Jika Sunan Bonang meninggalkan
catatan yang disimpan di Musium Leiden, negeri Belanda dengan judul, Het Book
Van Bonang. Maka Sunan Kalijogo juga mengikuti jejak gurunya, dengan
meninggalkan catatan dalam rontal yang disimpan di museum Ferara, ysng diberi
judul Surowiti.
Berbeda dengan Het Book van Bonang
yang telah diteliti dalam tesis dua sarjana Belanda, JGH Gunning(1881 M) dan
BJO Schrieke(1916), dan berhasil mengantarkan keduanya meraih gelar doktor di
Universitas Leiden, Naskah Rontal Ferara di atas belum pernah dijadikan tesis
oleh ilmuwan Belanda manapun. Padahal, seorang sarjana orientalis Belanda, GWJ. Drewes,sudah pernah melakukan
penelitian terhadap naskah rontal Ferara.Kurang jelas, apa sebab orientalis Belanda
tadi kurang berminat dengan rontal Ferara. Kemungkinan besar karena alasan
keagamaan saja. Drewes dan orientalis Belanda, semuanya beragama Kristen
Protestan, sedang Ferara terletak di Italia yang beragama Kristen Katolik.
Orientalis Belanda itu, enggan kalau harus pulang balik Belanda-Italia.Lagi
pula bahan-bahan untuk penelitian naskah-naskah kuno Nusantara, cukup melimpah
di Negeri Belanda.
Rontal Ferara ditulis di atas daun “Tal” (Lontar) yang
terdiri dari 23 lembar berukuran 40 x 3,4 cm dan saat ini tersimpan di
Perpustakaan Umum Ariostea di Ferrara, Italia. Oleh karena itu maka rontal itu
sering diidentifikasi sebagai “Rontal Ferrara” atau “Kropak Ferrara”.
Rontal itu secara sistematik berisi
tentang panduan hidup agar menjadi muslim yang kaffah dan pada saat yang
sama juga bertujuan menarik para pemeluk Islam baru dan harapan agar masyarakat
Jawa membebaskan diri dari penyembahan berhala.
Rontal Ferrara ditulis pada abad ke 15-16 M,
yakni pada suatu jaman yang dikenal dalam Babad Tanah Jawi sebagai Jaman
Kewalen. Rontal Ferrara berisi ajaran dan wejangan para Dewan Waliongo dan
dicacat Sunan Kalijogo dari sarasehan-sarasehan yang diikutinya. Ditulis dalam
bahasa Jawa Kuno, yang mirip dengan bahasa Jawa dalam kitab Pararathon, kitab
peninggalan jaman Majapahit. Di bawah ini adalah garis besar isi rontal Ferrara
yang ditulis Sunan Kalijogo.
1.Kisah Syekh Siti
Jenar.
Kisah Syekh Siti Jenar atau Syaikh Lemah
Abang, dimuat pada bagian awal rontal Ferrara. Secara keseluruhan bagian awal sarasehan
naskah Rontal Ferrara berisi tentang sarasehan (tukar pendapat) yang
dilakukan oleh para wali yang terdiri dari delapan orang antara lain Pangeran
Bonang, Pangeran Cerbon, Pangeran Mojoagung, Pangeran Kalijaga, Syaikh Bentong,
Maulana Maghribi, Syaikh Lemah Abang, Pangeran Giri Gajah. Menurut naskah tersebut
pertemuan ini dilaksanakan di Giri Gajah di Gunung Kedaton, Gresik, Jawa Timur
pada hari Jum’at tanggal 5 Ramadhan tahun Wawu. Sarasehan ini dilakukan dalam
rangka memperbincangkan tema tentang makrifat. Para wali diminta agar
mengemukakan i’tikad masing-masing dengan jujur dan diiringi dengan suasana
saling mengingatkan apabila terdapat persoalan iman dan tauhid
yang masih keliru di antara para Wali.
Sebagian besar
Wali menyepakati bahwa persoalan iman dan tauhid memiliki hubungan erat antara
posisi kawula (hamba) dan gusti (Allah). Pangeran Mojoagung
menyatakan bahwa keberadaan kawula menjadi tanda berlakunya pemujaan
(ibadah) dan penghambaan terhadap gusti. Apabila seseorang tidak memahami
persoalan ini maka ia dianggap kosong pengetahuannya. Apabila hatinya mendua
maka ia telah melakukan kesyirikan dan tidak sah imannya, karena
tidak memahami dengan baik hakikat tauhid. Pangeran Cerbon menambahkan
bahwa orang dikatakan telah makrifat apabila ahlul-iman telah menyadari
posisinya sebagai kawula yang dikuasai dan diperintah, tidak bisa melihat yang
menguasai dan memerintah namun selalu merasa diawasi (nora aningali
tiningalan). Sedangkan menurut Pangeran Kalijaga, makrifat itu tidak dapat
diserupakan. Baginya Gusti (Pangeran) itu memiliki pengetahuan yang sempurna
sehingga tidak akan menyesatkan apa yang diperintahkan-Nya (Pangeran iku
kang sampurna ing pangawruh, kang ora nasar sarehing Pangeran). Syaikh
Bentong melanjutkan dengan menggambarkan kekuasaan Allah dengan perumpamaan
bahwa Dialah Allah yang mampu berada dalam dua kondisi namun tidak ada duanya
dan tetap esa.
Pembicaraan
diantara para wali berjalan lancar. Mereka saling menyepakati dan
menyempurnakan pendapat masing-masing. Namun suasana berubah seketika setelah
Syaikh Lemah Abang mengungkapkan keyakinannya sebagai berikut: “Iya Isun iki
Allah, endi si malih, mapan orana malih, saking isun iki” (Iya aku inilah
Allah, dimana yang lain, memang tidak ada lagi selain aku ini). Maulana
Maghribi lantas mengkonfirmasi ucapan itu dengan menanyakan apakah yang
berbicara ini adalah jasmani Lemah Abang sendiri. Sang Syaikh menjawab: “Nora
amba ngrasani jisin malih, mapan dede jisin kang winicara malih, mapan semi
amiyak terebeng, ajana rasa-rumasa, den sami tumeka ing pamanggih” (Saya
tidak lagi berbicara tentang jasmani, karena memang bukan jasmani lagi yang
dibicarakan, sekaligus membuka tabir penghalang, jangan ada lagi perasaan yang
bukan-bukan, hendaknya sama-sama mencapai pengertian).
Maulana Maghribi
membenarkan beberapa ungkapan Syaikh Lemah Abang, namun ia juga mengkritik
bahwa ungkapan itu terdengar tanpa memiliki rasa apalagi ketika diucapkan oleh
sukma yang telah menyatu dengan jasmani. Sukma itu sendiri terikat dengan
perbuatan (tingkah) jasmaninya. Itu merupakan ucapan yang tidak pantas
didengarkan oleh orang lain. Pangeran Giri menasehati bahwa ungkapan Syaikh
Siti Jenar itu seperti halnya gambung yang menancapkan talajung (pancang)
sambil mengucap: “sapa weruha ingaran ingsun, yen tan ingsun ingaranana”
(Siapa yang mengetahui namaku apabila aku sendiri tidak menyebutkannya).
Kewajiban pemain gambung
adalah menari, lain itu tidak. Ia harus menari berdasar pakem (aturan
dasar), ritme tarian, dan iringan tetabuhan serta melibatkan berbagai rasa
sehingga menghasilkan seni tari penuh penjiwaan. Jangankan menyanyi, berbicara
sekalipun dianggap telah melanggar aturan menari yang menjadi
tanggung-jawabnya. Penari gambung yang menancapkan talajung, artinya ia
telah melanggar aturan yang harus dijalaninya, mengobrak-abrik pakem, dan
membuat gerakan-gerakan baru sehingga gambung rusak dan kehilangan ruhnya.
Apalagi jika itu dilakukan sambil berbicara dan mengenalkan siapa dirinya.
Untuk dikenal ia seharusnya cukup menari dengan baik sampai pertunjukan
selesai. Syaikh Lemah Abang telah keliru yakni ia gagal memahami ajaran Islam
dan membicarakan hal yang tidak pada kadarnya tentang posisi gusti dan kawula.
Keyakinan ini boleh saja menjadi i’tikad pribadinya, namun i’tikad yang
menyimpang itu tidak boleh dibicarakan apalagi diajarkan.
Para wali
menasehati Syaikh Lemah Abang. Namun ia telah menutup diri dari semua nasehat
itu. Bahkan Syaikh Lemah Abang kemudian meninggalkan majelis dengan tetap pada
pendiriannya. Sambil beranjak ia sempat mengucap: “endi si malih, aja
karoroan” (dimanakah yang lain, jangan dikira ada dua). Para wali kemudian
tetap melanjutkan pertemuannya tanpa kehadiran Syaikh Lemah Abang. Diantara
pembicaraan itu adalah tentang hubungan antara jasad dengan ruh. Perbincangan
itu lantas diakhiri dengan kesepakatan bersama untuk tidak memperdebatkan
tentang Allah dan Rasulullah, namun melaksanakan apa yang telah diwajibkan atas
mereka semua.
Tema sarasehan
para wali sebagaimana terdapat dalam rontal Ferrara yang berisi keyakinan
masing-masing wali, ternyata juga banyak ditemukan dalam sejumlah naskah klasik
Jawa dengan berbagai variasi yang berbeda. Sebut saja misalnya “Serat
Musawaratipun Para Wali” karya Raden Panji Natarata yang menceritakan
pertemuan para wali di Masjid Agung Demak. Jika dalam rontal Ferrara, Syaikh
Lemah Abang, dihukum mati hanya karena alasan keagamaan, Serat karya Raden
Panji Natarata yang ditulis pada akhir abad XIX M itu, mengungkapkan alasan
politis dihukum matinya Syekh Lemah Abang, disamping alasan keagamaan. Alasan
politis itu adalah Syekh Lemah Abang mendorong Kadipaten Pengging menolak
mengakui kedaulatan Demak, dan lebih
suka menagkui Kedaulatan Kerajaan Keling, pasca runtuhnya Majapahit (1478 M).
Bahkan setelah Kerajaan Keling yang telah pindah ke Kediri, ditaklukkan
Kerajaan Demak pada tahun 1527 M, Kadipaten Pengging masih menolak mengakui
Kedaulatan Demak. Setelah Demak memberi tenggang waktu tiga tahun kepada
Kadipaten Pengging untuk berpikir-pikir, ternyata tetap menolak Kedaulatan
Demak, maka pada tahun 1530 M, Sunan Kudus menyerang Pengging yang
mengakibatkan tewasnya Adipati Pengging, Ki Ageng Kebo Kenongo, ayah Mas
Karebet alias Joko Tingkir. Syekh Siti Jenar berhasil melarikan diri ke Sengguruh. Tetapi sebeum Sengguruh jatuh ke tangan Tentara Demak (1445 M), Syekh Siti Jenar kembali melarikan ke Cirebon dan bersembunyi di sana.
Memang dalam versi
Cirebon, sarasehan (riungan) para wali itu digambarkan terjadi di Cirebon, yakni di tiga
tempat yang berbeda. Sarasehan itu terjadi sebelum tahun 1525 M. Pertama kali diselenggarakan di Masjid Demak. Dalam
sarasehan ini Syaikh Siti Jenar telah menunjukkan i’tikadnya yang keliru. Sunan
Kudus menasehati agar Syaikh Siti Jenar tidak berpikiran melantur sebab Allah
tidak akan bersekutu dengan sesuatu yang baru (ciptaan). Pertemuan kedua
dilaksanakan di Gunung Ciremai. Di sini Syaikh Siti Jenar mengajak seluruh wali
agar jujur mengemukakan keyakinannya. Ia sendiri menegaskan bahwa dirinya
adalah Allah yang hak, Allah secara lahir dan Allah secara batin. Para wali
yang lain tetap berupaya mengingatkan i’tikad Siti Jenar yang menyimpang ini.
Namun ia malah menantang para wali agar menjatuhkan hukuman terhadap dirinya.
Sunan Gunung Jati
lantas meminta agar riungan (sarasehan) ketiga dilanjutkan di Masjid
Agung Cirebon. Para wali yang lain telah hadir namun Siti Jenar menolak datang
karena merasa berselisih paham dengan yang lain. Sunan Gunung Jati lantas
berinisiatif mengundangnya. Namun yang bersangkutan selalu menolak dengan
berbagai dalih. Jika yang diundang adalah Syaikh Siti Jenar maka Sang Syaikh
menolak karena dirinya sebagai Allah tidak menghendaki hal itu. Demikian juga
jika yang diundang adalah Allah maka tentu Allah tidak mungkin menuruti kemauan
para Wali, yang sejatinya adalah manusia biasa. Setelah berbagai usaha
dilakukan, akhirnya Siti Jenar pun bisa dihadirkan. Diakhir pertemuan Siti
Jenar dinyatakan bersalah dan dihukum mati di Cirebon. Hukuman mati itu
bersifat in absensia, karena saat itu Syekh Siti Jenar sudah melarikan diri Ke
Pengging, setelah dipecat dari keanggotaan Dewan Walisongo (1525 M).
Pada tahun 1445 M, Syekh Siti Jenar dapat ditangkap tentara Kadipaten Cirebon, dan dihukum mati oleh Sunan Kudus yang datang ke Cirebon atas perintah Sultan Trenggono.(1521 - 1546 M). (Bersambung)
Pada tahun 1445 M, Syekh Siti Jenar dapat ditangkap tentara Kadipaten Cirebon, dan dihukum mati oleh Sunan Kudus yang datang ke Cirebon atas perintah Sultan Trenggono.(1521 - 1546 M). (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar