Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Minggu, 28 Januari 2018

(02) Lebih Dekat Dengan Tokoh Pembaharu, Ibnu Taimiyyah (1262-1328 M)



Masjid Damaskus-Siria-Sumber gambar-Wikipedia

4.1.Protes sebagai hak menyatakan pendapat.
Konflik pertama Ibnu Taimiyyah dengan penguasa Mamalik, terjadi pada tahun 1294 M.Saat itu Ibnu Taimiyyah baru berusia 32 tahun. Sultan Qolawun pun baru setahun naik tahta.Saat itu seorang hakim agama Mazhab Safii di Damaskus menghukum seorang pendeta Kristen yang dituduh telah menghina Nabi Muhammad saw.  Ibnu Taimiyyah melancarkan protes dengan melakukan demontrasi, menuntut agar pendeta Kristen itu dibebaskan, karena menurut penilaian Ibnu Taimiyyah tuduhan menghina Nabi saw itu tidak terbukti. 

Bagaimana reaksi penguasa terhadap protes Ibnu Taimiyyah yang mendapat dukungan dari masyarakat itu?. Alih-alih protesnya diperhatikan, Ibnu Taimiyyah malah ikut ditangkap dan di jebloskan ke dalam penjara. Di sana Ibnu Taimiyyah mendekam sampai beberapa bulan. Itulah pengalaman pertama Ibnu Taimiyyah dengan penjara penguasa.

4.2.Dituduh Menyebarkan Anthrophormisme atau pandangan Mujasimah.
Konflik kedua terjadi pada tahun 1298 M dan merupakan konflik yang paling panas. Kasusnya berawal dari pendapat Ibnu Taimiyyah  yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Pada saat itu, penduduk di Kota Hamah, meminta agar Ibnu Taimyah memberikan penjelasan tentang sifat-sifat Allah sebagaimana yang tertera dalam Al Qur’an. Untuk menjawab pertanyaan itu, Ibnu Taimiyyah menuliskan pendapat dan pandangannya dalam sebuah karyanya yang berjudul,”Al Risalah –al-Hamawiyah”.

Dalam tulisannya itu,  Ibnu Taimiyyah mengambil posisi tengah antara dua pendapat yang saling bertentangan tentang sifat-sifat Allah. Kedua pendapat yang saling bertentangan itu adalah pendapat yang meniadakan adanya sifat-sifat Allah dan pendapat yang menyatakan Allah memiliki sifat anthrophormisme. Sebenarnya sikap dan pandangan Ibnu Taimiyyah itu adalah dalam upayanya untuk menegaskan adanya semua sifat yang ada pada Allah, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik, sebagaimana yang telah dijelaskan Al Qur’an. Walaupun begitu Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak menyamakan sifat-sifat Allah itu dengan sifat manusia. Memang Al Qur’an menjelaskan bahwa Allah memiliki sifat-sifat fisik, seperti melihat, mendengar, dan berbicara. Tetapi Ibnu Taimiyyah berpendapat  bahwa bagaimana cara Allah melihat, mendengar dan berbicara, ialah dengan menyerahkan urusan tersebut sepenuhnya kepada Allah sendiri. Manusia sebagai makhluknya tidak diwajibkan untuk mengetahuinya lebih jauh, kecuali sebatas menerima informasi itu sebagaimana adanya yang tersebut di dalam Al Qur’an. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa wahyu lebih tinggi dari akal. Al Qur’an adalah wahyu yang mutlak benar. Tetapi akal manusia terbatas, maka ketika akal manusia tidak mampu menjangkaunya, akal harus tunduk dan menyerahkan sepenuhnya kepada otoritas wahyu. Dengan kata lain makna dari sifat-sifat Allah sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur’an itu, diserahkan sepenuhnya kepada Allah yang Maha Tahu.

Ibnu Taimiyyah, menolak metode Mu’tazilah yang berusaha menggunakan filsafat untuk menafsirkan sifat-sifat fisik Allah secara figuratif dengan cara membuat ta’wil.Tujuan Mu’tazilah yang mengandalkan rasio guna memahami teks-teks al Qur’an ialah menyatukan rasio dan wahyu, agar wahyu tidak bertentangan dengan akal. Misalnya teks tangan Allah, oleh Mu’tazilah tidak ditafsirkan secara fisik.Tetapi ditafsirkan secara ta’wil, sehingga artinya adalah kekuasaan Allah.

Ibnu Taimiyyah berpendapat jika metode takwil digunakan, bukan saja bertentangan dengan larangan untuk menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat ,sebagai disebutkan dalam Al Qur’an(Q.S 3:7). Akan tetapi metode ta’wil justru akan meniadakan adanya sifat-sifat Allah yang jelas- jelas ada disebutan dalam Al Qur’an. 

Golongan Mu’tazilah sebenarnya punya rival yang cukup kuat yakni golongan As’yariyah. Doktrin As’yariyah adalah doktrin yang dibangun oleh seorang ulama besar yang bernama Abu Hasan Al Asy’ari (873-935 M). Abu Hasan al-Asy’ari ini pada awalnya adalah pengikut paham Mu’tazilah yang sempat menjadi paham resmi Dinasti Abbasiyah pada masa Sultan Al Makmun. Tetapi Abu Hasan al As’yari kemudian keluar dari paham Mu’tailah dan berusaha menyusun doktrin untuk melawan paham Mu’tazilah, sekaligus juga untuk menyelamatkan paham Ahlu Sunnah wal Jamaah. Sebagai seorang mantan Mu’tazilah yang telah bertobat, sebenarnya Abu Hasan al-As’yari juga  menggunakan  metode logika dan rasio dalam menjelaskan dasar-dasar teologinya. Hanya saja  Abu Hasan Al As’yari menolak penafsiran yang dilakukan oleh Mu’tazilah.

Karena itu dari sudut metode menafsirkan sifat-sifat Allah, antara Ibnu Taimiyyah dan Abu Hasan al As’yari nyaris tidak banyak bedanya. Kalau toh ada perbedaannya amat tipis. Abu  Hasan al As’yari menggunakan logika dan rasio murni, yakni deduktif. Sedang Ibnu Taimiyyah, tidak hanya menggunakan metode deduktif, tetapi juga menggunakan metode induktif. Karena itu Ibnu Taimiyyah, tidak sependapat dengan doktrin As’yariah yang membatasi sifat-sifat Tuhan hanya dengan sifat dua puluh. Bagi Ibnu Taimiyyah, sifat-sifat Tuhan itu sangat luas. Hanya saja Allah memberitahukannya lewat Al Qur’an melalui nama-nama yang indah yakni Asmaul Husna yang mencerminkan sebagian dari sifat-sifat Allah swt. Baik Ibnu Taimyah maupun Abu Hasan Al As’yari juga sepakat, bahwa kemampuan akal manusia, berada dibawah wahyu.

 Abu Hasan Al As’yari boleh dikatakan  sukses dalam usahanya melemahkan paham Mu’tazilah. Karena itu Abu Hasan Al As’yari dipandang sebagai juru bicara  golongan Islam Sunni dan menempatkan dirinya sebagai penerjemah pandangan-pandangan kelompok Ahli Sunnah wal Jama’ah atau Aswaja

Pada saat Ibnu Taimiyyah hidup, doktrin Aswaja yang disusun oleh Abu Hasan al As’yari itu sudah menjadi doktrin yang sangat mapan dan memiliki otoritatif tinggi yang nyaris tidak bisa diganggu gugat. Bahkan doktrin Aswaja telah menyatakan dirinya sebagai doktrin yang final, tak dapat disangkal, dan pintu ijtihad telah tertutup. Dengan demkian doktrin Aswaja telah menuntut kepada umat adanya sikap taklid kepada otoritas keagamaan. Tuntutan taklid kepada umat sebagai suatu standar yang baku dalam doktrin As’yariah sebenarnya disebabkan kuatanya pengaruh para sufi ahli tarekat yang mendominasi perkembagan doktrin Aswaja. Dengan demikian doktrian Aswaja yang  menggunakan rasio dan logika pada awal pembentukannya, mengalami kemunduran ditangan para ahli tarekat dan kaum sufi yang menuntut ketaatan mutlak umat kepadanya. Di tangan para ahli tarekat dan kaum sufi yang menjadi sangat kuat pada masa Dinasti Mamalik, berkembanglah paham bahwa para ahli tarekat dan kaum sufi memiiki kemampuan adikodrati sehingga memiliki kemampuan untuk menafsirkan ayat Al Qur’an, baik yang berifat lahir maupun batin.

Tentu saja Ibnu Taimiyyah menentang pandangan tersebut. Bagi Ibnu Taimiyyah, metode para ahli tarekat dan kaum sufi itu sama lemahnya dengan metode Mu’tazilah. Bedanya ialah Mu’tazilah dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an mengandalkan akal semata-mata, sementara ahli tarekat dan kaum sufi, menggunakan intuisi dan perasaannya semata-mata.

Para penguasa dan ulama Dinasti Mamalik menilai pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah itu bertentangan dengan doktrin resmi yang dianut pemerintah. Akibat tulisan Ibnu Taimiyyah dalam Ar-Risalah al-Hamawiyah itu, para ulama yang didominasi Mashab Safii-As’yariyah berkumpul untuk membicarakan fatwa-fatwa Ibnu Taimiyyah. Hampir tujuh tahun mereka berdebat dan mendiskusikan karya Ibu Taimiyyah itu. Akhirnya para ulama itu berkesimpulan, bahwa Ibnu Taimiyyah, adalah pemikir Mujasimah, Mushabihah atau Anthrophormisme dan karenanya dihakimi sebagai kafir dan akidah Ibnu Taimiyyah dianggap keluar dari akidah ahli sunnah wal jamaah. 

Dengan dukungan penguasa Dinasti Mamalik, para ulama melarang umat Islam mengikuti paham Ibnu Taimiyyah dan mereka pun  diancam:  Barang siapa mengikuti paham Ibnu Taimiyyah, mereka akan dihukum pidana mati. Sultan Qolawun, penguasa Dinasti Mamalik, menyatakan paham Ibnu Taimiyyah bertentangan dengan paham yang dianut pemerintah Dinasti Mamalik. Sekalipun kesimpulan telah diambil, Ibnu Taimyah sendiri masih dibiarkan bebas, karena saat itu penguasa Dinasti Mamalik sedang sibuk menghadapi ancaman tentara Mongol yang ke dua yang hendak merebut Damaskus. Memang perang Mamalik-Mongol yang ke dua meletus pada tahun 1303 M, yang berakhir dengan kemengangan Dinasti Mamalik yang mendapat dukungan sepenuhnya dari rakyat Damaskus. Tentu saja termasuk dukungan dari Ibnu Taimiyyah yang menyerukan agar rakyat Damaskus dan Suriah berjihad melawan tentara kafir Mongol.

 Peta Siria -Mesir pada awal abad ke-14 M
Pada tahun 1305 M, dua tahun setelah perang melawan invasi pasukan Mongol, barulah Ibnu Taimiyyah ditangkap penguasa dan dibawa ke Kairo-Mesir untuk diadili dihadapan Mahkamah Ulama Dinasti Mamalik. Dengan gigih Ibnu Taimiyyah berusaha menolak semua tuduhan tersebut. Tapi pembelaan Ibnu Taimiyyah sia-sia saja. Ibnu Taimiyyah dijebloskan ke penjara untuk yang ke dua kalinya. Ibnu Taimiyyah menjadi penghuni penjara Kairo dengan vonis pengadilan satu setengah tahun penjara. Ketika masa penahanan hampir habis, Ulama-Ulama Syafii-As’yariyah, menambah bonus tambahan tahanan lagi, yang mengakibatkan Ibnu Taimiyyah tetap mendekam di penjara penguasa Dinasti Mamalik selama dua tahun lagi. Tambahan hukuman itu diterima Ibnu Taimiyyah, karena para sufi merasa keberatan dengan pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah tentang Ittihadiyah yang diajarkan oleh seorang sufi terkenal Ibnu Arabi. Saat itu di Mesir hidup seorang sufi pengkut pandangan Ibnu Arabi, yakni Syaikh Nasr al-Manbiji yang sangat berpengaruh. Dia lah yang mengadukan kepada Sultan Qolawun, agar Ibnu Taimiyyah dipenjarakan lagi karena telah melakukan penghinaan terhadap ajaran tasawuf Ittihadiyah.

Tahun 1308 M, Sultan Qolawun membebaskan Ibnu Taimiyyah dan mengijinkannya kembali ke Damaskus. Tetapi Ibnu Taimiyyah merasa perlu tetap tinggal di Kairo untuk menyampaikan gagasan-gasanannya agar umat Islam Mesir kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah. Baru pada tahun 1312 M, Ibnu Taimiyyah pulang kembali ke Damaskus. Di sana selama lima tahun, Ibnu Taimiyyah mengajak masyarakat agar tidak melakukan kritikan maupun protes apa pun terhadap Sultan Qolawun.

4.3 Ibnu Taimiyyah Dilarang Mengeluarkan Fatwa.
Setelah hampir enam tahun tidak terjadi konflik antara Ibnu Taimiyyah dengan penguasa dan ulama Dinasti Mamalik, pada tahun 1318 M, kembali terjadi konflik. Kali ini pemicunya adalah fatwa Ibnu Taimiyyah yang bertentangan dengan pendapat Ulama Syafii-As’yariyah tentang talak yang mengakibatkan terjadinya perceraian. Ibnu Taimiyyah mengeluarkan fatwa bahwa talak tiga tidak berlaku apa bila ucapan talak,”Aku cerai kamu”, diucapkan dalam satu waktu. Ucapan talak tiga, menurut Ibnu Taimiyyah, harus diucapkan pada waktu yang berbeda. Menambah bilangan talak sampai tiga kali pada satu waktu, harus dihitung talak satu. Karena itu istri yang ditalak itu, masih boleh dinikahi lagi.

Para Ulama kemudian berkumpul dan mengadukan kepada Sultan. Akhirnya Sultan Qolawun melarang Ibnu Taimiyyah mengeluarkan fatwa dan menjebloskannya ke dalam penjara selama enam bulan. Tetapi tahun 1320 M, Ulama-ulama Syafii-As’yariyah kembali mengadukan kepada Sultan, dengan tuduhan fitnah bahwa Ibnu Taimiyyah masih melanggar larangan Sultan untuk mengeluarkan fatwa. Akibatnya Ibnu Taimiyyah dijebloskan ke dalam penjara dan diharuskan mendekan di sana selama enam bulan.

4.4. Fatwa Ibnu Taimiyyah Tentang Ziarah Kubur.
Puncak konflik Ibnu Taimiyyah dengan Sultan Qolawun dan ulama Mshab Syafii As’yariyah pendukung Sultan, terjadi pada tahun 1325 M.

Saat itu Ibnu Taimiyyah dianggap membuat fatwa yang bertentangan dengan pendapat Ulama Mashab Safii As’yariyah dan kebijakan Sultan Qolawun tentang ziarah kubur. Ibnu Taimiyyah dituduh melarang umat Islam melakukan ziarah kubur. Padahal Ibnu Taimyah hanya mengingatkan agar umat Islam melakukan ziarah kubur dengan mengikuti tuntunan dan petunjuk Nabi saw.

Pada masa itu memang  berkembang suatu kepercayaan di kalangan umat Islam, bahwa ziarah kubur ke makam Nabi saw, makam para wali dan makam orang-orang keramat, dapat mendatangkan rahmat dan keselamatan. Disamping itu, dikalangan umat juga berkembang keyakinan bahwa ziarah kubur dapat memenuhi berbagai keperluan duniawi, seperti sembuh dari penyakit, menjadi kaya, terhindar dari berbagai macam kejahatan serta hal-hal lain yang merupakan hajat manusia. Sedangkan Ibnu Taimiyyah memandang praktek ziarah kubur seperti itu tidak lain adalah praktek bid’ah yang dapat mengikis keimanan seseorang. Suatu praktek ibadah yang tidak memiliki dasar yang kuat karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi saw dan para ulama salaf generasi awal. Tetapi para Ulama Mashab Safii As’yariyah menuduh Ibnu Taimiyyah melarang ziarah kubur, bahkan Ibnu Taimiyyah dituduh melarang umat Islam berziarah ke Makam Nabi saw. Bagi Ibnu Taimiyyah, ziarah ke makam Nabi dan para Wali, dengan memohon pertolongan kepada orang yang telah wafat, bukanlah termasuk ibadah haji.Menurut apa yang dipahaminya, Ibadah Haji itu hanya tertuju pada tiga masjid, yakni Masjid al-Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid al-Aqsha di Yerussalem. Ibnu Taimiyyah menegaskan selama ziarah kubur dilaksanakan bersamaan dengan ziarah ke salah satu masjid itu, maka hukumnya justru tidak terlarang, yakni dapat diterima. Tetapi melakukan ziarah kubur saja dan menganggap ziarah kubur itu sebagai salah satu ragam ibadah haji, jelas terkutuk dan tak dapat dibenarkan.

Tetapi para ulama Mashab Syafii As’yariyah, yang menganggap bahwa ziarah kubur itu merupakan perbuatan yang suci dan mulia, telah menuduh Ibnu Taimiyyah sebagai penghasut rakyat. Maka Dewan Hakim pun bersidang yang dipimpin langsung oleh Sultan Qolawun. Ibnu Taimyah kembali ditangkap setelah hampir lima tahun menikmati kebebasannya sejak ia bebas dari hukuman penjara tahun 1320 M. Penangkapan terhadap Ibnu Taimiyyah itu terjadi pada awal bulan Syakban 1326 M. Rupanya hukuman yang keenam itu, merupakan hukuman yang terakhir bagi Ibnu Taimiyyah. Karena pada tanggal 26 September 1328 M, yang bertepatan dengan tanggal 20 Zulkaidah 728 H, ketika ia tengah  menjalani masa hukumannya, tiba-tiba Ibnu Taimiyyah wafat. Allah swt telah berkenan memanggil Mujtahid Besar dan Pembaharu Pemikir Dunia Islam itu, untuk menghadap kehadliratNya.

Ribuan pelayat mengantarkan jenazah Ibnu Taimiyyah ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Jumlah pelayat mencapai 500.000 orang lebih. Suatu rekor jumlah pelayat yang hanya dapat dikalahkan oleh Imam Hambali pada saat wafatnya yang  konon dihadiri 1.700.000 pelayat.
Demikianlah sejumlah konflik yang terjadi antara Ibnu Taimiyyah yang mencoba membuka pintu ijtihad dengan Ulama Mashab Syafii As’yariyah yang telah menutup pintu ijtihad bagi umat Islam dan menuntut adanya taklid mutlak kepada para ulama, selaku otoritas tunggal dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan.( bersambung).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar