Masjid Damaskus-Siria-Sumber gambar-Wikipedia
4.1.Protes sebagai hak menyatakan pendapat.
Konflik pertama Ibnu Taimiyyah dengan
penguasa Mamalik, terjadi pada tahun 1294 M.Saat itu Ibnu Taimiyyah baru
berusia 32 tahun. Sultan Qolawun pun baru setahun naik tahta.Saat itu seorang
hakim agama Mazhab Safii di Damaskus menghukum seorang pendeta Kristen yang
dituduh telah menghina Nabi Muhammad saw.
Ibnu Taimiyyah melancarkan protes dengan melakukan demontrasi, menuntut
agar pendeta Kristen itu dibebaskan, karena menurut penilaian Ibnu Taimiyyah
tuduhan menghina Nabi saw itu tidak terbukti.
Bagaimana reaksi penguasa terhadap
protes Ibnu Taimiyyah yang mendapat dukungan dari masyarakat itu?. Alih-alih
protesnya diperhatikan, Ibnu Taimiyyah malah ikut ditangkap dan di jebloskan ke
dalam penjara. Di sana Ibnu Taimiyyah mendekam sampai beberapa bulan. Itulah
pengalaman pertama Ibnu Taimiyyah dengan penjara penguasa.
4.2.Dituduh Menyebarkan Anthrophormisme atau pandangan Mujasimah.
Konflik kedua terjadi pada tahun 1298
M dan merupakan konflik yang paling panas. Kasusnya berawal dari pendapat Ibnu Taimiyyah yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah.
Pada saat itu, penduduk di Kota Hamah, meminta agar Ibnu Taimyah memberikan
penjelasan tentang sifat-sifat Allah sebagaimana yang tertera dalam Al Qur’an.
Untuk menjawab pertanyaan itu, Ibnu Taimiyyah menuliskan pendapat dan
pandangannya dalam sebuah karyanya yang berjudul,”Al Risalah –al-Hamawiyah”.
Dalam tulisannya itu, Ibnu Taimiyyah mengambil posisi tengah antara
dua pendapat yang saling bertentangan tentang sifat-sifat Allah. Kedua pendapat
yang saling bertentangan itu adalah pendapat yang meniadakan adanya sifat-sifat
Allah dan pendapat yang menyatakan Allah memiliki sifat anthrophormisme.
Sebenarnya sikap dan pandangan Ibnu Taimiyyah itu adalah dalam upayanya untuk
menegaskan adanya semua sifat yang ada pada Allah, baik yang bersifat fisik
maupun nonfisik, sebagaimana yang telah dijelaskan Al Qur’an. Walaupun begitu
Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak menyamakan sifat-sifat Allah itu dengan sifat
manusia. Memang Al Qur’an menjelaskan bahwa Allah memiliki sifat-sifat fisik,
seperti melihat, mendengar, dan berbicara. Tetapi Ibnu Taimiyyah
berpendapat bahwa bagaimana cara Allah
melihat, mendengar dan berbicara, ialah dengan menyerahkan urusan tersebut
sepenuhnya kepada Allah sendiri. Manusia sebagai makhluknya tidak diwajibkan
untuk mengetahuinya lebih jauh, kecuali sebatas menerima informasi itu
sebagaimana adanya yang tersebut di dalam Al Qur’an. Ibnu Taimiyyah berpendapat
bahwa wahyu lebih tinggi dari akal. Al Qur’an adalah wahyu yang mutlak benar.
Tetapi akal manusia terbatas, maka ketika akal manusia tidak mampu
menjangkaunya, akal harus tunduk dan menyerahkan sepenuhnya kepada otoritas
wahyu. Dengan kata lain makna dari sifat-sifat Allah sebagaimana yang tercantum
dalam Al Qur’an itu, diserahkan sepenuhnya kepada Allah yang Maha Tahu.
Ibnu Taimiyyah, menolak metode
Mu’tazilah yang berusaha menggunakan filsafat untuk menafsirkan sifat-sifat
fisik Allah secara figuratif dengan cara membuat ta’wil.Tujuan Mu’tazilah yang
mengandalkan rasio guna memahami teks-teks al Qur’an ialah menyatukan rasio dan
wahyu, agar wahyu tidak bertentangan dengan akal. Misalnya teks tangan Allah,
oleh Mu’tazilah tidak ditafsirkan secara fisik.Tetapi ditafsirkan secara
ta’wil, sehingga artinya adalah kekuasaan Allah.
Ibnu Taimiyyah berpendapat jika
metode takwil digunakan, bukan saja bertentangan dengan larangan untuk
menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat ,sebagai disebutkan dalam Al Qur’an(Q.S
3:7). Akan tetapi metode ta’wil justru akan meniadakan adanya sifat-sifat Allah
yang jelas- jelas ada disebutan dalam Al Qur’an.
Golongan Mu’tazilah sebenarnya punya
rival yang cukup kuat yakni golongan As’yariyah. Doktrin As’yariyah adalah
doktrin yang dibangun oleh seorang ulama besar yang bernama Abu Hasan Al
Asy’ari (873-935 M). Abu Hasan al-Asy’ari ini pada awalnya adalah pengikut paham
Mu’tazilah yang sempat menjadi paham resmi Dinasti Abbasiyah pada masa Sultan
Al Makmun. Tetapi Abu Hasan al As’yari kemudian keluar dari paham Mu’tailah dan
berusaha menyusun doktrin untuk melawan paham Mu’tazilah, sekaligus juga untuk
menyelamatkan paham Ahlu Sunnah wal Jamaah. Sebagai seorang mantan Mu’tazilah
yang telah bertobat, sebenarnya Abu Hasan al-As’yari juga menggunakan
metode logika dan rasio dalam menjelaskan dasar-dasar teologinya. Hanya
saja Abu Hasan Al As’yari menolak
penafsiran yang dilakukan oleh Mu’tazilah.
Karena itu dari sudut metode
menafsirkan sifat-sifat Allah, antara Ibnu Taimiyyah dan Abu Hasan al As’yari
nyaris tidak banyak bedanya. Kalau toh ada perbedaannya amat tipis. Abu Hasan al As’yari menggunakan logika dan rasio
murni, yakni deduktif. Sedang Ibnu Taimiyyah, tidak hanya menggunakan metode
deduktif, tetapi juga menggunakan metode induktif. Karena itu Ibnu Taimiyyah,
tidak sependapat dengan doktrin As’yariah yang membatasi sifat-sifat Tuhan
hanya dengan sifat dua puluh. Bagi Ibnu Taimiyyah, sifat-sifat Tuhan itu sangat
luas. Hanya saja Allah memberitahukannya lewat Al Qur’an melalui nama-nama yang
indah yakni Asmaul Husna yang mencerminkan sebagian dari sifat-sifat Allah swt.
Baik Ibnu Taimyah maupun Abu Hasan Al As’yari juga sepakat, bahwa kemampuan
akal manusia, berada dibawah wahyu.
Abu Hasan Al As’yari boleh dikatakan sukses dalam usahanya melemahkan paham
Mu’tazilah. Karena itu Abu Hasan Al As’yari dipandang sebagai juru bicara golongan Islam Sunni dan menempatkan dirinya
sebagai penerjemah pandangan-pandangan kelompok Ahli Sunnah wal Jama’ah atau
Aswaja
Pada saat Ibnu Taimiyyah hidup,
doktrin Aswaja yang disusun oleh Abu Hasan al As’yari itu sudah menjadi doktrin
yang sangat mapan dan memiliki otoritatif tinggi yang nyaris tidak bisa
diganggu gugat. Bahkan doktrin Aswaja telah menyatakan dirinya sebagai doktrin
yang final, tak dapat disangkal, dan pintu ijtihad telah tertutup. Dengan
demkian doktrin Aswaja telah menuntut kepada umat adanya sikap taklid kepada otoritas
keagamaan. Tuntutan taklid kepada umat sebagai suatu standar yang baku dalam
doktrin As’yariah sebenarnya disebabkan kuatanya pengaruh para sufi ahli
tarekat yang mendominasi perkembagan doktrin Aswaja. Dengan demikian doktrian
Aswaja yang menggunakan rasio dan logika
pada awal pembentukannya, mengalami kemunduran ditangan para ahli tarekat dan
kaum sufi yang menuntut ketaatan mutlak umat kepadanya. Di tangan para ahli
tarekat dan kaum sufi yang menjadi sangat kuat pada masa Dinasti Mamalik, berkembanglah
paham bahwa para ahli tarekat dan kaum sufi memiiki kemampuan adikodrati
sehingga memiliki kemampuan untuk menafsirkan ayat Al Qur’an, baik yang berifat
lahir maupun batin.
Tentu saja Ibnu Taimiyyah menentang
pandangan tersebut. Bagi Ibnu Taimiyyah, metode para ahli tarekat dan kaum sufi
itu sama lemahnya dengan metode Mu’tazilah. Bedanya ialah Mu’tazilah dalam
menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an mengandalkan akal semata-mata, sementara ahli
tarekat dan kaum sufi, menggunakan intuisi dan perasaannya semata-mata.
Para penguasa dan ulama Dinasti
Mamalik menilai pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah itu bertentangan dengan
doktrin resmi yang dianut pemerintah. Akibat tulisan Ibnu Taimiyyah dalam
Ar-Risalah al-Hamawiyah itu, para ulama yang didominasi Mashab Safii-As’yariyah
berkumpul untuk membicarakan fatwa-fatwa Ibnu Taimiyyah. Hampir tujuh tahun
mereka berdebat dan mendiskusikan karya Ibu Taimiyyah itu. Akhirnya para ulama
itu berkesimpulan, bahwa Ibnu Taimiyyah, adalah pemikir Mujasimah, Mushabihah
atau Anthrophormisme dan karenanya dihakimi sebagai kafir dan akidah Ibnu Taimiyyah
dianggap keluar dari akidah ahli sunnah wal jamaah.
Dengan dukungan penguasa Dinasti
Mamalik, para ulama melarang umat Islam mengikuti paham Ibnu Taimiyyah dan
mereka pun diancam: Barang siapa mengikuti paham Ibnu Taimiyyah,
mereka akan dihukum pidana mati. Sultan Qolawun, penguasa Dinasti Mamalik,
menyatakan paham Ibnu Taimiyyah bertentangan dengan paham yang dianut
pemerintah Dinasti Mamalik. Sekalipun kesimpulan telah diambil, Ibnu Taimyah
sendiri masih dibiarkan bebas, karena saat itu penguasa Dinasti Mamalik sedang
sibuk menghadapi ancaman tentara Mongol yang ke dua yang hendak merebut
Damaskus. Memang perang Mamalik-Mongol yang ke dua meletus pada tahun 1303 M,
yang berakhir dengan kemengangan Dinasti Mamalik yang mendapat dukungan
sepenuhnya dari rakyat Damaskus. Tentu saja termasuk dukungan dari Ibnu Taimiyyah
yang menyerukan agar rakyat Damaskus dan Suriah berjihad melawan tentara kafir
Mongol.
Peta Siria -Mesir pada awal abad ke-14 M
Pada tahun 1305 M, dua tahun setelah
perang melawan invasi pasukan Mongol, barulah Ibnu Taimiyyah ditangkap penguasa
dan dibawa ke Kairo-Mesir untuk diadili dihadapan Mahkamah Ulama Dinasti
Mamalik. Dengan gigih Ibnu Taimiyyah berusaha menolak semua tuduhan tersebut.
Tapi pembelaan Ibnu Taimiyyah sia-sia saja. Ibnu Taimiyyah dijebloskan ke
penjara untuk yang ke dua kalinya. Ibnu Taimiyyah menjadi penghuni penjara
Kairo dengan vonis pengadilan satu setengah tahun penjara. Ketika masa
penahanan hampir habis, Ulama-Ulama Syafii-As’yariyah, menambah bonus tambahan
tahanan lagi, yang mengakibatkan Ibnu Taimiyyah tetap mendekam di penjara
penguasa Dinasti Mamalik selama dua tahun lagi. Tambahan hukuman itu diterima
Ibnu Taimiyyah, karena para sufi merasa keberatan dengan pandangan-pandangan
Ibnu Taimiyyah tentang Ittihadiyah yang diajarkan oleh seorang sufi terkenal
Ibnu Arabi. Saat itu di Mesir hidup seorang sufi pengkut pandangan Ibnu Arabi,
yakni Syaikh Nasr al-Manbiji yang sangat berpengaruh. Dia lah yang mengadukan
kepada Sultan Qolawun, agar Ibnu Taimiyyah dipenjarakan lagi karena telah
melakukan penghinaan terhadap ajaran tasawuf Ittihadiyah.
Tahun 1308 M, Sultan Qolawun
membebaskan Ibnu Taimiyyah dan mengijinkannya kembali ke Damaskus. Tetapi Ibnu Taimiyyah
merasa perlu tetap tinggal di Kairo untuk menyampaikan gagasan-gasanannya agar
umat Islam Mesir kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah. Baru pada tahun 1312 M,
Ibnu Taimiyyah pulang kembali ke Damaskus. Di sana selama lima tahun, Ibnu Taimiyyah
mengajak masyarakat agar tidak melakukan kritikan maupun protes apa pun
terhadap Sultan Qolawun.
4.3 Ibnu Taimiyyah Dilarang Mengeluarkan Fatwa.
Setelah hampir enam tahun tidak
terjadi konflik antara Ibnu Taimiyyah dengan penguasa dan ulama Dinasti
Mamalik, pada tahun 1318 M, kembali terjadi konflik. Kali ini pemicunya adalah
fatwa Ibnu Taimiyyah yang bertentangan dengan pendapat Ulama Syafii-As’yariyah
tentang talak yang mengakibatkan terjadinya perceraian. Ibnu Taimiyyah
mengeluarkan fatwa bahwa talak tiga tidak berlaku apa bila ucapan talak,”Aku
cerai kamu”, diucapkan dalam satu waktu. Ucapan talak tiga, menurut Ibnu Taimiyyah,
harus diucapkan pada waktu yang berbeda. Menambah bilangan talak sampai tiga
kali pada satu waktu, harus dihitung talak satu. Karena itu istri yang ditalak
itu, masih boleh dinikahi lagi.
Para Ulama kemudian berkumpul dan
mengadukan kepada Sultan. Akhirnya Sultan Qolawun melarang Ibnu Taimiyyah
mengeluarkan fatwa dan menjebloskannya ke dalam penjara selama enam bulan.
Tetapi tahun 1320 M, Ulama-ulama Syafii-As’yariyah kembali mengadukan kepada
Sultan, dengan tuduhan fitnah bahwa Ibnu Taimiyyah masih melanggar larangan
Sultan untuk mengeluarkan fatwa. Akibatnya Ibnu Taimiyyah dijebloskan ke dalam
penjara dan diharuskan mendekan di sana selama enam bulan.
4.4. Fatwa Ibnu Taimiyyah Tentang Ziarah Kubur.
Puncak konflik Ibnu Taimiyyah dengan
Sultan Qolawun dan ulama Mshab Syafii As’yariyah pendukung Sultan, terjadi pada
tahun 1325 M.
Saat itu Ibnu Taimiyyah dianggap
membuat fatwa yang bertentangan dengan pendapat Ulama Mashab Safii As’yariyah
dan kebijakan Sultan Qolawun tentang ziarah kubur. Ibnu Taimiyyah dituduh
melarang umat Islam melakukan ziarah kubur. Padahal Ibnu Taimyah hanya
mengingatkan agar umat Islam melakukan ziarah kubur dengan mengikuti tuntunan
dan petunjuk Nabi saw.
Pada masa itu memang berkembang suatu kepercayaan di kalangan umat
Islam, bahwa ziarah kubur ke makam Nabi saw, makam para wali dan makam orang-orang
keramat, dapat mendatangkan rahmat dan keselamatan. Disamping itu, dikalangan
umat juga berkembang keyakinan bahwa ziarah kubur dapat memenuhi berbagai
keperluan duniawi, seperti sembuh dari penyakit, menjadi kaya, terhindar dari
berbagai macam kejahatan serta hal-hal lain yang merupakan hajat manusia. Sedangkan
Ibnu Taimiyyah memandang praktek ziarah kubur seperti itu tidak lain adalah
praktek bid’ah yang dapat mengikis keimanan seseorang. Suatu praktek ibadah
yang tidak memiliki dasar yang kuat karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi
saw dan para ulama salaf generasi awal. Tetapi para Ulama Mashab Safii
As’yariyah menuduh Ibnu Taimiyyah melarang ziarah kubur, bahkan Ibnu Taimiyyah dituduh
melarang umat Islam berziarah ke Makam Nabi saw. Bagi Ibnu Taimiyyah, ziarah ke
makam Nabi dan para Wali, dengan memohon pertolongan kepada orang yang telah
wafat, bukanlah termasuk ibadah haji.Menurut apa yang dipahaminya, Ibadah Haji
itu hanya tertuju pada tiga masjid, yakni Masjid al-Haram di Makkah, Masjid
Nabawi di Madinah dan Masjid al-Aqsha di Yerussalem. Ibnu Taimiyyah menegaskan
selama ziarah kubur dilaksanakan bersamaan dengan ziarah ke salah satu masjid
itu, maka hukumnya justru tidak terlarang, yakni dapat diterima. Tetapi
melakukan ziarah kubur saja dan menganggap ziarah kubur itu sebagai salah satu
ragam ibadah haji, jelas terkutuk dan tak dapat dibenarkan.
Tetapi para ulama Mashab Syafii As’yariyah,
yang menganggap bahwa ziarah kubur itu merupakan perbuatan yang suci dan mulia,
telah menuduh Ibnu Taimiyyah sebagai penghasut rakyat. Maka Dewan Hakim pun
bersidang yang dipimpin langsung oleh Sultan Qolawun. Ibnu Taimyah kembali
ditangkap setelah hampir lima tahun menikmati kebebasannya sejak ia bebas dari
hukuman penjara tahun 1320 M. Penangkapan terhadap Ibnu Taimiyyah itu terjadi
pada awal bulan Syakban 1326 M. Rupanya hukuman yang keenam itu, merupakan
hukuman yang terakhir bagi Ibnu Taimiyyah. Karena pada tanggal 26 September
1328 M, yang bertepatan dengan tanggal 20 Zulkaidah 728 H, ketika ia tengah menjalani masa hukumannya, tiba-tiba Ibnu Taimiyyah
wafat. Allah swt telah berkenan memanggil Mujtahid Besar dan Pembaharu Pemikir
Dunia Islam itu, untuk menghadap kehadliratNya.
Ribuan pelayat mengantarkan jenazah
Ibnu Taimiyyah ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Jumlah pelayat
mencapai 500.000 orang lebih. Suatu rekor jumlah pelayat yang hanya dapat
dikalahkan oleh Imam Hambali pada saat wafatnya yang konon dihadiri 1.700.000 pelayat.
Demikianlah sejumlah konflik yang
terjadi antara Ibnu Taimiyyah yang mencoba membuka pintu ijtihad dengan Ulama
Mashab Syafii As’yariyah yang telah menutup pintu ijtihad bagi umat Islam dan
menuntut adanya taklid mutlak kepada para ulama, selaku otoritas tunggal dalam
memecahkan masalah-masalah keagamaan.( bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar