1. Meniti Karir Sebagai Teolog Islam.
Nama lengkap dari Mujtahid Besar Pembaharu
Pemikiran Islam ini adalah Taqiyuddin Ahmad Ibnu al-Hakim Ibnu Taimiyyah. Kakek Ibnu Taimiyyah
adalah seorang ulama ternama di Kota
Baghdad. Saat Baghdad hampir jatuh ke tangan
tentara Mongol pimpinan Hulagu, ayahnya beserta keluarganya meninggalkan
Baghdad dan mengungsi ke arah barat menuju kota kecil Harran, sebuah kota di
Mesopotamia, kini masuk wilayah Turki yang berbatasan dengan Irak.
Kota Harran sendiri merupakan kota yang menarik dan terkenal,
karena kota ini sejak masa lalu merupakan pusat kebudayaan Yunani atau
Hellenisme yang masih tersisa di Asia.Konon pada masa lalu penduduknya adalah
kaum yang menyembah bintang. Penduduk Harran jugalah yang pada jaman dahulu
menolak kedatangan Nabi Ibrahim dalam pengungsiannya dari Kota Urr di Kaldea pasca konflik dengan
Raja Namrud. Walaupun demikian para ulama menganggap penduduk Harran adalah Kaum
Sabiin yang termasuk ke dalam kelompok ahlul Kitab. Karena itu Kota Harran merupakan
kota yang dilindungi para khalifah.
Baghdad jatuh porak poranda ke tangan tentara
Mongol pada tahun 1258 M. Empat tahun setelah jatuhnya Baghdad, yakni pada hari
Senin, tanggal 7 Rabbiulawal tahun 661 H
yang bertepatan dengan tanggal 22 Januari tahun 1262 M, di kota Harran itulah Ibnu Taimiyyah dilahirkan .
Nama Taimiyyah kedengaran agak aneh, karena
mirip-mirip nama seorang perempuan. Tapi memang nama Taimiyyah mengingatkan
kakek buyut Taqiyuddin pada seorang perempuan cantik jelita. Konon, menurut
suatu riwayat, kakek buyut Taqiyuddin, pada suatu saat melakukan perjalanan
untuk menunaikan ibadah Haji. Dalam perjalanan itu, dilewatinya suatu desa di
dekat dusun Tabuk, yang bernama TAIMA. Saat tengah melewat jalan desa itu,
tiba-tiba dilihatnya seorang wanita yang luar biasa cantiknya, baru saja keluar dari sela-sela
rumpun bambu. Sejak itulah kakek buyut Taqiyuddin itu selalu terbayang-bayang
pada wanita cantik dari Desa Taima itu.
Ketika dia tiba di rumah usai menunaikan
ibadah Haji, ditemuianya istrinya yang baru saja melahirkan anaknya. Kebetulan
anaknya itu seorang perempuan yang juga sangat cantik luar biasa. Karena sangat
gembiranya, kakek buyut Taqiyuddin itu segera mengangkat putrinya yang baru
dilahirkan seraya berteriak,” Ya Taimiyyah…Ya Taimiyyah “. Sejak saat itu si
bayi cantik tadi diberi nama Taimiyyah, sebagai kenangan atas gadis cantik di
desa Taima yang sempat dilihatnya saat dia menunaikan ibadah haji.
Oleh karena nama Taimiiyah menjadi amat
mashurnya, maka Taqiyuddin sebagai salah seorang keturunannya, mengabadikan
nama Taimiyyah pada dirinya. Bahkan ia lebih terkenal dengan panggilan Ibnu Taimiyyah
dari pada nama yang sebenarnya yaitu Taqiyuddin.
Saat Ibnu Taimiyyah berumur enam tahun,
ayahnya, Syekh Syihabuddin Abu Ahmad
Abdul Halim, membawanya pindah ke Kota Damaskus. Dalam salah suatu
riwayat disebutkan, bahwa kepindahannya ke Damaskus karena Kota Harran sudah
tidak aman lagi. Tentara Mongol setiap saat bisa menginvasi kota kecil itu.
Karena buku-buku ayahnya sangat banyak, terpaksa keluarganya menggunakan
sejumlah pedati untuk mengangkut barang-barang keluarganyanya. Antara lain, buku-buku
ayahnya, dan tentu saja keluarganya, termasuk bocah berusia enam tahun,
Taqiyuddun kecil.
Ayah Ibnu Taimiyyah memang seorang ulama
penganut Mashab Hambali yang disegani karena kedalaman ilmunya, terutama dalam
masalah hadist. Karena itu dalam waktu singkat ayahnya mendapatkan pekerjaan
sebagai guru dan khatib di Masjid Jami Bani Ummayah yang cukup prestitius di
Damaskus, Suriah.
Di Kota Damaskus itulah Ibnu Taimiyyah
melewati pendidikan pada hari-hari masa
mudanya dengan mendalami berbagai ilmu keislaman. Selain belajar kepada
ayahnya, dia juga belajar ilmu hadits kepada Ibnu Abdud-Daim, seorang ahli
hadis kenamaan. Guru-gurunya yang lain yang terdiri dari para ulama berbobot di
kota itu antara lain Syekh Syamsuddin al Hambali, Sykeh Jalaluddin al Hanafi
dan lain-lainya lagi.
Ibnu Taimiyyah terkenal sebagai anak yang amat
cerdas, dan kuat hafalannya. Konon, dia termasuk anak yang sukar lupa. Tak satu
huruf pun dari ayat Al Qur’an yang telah dihafalnya, akan lupa. Dia pun terus
melahap ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu fikih, ushul fikih, bahasa Arab, dan
tafsir.Sejak usia yang amat muda, dia sudah gemar menghadiri dan mengikuti
diskusi-diskusi ilmiah soal-soal agama. Tak mengherankan jika karir keilmuannya
cepat menanjak. Pada usia sembilan belas tahun, dia sudah mulai mengarang dan
memberikan fatwa. Dan pada usia dua puluh tahun , dia sudah mampu menafsirkan
Al Qur’an secara amat mendalam.
Pada tahun 1284 M, saat Ibnu Taimiyyah berusia
21 tahu, ayahnya Abdul Halim yang menjadi kepala Sekolah Hadits di Damaskus,
meninggal dunia. Dalam usia semuda itu Ibnu Taimiyyah mengambil alih kedudukan
ayahnya, baik sebagai guru, kepala sekolah, maupun khatib pada masjid-masjid.
Dan langkahnya itu sekaligus mengawali debutnya yang penuh kontroversi sebagai
teolog Islam yang aktif di tengah-tengah masyarakatnya.
Ibnu Taimiyyah bukan saja dikenal sebagai
seorang yang tajam ingatannya, tetapi juga tajam pemikiranya dan intuisinya,
suka berpikir mandiri, bersikap bebas, setia kepada kebenaran, dan cakap dalam
berpidato. Lebih dari pada itu, dengan penuh keberanian dan ketekunan, memang
dia memiliki sejumlah persayaratan sebagai seorang pribadi yang memiliki keunggulan.
Sejumlah posisi penting dimilikinya, sehingga dia bukan hanya meneruskan
tradisi intelektual dan ilmiyah dari kakek dan ayahnya, yakni menjadi guru dan
hakim. Tetapi Ibnu Taimiyyah juga terjun sebagai pejuang yang ikut berperang
untuk mempertahankan Damaskus dari ancaman serbuan tentatara Mongol yang
melanda Damaskus pada tahun 1303 M.
2. Membendung Gelombang Tentara Mongol.
Pasca jatuhnya Baghdad, Panglima tentara Mongol Hulagu mulai melirik wilayah di sebelah barat yang kaya dan subur. Hulagu mengincar wilayah Mesir yang saat itu berada dibawah Pemerintahan Dinasti Mamalik. Ketika itu wilayah Islam di seluruh Asia Tengah sampai Baghdad sudah jatuh dibawah kekuasaan tentara Mongol. Walaupun begitu, Hulagu masih bermimpi untuk menaklukan Dinasti Mamalik yang berpusat di Kairo.
Pada tahun 1260 M, Hulagu mengirimkan
tentaranya ke wilayah barat untuk menaklukan Mesir.Tetapi Dinasti Mamalik (
1250- 1517 M), bukan dinasti yang lemah. Tentara Mesir dibawah Panglima
Perangnya, Jendral Baybars dan Sultan Mamalik Saiffudin Qutuz, segera berangkat
untuk menyongsong tentara Mongol di Ain Jalut. Pertempuran besar pun meletus.
Perang besar antara tentara Mamalik dan tentara Mongol itu pecah pada bulan Ramadhan, 3 September 1260 M. Dan
perang pun berakhir dengan kemenangan tentara Mesir.Tentara Mongol berhasil
dipukul mundur, dan keluar dari sebagian besar
wilayah Suriah.
Rakyat Suriah dengan gembira menyambut
kemenangan tentara Mesir dan sejak itu sebagian besar wilayah Suriah berada di
bawah kendali Dinasti Mamalik. Memang kemenangan tentara Mamalik atas Suriah,
mengakibatkan sejumlah daerah mengakui kedaulatan Dinasti Mamalik yang baru muncul
sebagai penguasa baru di Mesir menggantikan Dinasti Ayyubiah( 1169-1250 M).
Dalam waktu singkat sejumlah wilayah selain Mesir dan Suriah segera mengakui
kedaulatan Dinasti Mamalik, antara lain, Yaman, Hedzjaz, dan wilayah di
sepanjang Sungai Furat. Dinasti Mamalik juga mulai mengalami kemajuan pesat
pada masa Sultan Azhahir Ruknuddin Baybars (1260-1277 M), mantan panglima
perang legendaris dalam Perang Ain Jalut. Sultan Baybars naik tahta
menggantikan Sultan Qutuz, pasca kemenangannya dalam perang di Ain Jalut, tahun
1260 M.
Ketika terjadi pertempuran besar di Ain Jalut,
Ibnu Taimiyyah belum lahir.Baru kelak ketika Ibnu Taimiyyah sudah dewasa, mulai
terlibat dalam perang jihad melawan tentara Mongol, yakni pada tahun 1303 M,
pada masa Sultan Nashir Muhammad Qolawun(1293 – 1347 M ).Saat itu terjadi
perang kedua antara tentara Mongol yang berusaha masuk Damaskus dengan tentara
Dinasti Mamalik yang berusaha mempertahankan Damaskus. Ibnu Taimiyyah dengan
pejuang Islam setempat lainnya ikut berperang dengan tentara Mamalik untuk
mempertahankan Damaskus. Dalam perang yang ke dua ini, kembali tentara Mamalik
yang mendapat dukungan rakyat setempat, bukan hanya berhasil mengusir tentara
Mongol keluar Damaskus. Tetapi mereka malahan berhasil merebut sejumlah wilayah
Suriah di luar Damaskus yang semula diduduki tentara Mongol. Kemengangan ke dua
itu, semakin memperkukuh Dinasti Mamalik sebagai penguasa Mesir, Afrika Utara,
Yaman, tanah Hejaz, Suriah, Libanon, dan
Lembah Sungai Furat lainnnya.
Dinasti Mamalik memang mempunyai dua Sultan
besar, yakni Sultan Baybar(1260-1277 M) dan Sultan Qolawun (1293 – 1347
M). Sultan Baybar banyak
membawa kemajuan Dinasti Mamalik, sehingga Kairo bisa berkembang menjadi
pusat kota dunia Islam menggantikan Baghdad. Banyak sekali langkah-langkah pembaharuan yang dilakukan Sultan Baybars.
Antara lain di bidang pemerintahan, dia menjauhkan praktek-prektek nepotisme.
Hanya perwira militer cakap saja yang
boleh menduduki posisi tinggi di pemerintahan. Dia pun tidak pernah menetapkan,
bahwa penggantinya kelak harus keturunannya.
Di bidang keagamaan, Sultan Baybars juga
melakukan langkah-langkah strategis. Antara lain, dia tetap mempertahankan
Mashab Suni sebagai Mazhab Kerajaannya, sebagaimana dilakukan oleh dinasti pendahulunya, Dinasti Ayyubiyah.
Sultan Baybars juga merupakan sultan pertama yang mengangkat empat hakim agama
sekaligus, masing-masing mewakili empat Mazhab Sunni. Dia pula yang mulai
membenahi sistem pemberangkatan haji, sehingga lebih teratur dan tertib. Sultan
Baybars memang dikenal sebagai Sultan yang saleh.
Di bidang diplomatik, Sultan Baybars menjalin persahabatan dengan
Konstantinopel, Sicilia, dan Kesultanan Islam Delhi di India. Dengan cucu
Hulagu yang telah masuk Islam dan menjadi penguasa Golden Horde, wilayah
sebelah barat Mongolia, Sultan Baybars juga menjalin persahabatan.
Sekalipun Perang Salib belum usai, Sultan
Baybars tetap membuka hubungan perdagangan dengan Italia dan Perancis. Bahkan
hubungan dagang dijalin pula dengan penguasa non muslim di Semenanjung Iberia,
sepert James dari Sevilla dan Alfonso dari Aragon. Semua kebijakan pemerintahan
Sultan Baybar itu, mengakibatkan Mesir dan Suriah berkembang menjadi
wilayah maju dan makmur. Dan jasa
terbesar Dinasti Mamalik bagi perkembangan Islam pada saat itu adalah keberhasilannya
dalam membentengi wilaya bulan Sabit dari serbuan tentara Mongol dan juga dari
serbuan tentara Salib.
Sultan terbesar kedua Dinasti Mamalik adalah
Sultan Nasir Muhammad bin Qolawun (1293-1340 M), yang naik tahta menggantikan
Sultan Salahuddin Khalil (1290-1293 M). Sayang sekali Sultan Qolawun tidak
memiliki watak kenegarawanan dengan pandangan jauh ke depan. Di bidang
pemerintahan, dia mulai mempraktekkan nepotisme. Suksesi penggantian sultan
yang semula tidak didasarkan keturunan,
segera diganti dengan menetapkan penggantinya secara turun temurun. Akibatnya
dapat diduga. Penggantinya yang merupakan anak keturunannya, terus-menerus terlibat perebutan tahta yang
dianggapnya sebagai harta warisan. Di bidang keagamaan, Sultan Nashir Muhammad
Qolawun pun mulai menetapkan hanya
Mazhab Safii aliran Asy’ariyah
sebagai mazhab resmi Kerajaannya.
Dengan demikian Mazhab Safii saat itu menjadi Mashab pemberikan dukungan paling
kuat pada pemerintahan Sultan Qolawun yang mengembangkan gaya pemerintahan
otoriter
3. Gagasan Pemurnian Islam dan Membuka Pintu Ijtihad
Ibnu Taimiyyah terlibat konflik dengan
penguasa Mamalik pada saat Sultan Qolawun mendapat dukungan kuat dari Ulama
Mazhab Safii yang saat itu berkuasa. Dari sinilah sebernya bermula konflik Ibnu
Taimiyyah dengan Ulama Madzab Safii aliran Asy’ariyah yang menjadi pendukung
kuat Sultan Qolawun yang otoriter itu.
Ibnu Taimiyyah hidup pada saat dunia Islam
mengalami kemunduran. Kisah Jatuhnya Kota Baghdad yang merupakan pusat
pemerintahan Abbasiyah yang begitu mengerikan, menimbulkan keprihatinan
mendalam dalam dirinya. Demikan pula adanya ancaman terhadap dunia Islam baik
dari tentara Mongol di sebelah timur maupun ancaman Perang Salib dari arah
barat. Dinasti Mamalik yang dia harapkan bisa berkembang menjadi dinasti Islam
yang kokoh dan kuat, segera tampak rapuh setelah Sultan Qolawun naik tahta.
Mengapa sejumlah Dinasti Pemerintahan Islam, yang didirikan atas dasar
nilai-nilai Al Qur’an dan Sunnah, begitu mudahnya datang dan pergi silih
berganti, sebagaimana juga dinasti-dinasti Pemerintahan yang tidak dibimbing
nilai-nilai ajaran Islam?
Ibnu Taimiyyah
melihat keterpurukan dunia Islam saat itu, adalah akibat praktek
keagamaan umat Islam yang sudah menyimpang jauh dari tuntunan Al Qur’an dan
Sunah Nabi. Bid’ah, khurofat, takhyul, taklid buta, dan menjamurnya
tarekat-tarekat yang mengabaikan soal-soal urusan kemasyarakatan dan duniawi,
dilihatnya sebagai pokok permasalahan yang membelenggu umat Islam, sehingga umat Islam pada saat itu
terancam sebagai umat yang terpuruk di
bawah kaki kekuatan-kekuatan non Islam. Padahal missi kehadiran manusia di muka
bumi adalah sebagai khalifah yang memikul amanah mulia mewujudkan kemakmuran,
keadilan, dan kebenaran. Allah SWT sendiri telah berfirman, bahwa ummat Islam
adalah ummat terbaik yang telah dilahirkan di
antara ummat-ummat yang lain. Dan Al
Qur’an adalah hudallinnas, petunjuk bagi semua manusia. Ibnu Taimiyyah dengan
analisa empirisnya segera melihat, betapa timpangnya antara praktek
keagamaan Islam yang seharusnya sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an maupun
dalam hadits Nabi, dengan kenyataan yang ada di dunia empiris yang jauh dari
tuntunan Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw.
Dari hasil analisa dan pengamatannya itu,
sampailah Ibnu Taimiyyah pada
kesimpulannya bahwa untuk mengembalikan kejayaan Islam sebagai suluh peradaban,
tak ada jalan lain bagi umat Islam, kecuali umat Islam harus kembali pada Al Qur’an dan Hadits. Ibnu Taimiyyah kemudian dengan gigih
melancarkan anjuran dan propaganda agar umat Islam kembali kepada Al Qur’an dan
Hadis dan mencontoh praktek berislam sebagaimana telah dicontohkan para sahabat
dan ulama salaf lainnya. Ibnu Taimiyyah menghendaki pemurnian kembali ajaran
Islam, karena praktek dan penghayatan keagamaan yang dilakukan ummat Islam saat
itu telah menyimpang jauh dari nilai-nilai Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw.
Hal yang paling ditekankan Ibnu Taimiyyah
dalam gagasannya untuk memurnikan kembali ajaran Islam ialah agar umat Islam
membuang jauh-jauh sifat fanatisme dan kejumudan, dan membuang sikap taklid
buta serta menganjurkan umat Islam membuka pintu ijtihad. Sebagai tokoh pembaharu, Ibnu Taimiyyah juga
menganjurkan agar umat Islam tidak ragu-ragu mengamalkan amal ma’ruf dan nahi
mungkar guna memperbaiki kondisi sosial masyarakat yang carut marut. Sebagai
seorang yang tajam penanya, Ibnu Taimiyyah bukan hanya mengeluarkan fatwa-fatwa
keras yang menyerang berbagai ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi di
masyarakat.Tetapi dia pun mulai
menuliskan gagasan-gagasan pembaharuannya yang berlawanan dengan pendapat
ulama-ulama yang ada pada masa itu. Bahkan tidak jarang tulisan-tulisannya yang
tajam itu mengkritisi kebijakan penguasa Dinasti Mamalik di bawah Sultan
Qolawun yang memang otoriter itu.
Akibat dari fatwa-fatwa Ibnu Taimiyyah yang
tajam dan tulisannya yang polemis yang bertentangan dengan pemikiran-pemikiran
dan kebijakan yang telah mapan pada saat itu, tak bisa dihindarkan lagi konflik
dengan pihak penguasa dan para fuqaha pun pecah. Ibnu Taimiyyah
dianggap sosok yang membahayakan penguasa Mamalik yang didukung oleh
ulama-ulama dari mashab Safii, sebagai mashab resmi pendukung pemerintahan
Dinasti Mamalik. Akibatnya dapat diduga, Ibnu Taimiyyah sering berurusan dengan
pihak penguasa. Dan bolak balik dia ditangkap
akibat fatwa-fatwanya dan tulisan-tulisan yang tajam menggigit. Dia
bolak balik dijebloskan ke dalam penjara sebagai konsekwensi dari gagasan-gasan
pembaharuan yang dikumandangkannya.
Nyaris sebagian besar karir Ibnu Taimiyyah
sebagai tokoh pembaharu, dihabiskannya di balik pintu penjara.Tetapi justru
karena sering mendekam di penjara, Ibnu Taimiyyah semakin produktif menuliskan
gagasan-gagasannya. Tidak kurang dari 500 jilid buku yang berbobot telah
ditulisnya. Sebagian besar tulisannya lenyap dimusnahkan penguasa.Sebagian lagi
berhasil diselundupkan ke luar dinding tembok penjara. Karya-karya Ibnu Taimiyyah yang berhasil
diselundupkan keluar, ramai-rami disalin dan disebarkan kemana-mana. Bahkan
salinannya berhasil menyeberang ke Eropa, menjadi bahan bacaan para filsuf dan
pemikir Perancis. Karya Ibnu Taimiyyah di bidang kenegaraan Al Siyasa
Al-Syariyyah, misalnya, sangat digemari
para pemikir Perancis dan menginspinrasi mereka tentang gagasan negara bangsa.
Filsuf Perancis Montesque yang terkenal dengan gagasan Trias Policanya,
disebut-sebut pula sebagai terinspirasi pula oleh gagasan Ibnu Taimiyyah
tentang pemerintahan yang bersih dan adil.
Setidak-tidaknya di dunia Barat tersedia
kajian kumpulan tulisan pemikiran Ibnu Taimiyyah baik dalam bahasa Inggris
maupun bahasa Perancis. Studi pemikiran dan gagasan Ibnu Taimiyyah dalam bahasa
Inggris ditulis oleh Qomaruddin Khan,”The Political Though of Ibn Taimiyyah”.Sedangkan
edisi Perancis ditulis oleh Henri Laoust yang berjudul,”Lesdoctrines socialales
et politiques d’Ibn Taimiyyah. Kitab karangan Ibnu Taimiyyah mashur selain Al
Siyasa Al Syar’iyyah diantaranya adalah Minhaj al-Sunnah, Al-Hisban fil-Islami,
Al-Aqida al-Wasitiya, Bayanu Muwaafaqati shariihil ma’qul lisashahiilil
manqul”, terdiri dari empat jilid besar. Karya lainnya adalah Istbaatul ma’ad,
Addurratul Mudliyah fi fatawi Ibnni Taimiyyah, Ishlaahur Raa’I war ra’iyah,
Stubutun Nubuuwwati aqlan wa naqlan dan Arradu alal hululiyah-ittihadiyah, Al
Iman, Al Istiqomah, Iqtida as-Sirat al-Mustaqim, Al Furqan, Naqd al Mantiq,
Ar-Raad ala al Mantiaiyyin, Majmu Fatawa dan yang lainnya lagi.
Sarjana Arab
yang menghimpun karya-karya Ibnu Taimiyyah adalah seorang ulama kenamaan dari Nejed,
Abdur-Rahman Ibnu Muhammad al Hambali dalam karyanya,”Majmu Fatawa Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyyah “, yang
terdiri dari tiga puluh juz. Kitab Majmu Fatawa inilah yang kelak mempengaruhi
gagasan pemikiran Syekh Muhammad Ibnu Wahhab untuk mulai mengimplementasikan
gagasan-gagasan pemikiran pembaharuan Ibnu Taimiyyah di dunia empiris, lebih
kurang lima abad setelah Ibnu Taimiyyah wafat.(by anwar hadja).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar