Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Sabtu, 27 Januari 2018

(01).Lebih Dekat Dengan Tokoh Pembaharu, Ibnu Taimiyyah (1262 - 1328 M)




1. Meniti Karir Sebagai Teolog Islam.

Nama lengkap dari Mujtahid Besar Pembaharu Pemikiran Islam ini adalah Taqiyuddin Ahmad Ibnu  al-Hakim Ibnu Taimiyyah. Kakek Ibnu Taimiyyah adalah seorang ulama ternama  di Kota Baghdad. Saat Baghdad hampir jatuh ke tangan  tentara Mongol pimpinan Hulagu, ayahnya beserta keluarganya meninggalkan Baghdad dan mengungsi ke arah barat menuju kota kecil Harran, sebuah kota di Mesopotamia, kini masuk wilayah Turki yang berbatasan dengan Irak.
Kota Harran sendiri  merupakan kota yang menarik dan terkenal, karena kota ini sejak masa lalu merupakan pusat kebudayaan Yunani atau Hellenisme yang masih tersisa di Asia.Konon pada masa lalu penduduknya adalah kaum yang menyembah bintang. Penduduk Harran jugalah yang pada jaman dahulu menolak kedatangan Nabi Ibrahim dalam pengungsiannya  dari Kota Urr di Kaldea pasca konflik dengan Raja Namrud. Walaupun demikian para ulama menganggap penduduk Harran adalah Kaum Sabiin yang termasuk ke dalam kelompok ahlul Kitab. Karena itu Kota Harran merupakan kota yang dilindungi para khalifah.
Baghdad jatuh porak poranda ke tangan tentara Mongol pada tahun 1258 M. Empat tahun setelah jatuhnya Baghdad, yakni pada hari Senin, tanggal 7 Rabbiulawal  tahun 661 H yang bertepatan dengan tanggal 22 Januari tahun 1262 M, di kota Harran itulah  Ibnu Taimiyyah dilahirkan .
Nama Taimiyyah kedengaran agak aneh, karena mirip-mirip nama seorang perempuan. Tapi memang nama Taimiyyah mengingatkan kakek buyut Taqiyuddin pada seorang perempuan cantik jelita. Konon, menurut suatu riwayat, kakek buyut Taqiyuddin, pada suatu saat melakukan perjalanan untuk menunaikan ibadah Haji. Dalam perjalanan itu, dilewatinya suatu desa di dekat dusun Tabuk, yang bernama TAIMA. Saat tengah melewat jalan desa itu, tiba-tiba dilihatnya  seorang wanita  yang  luar biasa cantiknya, baru saja keluar dari sela-sela rumpun bambu. Sejak itulah kakek buyut Taqiyuddin itu selalu terbayang-bayang pada wanita cantik dari Desa Taima itu.
Ketika dia tiba di rumah usai menunaikan ibadah Haji, ditemuianya istrinya yang baru saja melahirkan anaknya. Kebetulan anaknya itu seorang perempuan yang juga sangat cantik luar biasa. Karena sangat gembiranya, kakek buyut Taqiyuddin itu segera mengangkat putrinya yang baru dilahirkan seraya berteriak,” Ya Taimiyyah…Ya Taimiyyah “. Sejak saat itu si bayi cantik tadi diberi nama Taimiyyah, sebagai kenangan atas gadis cantik di desa Taima yang sempat dilihatnya saat dia menunaikan ibadah haji.
Oleh karena nama Taimiiyah menjadi amat mashurnya, maka Taqiyuddin sebagai salah seorang keturunannya, mengabadikan nama Taimiyyah pada dirinya. Bahkan ia lebih terkenal dengan panggilan Ibnu Taimiyyah dari pada nama yang sebenarnya yaitu Taqiyuddin.
Saat Ibnu Taimiyyah berumur enam tahun, ayahnya, Syekh Syihabuddin Abu Ahmad  Abdul Halim, membawanya pindah ke Kota Damaskus. Dalam salah suatu riwayat disebutkan, bahwa kepindahannya ke Damaskus karena Kota Harran sudah tidak aman lagi. Tentara Mongol setiap saat bisa menginvasi kota kecil itu. Karena buku-buku ayahnya sangat banyak, terpaksa keluarganya menggunakan sejumlah pedati untuk mengangkut barang-barang keluarganyanya. Antara lain, buku-buku ayahnya, dan tentu saja keluarganya, termasuk bocah berusia enam tahun, Taqiyuddun kecil.
Ayah Ibnu Taimiyyah memang seorang ulama penganut Mashab Hambali yang disegani karena kedalaman ilmunya, terutama dalam masalah hadist. Karena itu dalam waktu singkat ayahnya mendapatkan pekerjaan sebagai guru dan khatib di Masjid Jami Bani Ummayah yang cukup prestitius di Damaskus, Suriah.
Di Kota Damaskus itulah Ibnu Taimiyyah melewati  pendidikan pada hari-hari masa mudanya dengan mendalami berbagai ilmu keislaman. Selain belajar kepada ayahnya, dia juga belajar ilmu hadits kepada Ibnu Abdud-Daim, seorang ahli hadis kenamaan. Guru-gurunya yang lain yang terdiri dari para ulama berbobot di kota itu antara lain Syekh Syamsuddin al Hambali, Sykeh Jalaluddin al Hanafi dan lain-lainya lagi.

Ibnu Taimiyyah terkenal sebagai anak yang amat cerdas, dan kuat hafalannya. Konon, dia termasuk anak yang sukar lupa. Tak satu huruf pun dari ayat Al Qur’an yang telah dihafalnya, akan lupa. Dia pun terus melahap ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu fikih, ushul fikih, bahasa Arab, dan tafsir.Sejak usia yang amat muda, dia sudah gemar menghadiri dan mengikuti diskusi-diskusi ilmiah soal-soal agama. Tak mengherankan jika karir keilmuannya cepat menanjak. Pada usia sembilan belas tahun, dia sudah mulai mengarang dan memberikan fatwa. Dan pada usia dua puluh tahun , dia sudah mampu menafsirkan Al Qur’an secara amat mendalam.

Pada tahun 1284 M, saat Ibnu Taimiyyah berusia 21 tahu, ayahnya Abdul Halim yang menjadi kepala Sekolah Hadits di Damaskus, meninggal dunia. Dalam usia semuda itu Ibnu Taimiyyah mengambil alih kedudukan ayahnya, baik sebagai guru, kepala sekolah, maupun khatib pada masjid-masjid. Dan langkahnya itu sekaligus mengawali debutnya yang penuh kontroversi sebagai teolog Islam yang aktif di tengah-tengah masyarakatnya.

Ibnu Taimiyyah bukan saja dikenal sebagai seorang yang tajam ingatannya, tetapi juga tajam pemikiranya dan intuisinya, suka berpikir mandiri, bersikap bebas, setia kepada kebenaran, dan cakap dalam berpidato. Lebih dari pada itu, dengan penuh keberanian dan ketekunan, memang dia memiliki sejumlah persayaratan sebagai seorang pribadi yang memiliki keunggulan. Sejumlah posisi penting dimilikinya, sehingga dia bukan hanya meneruskan tradisi intelektual dan ilmiyah dari kakek dan ayahnya, yakni menjadi guru dan hakim. Tetapi Ibnu Taimiyyah juga terjun sebagai pejuang yang ikut berperang untuk mempertahankan Damaskus dari ancaman serbuan tentatara Mongol yang melanda Damaskus pada tahun 1303 M.

2. Membendung Gelombang Tentara Mongol.

Pasca jatuhnya Baghdad, Panglima tentara Mongol Hulagu mulai melirik wilayah di sebelah barat yang kaya dan subur. Hulagu mengincar wilayah Mesir yang saat itu berada dibawah Pemerintahan Dinasti Mamalik. Ketika itu wilayah Islam di seluruh Asia Tengah sampai Baghdad sudah jatuh dibawah kekuasaan tentara Mongol. Walaupun begitu, Hulagu masih bermimpi untuk menaklukan Dinasti Mamalik yang berpusat di Kairo.

Pada tahun 1260 M, Hulagu mengirimkan tentaranya ke wilayah barat untuk menaklukan Mesir.Tetapi Dinasti Mamalik ( 1250- 1517 M), bukan dinasti yang lemah. Tentara Mesir dibawah Panglima Perangnya, Jendral Baybars dan Sultan Mamalik Saiffudin Qutuz, segera berangkat untuk menyongsong tentara Mongol di Ain Jalut. Pertempuran besar pun meletus. Perang besar antara tentara Mamalik dan tentara Mongol itu pecah  pada bulan Ramadhan, 3 September 1260 M. Dan perang pun berakhir dengan kemenangan tentara Mesir.Tentara Mongol berhasil dipukul mundur, dan keluar dari sebagian besar  wilayah Suriah.

Rakyat Suriah dengan gembira menyambut kemenangan tentara Mesir dan sejak itu sebagian besar wilayah Suriah berada di bawah kendali Dinasti Mamalik. Memang kemenangan tentara Mamalik atas Suriah, mengakibatkan sejumlah daerah mengakui kedaulatan Dinasti Mamalik yang baru muncul sebagai penguasa baru di Mesir menggantikan Dinasti Ayyubiah( 1169-1250 M). Dalam waktu singkat sejumlah wilayah selain Mesir dan Suriah segera mengakui kedaulatan Dinasti Mamalik, antara lain, Yaman, Hedzjaz, dan wilayah di sepanjang Sungai Furat. Dinasti Mamalik juga mulai mengalami kemajuan pesat pada masa Sultan Azhahir Ruknuddin Baybars (1260-1277 M), mantan panglima perang legendaris dalam Perang Ain Jalut. Sultan Baybars naik tahta menggantikan Sultan Qutuz, pasca kemenangannya dalam perang di Ain Jalut, tahun 1260 M.

Ketika terjadi pertempuran besar di Ain Jalut, Ibnu Taimiyyah belum lahir.Baru kelak ketika Ibnu Taimiyyah sudah dewasa, mulai terlibat dalam perang jihad melawan tentara Mongol, yakni pada tahun 1303 M, pada masa Sultan Nashir Muhammad Qolawun(1293 – 1347 M ).Saat itu terjadi perang kedua antara tentara Mongol yang berusaha masuk Damaskus dengan tentara Dinasti Mamalik yang berusaha mempertahankan Damaskus. Ibnu Taimiyyah dengan pejuang Islam setempat lainnya ikut berperang dengan tentara Mamalik untuk mempertahankan Damaskus. Dalam perang yang ke dua ini, kembali tentara Mamalik yang mendapat dukungan rakyat setempat, bukan hanya berhasil mengusir tentara Mongol keluar Damaskus. Tetapi mereka malahan berhasil merebut sejumlah wilayah Suriah di luar Damaskus yang semula diduduki tentara Mongol. Kemengangan ke dua itu, semakin memperkukuh Dinasti Mamalik sebagai penguasa Mesir, Afrika Utara, Yaman, tanah Hejaz, Suriah, Libanon, dan  Lembah Sungai Furat  lainnnya.

Dinasti Mamalik memang mempunyai dua Sultan besar, yakni Sultan Baybar(1260-1277 M) dan Sultan Qolawun (1293 – 1347 M).  Sultan Baybar  banyak  membawa kemajuan Dinasti Mamalik, sehingga Kairo bisa berkembang menjadi pusat kota dunia Islam menggantikan Baghdad. Banyak sekali langkah-langkah  pembaharuan yang dilakukan Sultan Baybars. Antara lain di bidang pemerintahan, dia menjauhkan praktek-prektek nepotisme. Hanya perwira militer  cakap saja yang boleh menduduki posisi tinggi di pemerintahan. Dia pun tidak pernah menetapkan, bahwa penggantinya kelak harus keturunannya.
Di bidang keagamaan, Sultan Baybars juga melakukan langkah-langkah strategis. Antara lain, dia tetap mempertahankan Mashab Suni sebagai Mazhab Kerajaannya, sebagaimana dilakukan oleh  dinasti pendahulunya, Dinasti Ayyubiyah. Sultan Baybars juga merupakan sultan pertama yang mengangkat empat hakim agama sekaligus, masing-masing mewakili empat Mazhab Sunni. Dia pula yang mulai membenahi sistem pemberangkatan haji, sehingga lebih teratur dan tertib. Sultan Baybars memang dikenal sebagai Sultan yang saleh.
Di bidang diplomatik,  Sultan Baybars menjalin persahabatan dengan Konstantinopel, Sicilia, dan Kesultanan Islam Delhi di India. Dengan cucu Hulagu yang telah masuk Islam dan menjadi penguasa Golden Horde, wilayah sebelah barat Mongolia, Sultan Baybars juga menjalin persahabatan.
Sekalipun Perang Salib belum usai, Sultan Baybars tetap membuka hubungan perdagangan dengan Italia dan Perancis. Bahkan hubungan dagang dijalin pula dengan penguasa non muslim di Semenanjung Iberia, sepert James dari Sevilla dan Alfonso dari Aragon. Semua kebijakan pemerintahan Sultan Baybar itu, mengakibatkan Mesir dan Suriah berkembang menjadi wilayah  maju dan makmur. Dan jasa terbesar Dinasti Mamalik bagi perkembangan Islam pada saat itu adalah keberhasilannya dalam membentengi wilaya bulan Sabit  dari serbuan tentara Mongol dan juga dari serbuan tentara Salib.
Sultan terbesar kedua Dinasti Mamalik adalah Sultan Nasir Muhammad bin Qolawun (1293-1340 M), yang naik tahta menggantikan Sultan Salahuddin Khalil (1290-1293 M). Sayang sekali Sultan Qolawun tidak memiliki watak kenegarawanan dengan pandangan jauh ke depan. Di bidang pemerintahan, dia mulai mempraktekkan nepotisme. Suksesi penggantian sultan yang semula tidak didasarkan  keturunan, segera diganti dengan menetapkan penggantinya secara turun temurun. Akibatnya dapat diduga. Penggantinya yang merupakan anak keturunannya,  terus-menerus terlibat perebutan tahta yang dianggapnya sebagai harta warisan. Di bidang keagamaan, Sultan Nashir Muhammad Qolawun pun mulai  menetapkan hanya Mazhab Safii aliran Asy’ariyah  sebagai  mazhab resmi Kerajaannya. Dengan demikian Mazhab Safii saat itu menjadi Mashab pemberikan dukungan paling kuat pada pemerintahan Sultan Qolawun yang mengembangkan gaya pemerintahan otoriter

3. Gagasan Pemurnian Islam dan Membuka Pintu Ijtihad

Ibnu Taimiyyah terlibat konflik dengan penguasa Mamalik pada saat Sultan Qolawun mendapat dukungan kuat dari Ulama Mazhab Safii yang saat itu berkuasa. Dari sinilah sebernya bermula konflik Ibnu Taimiyyah dengan Ulama Madzab Safii aliran Asy’ariyah yang menjadi pendukung kuat Sultan Qolawun yang otoriter itu.
Ibnu Taimiyyah hidup pada saat dunia Islam mengalami kemunduran. Kisah Jatuhnya Kota Baghdad yang merupakan pusat pemerintahan Abbasiyah yang begitu mengerikan, menimbulkan keprihatinan mendalam dalam dirinya. Demikan pula adanya ancaman terhadap dunia Islam baik dari tentara Mongol di sebelah timur maupun ancaman Perang Salib dari arah barat. Dinasti Mamalik yang dia harapkan bisa berkembang menjadi dinasti Islam yang kokoh dan kuat, segera tampak rapuh setelah Sultan Qolawun naik tahta. Mengapa sejumlah Dinasti Pemerintahan Islam, yang didirikan atas dasar nilai-nilai Al Qur’an dan Sunnah, begitu mudahnya datang dan pergi silih berganti, sebagaimana juga dinasti-dinasti Pemerintahan yang tidak dibimbing nilai-nilai ajaran Islam?
Ibnu Taimiyyah  melihat keterpurukan dunia Islam saat itu, adalah akibat praktek keagamaan umat Islam yang sudah menyimpang jauh dari tuntunan Al Qur’an dan Sunah Nabi. Bid’ah, khurofat, takhyul, taklid buta, dan menjamurnya tarekat-tarekat yang mengabaikan soal-soal urusan kemasyarakatan dan duniawi, dilihatnya sebagai pokok permasalahan yang membelenggu  umat Islam, sehingga umat Islam pada saat itu terancam sebagai umat yang  terpuruk di bawah kaki kekuatan-kekuatan non Islam. Padahal missi kehadiran manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah yang memikul amanah mulia mewujudkan kemakmuran, keadilan, dan kebenaran. Allah SWT sendiri telah berfirman, bahwa ummat Islam adalah ummat terbaik yang telah dilahirkan di antara ummat-ummat yang lain.  Dan Al Qur’an adalah hudallinnas, petunjuk bagi semua manusia. Ibnu Taimiyyah dengan analisa empirisnya segera melihat, betapa timpangnya antara praktek keagamaan Islam yang seharusnya sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an maupun dalam hadits Nabi, dengan kenyataan yang ada di dunia empiris yang jauh dari tuntunan Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw.

Dari hasil analisa dan pengamatannya itu, sampailah  Ibnu Taimiyyah pada kesimpulannya bahwa untuk mengembalikan kejayaan Islam sebagai suluh peradaban, tak ada jalan lain bagi umat Islam, kecuali umat Islam harus  kembali pada Al Qur’an dan Hadits. Ibnu Taimiyyah kemudian dengan gigih melancarkan anjuran dan propaganda agar umat Islam kembali kepada Al Qur’an dan Hadis dan mencontoh praktek berislam sebagaimana telah dicontohkan para sahabat dan ulama salaf lainnya. Ibnu Taimiyyah menghendaki pemurnian kembali ajaran Islam, karena praktek dan penghayatan keagamaan yang dilakukan ummat Islam saat itu telah menyimpang jauh dari nilai-nilai Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw.

Hal yang paling ditekankan Ibnu Taimiyyah dalam gagasannya untuk memurnikan kembali ajaran Islam ialah agar umat Islam membuang jauh-jauh sifat fanatisme dan kejumudan, dan membuang sikap taklid buta serta menganjurkan umat Islam membuka pintu ijtihad. Sebagai tokoh pembaharu, Ibnu Taimiyyah juga menganjurkan agar umat Islam tidak ragu-ragu mengamalkan amal ma’ruf dan nahi mungkar guna memperbaiki kondisi sosial masyarakat yang carut marut. Sebagai seorang yang tajam penanya, Ibnu Taimiyyah bukan hanya mengeluarkan fatwa-fatwa keras yang menyerang berbagai ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.Tetapi dia pun  mulai menuliskan gagasan-gagasan pembaharuannya yang berlawanan dengan pendapat ulama-ulama yang ada pada masa itu. Bahkan tidak jarang tulisan-tulisannya yang tajam itu mengkritisi kebijakan penguasa Dinasti Mamalik di bawah Sultan Qolawun yang memang otoriter itu.

Akibat dari fatwa-fatwa Ibnu Taimiyyah yang tajam dan tulisannya yang polemis yang bertentangan dengan pemikiran-pemikiran dan kebijakan yang telah mapan pada saat itu, tak bisa dihindarkan lagi konflik dengan pihak penguasa dan para fuqaha pun pecah. Ibnu Taimiyyah dianggap sosok yang membahayakan penguasa Mamalik yang didukung oleh ulama-ulama dari mashab Safii, sebagai mashab resmi pendukung pemerintahan Dinasti Mamalik. Akibatnya dapat diduga, Ibnu Taimiyyah sering berurusan dengan pihak penguasa. Dan bolak balik dia ditangkap  akibat fatwa-fatwanya dan tulisan-tulisan yang tajam menggigit. Dia bolak balik dijebloskan ke dalam penjara sebagai konsekwensi dari gagasan-gasan pembaharuan yang dikumandangkannya.

Nyaris sebagian besar karir Ibnu Taimiyyah sebagai tokoh pembaharu, dihabiskannya di balik pintu penjara.Tetapi justru karena sering mendekam di penjara, Ibnu Taimiyyah semakin produktif menuliskan gagasan-gagasannya. Tidak kurang dari 500 jilid buku yang berbobot telah ditulisnya. Sebagian besar tulisannya lenyap dimusnahkan penguasa.Sebagian lagi berhasil diselundupkan ke luar dinding tembok penjara. Karya-karya Ibnu Taimiyyah yang berhasil diselundupkan keluar, ramai-rami disalin dan disebarkan kemana-mana. Bahkan salinannya berhasil menyeberang ke Eropa, menjadi bahan bacaan para filsuf dan pemikir Perancis. Karya Ibnu Taimiyyah di bidang kenegaraan Al Siyasa Al-Syariyyah, misalnya,  sangat digemari para pemikir Perancis dan menginspinrasi mereka tentang gagasan negara bangsa. Filsuf Perancis Montesque yang terkenal dengan gagasan Trias Policanya, disebut-sebut pula sebagai terinspirasi pula oleh gagasan Ibnu Taimiyyah tentang pemerintahan yang bersih dan adil.

Setidak-tidaknya di dunia Barat tersedia kajian kumpulan tulisan pemikiran Ibnu Taimiyyah baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Perancis. Studi pemikiran dan gagasan Ibnu Taimiyyah dalam bahasa Inggris ditulis oleh Qomaruddin Khan,”The Political Though of Ibn Taimiyyah”.Sedangkan edisi Perancis ditulis oleh Henri Laoust yang berjudul,”Lesdoctrines socialales et politiques d’Ibn Taimiyyah. Kitab karangan Ibnu Taimiyyah mashur selain Al Siyasa Al Syar’iyyah diantaranya adalah Minhaj al-Sunnah, Al-Hisban fil-Islami, Al-Aqida al-Wasitiya, Bayanu Muwaafaqati shariihil ma’qul lisashahiilil manqul”, terdiri dari empat jilid besar. Karya lainnya adalah Istbaatul ma’ad, Addurratul Mudliyah fi fatawi Ibnni Taimiyyah, Ishlaahur Raa’I war ra’iyah, Stubutun Nubuuwwati aqlan wa naqlan dan Arradu alal hululiyah-ittihadiyah, Al Iman, Al Istiqomah, Iqtida as-Sirat al-Mustaqim, Al Furqan, Naqd al Mantiq, Ar-Raad ala al Mantiaiyyin, Majmu Fatawa dan yang lainnya lagi.
 Sarjana Arab yang menghimpun karya-karya Ibnu Taimiyyah adalah  seorang ulama kenamaan dari Nejed, Abdur-Rahman Ibnu Muhammad al Hambali dalam karyanya,”Majmu Fatawa  Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyyah “, yang terdiri dari tiga puluh juz. Kitab Majmu Fatawa inilah yang kelak mempengaruhi gagasan pemikiran Syekh Muhammad Ibnu Wahhab untuk mulai mengimplementasikan gagasan-gagasan pemikiran pembaharuan Ibnu Taimiyyah di dunia empiris, lebih kurang lima abad setelah Ibnu Taimiyyah wafat.(by anwar hadja).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar