Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Kamis, 23 Juni 2016

Syekh Siti Jenar dan Walisongo, Diantara Legenda, Mitos, dan Fantasi Libido Seksual(Bagian 01)



 Legenda Jumadil Kubro dan Putranya, Syamsu Tamresy


Seiring dengan perjalanan waktu, kisah dan peran  Walisongo sebagai tokoh sejarah, lama kelamaan tergeser ke belakang, sehingga akhirnya menjelma menjadi tokoh legenda dan tokoh mitos. Istilah Walisana pun berubah menjadi Walisongo. Hal ini terjadi seiring dengan menguatnya Kerajaan Mataram yang lebih bercorak Hindu-Buddha dari pada Islam serta mengedepankan hal-hal yang bersifat  irasional, mistik, dan religio magik.


Hutan, gunung, sungai, laut, dan makam-makam kembali dikeramatkan. Sebelumnya Walisongo tidak pernah mengajarkan kekeramatan makam-makam kecuali hanya mengajarkan tata cara berziarah dan  mendoakan ahli kubur. Tetapi sejak  jaman Mataram, makam-makam  Walisongo banyak yang dipugar dan dijadikan makam keramat. Para Raja dan Punggawa banyak yang melakukan ziarah ke makam para wali. Bukan untuk mendoakan para wali, tetapi untuk menyadap dan memperoleh kekuatan gaib karena menguatnya paham mistik, bahwa makam-makam para wali yang dikeramatkan itu, merupakan salah satu sumber kekuatan gaib  di dunia ini. Akibat dari pandangan yang bersifat religio magik dan irasional mistik itu dan pemujaan-pemujaan yang berlebihan  serta  anggapan adanya kekuatan gaib pada makam Walisongo, maka munculah kisah legenda dan mitos Walisongo lengkap dengan berbagai jenis kesaktian dan kegaiban yang dimiliki tokoh-tokoh Walisongo.


Kalau kita membaca kisah Walisongo yang banyak dijajakan di kios-kios sekitar makam Walisongo, akan segera kita lihat bahwa sosok Walisongo sebagai tokoh sejarah hampir-hampir hilang. Yang paling menonjol adalah sosoknya sebagai tokoh legenda dan mitos. Wajar saja bila masyarakat kita yang semakin kritis seperti  para pelajar dan mahasiswa yang sudah terdidik akalnya, pada saat membaca buku kisah Walisongo itu sering bertanya-tanya dalam hati, ini buku sejarah atau legenda? Memang buku Kisah Walisongo yang banyak beredar di masyarakat dan dipasarkan di sekitar makam-makam  Walisongo itu lebih tepat disebut sebagai legenda Walisongo daripada sejarah Walisongo.

Tokoh yang pertama kali menulis kisah para wali perintis dakwah Islam di Pulau Jawa  adalah Sunan Giri Gajah dan Sunan Giri Prapen dengan judul Walisana.  Pada waktu Mataram berkuasa dan meluaskan wilayahnya ke Jawa Timur, Pesantren Giri termasuk pesantren yang dihancurkan oleh tentara Mataram. Pertama tahun 1638 M dan yang kedua kali tahun 1683 M.  Perpustakaan Giri yang merupakan perpustakaan terlengkap di Pulau Jawa saat itu, termasuk yang menjadi sasaran penghancuran. Banyak buku yang hilang dan dibakar sebagai upaya untuk mengurangi pengaruh Pesantren Giri yang saat itu amat kuat. Hanya beberapa buku peninggalan kepustakaan Pesantren Giri yang selamat sampai di Mataram, antara lain kitab Walisana itu. Sultan Agung sendiri menyesalkan tindakan pasukannya yang  kelewat batas dan kurang menghargai karya pustaka peninggalan para wali. Penyesalan Sultan Agung dapat dipahami, karena beliau sendiri adalah seorang  sastrawan Jawa yang menghasilkan karya sastra Jawa yang amat indah, Sastra Gending.


Sejak penaklukan Giri, kitab Walisana menjadi penghuni perpustakaan Kerajaan Mataram, sampai akhirnya pindah ke perpusatakaan Kerajaan Surakarta. Pada masa kebangkitan kesusastran Jawa di Kraton Surakarta, yakni pada paruh kedua abad ke 19 M,  salah seorang pujangga kraton Surakarta, menggubah kitab Walisana menjadi  Kisah Walisongo. Pada saat terjadi penggubahan inilah, terjadi proses pemujaan, pengkultusan, mistikisasi, dan legendanisasi para tokohnya. Akibatnya, aspek kesejarahan tokoh-tokohnya menjadi lenyap dan sosok Walisongo menjelma menjadi sosok yang sakti, suci, penuh kegaiban dan memiliki kekuatan supranatural bak para dewa dan ksatria dalam kisah pewayangan  yang amat digemari dalam masyarakat  Jawa. 


Di tengah-tengah masyarakat kita, masih sering dijumpai kisah-kisah Walisongo yang berisi legenda, mitos, dan hal-hal yang irrasional lainnya. Tetapi masih ada juga anggota masyarakat yang mempercayainya. Bahkan ada penulis yang menjadikannya dasar rujukan  dari buku yang ditulisnya, tanpa melakukan  penilaian secara kritis apakah kisah yang ajaib itu benar-benar terjadi atau sekedar fantasi dari sang penggubah kisah. Namun jalan tengah kadang-kadang ditempuh juga. Misalnya dengan menyatakan bahwa kisah-kisah legenda Walisongo itu hanya symbol saja. Para pembaca harus mencari sendiri makna dibalik simbol-simbol itu. Akan tetapi sang penulis kisah legenda Walisongo sendiri tidak pernah menjelaskan bahwa kisah-kisah  yang ditulisnya itu yang berisi peristiwa- peristiwa gaib, hanyalah simbol saja. Sebab tujuan yang sebenarnya dari penulisan kisah-kisah  yang sarat dengan legenda dan hal-hal yang berbau mitos itu, adalah untuk mengkultuskan dan memuja para Walisongo sebagai sosok yang dianggap keramat dan memiliki kekuatan supra natural atau daya gaib.


Dalam kepercayaan agama lama memang ada anggapan bahwa makam keramat adalah salah satu tempat istimewa yang dianggap  memiliki daya gaib. Dan daya  gaib itu dapat disadap hingga masuk kedalam tubuh peziarah dan punya dampak akan menambah wibawa, aura, dan daya gaib pada manusia yang rajin mengunjungi makam keramat. Maka ramailah orang berziarah ke makam keramat, seperti makam Walisongo itu. Mereka berziarah  bukannya untuk mendoakan ahli kubur, tetapi malahan  meminta agar didoakan oleh ahli kubur. Namun berkat dakwah Islam yang intensif, kini mulai terjadi perubahan. Mulai banyak peziarah yang mengerti cara-cara berziarah yang benar yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.


Tampaknya buku-buku yang berisi kisah Walisongo banyak yang  bersumber  dari satu sumber yang sama, yakni buku Walisongo yang ditulis pada masa kebangkitan kesusastraan Jawa yang dimulai pada pertengahan abad ke-18 di kraton-kraton Jawa, khususnya Surakarta dan Mangkunegara, seperti telah dijelaskan di atas.. Serat Walisana yang bisa dijumpai pasca hancurnya Kedaton Giri, hanyalah salinannya. Kitab salinan itu juga sulit dijamin orisinalitasnya, karena bukan mustahil saat penyalinan terjadi sejumlah penambahan atau pengubahan dari naskah aslinya. Naskah kitab yang asli tidak pernah diketemukan. Di bawah ini adalah sejumlah kisah yang berbau mitos dan legenda yang sering kita jumpai dalam buku-buku kronik lokal dan kisah Walisongo yang banyak beredar di masyarakat.


Kisah akan diawali dengan mitos dan legenda Syekh Jumadilkubro, yang menutut TH.Pigeaud adalah salah satu dari empat orang yang dianggap suci dalam agama Islam. Mitos dan legenda Syekh Jumadilkubro bagi sebagian orang pastilah dianggap aneh dan membingungkan. Karena dari sudut sejarah, sebenarnya dia amat layak untuk dinobatkan sebagai Bapak  Walisongo  di tanah Jawa. Akan tetapi dalam berbagai kronik lokal yang ada, dia dimitoskan sebagai tokoh amoral yang telah melakukan perkawinan sumbang atau incest dengan cara menggauli anak gadisnya sendiri hingga hamil. Tetapi anak laki-laki hasil perkawinan sumbang itu memiliki daya gaib dan kesaktian yang luar biasa yang makamnya dipuja-puja karena dipercaya mampu memberikan kekayaan, kemakmuran, kesejahteraan, dan hidup berkelimpahan bagi si peziarah.

Untuk menjelaskan fenomena perkawinan sumbang, dikutip analisa Dr.Husein Jayadingrat dari sudut pandangan ilmiahnya. Dengan demikian  kita akan mendapat gambaran yang cukup mengenai mitos dan legenda pemujaan terhadap anak hasil perkawinan sumbang yang merupakan akar dari segala bentuk ziarah untuk memuja makam keramat. Tradisi memuja makam keramat merupakan tradisi warisan agama pra-Islam yang di kalangan orang Jawa,  menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Wali Songo, disebutnya sebagai agama Kapitayan dan di kalangan orang Sunda disebut agama Sunda Pituin.Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan berbagai legenda dan mitos tokoh Walisongo yang sebagian besar sudah amat dikenal oleh masyarakat, baik meelalui kisah dalam ceritera tutur maupun dari membaca buku-buku kisah Walisongo yang banyak beredar di masyarakat. Dibawah ini sejumlah kisah legenda yang berhubungan dengan leluhur Walisongo dan tokoh Walisongo dan orang suci yang  sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat kita.



 Legenda Syekh Jumadilkubro – Ibrahim Asmara.

a. Legenda 1:

Dalam kronik Cirebon yang disusun oleh Penghulu Abdulkahar,  Syekh Jumadilkubro, telah dimitoskan sebagai orang suci,  yang telah melakukan perbuatan amoral. Yaitu telah melakukan perkawinan sumbang dengan cara menggauli anak gadisnya sendiri sehingga telah menyebabkan lahirnya seorang anak laki-laki yang bernama Syamsu Tamresy. Karena malu Jumadilkubro mati dengan cara bunuh diri. Tetapi anaknya, Syamsu Tamresy berkembang menjadi anak yang sakti yang bisa menyelam ke dalam lautan dan mengubah dirinya menjadi sekuntum bunga tanjung yang terbuat dari  emas. Syamsu Tamresy sebenarnya amat malu dengan dirinya, karena ia merasa anak hasil suatu perkawinan sumbang. Ia berkali-kali mencoba bunuh diri. Tetapi usahanya itu selalu gagal karena ternyata tubuhnya amat sakti, sehingga tidak pernah luka. Suatu saat ia pergi ke Campa, kemudian masuk ke dalam tanah di bawah pintu gerbang kota Kerajaan Campa dan bertapa di sana. Akibat perbuatan Syamsu Tamresy itu, di Kerajaan Campa berkembang wabah penyakit yang sulit diberantas.


Akhirnya ada orang yang memberitahu Raja bahwa yang menjadi penyebab berkembangnya wabah penyakit di Kerajaan Campa karena dibawah pintu gapura kerajaan ada seorang ahli ilmu yang tengah bertapa. Raja Campa lalu menyuruh menggali tanah di bawah gapura. Ternyata Syamsu Tamresy  diketemukan sedang bertapa di situ. Akhirnya Syamsu Tamresy diambil menantu oleh Raja Campa dan dinikahkan dengan putrinya, Rara Sucina namanya. Sejak itu Kerajaan Campa kembali  menjadi makmur, sejahtera dan berkelimpahan.  Dari pernikahan Syamsu Tamresy dengan Rara Sucina, lahirlah putranya yang bernama Raden Rahmat, kelak menjadi Sunan Ampel. Dalam legenda ini, Sunan Ampel, dilukiskan sebagai cucu Syekh Jumadil kubro yang punya anak dari hasil perkawinan sumbang.



b. Legenda 2:

Dalam Sajarah Banten juga ada mitos kisah Jumadilkubro yang melakukan perkawinan sumbang dengan menggauli  anak perempuannya. Tetapi Jumadilkubro  yang amoral ini bukanlah Jumadilkubro yang ada dalam silsilah yang masih keturunan Nabi saw. Dia adalah Jumadilkubro yang lain, yakni anak laki-laki Japar Sidik. Siapakah Japar Sidik? Tak ada penjelasannya dalam kisah itu.   Akibat perbuatannya itu, lahirlah anak laki-lakinya yang diberi nama Syamsu Tabris. Karena malu akibat perbuatannya sendiri, Jumadilkubro jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Syamsu Tabris yang juga merasa malu, dengan rasa putusasa mengembara kemana-mana, antara lain ke Rum, Maldewa, Pase, Pulau Upih, akhirnya sampai di Demak. Suatu saat mayatnya ditemukan di pelabuhan Demak, terapung-apung di bawah lambung kapal oleh seseorang yang bernama Ki Ambulung. Saat itu Ki Ambulung sebenarnya sedang bingung, karena tengah terbelit hutang yang banyak. Tetapi ketika melihat sesosok mayat di laut, mayat itu diangkatnya lalu dimakamkan. Ketika tengah menggali lubang untuk memakamkan mayat itu, tiba-tiba ia menemukan banyak emas. Setelah emas itu diambil, mayat yang dia sendiri tidak tahu siapa namanya itu, dimakamkan di situ. Makam  yang berada dipinggir Kota Demak  itu menjadi amat terkenal.


Suatu saat datanglah ke makam itu Ki Gede Panggung. Ia berharap dengan perantaraan mayat yang ada di dalam kuburan itu, ia bisa melunasi hutang-hutangnya yang menumpuk. Baru malam pertama ia tidur di situ sudah bermimpi bahwa hajatnya akan dikabulkan. Paginya, ternyata datang kepadanya seorang perempuan yang menyerahkan kepada Ki Gede Panggung sebuah bungkusan yang berisi banyak uang sebagai suatu persembahan yang diserahkannya  kepada penjaga makam. Ki Gede Panggung pun dapat melunasi semua hutang-hutangnnya. Akhirnya ia membawa anak istrinya tinggal dekat makam untuk merawat dan menjaga makam itu. Suatu saat  datanglah ke situ putra Sultan Trenggono, Pangeran Prawata yang menanyakan kepada Ki Gede Panggung, makam siapakah yang dikuburkan di situ. Ternyata  Ki Gede Panggung tak mampu menjawabnya. Pada malam harinya, barulah ia bermimpi didatangi seorang anak kecil yang masih mengenakan kuncung, yang menjelaskan kepada Ki Gede Panggung bahwa jika Ki Gede Panggung ditanya orang makam siapa yang dikubur di situ hendaknya dijawab bahwa makam itu adalah makam Syamsu Tabris.



c. Legende 3:

Akhirnya di dalam Babad Tanah Jawi juga ada mitos kisah tentang seorang tokoh yang bernama Syekh Dumadilkubro  yang juga telah melakukan perkawinan sumbang dengan anak gadisnya sendiri. Tetapi Babad Tanah Jawi telah mengaitkan tokoh Jumadilkubro yang disebutnya sebagai Dumadilkubro itu dengan tokoh Abu Hurairoh, yang disebutnya sebagai Bureroh, kemenakan Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Alkisah Bureroh yang telah menyandang nama Syekh Dumadilkubro atau Abdulkadirkubro telah ditinggal mati oleh istrinya, ketika istrinya itu melahirkan anak perempuannya. Dia hanya hidup berdua saja dengan anak perempuannya di tengah hutan, sampai anak perempuannya itu menjadi dewasa. Tetapi akibat kelalaiannya, anak perempuannya itu hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki. Karena malu, Bureroh atau Syekh Dumadilkubro bunuh diri dengan melemparkan dirinya ke sungai Gagesik. Mayatnya ditemukan orang dan dimakamkan disitu. Makam Syeh Dumadilkubro alias Bureroh itu menjadi terkenal, karena konon mampu mendatangkan kekayaan dan kemakmuran kepada para peziarah.(bersambung)

Catatan : Artikel Berikutnya," Syamsu Tamrezy, Guru Mistik Jalaluddin Rumi.
https://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-syekh-siti-jenar-dan-walisongo_23.html 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar