2. Shalat dan
tafsir Surat Al Fatihah
Bukan sekedar anjuran untuk melaksanakan
shalat, Rontal Ferrara bahkan memuat rukun-rukun shalat secara tertib beserta bacaannya.
Bacaan-bacaan itupun lantas diterjemahkan sehingga masyarakat Jawa yang
mendapatkan pengajaran diharapkan akan dapat memahaminya dengan baik. Namun
demikian tidak semua bacaan itu ditampilkan secara lengkap. Mungkin saja teks
pada bagian tentang pengajaran shalat ini dibuat dengan maksud sebagai panduan
untuk pengajaran shalat secara oral.
Bacaan Surat
Fatiĥah yang menjadi salah satu rukun dalam shalat juga ditampilkan bahkan
disertai dengan penafsirannya. Diantara penafsiran itu adalah kata bismillah
dimaknai dengan “ingsun amet barekat lawan namaning Pangeran” (aku
mencari barokah dengan nama Allah). Alhamdulillah dimaknai “Tuwan
oleh puji” (Tuwan mendapatkan puji). Rabbi’l ‘alamina ditafsirkan “Tuwan
kang angraksa alam kabeh, kang aweh nugraha ing kawula kabeh kang pangabekti
awedi ing Pangeran” (Engkau adalah pemelihara seluruh alam, yang memberi
anugerah kepada semua hamba yang berbakti dan takut kepada Pangeran(Allah)). Al-Rahman
dimaknai “amurah ring dunya” (bersifat Murah di dunia) dan Al-Rahim
ditafsirkan “Tuwan asih ring akerat, kang mukmin lanang lan wadon”
(Engkau mengasihi Mukmin laki-laki dan perempuan di akhirat). Maliki
yawmi’l-din dimaknai “Tuwan ratuning dina kiyamat, kang angukumaken
kabeh” (Engkau adalah penguasa hari kiamat, yang mengadili semua).
Selanjutnya Iyyaka
na’budu ditafsirkan dengan makna “Tuwan kang sinembah sekehing alam
kabeh” (Engkaulah yang disembah seluruh alam) dan iyyaka nasta’-inu
dengan tafsiran “Tuwan amba jaluki tulung” (kepada Engkaulah hamba
meminta pertolongan). Ihdinal’ l-sirat’ al-mustaqima dengan makna “teguhna
amba jaluki dadalan wot siratal mustakim, lawan tetepna” (teguhkanlah hamba
meminta di jalan jembatan siratal mustaqim (jalan yang lurus), dan tetapkanlah
aku). Siratal ‘lladhina an-‘amta ‘alaihim dengan “den … dalane wong
kang wus den wehi pakenak ika, kaya kang tuwna nugraha ika, kaya para nabi para
wali ika, kaya wong aperang sabil ika” (tetapkan dijalan orang yang telah
Engkau anugerahi nikmat, seperti halnya jalan jalan orang yang telah Engkau
beri karunia seperti para Nabi dan Wali-Mu, seperti jalan orang-orang yang
telah berperang sabilillah).
Dalam menafsirkan
Surat Al Fatihah, Rontal Ferrara juga mengingatkan agar kaum muslim termasuk di
Jawa jangan sampai berperilaku menyerupai kaum Yahudi dan Nashrani (Kristen).
Mereka selalu diingatkan agar tidak menjadi orang yang dimurkai (sebagaimana
Yahudi) dan tersesat (sebagaimana Nashrani). Ayat yang berbunyi “Ghairil ‘l
maghdubi ‘alaihim” ditafsirkan “sampun Tuwan wehi pupurik kaya ing
Yahudi Nashrani ika“ (Jangan Engkau beri kemurkaan sebagaimana orang Yahudi
dan Nashrani itu). “Wa-la’l-dhallina” ditafsirkan “sampun Tuwan
sasaraken ing marga kang ora bener, kaumira baginda Isa ing mami; tegese ikulah
amba teda ing Tuwan” (Janganlah Engkau sesatkan aku di jalan yang keliru
sebagaimana kaum Nabi Isa, itulah yang hamba minta kepada Engkau).
Penafsiran bahwa
bagian akhir Surat Al Fatihah tersebut berbicara tentang kaum Yahudi dan
Nashara merupakan penafsiran yang disepakati oleh ulama tafsir. Kesepakatannya
adalah “Orang-orang Yahudi adalah mereka yang dimurkai dan orang-orang Nashrani
adalah orang-orang yang sesat”. Tafsir Ibnu Katsir menunjukkan Ibnu Hatim
berpendapat bahwa ia belum pernah menemukan ada perselisihan di kalangan ulama
dalam menafsirkan ayat tersebut. Hal ini didasarkan hadits-hadits dari
Rasulullah diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Hammad ibnu Salamah
dari Sammak, dari Murri Ibnu Qatri dari Addi Ibnu Hatim sebagai berikut:
“Aku pernah
bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang pekataan-Nya “Bukan jalan orang-orang
yang dimurkai”, lalu beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang Yahudi”. Dan
tentang perkataan-Nya “Dan bukan pula jalan-jalan orang yang sesat”. Beliau
menjawab: “Orang-orang Nashrani adalah orang-orang yang sesat”.
G.W.J. Drewes,
ahli javanologi Belanda, menilai bahwa Surat Al Fatiĥah dalam Rontal Ferrara
tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa dengan menggunakan paradigma atau
visi mistis. Tidak jelas alasan Drewes beranggapan demikian. Nampaknya ia
memang kurang memahami bahwa Surat Al Fatiĥah tersebut telah ditafsirkan dengan
menggunakan model tafsir yang lebih dekat dengan penafsiran mu’tabar
dalam tradisi Islam. Sedikit kekeliruan mungkin terjadi tetapi nampaknya bukan
hal yang fatal.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar