Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Minggu, 28 Januari 2018

(01) Rontal Ferrara, Rontal Sunan Kalijaga (1495 -1603 M)





Jika Sunan Bonang meninggalkan catatan yang disimpan di Musium Leiden, negeri Belanda dengan judul, Het Book Van Bonang. Maka Sunan Kalijogo juga mengikuti jejak gurunya, dengan meninggalkan catatan dalam rontal yang disimpan di museum Ferara, ysng diberi judul Surowiti. 

Berbeda dengan Het Book van Bonang yang telah diteliti dalam tesis dua sarjana Belanda, JGH Gunning(1881 M) dan BJO Schrieke(1916), dan berhasil mengantarkan keduanya meraih gelar doktor di Universitas Leiden, Naskah Rontal Ferara di atas belum pernah dijadikan tesis oleh ilmuwan Belanda manapun. Padahal, seorang sarjana orientalis Belanda, GWJ. Drewes,sudah pernah melakukan penelitian terhadap naskah rontal Ferara.Kurang jelas, apa sebab orientalis Belanda tadi kurang berminat dengan rontal Ferara. Kemungkinan besar karena alasan keagamaan saja. Drewes dan orientalis Belanda, semuanya beragama Kristen Protestan, sedang Ferara terletak di Italia yang beragama Kristen Katolik. Orientalis Belanda itu, enggan kalau harus pulang balik Belanda-Italia.Lagi pula bahan-bahan untuk penelitian naskah-naskah kuno Nusantara, cukup melimpah di Negeri Belanda. 

Rontal Ferara  ditulis di atas daun “Tal” (Lontar) yang terdiri dari 23 lembar berukuran 40 x 3,4 cm dan saat ini tersimpan di Perpustakaan Umum Ariostea di Ferrara, Italia. Oleh karena itu maka rontal itu sering diidentifikasi sebagai “Rontal Ferrara” atau “Kropak Ferrara”. Rontal itu  secara sistematik berisi tentang panduan hidup agar menjadi muslim yang kaffah dan pada saat yang sama juga bertujuan menarik para pemeluk Islam baru dan harapan agar masyarakat Jawa membebaskan diri dari penyembahan berhala.

Rontal Ferrara ditulis pada abad ke 15-16 M, yakni pada suatu jaman yang dikenal dalam Babad Tanah Jawi sebagai Jaman Kewalen. Rontal Ferrara berisi ajaran dan wejangan para Dewan Waliongo dan dicacat Sunan Kalijogo dari sarasehan-sarasehan yang diikutinya. Ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, yang mirip dengan bahasa Jawa dalam kitab Pararathon, kitab peninggalan jaman Majapahit. Di bawah ini adalah garis besar isi rontal Ferrara yang ditulis Sunan Kalijogo.

1.Kisah Syekh Siti Jenar.
Kisah Syekh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang, dimuat pada bagian awal rontal Ferrara. Secara keseluruhan bagian awal sarasehan naskah Rontal Ferrara berisi tentang sarasehan (tukar pendapat) yang dilakukan oleh para wali yang terdiri dari delapan orang antara lain Pangeran Bonang, Pangeran Cerbon, Pangeran Mojoagung, Pangeran Kalijaga, Syaikh Bentong, Maulana Maghribi, Syaikh Lemah Abang, Pangeran Giri Gajah. Menurut naskah tersebut pertemuan ini dilaksanakan di Giri Gajah di Gunung Kedaton, Gresik, Jawa Timur pada hari Jum’at tanggal 5 Ramadhan tahun Wawu. Sarasehan ini dilakukan dalam rangka memperbincangkan tema tentang makrifat. Para wali diminta agar mengemukakan i’tikad masing-masing dengan jujur dan diiringi dengan suasana saling mengingatkan apabila terdapat persoalan iman dan tauhid yang masih keliru di antara para Wali.
Sebagian besar Wali menyepakati bahwa persoalan iman dan tauhid memiliki hubungan erat antara posisi kawula (hamba) dan gusti (Allah). Pangeran Mojoagung menyatakan bahwa keberadaan kawula menjadi tanda berlakunya pemujaan (ibadah) dan penghambaan terhadap gusti. Apabila seseorang tidak memahami persoalan ini maka ia dianggap kosong pengetahuannya. Apabila hatinya mendua maka ia telah melakukan kesyirikan dan tidak sah imannya, karena tidak memahami dengan baik hakikat tauhid. Pangeran Cerbon menambahkan bahwa orang dikatakan telah makrifat apabila ahlul-iman telah menyadari posisinya sebagai kawula yang dikuasai dan diperintah, tidak bisa melihat yang menguasai dan memerintah namun selalu merasa diawasi (nora aningali tiningalan). Sedangkan menurut Pangeran Kalijaga, makrifat itu tidak dapat diserupakan. Baginya Gusti (Pangeran) itu memiliki pengetahuan yang sempurna sehingga tidak akan menyesatkan apa yang diperintahkan-Nya (Pangeran iku kang sampurna ing pangawruh, kang ora nasar sarehing Pangeran). Syaikh Bentong melanjutkan dengan menggambarkan kekuasaan Allah dengan perumpamaan bahwa Dialah Allah yang mampu berada dalam dua kondisi namun tidak ada duanya dan tetap esa.
Pembicaraan diantara para wali berjalan lancar. Mereka saling menyepakati dan menyempurnakan pendapat masing-masing. Namun suasana berubah seketika setelah Syaikh Lemah Abang mengungkapkan keyakinannya sebagai berikut: “Iya Isun iki Allah, endi si malih, mapan orana malih, saking isun iki” (Iya aku inilah Allah, dimana yang lain, memang tidak ada lagi selain aku ini). Maulana Maghribi lantas mengkonfirmasi ucapan itu dengan menanyakan apakah yang berbicara ini adalah jasmani Lemah Abang sendiri. Sang Syaikh menjawab: “Nora amba ngrasani jisin malih, mapan dede jisin kang winicara malih, mapan semi amiyak terebeng, ajana rasa-rumasa, den sami tumeka ing pamanggih” (Saya tidak lagi berbicara tentang jasmani, karena memang bukan jasmani lagi yang dibicarakan, sekaligus membuka tabir penghalang, jangan ada lagi perasaan yang bukan-bukan, hendaknya sama-sama mencapai pengertian).
Maulana Maghribi membenarkan beberapa ungkapan Syaikh Lemah Abang, namun ia juga mengkritik bahwa ungkapan itu terdengar tanpa memiliki rasa apalagi ketika diucapkan oleh sukma yang telah menyatu dengan jasmani. Sukma itu sendiri terikat dengan perbuatan (tingkah) jasmaninya. Itu merupakan ucapan yang tidak pantas didengarkan oleh orang lain. Pangeran Giri menasehati bahwa ungkapan Syaikh Siti Jenar itu seperti halnya gambung yang menancapkan talajung (pancang) sambil mengucap: “sapa weruha ingaran ingsun, yen tan ingsun ingaranana” (Siapa yang mengetahui namaku apabila aku sendiri tidak menyebutkannya).
Kewajiban pemain gambung adalah menari, lain itu tidak. Ia harus menari berdasar pakem (aturan dasar), ritme tarian, dan iringan tetabuhan serta melibatkan berbagai rasa sehingga menghasilkan seni tari penuh penjiwaan. Jangankan menyanyi, berbicara sekalipun dianggap telah melanggar aturan menari yang menjadi tanggung-jawabnya. Penari gambung yang menancapkan talajung, artinya ia telah melanggar aturan yang harus dijalaninya, mengobrak-abrik pakem, dan membuat gerakan-gerakan baru sehingga gambung rusak dan kehilangan ruhnya. Apalagi jika itu dilakukan sambil berbicara dan mengenalkan siapa dirinya. Untuk dikenal ia seharusnya cukup menari dengan baik sampai pertunjukan selesai. Syaikh Lemah Abang telah keliru yakni ia gagal memahami ajaran Islam dan membicarakan hal yang tidak pada kadarnya tentang posisi gusti dan kawula. Keyakinan ini boleh saja menjadi i’tikad pribadinya, namun i’tikad yang menyimpang itu tidak boleh dibicarakan apalagi diajarkan.
Para wali menasehati Syaikh Lemah Abang. Namun ia telah menutup diri dari semua nasehat itu. Bahkan Syaikh Lemah Abang kemudian meninggalkan majelis dengan tetap pada pendiriannya. Sambil beranjak ia sempat mengucap: “endi si malih, aja karoroan” (dimanakah yang lain, jangan dikira ada dua). Para wali kemudian tetap melanjutkan pertemuannya tanpa kehadiran Syaikh Lemah Abang. Diantara pembicaraan itu adalah tentang hubungan antara jasad dengan ruh. Perbincangan itu lantas diakhiri dengan kesepakatan bersama untuk tidak memperdebatkan tentang Allah dan Rasulullah, namun melaksanakan apa yang telah diwajibkan atas mereka semua.
Tema sarasehan para wali sebagaimana terdapat dalam rontal Ferrara yang berisi keyakinan masing-masing wali, ternyata juga banyak ditemukan dalam sejumlah naskah klasik Jawa dengan berbagai variasi yang berbeda. Sebut saja misalnya “Serat Musawaratipun Para Wali” karya Raden Panji Natarata yang menceritakan pertemuan para wali di Masjid Agung Demak. Jika dalam rontal Ferrara, Syaikh Lemah Abang, dihukum mati hanya karena alasan keagamaan, Serat karya Raden Panji Natarata yang ditulis pada akhir abad XIX M itu, mengungkapkan alasan politis dihukum matinya Syekh Lemah Abang, disamping alasan keagamaan. Alasan politis itu adalah Syekh Lemah Abang mendorong Kadipaten Pengging menolak mengakui kedaulatan Demak,  dan lebih suka menagkui Kedaulatan Kerajaan Keling, pasca runtuhnya Majapahit (1478 M). Bahkan setelah Kerajaan Keling yang telah pindah ke Kediri, ditaklukkan Kerajaan Demak pada tahun 1527 M, Kadipaten Pengging masih menolak mengakui Kedaulatan Demak. Setelah Demak memberi tenggang waktu tiga tahun kepada Kadipaten Pengging untuk berpikir-pikir, ternyata tetap menolak Kedaulatan Demak, maka pada tahun 1530 M, Sunan Kudus menyerang Pengging yang mengakibatkan tewasnya Adipati Pengging, Ki Ageng Kebo Kenongo, ayah Mas Karebet alias Joko Tingkir. Syekh Siti Jenar berhasil melarikan diri ke Sengguruh. Tetapi sebeum Sengguruh jatuh ke tangan Tentara Demak (1445 M), Syekh Siti Jenar kembali melarikan ke Cirebon dan bersembunyi di sana.
Memang dalam versi Cirebon, sarasehan (riungan) para wali itu digambarkan terjadi di Cirebon, yakni di tiga tempat yang berbeda. Sarasehan itu terjadi sebelum tahun 1525 M. Pertama kali diselenggarakan di Masjid Demak. Dalam sarasehan ini Syaikh Siti Jenar telah menunjukkan i’tikadnya yang keliru. Sunan Kudus menasehati agar Syaikh Siti Jenar tidak berpikiran melantur sebab Allah tidak akan bersekutu dengan sesuatu yang baru (ciptaan). Pertemuan kedua dilaksanakan di Gunung Ciremai. Di sini Syaikh Siti Jenar mengajak seluruh wali agar jujur mengemukakan keyakinannya. Ia sendiri menegaskan bahwa dirinya adalah Allah yang hak, Allah secara lahir dan Allah secara batin. Para wali yang lain tetap berupaya mengingatkan i’tikad Siti Jenar yang menyimpang ini. Namun ia malah menantang para wali agar menjatuhkan hukuman terhadap dirinya.
Sunan Gunung Jati lantas meminta agar riungan (sarasehan) ketiga dilanjutkan di Masjid Agung Cirebon. Para wali yang lain telah hadir namun Siti Jenar menolak datang karena merasa berselisih paham dengan yang lain. Sunan Gunung Jati lantas berinisiatif mengundangnya. Namun yang bersangkutan selalu menolak dengan berbagai dalih. Jika yang diundang adalah Syaikh Siti Jenar maka Sang Syaikh menolak karena dirinya sebagai Allah tidak menghendaki hal itu. Demikian juga jika yang diundang adalah Allah maka tentu Allah tidak mungkin menuruti kemauan para Wali, yang sejatinya adalah manusia biasa. Setelah berbagai usaha dilakukan, akhirnya Siti Jenar pun bisa dihadirkan. Diakhir pertemuan Siti Jenar dinyatakan bersalah dan dihukum mati di Cirebon. Hukuman mati itu bersifat in absensia, karena saat itu Syekh Siti Jenar sudah melarikan diri Ke Pengging, setelah dipecat dari keanggotaan Dewan Walisongo (1525 M).

Pada tahun 1445 M, Syekh Siti Jenar dapat ditangkap tentara Kadipaten Cirebon, dan dihukum mati oleh Sunan Kudus yang datang ke Cirebon atas perintah Sultan Trenggono.(1521 - 1546 M). (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar