runtuh. Sebaliknya Handayaningrat dari Kadipaten Pengging bersedia tunduk dan  mengakui Kerajaan Keling yang kemudian pindah ke Kediri. Dengan demikian pada awal berdirinya Kerajaan Islam Demak, Kadipaten Pengging, seperti juga  Kadipaten Tuban, belum masuk wilayah Demak. Secara emosional  maupun historis Pengging memang  lebih nyaman bergabung dengan Kediri yang menganut Hindu dari pada bergabung dengan Demak yang Islam.


Itulah sebabnya Raden Patah pernah memerintahkan Sunan Ngudung untuk berdakwah ke Pengging. Usaha pertama itu gagal. Pada masa Sultan Trenggono usaha dakwah ke Pengging dicoba lagi. Kali ini Sunan Ngudung menugaskan putranya untuk menggarap proyek Islamisasi Pengging.  Dan hasilnya sebenarnya sudah ada, karena putra  Handayaningrat, Kebo Kenanga bersedia masuk Islam dan menjadi mualaf. Bahkan dia mengajak teman-temannnya. Tetapi proyek Sunan Kudus gagal, karena Syekh Siti Jenar ikut menjadikan daerah Pengging yang strategis itu menjadi lahan dakwahnya juga. Malahan  Syekh Siti Jenar berhasil menarik banyak pengikut, termasuk  murid-murid Sunan Kudus Ja’far Sodik yang masih mualaf.

Menurut Babad Tanah Jawi, sebenarnya Raden Patah, Handayaningrat dan Ranawijaya Raja Kediri, masih termasuk keturunan Sri Kertawijaya Brawijaya I (1447-1451 M). Dikisahkan dalam  Babad yang amat populer itu bahwa Brawijaya I mempunyai sejumlah istri sbb :



a.Putri Campa

Dari Pernikahannya dengan Putri Campa, Brawijaya I memiliki sejumlah putra dan putri. Salah seorang putrinya adalah Dyah Pambayun. Dyah Pembayun ini diperistri oleh  Handayaningrat yang pernah berjasa memadamkan pemberontakan di daerah Blambangan dan Bali. Karena jasanya itu, Handayaningrat diangkat menjadi menantu dan dianugerahi jabatan Adipati Pengging. Dengan demikian Handayaningrat adalah menantu Brawijaya I. Handayaningrat ini dimitoskan sebagai anak keturunan Raja Buaya dari Sungai Bengawan Solo. Karena itu amat sakti dan usianya juga dimitoskan amat panjang lebih dari 100 tahun. Dia baru meninggal pada tahun 1527 M, karena ikut berperang melawan Demak mempertahankan Kerajaan Kediri, membela kemenakannya Raja Ranawijaya. Tetapi bisa jadi, sebenarnya  ada dua generasi Handayaningrat, yaitu Handayaningrat I dan II, yang luput dari pengamatan penggubah Babad Tanah Jawi, yang memang sering kurang akurat dalam menyebutkan masa hidup suatu tokoh sejarah. 



b. Putri China

Dengan putri peranakan China, Brawija I memperoleh seorang anak laki-laki yang bernama Raden Patah. Saat Raden  Patah masih dalam kandungan, Putri  Peranakan China itu diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar. Setelah remaja, Raden Patah menjadi santri Sunan Ampel dan tinggal di Ampel Denta. Karena dorongan, petunjuk dan bantuan Sunan Ampel, Raden Patah berhasil membuka, mendirikan, dan mengembangkan  Pesantren Bintara. Raja Majapahit Dyah Surapabhawa  Brawijaya IV adik Brawijaya I, merubah nama Bintara menjadi Demak, mengukuhkan berdirinya Kadipaten Demak dan mengangkat kemenakannya, Raden Patah menjadi penguasa Demak.



c. Putri Wandan.

Putri Wandan  yang berkulit albino atau bule,  dikawini oleh Brawijaya I, maka lahirlah seorang anak yang diberi nama  Lembu Peteng. Lembu Peteng kelak menjadi menantu Ki Ageng Tarub II yang dalam mitos disebutkan punya istri  bidadari Dewi Nawangwulan. Kemungkinan besar Dewi Nawangwulan yang dimitoskan sebagai bidadari itu, hanyalah  gadis China atau keturunan China yang mungkin tersesat di hutan dan ditemukan oleh Jaka Tarub. Legenda  manusia kawin dengan bidadari memang  banyak ditemukan sebagai cerita rakyat di China dan Indo China.Ki Ageng Tarub dengan Dewi Nawangwulan punya anak yang diberi nama Nawangsih. Nawangsih inilah yang diperistri Lembu Peteng, Putra Brawijaya I. Lembu Peteng menggantikan mertuanya menjadi Ki Ageng Tarub III. Lembu Peteng kelak menurunkan Ki Ageng Sela, Pamanahan , Senapati dan raja-raja Mataram lainnya.


Sangat tidak mungkin bahwa Sri Kertawijaya Brawijaya I tidak mempunyai istri prameswari atau istri utama. Ketiga istri itu adalah istri selir. Mengenai istri utama Babad Tanah Jawi menyebut Putri Campa sebagai permaisuri  Brawijaya I. Keterangan Babad Tanah Jawi ini sulit dipercaya. Tidak mungkin Brawijaya I punya permaisuri  dari wanita asing. Ternyata memang berdasarkan pelacakan  sumber-sumber sejarah, Permaisuri Sri Kertawijaya Brawijaya I adalah Penguasa Daha, Jayawardhani Dyah Jayeswari (Slamet Mulyono; 1985 : 240 ). Dari Pernikahannya itu Sri Kertawijaya Brawijaya I dikarunia sejumlah putra dan putri. Adipati Keling Dyah Wijayakarana  yang berhasil mengambil alih tahta Majapahit, adalah putra bungsu Sri Kertawijaya Brawijaya I. Dyah Ranawijaya, Raja Kediri Majapahit (1486-1527 M), adalah putra Wijayakarana  yang berati cucu  Brawijaya I juga. Ranawijaya inilah yang  oleh Babad Tanah Jawi sering disebut-sebut sebagai Brawijaya Terakhir atau Brawijaya VII.


Dengan demikian antara Raden Patah,  Handayaningrat dan Ranawijaya masih ada hubungan kekerabatan yang dekat yakni sama-sama keturunan  Sri Kertawijaya Brawijaya I. Dapat dimengerti apabila saat Raden Patah berkuasa (1481- 1518M), tidak pernah melakukan ekspansi  ke Kediri maupun Pengging. Ekspansi Kerajaan Islam Demak pada saat Raden Patah berkuasa lebih banyak diarahkan  ke daerah Pesisir Pantai Utara Jawa Tengah  dan Jawa Barat,   sampai Cirebon dan Indramayu. Daerah pedalamannya, yang berhasil dikuasa Demak adalah daerah  Lembah Serayu ke arah barat sampai  Citandui dan Citarum sebelah timur. Wilayah luar Jawa, wilayahnya sampai Palembang dan Sukadana di Kalimantan Barat Daya.


Bagaimanapun juga posisi Pengging bagi Demak adalah penting dan strategis. Karena Pengging berada pada jalur untuk dakwah Islam ke arah pedalaman Jawa  Tengah Selatan khususnya lembah Bengawan Solo dan daerah sekitar Merapi dan Merbabu yang subur. Di daerah ini banyak terletak tanah mahkota Majapahit, seperti Pajang, Mataram dan Wengker. Sekalipun begitu Raden Patah tetap menahan diri dan menghindari konflik dengan Kediri dan Pengging. Dapat dimengerti bila Kediri  pada awal   abad 16 M itu berkembang menjadi  kerajaan di pedalaman yang menjadi cukup kuat dan makmur.    


Tetapi lama kelamaan konflik Demak dan Kediri tak terhindarkan lagi. Demak menganggap Portugal yang berada di Malaka adalah musuh utamanya. Tetapi  Kediri dan juga Pakuan Pajajaran malah menjalin aliansi dan kerjasama dengan Portugal di Malaka. Karena itu tak ada pilihan lain bagi Demak  kecuali melaksanakan ekspansi  militer untuk menaklukan kedua Kerajaan Hindu itu. Pada tahun 1527 M, Demak menyerang Tuban, Kediri dan Sunda Kalapa. Ketiganya segera saja jatuh ke tangan Demak pada tahun itu juga. Pakuan Pajajaran baru dapat ditaklukan Banten pada tahun 1579 M.


Penakluk Sunda Kalapa adalah Syekh Nurullah. Dan penakluk Kediri adalah Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Dalam penaklukan Kediri itu, Handayaningrat yang ikut berperang mempertahankan Kediri, berhasil ditewaskan tentara Islam Demak. Dengan tewasnya Handayaningrat, otomatis penguasa Kadipaten Pengging kosong. Maka Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging naik menggantikan ayahnya. Demak tentu berharap karena Kediri telah jatuh, Ki Ageng Pengging segera mau mengakui kedaulatan  Demak. Ternyata apa yang diharapkan Demak itu tidak menjadi kenyataan. Pengging terus menerus  menunda dan belum mau mengakui kedaulatan Demak.  Sekalipun bagi Demak sikap Pengging itu mengherankan,  Sultan Trenggono masih tetap sabar.


Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Sultan Trenggono mengutus Patih Wanasalam membujuk Ki Ageng Pengging untuk segera mengakui kdaulatan Demak. Tetapi rupanya karena pengaruh yang kuat dari Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging tidak bersedia mengakui kedaulatan Demak. Rupanya  sepeninggal Handayaningrat, Syekh Siti Jenar telah diangkat menjadi penasihat Adipati Pengging. Posisi Syekh Siti Jenar terhadap Ki Ageng Pengging selaku penguasa Pengging, mirip posisi Dewan Walisongo terhadap Sultan Demak, yakni penasihat Raja atau Adipati.


Misi Patih Wanasalam ternyata gagal. Pengging tetap belum bersedia mengakui kedaulatan Demak. Patih  Wanasalam atas nama Sultan Demak masih memberi tenggang waktu tiga tahun untuk menentukan sikap. Tahun 1529 M, Sunan Kudus Ja’far Shodiq  selaku Panglima Perang Demak, mengingatkan Pengging, bahwa tenggang waktu untuk menetukan pilihan sudah hampir habis. Guna memutus jalur Sengguruh – Pengging, tahun 1529 M, Sunan Kudus memimpin ekspedisi penaklukan Madiun. Ternyata jatuhnya Madiun tidak mampu merubah pendirian Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging. Karena Pengging tak juga memberi respon, kesabaran Demak pun habis. Tahun 1530 M, Demak menyerang Pengging, maka  Pengging pun  jatuh. Ki Ageng Pengging ditangkap dan langsung dieksekusi oleh Sunan Kudus..


Dalam  Babad Tanah Jawi, maupun Serat  Syekh Siti Jenar karangan Ki Sasra Wijaya atau R.Panji Natarata, diceriterakan bahwa  Ki Ageng Tingkir, sahabatnya itu  telah meninggal  lebih dulu dari pada Ki Ageng Pengging.  Dikisahkan pula bahwa pada saat Nyi Ageng Pengging hamil tua, di rumah Ki Ageng Pengging dipentaskan pagelaran wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Di tengah pagelaran, Nyi Ageng Pengging merasa hendak melahirkan kandungannya. Konon  pada  saat Ki Ageng Tingkir mendalang itu, bertiuplah  angin kencang yang menerpa wayang beber yang tengah dimainkannya dan terdengarlah suara bree…eeeet. Bersamaan dengan angin kencang itu, lahirlah  bayi dari  rahim Nyi Ageng Pengging, seorang bayi laki-laki yang elok dan cakap. Maka Ki Ageng Tingkir mohon ijin untuk memberi nama bayi laki-laki itu  Karebet. Ki Ageng Pengging menyetujuinya. Paginya bayi laki-laki itu diminta oleh Ki Ageng Tingkir untuk diasuhnya, ternyata Ki Ageng  Pengging juga menyetujui.


Babad Tanah Jawi dan Serat Syekh Siti Jenar karya  Panji Natarata tidak menyebutkan apa alasan  Ki Ageng Pengging menyerahkan begitu saja anak laki-lakinya yang baru lahir dalam asuhan Ki Ageng Tingkir. Bukankah anak laki-laki  pertama itu adalah calon pewaris dan penerus tahta Kadipaten  Pengging? Apalagi diberitakan setelah mengasuh Mas Karebet tidak lama kemudian Ki Ageng Tingkir dikabarkan meninggal. Tidak adanya penjelasan mengapa Ki Ageng Pengging begitu mudahnya menyerahkan anak laki-lakinya itu, menyebabkan Ahli Sejarah Belanda De Graaf meragukan  Mas Karebet adalah putra Ki Ageng Pengging. 

Bisa jadi Mas Karebet memang putra Ki Ageng Pengging. Pada saat Pengging akan diserbu Demak, Ki Ageng Pengging mengungsikan istri dan anak laki-lakinya itu ke tempat tinggal Ki Ageng Tingkir. Sejak itulah Mas Karebet berada dalam asuhan Ki Ageng Tingkir hingga lebih dikenal sebagai Joko Tingkir. Setelah  Ki Ageng Tingkir wafat, rupanya Joko Tingkir berada dalam asuhan Ki Ageng Butuh. Kelak Joko Tingkir lebih suka dimakamkan di desa Butuh. Hal ini menunjukkkan adanya hubungan emosional yang erat antara Joko Tingkir dan Ki Ageng Butuh.


Hubungan Ki Ageng Butuh dengan Sultan Demak juga amat baik. Hal ini memperkuat dugaan bahwa Ki Ageng Butuh memang menjadi pemangku kepentingan Demak di Pengging pasca wafatnya Ki Ageng Pengging. Kelak setelah Joko Tingkir mencapai usia remaja, lewat rekomendasi Ki Ageng Butuh, Joko Tingkir dengan mudah bisa masuk menjadi anggota pasukan elit pengawal Sultan Demak. Memang Babad Tanah Jawi menyebutkan adanya Komandan Prajurit Suronatan Kerajaan Demak yang bernama Ki Ganjur. Dia adalah   keluarga  Ki Ageng Tingkir. Hal ini semakin memperkuat pendapat bahwa Ki Ageng Tingkir maupun Ki Ageng Butuh punya hubungan baik dengan Sultan Demak. Dan itu menunjukkan bahwa  pasca penaklukan Pengging, Pengging mengakui kedaulatan Demak.  



3 Nasib Syekh Siti Jenar.

Setelah Pengging jatuh bagaimana nasib Syekh Siti Jenar? Babad Tanah Jawi dan kronik lokal sejenis yang berisi legenda Syekh Siti Jenar  menjelaskan bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh Sultan Demak  karena  dia telah mengajarkan ajaran sesat. Keputusan hukuman mati dilaksanakan akibat hasutan beberapa tokoh Walisongo yang takut  ajaran Syariat  Islam yang diajarkan para wali kalah populer dengan ajaran Syekh Siti Jenar. Padahal ajaran  Syekh Siti Jenar itu terang-terangan menolak  ajaran syariat Islam. Ternyata fakta sejarah tidak demikian. Syekh Siti Jenar dihukum mati karena dianggap menghasut Ki Ageng Pengging agar menolak mengakui kedaulatan Demak. Bisa jadi memang ada kepentingan agama dalam kasus eksekusi Ki Ageng Pengging dan Syekh Siti Jenar. Tetapi faktor agama bukanlah faktor yang utama. Faktor utamanya adalah masalah politik.


Babad Tanah Jawi ditulis pada awal abad ke 18 M, oleh Carik Bajra atas perintah Paku Buwono I pada masa Kerajaan Mataram Kartasura. Carik Bajra adalah salah seorang dari keturunan Pangeran Adilangu. Jadi dia masih keturunan Sunan Kalijaga. Sebagai bahan penulisan bukunya itu, Carik Bajra menggunakan buku-buku yang tersimpan di Perpustakaan Kraton. Salah satu sumber yang dipakainya adalah Babad Mataram yang ditulis pada jaman Sultan Agung. Dapat dimengerti bila isi Babad Mataram  agak tendensius terhadap  Kerajaan Demak dan Walisongo, karena Syekh Siti Jenar yang dipersepsikan sebagai tokoh yang  mengajarkan konsep Manunggaling Kawula Gusti  dimusuhi oleh Walisongo.


Tokoh Walisongo yang paling gigih menentang ajaran Syekh Siti Jenar adalah Sunan Bonang, Sunan Kudus dan Sunan Giri Gajah. Itulah sebabnya dikembangkan kisah-kisah  fantasi  guna mengkultuskan  Syekh Siti Jenar dan juga untuk memojokkan para Walisongo, khususnya ketiga wali tersebut. Karena gaya penulisannya yang bersifat tendensius untuk menyudutkan  Demak dan Walisongo, kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam Babad Tanah Jawi dan  kronik-kronik lokal  Jawa Tengah dan Jawa Timur sulit dipercaya kebenarannya. Kisah kematian Syekh Siti Jenar versi Babad Cirebon jauh lebih dapat dipercaya. Walaupun belum sepenuhnya bebas dari unsur mistik dan legenda, tetapi   kecenderungan untuk mengkultuskan Syekh Siti Jenar dan menyudutkan Demak dengan Dewan Walisongonya, jauh berkurang. Karena itu kisah dalam Babad Cirebon lebih memiliki nilai obyaktifitas, dibanding Babad Tanah Jawi dan kronik lokal Jawa Tengah dan Jawa Timur.


Rupanya saat Sunan Kudus menyerbu Pengging, Syekh Siti Jenar beserta sejumlah pengikutnya berhasil melarikan diri. Kemungkinan besar lebih dulu melarikan diri ke arah Kediri., karena walapun telah ditaklukan Demak, belum seluruh wilayah Kediri yang luas itu mampu dikuasai Demak. Lagi pula di daerah Kediri dan sekitarnya  banyak juga pengikut Syekh Siti Jenar. Setelah Pengging jatuh, Demak melakukan ekspansi ke Jawa Timur dalam rangka merebut Sengguruh. Demak memerlukan waktu cukup lama untuk menaklukan  Sengguruh, lebih kurang 15 tahun  setelah Pengging jatuh. Untuk melemahkan Sengguruh  Demak lebih dulu harus menaklukan daerah-daerah di sekitarnya seperti  Lamongan, Surabaya, Pasuruan, Madura, Madiun bahkan Penanggungan, sebuah daerah basis para pendeta Hindu Buddha. Akhirnya hampir semua wilayah di luar Sengguruh dapat ditaklukan Demak. Bahkan  Mamenang yang dekat Kediri, menjadi amat terancam dan akhirnya juga berhasil  ditaklukan. Agaknya karena merasa terancam, jauh-jauh sebelum kota-kota sekitar Sengguruh jatuh, Syekh Siti Jenar lebih dulu meninggalkannya dan pindah  ke Cirebon, tanah kelahirannya yang dianggapnya tempat paling aman untuk bersembunyi. Dan setelah  merasa aman dan nyaman mulailah dia menyebarkan ajarannya dan mencari pengikut dari masyarakat Cirebon dan sekitarnya.  Saat itu Cirebon masih merupakan wilayah dari  Kerajaan Islam Demak. Penguasa Cirebon adalah Pangeran Pasarean yang mewakili ayahnya Syekh Nurullah yang tinggal di Banten.


Kegiatan Syekh Siti Jenar segera tercium oleh tentara keamananan  Kadipaten Cirebon. Akhirnya Syekh Siti Jenar berhasil ditangkap. Pangeran Pasarean segera melapor kepada Sultan Demak Trenggono dan Syekh Nurullah di Banten. Sultan Trenggono mengutus Sunan Kudus ke Cirebon untuk melaksanakan eksekusi hukuman mati.. Dengan menggunakan sebilah keris, disaksikan Pangeran Pasarean dan kemungkinan juga disaksikan Syekh Nurullah yang datang dari Banten ke Cirebon, Sunan Kudus melaksanakan eksekusi hukuman mati atas diri Syekh Siti Jenar. Babad Cirebon mencatat bahwa eksekusi hukuman mati atas  Syekh Siti Jenar itu dilakukan pada bulan Safar 923 H. Bila tahun ini dikonversikan  ke tahun  Miladiyah atau Syamsiah, kira-kira bertepatan dengan tahun 1516 M. Angka ini jelas tidak cocok dengan fakta sejarah. Karena pada tahun itu Syekh Nurullah masih di Pasai dan Sultan Trenggono belum menjabat Sultan Demak. Sunan Kudus pun masih berusia remaja. Karena itu angka tahun yang disebutkan Babad Cirebon tak dapat dijadikan pegangan. Yang lebih pasti dan dapat dijadikan pegangan peristiwa eksekusi mati atas Syekh Siti Jenar  itu besar kemungkinan  terjadi antara tahun 1530 – 1546 M.


Menurut catatan De Graaf, Sunan Kalijaga pindah ke Demak tahun 1543 M. Kira-kira pada tahun ini juga Pangeran Panggung murid Syekh Siti Jenar putra Sunan Kalijaga ikut pindah ke Demak. Pangeran Panggung  kemudian pergi ke Pengging dan bermukim di Panggung, hingga  dikenal sebagai Pangeran  Panggung. Dengan demikian antara tahun 1543- 1545 M, Syekh Siti Jenar masih hidup, karena Sunan Panggung berbuat onar di Msajid Demak adalah sebagai protes atas hukuman mati yang baru saja dijatuhkan atas diri gurunya itu. Antara tahun 1543- 1545 M, Sunan Kudus sedang sibuk mempersiapkan operasi penaklukan Sengguruh. Karena itu kecil kemungkinannya dia bisa pergi ke Cirebon. Maka  kita dapat memperkirakan, bahwa Sunan Kudus ke Cirebon untuk melaksanakan hukuman mati atas Syekh Siti Jenar, terjadi setelah Sengguruh jatuh. Dan itu berarti  terjadi pada tahun 1545 M.   


Setelah dirawat sebagaimana layaknya seorang Muslim, jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di pemakaman umum, di pinggiran kota Cirebon. Berita kematian Syekh Siti Jenar segera menyebar ke berbagai penjuru tanah Jawa. Maka berbondong-bondonglah pengikut Syekh Siti Jenar  ke kota Cirebon untuk berziarah. Mereka datang dari berbagai kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, bahkan ada yang dari Lampung. Setiap rombongan peziarah datang, mereka menebarkan bunga melati di atas makam Syek Siti Jenar. Karena itu, pemekaman umum itu menjadi tenar dengan nama Pamlaten, yang berarti  tempat yang dipenuhi bungan melati. Tentu saja makam itu menjadi harum oleh aroma bunga melati. Tetapi pengikutnya menduga aroma itu berasal dari jenasah Syekh Siti Jenar.


Dalam kronik Cirebon dikisahkan pula bahwa Syekh Siti Jenar memiliki dua orang anak laki-laki yang diberinama Abdul Qodir alias Datuk Badrun dan Abdul Qohar alias Datuk Fardut. Ketika Syekh Siti Jenar dihukum mati kedua anaknya itu diselamatkan ke Lamongan Jawa Timur. Tetapi setelah dewasa Abdul Qodir kembali ke Cirebon, sedang adiknya Abdul Qohar tetap tinggal di Paciran, Lamongan. Dari kisah kronik Cirebon ini, dapat disimpulkan  bahwa Syeh Siti Jenar lebih lama tinggal di Cirebon setelah melarikan diri dari Pengging, dari pada tinggal di Kediri. Buktinya dia bisa membangun suatu keluarga yang memberikannya keturunan. Dalam kronik Jawa Tengah seperti Serat Syekh Siti Jenar karangan Ki Sastrawijaya, tidak pernah disinggung kehidupan pribadi dan keluarga Syekh Siti Jenar. Hal ini menujukkan bahwa masyarakat Cirebon lebih mengetahui detail kehidupan Syekh Siti Jenar ketimbang masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur.


Memang tradisi Cirebon seperti tulisan PS.Sulendraningrat dalam Babad Tanah Sunda-Babad Cirebon mencantumkan silsilah Syekh Siti Jenar/Syekh Lemah Abang/Syekh Abdul Jalil sebagai keturunan ke-21 dari Nabi Muhammad saw. Tetapi kebenaran silsilah itu kurang dapat diprecaya, karena pembuatan silsilah itu hanyalah bagian dari upaya mengkultuskan seorang tokoh yang dianggap suci seperti Syekh Siti Jenar. Lagi pula sumber penulisan Babad Tanah Sunda-Babad Cirebon, diduga baru ditulis dalam waktu yang belum terlalu lama, yakni pada awal abad ke-19 M, terutama setelah Kerajaan Banten dan Cirebon jatuh dibawah pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1809 M. Naskah Walisana yang ditulis Sunan Giri Prapen yang menyebutkan asal usul moyang Syekh Siti Jenar, jauh lebih dapat dipercaya dari tulisan PS. Sulendraningrat, sekalipun tidak disertai daftar silsilah nenek moyang Raden Saksar atau Syekh Siti Jenar.



 4 Usaha Pemujaan Syekh Siti Jenar.                                         

Suatu saat datanglah serombongna peziarah dari Kediri. Mereka menghadap  Pangeran Pasarean dan mengajukan permohonan agar diijinkan membawa jenazah Syekh Siti Jenar untuk dimakamkan di Kediri. Tetapi Pangeran Pasarean tidak langsung menyetujui. Dia berjanji akan berkonsultasi dulu dengan Syekh Nurullah, ayahnya  yang saat itu tinggal  di Banten. Ternyata Syekh Nurullah Sunan Gunungjati tidak menyetujuinya dan memerintahkan agar makam itu dibongkar  dan jenazah Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan. Kurang jelas atas inisiatip siapa, yang jelas setelah makam dibongkar dan jenazah dipindahkan ke tempat yang tersembunyi, ke dalammnya  ada yang memasukkan bangkai anjing. Maksudnya agar makam itu tidak dijadikan tempat ziarah dan pemujuaan.


Ketika rombongan dari Kediri datang, penguasa Cirebon mempersilahkannya untuk membongkar sendiri makam tersebut. Betapa terkejutnya para peziarah itu, karena setelah makam dibongkar, ternyata yang ada di dalam makam itu, bukan jenazah Syekh Siti Jenar yang akan dibawa ke Kediri. Tetapi  bangkai  seekor anjing. Akhirnya rombongan pulang dengan kecewa dan tangan hampa. Memang sejak itu, tak ada lagi peziarah yang datang dan makam itu pun menjadi sepi sebagaimana layaknya makam umum biasa.


Dalam  berbagai serat babad dan kronik Jawa Tengah dan Jawa Timur, banyak dikisahkan bahwa Sultan Bintara Raden Patah, setelah mengetahui jenasah Syekh Siti Jenar yang dieksekusi di Masjid Demak berubah menjadi bangkai anjing, memerintahkan agar ada bangkai anjing  yang  digantung di alun-alun. Konon sebagai peringatan, agar rakyat tidak mengikuti ajaran Syekh Siti Jenar. Karena kalau mengikutinya, bila mati akan berubah menjadi bangkai anjing seperti yang terjadi pada Syekh Siti Jenar. Jelas kisah ini bersifat tendensius untuk menyudutkan Raden Patah. Karena saat eksekusi Syekh Siti Jenar, Raden Patah  sudah wafat (1518 M). Lagi pula konflik Demak Pengging, tidak terjadi pada masa pemerintahan Raden Patah, tetapi terjadi pada masa Sultan Trenggono (1521-1546 M).

  
Memang para penggubah kisah-kisah babad dari Jawa Tengah dan Jawa Timur sering menggambarkan citra buruk  Raden Patah. Babad Kediri malah menyebut dengan nada sinis Raden Patah sebagai Babah Fatah. Babah adalah sebutan untuk orang China. Dan Raden Patah memang adalah seorang Muslim sekalipun dia keturunan peranakan China-Jawa.Wallahualam[] 

Catatan : Artikel Lanjutan:
Sejarah Syekh Siti Jenar, Diantara Legenda, Mitos, dan Fantasi Libido.
 https://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-syekh-siti-jenar-dan-walisongo.html
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar