Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Kamis, 23 Juni 2016

Syekh Siti Jenar dan Walisongo, Diantara Legenda, Mitos, dan Fantasi Libido Seksual (Bagian 04-Tamat)





 Legenda dan Mitos Kematian Syekh Siti Jenar


  Syekh Siti Jenar dan Sunan Panggung merupakan tokoh oposisi yang menentang ajaran syariat Islam dari Walisongo. Walaupun Syekh Siti Jenar digambarkan sebagai wali yang menentang ajaran Walisongo dengan cara menyampaikan  ajaran sesat, tetapi oleh pengikutnya sering dimitoskan sebagai tokoh yang sakti luar biasa. Kesaktian Syekh Siti Jenar mengungguli kesaktian Walisongo yang lain. Hanya Sunan Kalijaga yang dapat mengimbangi kesaktian Syekh Siti Jenar. Di mata orang-orang Islam Kejawen, kesaktian Syekh Siti Jenar dengan Sunan Kalijaga seimbang. Hal bisa dilihat dari kisah di bawah ini.


“Suatu saat Walisongo mengejar-ngejar Syekh Siti Jenar untuk menangkapnya. Ketika dikejar, Syekh Siti Jenar masuk ke dalam bumi. Tidak ada wali yang bisa masuk ke dalam bumi, kecuali  Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga segera masuk ke dalam bumi meneruskan pengejaran untuk menangkap Syekh Siti Jenar. Di bawah tanah yang gelap gulita dan sempit  itu, karena kesaktiannya, Syekh Siti Jenar dapat merubahnya menjadi ruangan yang luas dan lapang seluas alam semesta yang terang benderang dengan langitnya yang cerah. Untuk menandingi kesaktian Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga di dalam tanah itu menciptakan mendung, topan, hujan badai, dan gempa, sehingga keaadaan yang tadinya terang benderang kembali sempit, sesak dan gelap seperti sedia kala, bahkan lebih sempit dari semula. Itu semua berkat kesaktian Sunan Kalijaga. Namun Syekh Siti Jenar belum menyerah. Dia menciptakan suatu keadaan yang asri dan  indah, laksana taman  surga lengkap dngan buah-buahnya yang ranum.


Tetapi Sunan Kalijaga tidak mau terkecoh. Untuk mengalahkan kesaktian Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga menciptakan api dan kapak-kapak api yang dapat terbang. Lalu kapak-kapak api itu membabat dan membakar habis segala ciptaan Syekh Siti Jenar. Pohon-pohon dan tiang-tiang habis ditebang oleh kapak api yang beterbangan menghantam sasaran, tanpa ada tangan yang mengemudikannya. Karena merasa terdesak Syekh Siti Jenar meloncat keluar dan segera dikejar oleh delapan orang wali yang dari tadi menunggu di atas tanah. Melihat Syekh Siti Jenar kembali muncul, mereka ramai-rami mengejarnya. Tetapi Syekh Siti Jenar masih punya satu kesaktian lagi, yaitu menggandakan dirinya hingga menjadi delapan Syekh Siti Jenar kembar. Kedelapannya bertempur melawan ke delapan wali dan semua wali itu dapat dikalahkan. Untung Sunan Kalijaga segera muncul. Dengan mudah Sunan Kalijaga dapat menemukan Syekh Siti Jenar yang asli dan menangkapnya.


Setelah Syekh Siti Jenar asli dapat ditangkap, maka Syekh Siti Jenar palsu lenyap seketika. Akhirnya Syekh Siti Jenar yang telah merepotkan Walisongo itu dihukum mati” (Drs.Widji Saksono; 1995:45-46 ). Demikianlah  kisah yang melukiskan betapa saktinya Syekh Siti Jenar itu. Kesaktian lainnya yang dimilki Syekh Siti Jenar antara lain dapat merubah dirinya menjadi cacing, menjadi katak dan menjadi burung gagak putih.


Syekh Siti Jenar masih memiliki kesaktian lainnya lagi yakni kebal senjata tajam. Dikisahkan bahwa pada saat Syekh Siti Jenar dieksekusi dengan hukuman mati, Syekh Siti Jenar masih mampu memperagakan kesaktiannya. Inilah kisah kematian Syekh Siti Jenar versi Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon  karangan PS.Sulendraningrat. "Para wali berkumpul di Masjid Agung Ciptarasa Cirebon, menunggu Syekh Siti Jenar untuk melanjutkan diskusi yang belum selesai. Dalam diskusi sebelumnya Syekh Siti Jenar telah membuat marah para wali karena Syek Siti Jenar mengaku dirinya Allah. Setelah lama ditunggu Syekh Siti Jenar belum datang juga. Setelah beberapa kali disusul, akhirnya Syekh Siti Jenar mau datang karena yang menyusulnya empat orang wali yaitu Syekh Magribi, Syekh Majagung, Syekh Bentong dan Sunan Kudus. Sampai di masjid  Syekh Siti Jenar berkata kepada Sunan Gunungjati, ”Bagaimana kehendak Paduka sehingga undangan datang bertubi-tubi?”.


Sunan Gunungjati menjawab, ”Kang Raka berkali-kali kami undang, karena jumlah yang hadir kurang satu orang untuk membicarakan ilmu membuka yang tersembunyi.”


“Dari tadi sebenarnya Kang Raka juga sudah menunggu agar dikirim utusan untuk membuka i’tikad sejatinya. Tetapi kawan-kawan masih memakai penutup,” jawab Syekh Siti Jenar.


Sunan Kudus berkata dengan agak marah, “ Memang benar perkataan Rama, tetapi janganlah terlanjur bahasa”.


“Tidak merasa terlanjur bahasa, sekejap pun tidak,” bantah Syekh Siti Jenar.


Sunan Bonang menengahi sambil berkata, ”Sekarang kawan-kawan mari kita mulai lagi membicarakan membuka i’tikad sejati. Tetapi janganlah memakai khijab,”


Mendengar ajakan Sunan Bonaang para wali yang hadir mencapai kata sepakat. Sunan Gunungjati memulai menyampaikan pendapatnya, ”Allah itu adalah sah Dhat dan SifatNya.”


Sunan Giri mengemukakan pendapatnya,“Allah itu adalah bingung karena mudahnya.”


Sunan Bonang berpendapat, “Allah itu adalah tidak bersama, tidak di luar dan tidak di dalam.Bersih tidak kecampuran”


Syekh Magribi berkata,“Allah itu adalah Zat yang Maha Tunggal.”


Sunan Kalijaga berkata,”Allah itu mengganti, tidak mengganti tetapi mengganti kepadaNya.”


Syekh Bentong ikut urun pendapat,”Allah itu tidak dekat, tetapi juga tidak jauh.


Demikianlah para wali yang hadir semuanya satu persatu meyampaikan pendapatnya tentang Zat Allah. Rupanya mereka tengah berdebat tentang hakekat Allah dan sifat-sifatNya yang dikenal dengan Sifat Dua Puluh. Rata-rata mereka sependapat, sekalipun bunyi kalimatnya berbeda. 

Kini giliran Syekh Siti Jenar menyampaikan pendapatnya. Ia berkata dengan lantang dan tegas, ”Allah itu  adalah nyatanya aku yang sempurna yang tetap di dalam dhohir batin.”


Mendengar pendapat Syekh Siti Jenar tentang hakekat Allah itu, Sunan Kudus mulai marah, “Sang Rama senantiasa ngumbar bahasa. Apakah tidak takut kepada hukum ?”


Syekh Siti Jenar menjawab, ”Hukum apa yang aku takuti? Walau dibunuh Sang Rama tameng dada i’tikad yang abadi tidak boleh berubah, sebab mengatakan adanya Allah, nanti Allah sekarang juga Allah!”


Sunan Kudus menjadi tidak sabar dan berkata kepada Sunan Gunungjati, ”Kanjeng Rama Sunan Jati, bagaimana hukumnya orang yang mengaku Allah? Syekh Siti Jenar mengaku Robbul Alamin!”


Sunan Gunung Jati tidak menjawab, hanya memberikan keris Kaki Naga kepada Sunan Kudus dan Sunan Kudus segera tanggap. Ditusuknya Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar  sampai beberapa kali. 

Ternyata tusukan itu tidak mempan. Para wali yang menyaksikan kejadian itu tertawa ramai-ramai, sambil berkata,“Masa ada Allah keras seperti batu !”.


Mendengar olok-olok para wali, Syekh Siti Jenar  menjawab sambil menantang,” Ayolah Sunan Kudus, tusuklah aku sekali lagi!”.


Sunan Kudus menusukkan kerisnya sekali lagi. Kini keris tembus ke dalam tubuh Syekh Siti Jenar dan mengucurlah darah merah. Tetapi Syekh Siti Jenar tidak mati masih tetap hidup dalam keadaan duduk. Para wali bersorak lagi sambil berkata,”Masa ada Allah keluar darah merah seperti kambing!”.


Syekh Siti Jenar berkata lagi, “Ayolah Sunan Kudus tusuk lagi aku.”     


Kembali Sunan Kudus menusukkan keris yang masih dipegangnya. Kali ini tubuh Syekh Siti Jenar mengeluarkan darah putih. Menyaksikan itu, kembali para wali tertawa,”Masa ada Allah keluar darah putih seperti cacing”.


Syekh Siti Jenar berkata seraya menantang Sunan Kudus,”Ayolah Sunan Kudus, tusuklah aku sekali lagi.”


Kembali Sunan Kudus beraksi lagi. Keris yang dipegangnya ditusukkan lagi. Tiba-tiba Syekh Siti Jenar lenyap dari pandangan para wali yang masih berkelakar sambil tertawa,”Masa ada Allah wujudnya hilang seperti setan.”


Seketika itu juga, muncul Syekh Siti Jenar terlentang dihadapan mereka seperti orang mati. Berkata para wali sambil bersorak,”Masa ada Allah matinya seperti kayu!”


Segera Syekh Siti Jenar berubah mengecil  sebesar kuncup bunga melati. Dan terdengarlah suara diangkasa:

”Hai Sunan Jati dan para Wali, kelak pada akhir jaman akan ada kerbau bule mata kucing  yang mendarat dari laut. Itulah yang akan menumpas dan menjajah keturunanmu."

***

Jelas sekali bahwa kisah ini hanya rekaan dan fantasi penggubah naskah yang ditulis oleh penulisnya pada masa setelah Kerjaan Cirebon dan Banten, dua kerajaan warisan Sunan Gunungjati, jatuh dibawah kekuasaan penjajah Belanda sejak tahun 1809 M, pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels (1807 -1811M ).Sang Penggubah kisah, telah mengait-ngaitkan jatuhnya dua kerajaan warisan Sunan Gunungjati ke tangan penjajah Belanda sebagai balas dendam Syekh Siti Jenar yang telah dieksekusi di Masjid Agung Ciptarasa Cirebon, sebuah masjid yang didirikan oleh Sunan Gunungjati.


Demikianlah sejumlah kisah legenda para wali yang penuh fantasi. Kita segera bisa mengetahui, bahwa kisah-kisah legenda para wali itu diilhami oleh kisah-kisah para nabi  dalam Serat Ambiya, kisah-kisah dari dunia wayang yang memang amat digemari oleh orang Jawa maupun Sunda, dan kisah para sufi atau ahli tasawuf.


Kisah legenda Syekh Jumadilkubro, diilhami oleh kisah ahli tasawuf ayah Syamsuddin At Tabrizi yang dianggap telah melakukan perbuatan menyimpang terhadap ajaran syariat Islam. Pada awalnya ayah Syamsuddin adalah seorang ulama yang amat taat menjalankan ajaran syariat Islam. Tetapi pada suatu saat dia terpengaruh suatu ajaran tasawuf gullah, yakni ajaran tasawuf  yang menyimpang karena menolak ajaran syariat Islam. Semua buku-buku koleksi perpustakaan pribadinya yang berisi ajaran syariat Islam, dibakarnya sampai habis. Sejak itu dia mengajarkan Islam dalam visi konsep persatuan hamba dan tuhan tanpa harus menjalankan ritual peribadan seperti mengucapkan kalimat syahadat, salat, saum, zakat dan ibadah haji.


Putranya, Syamsuddin At Tabrizi – yang artinya adalah matahari agama dari Kota Tabriz - tumbuh dan besar dalam bayang-bayang ajaran Islam yang dipenuhi ajaran bid’ah dari ayahnya. Mungkin Sang Penggubah Kisah Jumadilkubro hendak  membuat semacam simbolisme, bahwa penyimpangan terhadap ajaran syariat Islam yang dilakukan oleh seorang yang sudah bergelar Syekh sebenarnya sama saja dengan melakukan tindakan tidak terpuji, seperti halnya orang yang melakukan perkawinan sumbang, sekalipun hasilnya adalah akan menghasilkan seorang murid yang bisa jadi cemerlang dalam soal-soal mistik ketuhanan. Tetapi simbolisme itu berkembang menjadi konsep mistik pemujaan terhadap anak hasil perkawinan sumbang orang suci.


Kisah legenda Malik Ibrahim, mengingatkan kita pada kisah Nabi  Zakaria. Kisah legenda Sunan Ampel mengingatkan kita pada kisah Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati. Kisah legenda Sunan Bonang mengingatkan kepada kisah pertemuan Nabi  Khidir dengan Nabi  Musa di tepi pantai. Kisah legenda Sunan Giri mengingatkan pada kisah Nabi  Musa ketika masih bayi, dibuang ibunya ke sungai Nil dan berlabuh di istana Fir’aun. Kisah Sunan Panggung yang tak mempan dibakar api, mengingatkan kita pada kisah Nabi  Ibrahim ketika dibakar oleh Raja Namrud. Kisah Bende Kiyai Sima Sunan Kudus yang mampu mendatangkan beribu-ribu tentara tidak tampak, mengingatkan kita pada sejarah Nabi  Muhammad saw saat perang Badar. Karena doa Nabi saw, Malaikat turun dari langit membantu tentara Muslim melawan tentara kafir Quraisy yang jumlahnya tiga kali lipat tentara Muslim. Hanya saja Nabi saw  tidak punya bende dan memang tidak pernah  percaya pada bende. Yang diajarkan Nabi saw saat berperang hanyalah dengan membaca doa.


Kisah perkelahaian antara Sunan Kalijaga yang hendak menangkap  Syekh Siti Jenar, mengingatkan para pembaca pada lakon wayang Surya Atmaja Maling, yaitu perkelahaian antara Arjuna dan Surya Atmaja atau Karna. Sunan Kalijaga berperan sebagai Arjuna dan Syekh Siti Jenar  sebagai Adipati Karna atau Surya Atmaja. Dalam kisah wayang kedua ksatria itu memang memiliki kesaktian yang seimbang. Tetapi akhirnya Karna bisa ditangkap Arjuna.


Adapun kisah kematian Syekh Siti Jenar, mengingatkan pembaca pada kisah Raden Narasoma yang hendak membunuh mertuanya, Begawan Bagaspati. Beberapa kali mertua Narasoma itu ditusuk dengan keris pusaka tetapi tidak mati-mati. Baru setelah Raden Narasoma meminta keikhlasan mertuanya, Bagaspati yang sangat sakti karena memiliki aji Candra Birawa, menyatakan rela mati bila Narasoma berjanji tidak akan mengkhianati cinta putrinya, Pujiwati. Narasoma menyatakan kesanggupanya,maka pendeta raksasa itu tewas seketika. Tetapi setelah kematiannya terdengar suara bahwa kelak ia akan menuntut balas atas kematiannya dalam perang Bharata Yuda yang pasti akan datang.


Raden Narasoma menghendaki kematian Bagaspati, karena ia merasa malu sebagai seorang ksatria Putra Mahkota Kerajaan Mandaraka tetapi mempunyai mertua seorang raksasa. Sekalipun Bagaspati adalah seorang pendeta raksasa, tetapi dia punya putri yang amat cantik jelita yang benama Dewi Pujiwati atau Setyawati. Raden Narasoma berjanji, akan menjadikan Dewi Setyawati permaisurinya kelak bila dia naik tahta Kerajaan Mandaraka. Dan janji itu memang dipenuhinya. Dalam legenda kematian Syekh Siti Jenar itu, sudah jelas bahwa Syekh Siti Jenar berperan sebagai  Begawan Bagaspati yang memiliki kesaktian luar biasa, sedangkan Sunan  Kudus berperan sebagai Raden Narasoma. 


Tentu saja kisah-kisah fantasi semacam itu bukanlah fakta sejarah, tetapi kisah fantasi hasil imajinsi Sang Penggubah Kisah, sekalipun tokoh-tokoh pelakunya adalah tokoh sejarah yang benar-benar ada dalam dunia empiris, pada suatu jaman yang sayup-sayup tertinggal jauh di belakang kita.Wallahu alam.[The End]


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar