Penjara Damaskus, tempat wafat Sang Mujahid Besar, Ibnu Taimiyyah (1328)
5.Kecerobohan Ibnu Batutah Ketika Mengisahkan Pertemuannya Dengan Ibnu Taimiyyah.
Fitnah yang paling populer di
kalangan umat Islam, pasca wafatnya Ibnu Taimiyyah adalah tuduhan bahwa Ibnu Taimiyyah
termasuk penganut paham Anthrophormisme, Mujasimah, atau Musyabihat. Tuduhan
ini terus dilancarkan oleh musuh-musuh Ibnu Taimiyyah. Tuduhan yang paling
populer bahwa Ibnu Taimiyyah adalah penganut Mujasimah, dilakukan oleh seorang
pengembara terkenal, Ibnu Batutah dalam catatan kisah pengembaraannya yang
diterbitkan hampir dua puluh tahun kemudian setelah wafatnya Ibnu Taimiyyah (1328
M ).
Ibnu Batutah adalah seorang
pengembara yang lahir di Kota Tangiers, Maroko pada tahun 1305 M. Pada usianya
yang masih amat muda, dia memulai pengembaraannya pada tahun 1325 M.Dia
kunjungi kota-kota penting di Afrika Utara, lalu mengunjungi Mesir, dan
akhirnya tiba juga di Damaskus pada tahun 1326 M. Setelah tinggal beberapa
bulan Ibnu Batutah melanjutkan perjalanannya menuju Makkah, Madinah, kemudian
meneruskan perjalanannya ke Irak, Azerbaijan, Baghdad, Samarkand, Mosul,
kembali lagi ke Bghdad. Selama tiga tahun antara 1327 – 1330 M, Ibnu Batutah tinggal di tanah suci, sehingga sempat
melaksanakan ibadah Haji sampai tiga kali. Tahun 1330 M, Ibnu Batutah
melanjutkan pengembaraannya lewat Laut Merah menuju Yaman, Aden, mengunjungi
Somalia dan sejumlah kota pelabuhan di Pantai Timur Afrika. Dari sini
perjalanan dilanjutkan ke Oman dan mengunjungi sejumlah kawasan di Teluk
Persia. Dan pada tahun 1332 H, dia kembali mengunjungi Makkah guna menunaikan
ibadah Hajinya yang ke empat.
Usai menunaikan ibadah Haji pada
tahun 1332 M itu, Ibnu Batutah memulai lagi babak baru pengembaraannya. Kali
ini ia menuju Mesir kembali, kemudian dari Mesir dilanjutkan pengembaraannya
menuju Suriah, Asi Kecil, Asia Tengah bagian barat atau Golden Horde, terus
berbelok ke Konstantinopel. Saat itu Konstantinopel masih merupakan Kota
Kristen dan merupakan pusat pemerintahan Kekaisaran Romawi Timur.
Dari Konstantinopel, Ibnu Batutah
melanjutkan perjalanannya dengan kembali ke Golden Horde, melanjutkan ke
Transsoxania, Afghanistan, akhirnya tiba di Punyab India pada tahun 1333 M.
Dari Punyab Ibnu Batutah melanjutkan perjalanannya menuju Kesultanan Delhi.
Rupanya Kesultanan Delhi sangat menawan hatinya, sehingga Ibnu Batutah sempat
tinggal hampir sepuluh tahun lamanya. Hubungannya yang baik dengan Sultan
Kerajaan Islam Delhi, menyebabkan Ibnu Batutah mendapat mandat untuk menjalin
persahabatan dengan tugas mengunjungi Samudra Pasai di Sumatra Utara dan
Beijing di China.
Kesempatan yang baik itu dimanfaatkan
Ibnu Batutah untuk mengunjungi terlebih dahulu Kepulauan Maladewa, Sri Langka,
Benggali sampai tiba di Assam.Baru dari sana dia melanjutkan perjalanan ke
Samudra Pasai di Sumatra Utara dan Beijing di China. Dalam perjalanan pulang
dari Beijing, Ibnu Batutah kembali menyinggahi Samudra Pasai(1347 M), sebelum
melanjutkan perjalanannya kembali ke New Delhi. Dari New Delhi, Ibnu Batutah
kembali melanjutkan perjalannya dengan menuju Malabar,kawasan Teluk Persia,
Baghdad, Suriah, Mesir,akhirnya tiba di Makkah kembali untuk menunaikan Ibadah
Haji yang ke lima kalinya. Usai menunaikan Ibadah Haji, Ibnu Batutah kembali ke
Mesir dan tinggal beberapa bulan di sana. Pada tahun 1349 M, Ibnu Batutah
meninggalkan Iskandariyah, menyeberang Laut Tengah menuju Sardinia, Tunisia,
Aljazair, akhirnya tiba di Fez. Antara tahun 1352-1353 M, setelah mengunjungi
Granada di Andalusia-Spanyol dan Marakezy, Ibnu Batutah menyeberangi Gurun
Sahara menuju selatan dan tiba di Nigeria.
Ketika sampai di Nigeria, usia Ibnu
Batutah sudah menginjak 50 tahun. Agaknya ini lah akhir dari pengembaraannya,
yang dilakukannya selama seperempat abad lebih (1325 – 1353 M).Akhirnya Ibnu
Batutah kembali ke kampung halamannya. Ibnu Batutah menuturkan kisah-kisah
perjalanannya yang dengan tekun dicatatnya, sekalipun ada sebagian dari
catatannya yang tercecer hingga hilang.
Tersebutlah ada seorang penguasa dari
Marini, Abu Iyan namanya yang sangat tertarik dengan kisah-kisah pengembaraan
Ibnu Batutah. Penguasa Marini itu kemudian menugaskan kepada seorang penulis
terkenal, yaitu Ibnu Juza’i. Ibnu Jusa’I dengan tekun duduk manis mendengarkan
penuturan Ibnu Batutah yang disampaikan berdasarkan catatannya, kemudian
merekam dan mencatatnya.
Pada tahun 1355 M, Ibnu Juza’I
berhasil menuliskan kisah-kisah pengembaraan Ibnu Batutah dalam bukunya yang
bercorak sastra rihlah, ”Tuhfat an-Nazzar fi Gara’ ib al-Amsar wa Afa’ib
al-Asfar”(Hadian Hasil Pengamatan tentang Keunikan Negeri-Negeri dan Keanehan
Perjalanan). Buku catatan perjananan Ibnu Batutah yang disadur oleh Ibnu Juza’I
itu, kemudian disalin berkali-kali dan salinannya terkenal sebagai Rihlah Ibnu
Batutah.
Sayang sekali karena ada catatannya
yang hilang, tidak jarang Ibnu Batutah menuturkan kisahnya hanya berdasarkan
ingatannya saja, terutama bila catatan mengenai hal yang diceriterakan itu
hilang. Salah satu catatan yang agaknya hilang adalah kisah ketika Ibnu Batutah
mengunjungi Suriah untuk pertama kalinya pada tahun 1326 M. Ibnu Batutah
mengaku bahwa pada tanggal 9 Ramadhan 1326 M, dia bertemu dengan Ibnu Taimiyyah
yang tengah memberikan khutbah Jum’at di Masjid Al-Jami al-Amawi. Ibnu Batutah
menceriterakannya dalam Kitab Tuhfat
an-Nazzar yang ditulis Ibnu Juza’I sbb :
“Pada waktu itu saya datang di
Damaskus, saya turut shalat Jum’at di Masjid Jami. Ibnu Taimiyyah pada waktu
itu ada di dalam masjid dan tengah memberi nasihat kepada orang banyak. Antara
lain Ibnu Taimiyyah berkata,’Bahwa Allah turun ke langit dunia seperti aku
turun sekarang ini’. Berkata demikian itu, Ibnu Taimiyyah sambil turun dari
tangga mimbar ke bawah”.
Mengingat buku kisah perjalanan Ibnu
Batutah, Tuhfat an-Nazzar yang ditulis Ibnu Juza’i, begitu populer, maka kisah
pertemuan Ibnu Batutah di Masjid Jami Damaskus itu juga menjadi populer. Dari
kisah Ibnu Taimiyyah diatas seakan-akan memang benar Ibnu Taimiyyah adalah
seorang pengikut Mujasimah yang tengah menjelaskan sifat-sifat Allah
sebagaima disebut dalam Al Qur’an sekaligus memperagakannya dengan turun dari
mimbar. Adapun ayat tentang sifat-sifat Allah yang tengah dijelaskan itu adalah
Ayat Al Qur’an yang berbunyi sbb: “Tuhan Yang Maha Pemurah Yang bersemayam di
atas Arsy (QS. 20:5),Lalu Dia bersemayam di atas Arsy(Q.S 7:54,Q.S 10:3,Q.S
13:2,Q.S 25:59,Q.S 32:4,Q.S 57:4).
Benarkah Ibnu Taimiyyah telah
memeragakan sifat-sifat Allah dengan cara turun dari mimbar, sehingga Allah swt
digambarkan sebagai memiliki sifat-sifat seperti manusia? Dari hasil penelitian, ternyata Ibnu
Batutah dalam kasus ini ceroboh dan kurang cermat. Sejumlah kecerobohan dan
ketidakcermatan Ibnu Batutah nampak jelas dari hal-hal sbb:
1. Ibnu Batutah tiba di Damaskus pada
tanggal 9 Ramadhan 1326 M, dan belum pernah bertatap muka dengan Ibnu Taimiyyah.
Bukan hal yang mustahil, bila Ibnu Batutah memang sudah mendengar nama Ibnu Taimiyyah
yang saat itu memang sedang naik daun
dan namanya sedang menjadi perbincangan publik. Bukan hanya karena Ibnu Taimiyyah
adalah tokoh yang amat populer di Damaskus dan Mesir. Tetapi Ibnu Taimiyyah
baru saja ditangkap dan dijebloskan ke penjara Damaskus, karena mengeluarkan
fatwa tentang ziarah kubur yang dianggap bertentangan dengan pandangan yang
dianut penguasa Dinasti Mamalik dan Ulama Syafii As’yariyah yang mendukung
Pemerintah.
2. Ibnu Taimiyyah ditangkap penguasa
pada awal bulan Sya’ban 1326 M, sehingga saat Ibnu Batutah tiba di Damaskus,
tidak mungkin bertemu dengan Ibnu Taimiyyah di Masjid Jami Damaskus.
3. Khatib dan Imam Masjid Jami Al-Amawi,
tempat Ibnu Bautah menunaikan kewajiban shalat Jum’at adalah seorang Khatib
penganut Mashab Safii-As’yariyah yang namanya Jalaludin Muhammad bin
Abdurrahman Al-Quzwaini yang tinggal di Dar Al-Chitabah.
4. Usai shalat Jum’at, dalam rangka
membela kepentingan Pemerintah, Khatib Jalaludin inilah yang berbincang-bincang
dengan khalayak guna menjelaskan paham Mujasimah yang menurut penguasa Dinasti
Mamalik dan ulama Syafii- As’yariyah
dianut oleh Ibnu Taimiyyah yang belum lama berselang dijebloskan ke penjara
untuk yang ke enam kalinya. Memang fatwa yang menyebabkan Ibnu Taimiyyah
dijebloskan kembali ke penjara yang ke-enam kalinya bukan soal penjelasan Ibnu Taimiyyah
soal sifat-sifat Allah, tetapi soal ziarah kubur. Bisa jadi pada saat itu
Khatib Jalaludin sedang menerangkan kepada khalayak apa-apa yang dianggapnya
sebagai dosa-dosa Ibnu Taimiyyah dan salah satu dosa Ibnu Taimiyyah yang
dianggap paling besar ialah pandangan Mujasimahnya tentang sifat-sifat Allah.
5. Ibnu Batutah, bisa jadi menduga Khatib Jalaludin itulah yang
dianggapnya Ibnu Taimiyyah.
Demikianlah kecerobohan dan kekurang
telitian Ibnu Batutah soal Ibnu Taimiyyah yang berakibat fatal, karena orang
kemudian mempercayai kisah Ibnu Batutah tersebut dan langsung menelannya
mentah-mentah tanpa bersikap kritis dalam membaca suatu karya tulis.
Memang kisah pengembaraan Ibnu
Batutah, ditulis oleh Ibnu Juza’i dengan gaya sastra rihlah, sebuah gaya
penulisan prosa yang banyak dipakai para penulis Andalusia, saat mereka
melukiskan pengalaman pribadinya pada saat menunaikan Ibadah Haji. Karena itu
sebagai karya tulis, buku Rihlah Ibnu Batutah atau Tuhfat an-Nazzar tidak dapat
disebut sebagai karya ilmiah. Bukan saja karena gaya penulisannya yang bergenre
sastra rihlah. Tetapi banyak informasi yang ditulis hanya mengandalkan ingatan
Ibnu Batutah saja, teruratama apabila pokok yang dikisahkan itu, catatannya
tidak tersedia akibat hilang atau tercecer. Itulah sebabnya isinya terkadang
mengandung hal-hal yang tidak masuk
akal. Misalnya kisah Ibnu Batutah berjumpa dengan sejumlah wanita di suatu desa
di India yang konon hanya memiliki satu
payudara saja.
Sungguh mengherankan bila buku yang
kurang ilmiah itu, ditelan mentah-mentah begitu saja tanpa sikap kritis,
termasuk informasi Ibnu Batutah bertemu dengan Ibnu Taimiyyah yang ternyata
keliru itu
6.Fitnah KH.Sirajuddin Abbas.
KH.Sirajuddin Abbas adalah seorang
ulama tradisional dari PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang berasal dari
Sumatra Barat. Dia adalah ulama penganut Mashab Syafii As’yariyah yang sangat
ketat mempertahankan tradisi ahli sunnah wal jama’ah dan gigih mempertahankan
doktrin Aswaja yang bersumber dari kitab kuning yang ditulis para ulama Aswaja.
Kegigihannya mempertahankan doktrin
Aswaja, mengakibatkan KH.Sirajuddin Abbas tidak bisa mengembangkan budaya
berpikir yang logis, rasional, dan empiris. Corak, ragam, dan gaya berpikirnya
cenderung taklid, dogmatis, otoriter, serta menganggap doktrin yang diyakinilah
yang paling benar. Ujung-ujungnya adalah mengembangkan sifat ta’ashub, fanatik
buta, dan sikap ekstrim lainnya. Hanya buku-buku kitab kuning yang dijadikan
rujukan dan dianggap sebagai satu-satunya sumber paling dapat dipercaya.
Kitab-kitab diluar kitab kuning, hanya dipandang dengan sebelah mata. Sikap
ta’ashub dan fanatik yang ada pada diri KH.Sirajuddin Abbas, menyebabkan dia
menaruh kecurigaan berlebihan terhadap gerakan Islam pembaharuan yang dimotori
oleh Ibnu Taimiyyah dan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Bagi KH.Sirajuddin Abbas, gagasan dan
pemikiran Ibnu Taimiyyah, dipandangnya
lebih berbahaya dari pada gagasan dan pikiran-pikiran Karl Marx.
Demikian pula gerakan Islam modernis di Indonesia, dianggap lebih berbahaya
dari pada gerakan komunisme. Itulah sebabnya KH.Sirajuddin Abbas pada masa Orde
Lama sangat dekat dengan tokoh-tokoh Komunis. Boleh dikatakan KH.Sirajuddin
Abbas adalah satu-satunya tokoh Islam di
Indonesia yang membawa PERTI bermesra-mesraan dengan PKI. KH.Sirajuddin Abbas
juga satu-satunya ulama yang paling rajin menghadiri undangan-undangan pertemuan
tingkat internasional yang disponsori oleh PKI maupun negara-negara komunis.
Tentu tidak terlalu mengejutkan jika saat Pemberontakan G.30.S/PKI meletus pada
akhir September 1965 M, KH.Sirajuddin Abbas ditempatkan oleh Letkol Untung
menjadi Anggota Dewan Revolusi dengan
nomor urut 13.
Pada tahun 1969 M, KH.Sirajuddin
Abbas menulis buku yang berjudul I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang
diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA TARBIYAH Jakarta. Secara garis besar buku ini
menguraikan pokok-pokok dari paham Aswaja dan paham-paham yang dianggap bertentangan
dengan Aswaja. Bagi KH.Sirajuddin Abbas yang terpengaruh oleh teori perjuangan
klas yang dikembangkan tokoh-tokoh Marxis, semua kelompok yang berpaham non
Aswaja dianggapnya sebagai musuh Aswaja. Bagi KH.Sirajuddin Abbas, Ibnu Taimiyyah
dan Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah penganut Mujazimah atau Mushabihah.
Karenanya KH.Sirajuddin Abbas menganggap Ibnu Taimiyyah dan Syekh Muhammad Ibnu
Abdul Wahhab bukan hanya dianggap bukan kelompok Islam Sunny. Tetapi mereka
berdua juga dianggap sebagai musuh yang membahayakan bagi Aswaja.
Sudah barang tentu menggolongkan Ibnu
Taimiyyah dan Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, sebagai seorang Mujasimah bukan
hanya merupakan kekeliruan besar. Tetapi cenderung merupakan usaha-usaha untuk
melancarkan fitnah kepada dua tokoh reformasi yang gigih menganjurkan agar umat
Islam kembali kepada nilai-nilai dan praktek keagamaan Islam yang telah
diajarkan Nabi saw, yakni berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah.
6.1.Jumlah Firqah dalam Islam dari sisi
aqidah atau I’tiqad.
Adanya firqah-firqah dan kelompok
dalam Islam yang disebabkan oleh perbedaan pendapat dan pandangan, sebenarnya
merupakan Sunatullah yang tidak bisa dihindarkan. Nabi saw sendiri memang telah
meramal akan adanya perbedaan pendapat dan firqah-firqah dalam Islam.
Dalam salah satu hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Thabrani, Nabi saw pernah bersabda:
“Demi Tuhan yang memegang jiwa
Muhammad di tanganNya, akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, yang satu
masuk surga dan yang lain masuk neraka”.
Bertanya para sahabat,”Siapakah
firqah yang tidak masuk neraka itu, Ya Rasulullah?”
Nabi saw menjawab,”Ahlusunnah wal
Jama’ah.”
Hadits ini menimbulkan masalah,
siapakah sebenarnya yang disebut sebagai ahlusunnah wal jama’ah?. Dan firqah
mana saja yang disebutkan akan masuk neraka dan bukan termasuk golongan
ahlusunnah wal jama’ah?
Jika kita perhatikan sabda Nabi saw,
jelaslah bahwa yang dimaksud dengan Ahusunnah wal Jamaah dalam hadist tersebut
adalah mereka yang mengamalkan agamanya dengan berpegang kepada Sunnah Rasul
dan Al Qur’an yang merupakan bagian terbesar umat pada saat itu(jamaah).
Kelompok yang berpegang pada Sunnah Nabi saw dan Al Qur’an ini, dalam literatur
barat sering disebut sebagai kelompok Sunni.Kata Sunni sendiri sebenarnya
menunjukkan pada pengertian Sunnah Nabi saw. Artinya kelompok yang berpegang
pada Sunnah Rasulullah dan Al Qur’an, baik dalam persoalan aqidah, fiqih,
imammah maupun tassawuf.
Ibnu Taimiyyah dan Syekh Muhammad
Ibnu Abdul Wahhab adalah Mujtahid dan Ulama yang mengajak agar umat Islam
kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah. Maka sangat tidak masuk akal apabila kedua
tokoh itu, dianggap tidak termasuk golongan yang seakidah dengan golongan ahlu
sunnah wal jamaah atau golongan Sunny.
6.2.Tujuh Puluh Dua Golongan Dalam Islam.
Konon dalam Kitab Bughyatul
Mustasyidin, karangan Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar,dengan
mengutip kitab,”Maarijul Hidayat”, menulis sbb:
“Fashlun hendaklah anda berhati-hati
dari bermacam bid’ah dan pemeluk-pemeluknya.Dan berantaslah bid’ah itu, serta
jauhilah pemeluk-pemeluknya.Jangan sekedudukan dengan mereka. Ketahuilah bahwa
pokok-pokok dari macam-macam bid’ah dalam ilmu usul itu sebagai yang diterangkan para ulama ada
tujuh besar golongan yaitu:
1. Mu’tazilah, ialah mereka yang
berpendapat bahwa amal perbuatan manusia itu adalah perbuatan dan amal manusia
sendiri, bahwa ru’yatul mu’minin kepada Allah kelak di surge tidak ada.Jumlah
mereka ada 20 golongan
2. Syiah, ialah mereka yang mencintai
Ali ra,dengan cara yang berlebih-lebihan. Firqah ini terdiri dari 22 golongan.
3. Khawarij, yaitu golongan yang
membenci Ali ra,dengan kebencian yang amat berlebihan,bahkan mengkafirkannya
dan memandang kafir bagi orang-orang yang berdosa besar.Jumlahnya 20 golongan.
4. Murjiah,ialah mereka yang
berpendapat, tiada mengapa berbuat maksiat,jika diserati iman dan tak berarti
apa-apa taat jika disertai kufur.Jumlahnya 5 golongan.
5. Najjariyah, ialah mereka yang
berpendapat bersamaan dengan pendapat Ahli Sunnah wal Jamaah dalam amal dan
perbuatan manusia sebagai takdir dari Allah.Tetapi sependapat dengan Mu’tazilah
dalam menafikan sifat-sifat Allah dan
menganggap kalamullah itu hadist.Jumlah mereka 3 golongan.
6. Jabariyah ialah golongan yang
berpendapat tak ada ikhtiar dari manusia.sebab Tuhan isudah lebih dahulu
menentukan sesuatu.Jumlah mereka hanya 1
golongan saja.
7. Musyabbihah,yaitu golongan yang
berpendapat bahwa Allah itu menyerupai
makhluk ,berjizim dan memiliki sifat hulul,yakni bersatu dengan makhluk. Mereka
ini hanya berjumlah 1 golongan.
Dengan demikian bila direkap,akan
kita peroleh data sebagai berikut:
Nomor.
|
Nama Kelompok
|
Jumlah
|
Keterangan
|
1.
|
Mu’tazilah
|
20
|
Golongan
|
2.
|
Syiah
|
22
|
Golongan
|
3.
|
Khawarij
|
20
|
Golongan
|
4.
|
Murjiah
|
5
|
Golongan
|
5.
|
Najjariyah
|
3
|
Golongan
|
6.
|
Jabbariyah
|
1
|
Golongan
|
7.
|
Musyabihah
|
1
|
Golongan
|
|
Jumlah
|
72
|
Golongan
|
Bila ditambah dengan 1 golongan lagi,yakni Ahli Sunnah wal
Jama’ah, maka jumlah firqah dalam Islam memang akan menjadi 73 golongan.Jadi
cocog dengan riwayat Thabrani.
Ketika menjelaskan tentang paham
golongan Musyabihah atau Antrophormisme yang menganggap Tuhan memliliki
sifat-sifat seperti manusia, dengan enteng dan ringan tanpa beban,
KH.Sirajuddin Abbas menulis, ”Kaum Ibnu Taimiyyah termasuk dalam golongan
Musyabihah dan kaum Wahabi termasuk kaum pelaksana dari faham Ibnu Taimiyyah.”
Ternyata sebagai dasar argumentasi KH.Sirajuddin Abbas menilai Ibnu Taimiyyah
termasuk golongan Mujasimah atau Musyabihah, karena dia menyandarkan pada kisah
Ibnu Batutah yang dikutipnya dari Rihlah Ibnu Batutah sperti telah dijelaskan
diatas.
Sebagai sandaran lain adalah kitab-kitab yang
ditulis oleh musuh-musuh Ibnu Taimiyyah, termasuk tulisan Ibnu Hajar al-Haitimi
yang dipujanya sebagai ulama besar Mashab Safii –As’yariyah yang telah
melakukan kritik habis-habisan terhadap gagasan Ibnu Taimiyyah. Sayang sekali,
kritikan Ibnu Hajar al-Haitami itu
dilakukan tiga abad setelah Ibnu Taimiyyah wafat. Sebab Ibnu Hadjar
al-Haitimi baru lahir 222 tahun kemudian setelah kelahiran Ibnu Taimiyyah. Dengan
demikian validitas kritik Ibnu Hajar al-Hatimi jelas sangat lemah, karena
jauhnya rentang waktu antara masa hidup Ibnu Taimiyyah dengan Ibnu Hajar
al-Haitami.
Hanya sebagai bahan banding, Karl
Marx menulis Kitab Das Kapital yang dimaksudkan sebagai kritik atas buku karya
Adam Smith, Wealth Nation, jarak antara keduanya kurang dari satu abad ( 1775-
1848 M). Karena itu kritik Karl Marx dinilai cukup memiliki bobot
ilmiah,sekalipun gagal menemukan jalan keluar dari problem ekonomi pasar yang
digagas Adam Smith.
Kritik KH.Sirajuddin Abbas terhadap
Ibnu Taimiyyah, sebenarnya jauh dari sikap seorang ilmuwan yang biasa
berpolemik dan menghargai perbedaan pendapat. Sungguh suatu cara yang tidak
masuk akal jika orang ingin mengkritik dan mengkritisi Ibnu Taimiyyah, tetapi
tidak mau membaca sendiri karya-karya Ibnu Taimiyyah. Mengkritik dan
mengkritisi pemikiran dan gagasan Ibnu Taimiyyah dengan cara hanya membaca
kitab-kitab yang mengkritiknya, bukan hanya menunjukkan cara-cara yang tidak
ilmiyah. Tetapi juga menunjukkan skapnya yang tidak otonom, tidak mandiri, dan
sangat kental dengan cara berpikid taklid dan dogmatis. Yakni hanya numpang
pada kewibawaan penulis kritik.
Padahal setebal apa pun dan sebanyak
apa pun sebuah karya kritik, tetap saja akan kalah berbobot dengan karya yang tengah
dikritiknya, kecuali kalau karya kritik itu mampu menunjukkan jalan keluar yang
lebih rasional dan berbobot dari kitab yang tengah dikritiknya. Justru semakin
banyak karya kritik yang ditulis orang, akan menunjukkan semakin berbobotnya
karya yang tengah dikritiknya itu. Apalagi kalau kritik itu ditulis hanya
sekedar untuk melancarkan fitnah atau menghujat demi suatu kepentingan
tertentu. Bukan demi mencari kebenaran yang ilmiah dan rasional.
Sesungguhnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara
I’tiqad Ibnu Taimiyyah dengan doktrin
Aswaja, karena ke dua-duanya berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Kalau
toh ada perbedaan, hanyalah pada hal-hal yang bersifat furu atau ranting, yang
disebabkan oleh perbedaan dalam metode berpikir dan mengambil kesimpulan
sehingga terjadi perbedaan persepsi dan pandangan. Perbedaan yang paling
mencolok dan selalu menjadi polemik hanyalah masalah ziarah kubur, tabaruq,
tawassul, perbedaan penafsiran soal bid’ah, taqlid, tahlilan, Maulud Nabi dan
lainnya lagi. Tentang penafsiran ayat sifat-sifat Allah antara Ibnu Taimyah
dengan Abu Hasan Al Asyari, nyaris tidak berbeda. Justru Ibnu Taimiyyah
berusaha menyempurnakan pandangan tokoh pendiri doktrin Aswaja itu.
Budaya politik yang cenderung
totaliter dan monolitik yang dikembangkan para Ulama Syafii Asyariyah demi kepentingan status quo pihak yang
berkuasa, mengakibatkan munculnya sikap yang tidak demokratis dan tidak mau
menghargai perbedaan pandangan. Dan tentu saja, alih-alih bersikap peka
terhadap setiap kritikan. Kritik terhadap penguasa, sudah dianggap bagian dari
makar. Dan terhadap setiap pelaku makar, hanya ada satu jalan, yakni
menjebloskannya kedalam penjara. Ironi dan tragedi inilah yang dialami oleh
Ibnu Taimiyyah yang berjuang untuk memperbaiki ketimpangan masyaraktnya hanya
bermodalkan pena dan kata-kata.
Karena itu, walapun kadang-kadang terjadi
perang pena dan perang mulut antara ulama Syaffi-As’yariyah dalam setiap
polemik, tetapi perbedaan itu tidak mengakibatkan pemikiran Ibnu Taimiyyah
bertentangan secara diametral dengan pahan Aswaja As’yariyah yang dibangun oleh
Imam Abu Hasan al-As’yari. Hanya para penyebar fitnah lah yang menganggap Ibnu Taimiyyah
termasuk golongan Mujasimah dan karennya dianggap bertentangan secara diametral
dengan paham Aswaja. Padahal, Ibnu Taimiyyah bukan Mujasimah, bukan Musyabihah,
dan bukan pula penganut paham Anthrophormisme.
Sungguh mengherankan dan mengagumkan kesetiaan
Ibnu Taimyah kepada kebenaran yang diyakininya, sebagaimana disampaiakan kepada
para pengikutnya yang senantiasa ramai mengunjunginya di penjara. Ibnu Taimiyyah
masih sempat berkata, “Jika aku diberi emas sebesar gedung penjara ini,
tidaklah akan menyamai rasa syukur nikmatku ini.”
Pada kesempatan lain Ibnu Taimiyyah
juga mengajarkan kalimat hikmah tentang
arti orang yang menjadi tawanan, saat dia berkata, “Orang yang dihukum itu
adalah orang yang tertutup hatinya dari Tuhannya. Dan orang yang ditawan itu
adalah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya”.
Sangat wajar jika seorang penulis
barat, Ignaz Goldziher, setelah membaca dn menelusuri karya Ibnu Taimiyyah, menilai Ibnu Taimiyyah sebagai seorang ulama
paling terkemuka awal abad ke-14 M. Seorang ilmuwan barat lainya, Duncan Black
Macdonald, memberikan julukan kepada
Ibnu Taimiyyah sebagai a saint malgre lui atau ulama paling kondang di abad
ke-14 M.
Memang Ibnu Taimiyyah adalah Ulama
Besar, Mujtahid Pembaharu Pemikiran Islam, seorang Reformis yang mencoba
membuka pintu Ijtihad yang telah dinyatakan tertutup oleh ulama-ulama
Safii-As’yariyah, dan mengajak umat Islam menjalankan syariat agamanya sesuai
dengan tuntunan Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw.
Kecermerlangan pemikirannya ikut mengantarkan
Eropa memasuki abad Renaissance, Reformasi dan Pencerahan yang telah
mengantarkan dunia barat memasuki abad sain dan teknologi. Sumbangan terbesar
Ibnu Taimiyyah ialah gagasannya mengembangkan metode berpikir empirisme, yang
tetap tunduk kepada kekuasaan dari wahyu. Gagasan empirisme Ibnu Taimiyyah,
mendahului satu langkah di depan Roger Baccon, seorang filsuf empirisme dunia
barat. TAMAT (by anwar hadja,29-01-2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar