Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Minggu, 28 Januari 2018

(03) Lebih Dekat Dengan Tokoh Pembaharu, Ibnu Taimiyyah (1262 - 1328 M)





Penjara Damaskus, tempat wafat Sang Mujahid Besar, Ibnu Taimiyyah (1328)
 
5.Kecerobohan Ibnu Batutah Ketika Mengisahkan Pertemuannya Dengan Ibnu Taimiyyah.
Fitnah yang paling populer di kalangan umat Islam, pasca wafatnya Ibnu Taimiyyah adalah tuduhan bahwa Ibnu Taimiyyah termasuk penganut paham Anthrophormisme, Mujasimah, atau Musyabihat. Tuduhan ini terus dilancarkan oleh musuh-musuh Ibnu Taimiyyah. Tuduhan yang paling populer bahwa Ibnu Taimiyyah adalah penganut Mujasimah, dilakukan oleh seorang pengembara terkenal, Ibnu Batutah dalam catatan kisah pengembaraannya yang diterbitkan hampir dua puluh tahun kemudian setelah wafatnya Ibnu Taimiyyah (1328 M ).

Ibnu Batutah adalah seorang pengembara yang lahir di Kota Tangiers, Maroko pada tahun 1305 M. Pada usianya yang masih amat muda, dia memulai pengembaraannya pada tahun 1325 M.Dia kunjungi kota-kota penting di Afrika Utara, lalu mengunjungi Mesir, dan akhirnya tiba juga di Damaskus pada tahun 1326 M. Setelah tinggal beberapa bulan Ibnu Batutah melanjutkan perjalanannya menuju Makkah, Madinah, kemudian meneruskan perjalanannya ke Irak, Azerbaijan, Baghdad, Samarkand, Mosul, kembali lagi ke Bghdad. Selama tiga tahun antara 1327 – 1330 M, Ibnu Batutah  tinggal di tanah suci, sehingga sempat melaksanakan ibadah Haji sampai tiga kali. Tahun 1330 M, Ibnu Batutah melanjutkan pengembaraannya lewat Laut Merah menuju Yaman, Aden, mengunjungi Somalia dan sejumlah kota pelabuhan di Pantai Timur Afrika. Dari sini perjalanan dilanjutkan ke Oman dan mengunjungi sejumlah kawasan di Teluk Persia. Dan pada tahun 1332 H, dia kembali mengunjungi Makkah guna menunaikan ibadah Hajinya yang ke empat.

Usai menunaikan ibadah Haji pada tahun 1332 M itu, Ibnu Batutah memulai lagi babak baru pengembaraannya. Kali ini ia menuju Mesir kembali, kemudian dari Mesir dilanjutkan pengembaraannya menuju Suriah, Asi Kecil, Asia Tengah bagian barat atau Golden Horde, terus berbelok ke Konstantinopel. Saat itu Konstantinopel masih merupakan Kota Kristen dan merupakan pusat pemerintahan Kekaisaran Romawi Timur.

Dari Konstantinopel, Ibnu Batutah melanjutkan perjalanannya dengan kembali ke Golden Horde, melanjutkan ke Transsoxania, Afghanistan, akhirnya tiba di Punyab India pada tahun 1333 M. Dari Punyab Ibnu Batutah melanjutkan perjalanannya menuju Kesultanan Delhi. Rupanya Kesultanan Delhi sangat menawan hatinya, sehingga Ibnu Batutah sempat tinggal hampir sepuluh tahun lamanya. Hubungannya yang baik dengan Sultan Kerajaan Islam Delhi, menyebabkan Ibnu Batutah mendapat mandat untuk menjalin persahabatan dengan tugas mengunjungi Samudra Pasai di Sumatra Utara dan Beijing di China.

Kesempatan yang baik itu dimanfaatkan Ibnu Batutah untuk mengunjungi terlebih dahulu Kepulauan Maladewa, Sri Langka, Benggali sampai tiba di Assam.Baru dari sana dia melanjutkan perjalanan ke Samudra Pasai di Sumatra Utara dan Beijing di China. Dalam perjalanan pulang dari Beijing, Ibnu Batutah kembali menyinggahi Samudra Pasai(1347 M), sebelum melanjutkan perjalanannya kembali ke New Delhi. Dari New Delhi, Ibnu Batutah kembali melanjutkan perjalannya dengan menuju Malabar,kawasan Teluk Persia, Baghdad, Suriah, Mesir,akhirnya tiba di Makkah kembali untuk menunaikan Ibadah Haji yang ke lima kalinya. Usai menunaikan Ibadah Haji, Ibnu Batutah kembali ke Mesir dan tinggal beberapa bulan di sana. Pada tahun 1349 M, Ibnu Batutah meninggalkan Iskandariyah, menyeberang Laut Tengah menuju Sardinia, Tunisia, Aljazair, akhirnya tiba di Fez. Antara tahun 1352-1353 M, setelah mengunjungi Granada di Andalusia-Spanyol dan Marakezy, Ibnu Batutah menyeberangi Gurun Sahara menuju selatan dan tiba di Nigeria.

Ketika sampai di Nigeria, usia Ibnu Batutah sudah menginjak 50 tahun. Agaknya ini lah akhir dari pengembaraannya, yang dilakukannya selama seperempat abad lebih (1325 – 1353 M).Akhirnya Ibnu Batutah kembali ke kampung halamannya. Ibnu Batutah menuturkan kisah-kisah perjalanannya yang dengan tekun dicatatnya, sekalipun ada sebagian dari catatannya yang tercecer hingga hilang.

Tersebutlah ada seorang penguasa dari Marini, Abu Iyan namanya yang sangat tertarik dengan kisah-kisah pengembaraan Ibnu Batutah. Penguasa Marini itu kemudian menugaskan kepada seorang penulis terkenal, yaitu Ibnu Juza’i. Ibnu Jusa’I dengan tekun duduk manis mendengarkan penuturan Ibnu Batutah yang disampaikan berdasarkan catatannya, kemudian merekam dan mencatatnya.

Pada tahun 1355 M, Ibnu Juza’I berhasil menuliskan kisah-kisah pengembaraan Ibnu Batutah dalam bukunya yang bercorak sastra rihlah, ”Tuhfat an-Nazzar fi Gara’ ib al-Amsar wa Afa’ib al-Asfar”(Hadian Hasil Pengamatan tentang Keunikan Negeri-Negeri dan Keanehan Perjalanan). Buku catatan perjananan Ibnu Batutah yang disadur oleh Ibnu Juza’I itu, kemudian disalin berkali-kali dan salinannya terkenal sebagai Rihlah Ibnu Batutah.

Sayang sekali karena ada catatannya yang hilang, tidak jarang Ibnu Batutah menuturkan kisahnya hanya berdasarkan ingatannya saja, terutama bila catatan mengenai hal yang diceriterakan itu hilang. Salah satu catatan yang agaknya hilang adalah kisah ketika Ibnu Batutah mengunjungi Suriah untuk pertama kalinya pada tahun 1326 M. Ibnu Batutah mengaku bahwa pada tanggal 9 Ramadhan 1326 M, dia bertemu dengan Ibnu Taimiyyah yang tengah memberikan khutbah Jum’at di Masjid Al-Jami al-Amawi. Ibnu Batutah menceriterakannya  dalam Kitab Tuhfat an-Nazzar yang ditulis Ibnu Juza’I sbb :

“Pada waktu itu saya datang di Damaskus, saya turut shalat Jum’at di Masjid Jami. Ibnu Taimiyyah pada waktu itu ada di dalam masjid dan tengah memberi nasihat kepada orang banyak. Antara lain Ibnu Taimiyyah berkata,’Bahwa Allah turun ke langit dunia seperti aku turun sekarang ini’. Berkata demikian itu, Ibnu Taimiyyah sambil turun dari tangga mimbar ke bawah”.

Mengingat buku kisah perjalanan Ibnu Batutah, Tuhfat an-Nazzar yang ditulis Ibnu Juza’i, begitu populer, maka kisah pertemuan Ibnu Batutah di Masjid Jami Damaskus itu juga menjadi populer. Dari kisah Ibnu Taimiyyah diatas seakan-akan memang benar Ibnu Taimiyyah  adalah  seorang pengikut Mujasimah yang tengah menjelaskan sifat-sifat Allah sebagaima disebut dalam Al Qur’an sekaligus memperagakannya dengan turun dari mimbar. Adapun ayat tentang sifat-sifat Allah yang tengah dijelaskan itu adalah Ayat Al Qur’an yang berbunyi sbb: “Tuhan Yang Maha Pemurah Yang bersemayam di atas Arsy (QS. 20:5),Lalu Dia bersemayam di atas Arsy(Q.S 7:54,Q.S 10:3,Q.S 13:2,Q.S 25:59,Q.S 32:4,Q.S 57:4). 

Benarkah Ibnu Taimiyyah telah memeragakan sifat-sifat Allah dengan cara turun dari mimbar, sehingga Allah swt digambarkan sebagai memiliki sifat-sifat seperti manusia? Dari hasil penelitian, ternyata Ibnu Batutah dalam kasus ini ceroboh dan kurang cermat. Sejumlah kecerobohan dan ketidakcermatan Ibnu Batutah nampak jelas dari hal-hal sbb:

1.      Ibnu Batutah tiba di Damaskus pada tanggal 9 Ramadhan 1326 M, dan belum pernah bertatap muka dengan Ibnu Taimiyyah. Bukan hal yang mustahil, bila Ibnu Batutah memang sudah mendengar nama Ibnu Taimiyyah yang saat itu memang  sedang naik daun dan namanya sedang menjadi perbincangan publik. Bukan hanya karena Ibnu Taimiyyah adalah tokoh yang amat populer di Damaskus dan Mesir. Tetapi Ibnu Taimiyyah baru saja ditangkap dan dijebloskan ke penjara Damaskus, karena mengeluarkan fatwa tentang ziarah kubur yang dianggap bertentangan dengan pandangan yang dianut penguasa Dinasti Mamalik dan Ulama Syafii As’yariyah yang mendukung Pemerintah.
2.      Ibnu Taimiyyah ditangkap penguasa pada awal bulan Sya’ban 1326 M, sehingga saat Ibnu Batutah tiba di Damaskus, tidak mungkin bertemu dengan Ibnu Taimiyyah di Masjid Jami Damaskus.
3.      Khatib dan Imam Masjid Jami Al-Amawi, tempat Ibnu Bautah menunaikan kewajiban shalat Jum’at adalah seorang Khatib penganut Mashab Safii-As’yariyah yang namanya Jalaludin Muhammad bin Abdurrahman Al-Quzwaini yang tinggal di Dar Al-Chitabah.
4.      Usai shalat Jum’at, dalam rangka membela kepentingan Pemerintah, Khatib Jalaludin inilah yang berbincang-bincang dengan khalayak guna menjelaskan paham Mujasimah yang menurut penguasa Dinasti Mamalik  dan ulama Syafii- As’yariyah dianut oleh Ibnu Taimiyyah yang belum lama berselang dijebloskan ke penjara untuk yang ke enam kalinya. Memang fatwa yang menyebabkan Ibnu Taimiyyah dijebloskan kembali ke penjara yang ke-enam kalinya bukan soal penjelasan Ibnu Taimiyyah soal sifat-sifat Allah, tetapi soal ziarah kubur. Bisa jadi pada saat itu Khatib Jalaludin sedang menerangkan kepada khalayak apa-apa yang dianggapnya sebagai dosa-dosa Ibnu Taimiyyah dan salah satu dosa Ibnu Taimiyyah yang dianggap paling besar ialah pandangan Mujasimahnya tentang sifat-sifat Allah.
5.      Ibnu Batutah, bisa jadi  menduga Khatib Jalaludin itulah yang dianggapnya Ibnu Taimiyyah. 

Demikianlah kecerobohan dan kekurang telitian Ibnu Batutah soal Ibnu Taimiyyah yang berakibat fatal, karena orang kemudian mempercayai kisah Ibnu Batutah tersebut dan langsung menelannya mentah-mentah tanpa bersikap kritis dalam membaca suatu karya tulis.

Memang kisah pengembaraan Ibnu Batutah, ditulis oleh Ibnu Juza’i dengan gaya sastra rihlah, sebuah gaya penulisan prosa yang banyak dipakai para penulis Andalusia, saat mereka melukiskan pengalaman pribadinya pada saat menunaikan Ibadah Haji. Karena itu sebagai karya tulis, buku Rihlah Ibnu Batutah atau Tuhfat an-Nazzar tidak dapat disebut sebagai karya ilmiah. Bukan saja karena gaya penulisannya yang bergenre sastra rihlah. Tetapi banyak informasi yang ditulis hanya mengandalkan ingatan Ibnu Batutah saja, teruratama apabila pokok yang dikisahkan itu, catatannya tidak tersedia akibat hilang atau tercecer. Itulah sebabnya isinya terkadang mengandung hal-hal yang tidak  masuk akal. Misalnya kisah Ibnu Batutah berjumpa dengan sejumlah wanita di suatu desa di India yang konon  hanya memiliki satu payudara saja.

Sungguh mengherankan bila buku yang kurang ilmiah itu, ditelan mentah-mentah begitu saja tanpa sikap kritis, termasuk informasi Ibnu Batutah bertemu dengan Ibnu Taimiyyah yang ternyata keliru itu

6.Fitnah  KH.Sirajuddin Abbas.
KH.Sirajuddin Abbas adalah seorang ulama tradisional dari PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang berasal dari Sumatra Barat. Dia adalah ulama penganut Mashab Syafii As’yariyah yang sangat ketat mempertahankan tradisi ahli sunnah wal jama’ah dan gigih mempertahankan doktrin Aswaja yang bersumber dari kitab kuning yang ditulis para ulama Aswaja.

Kegigihannya mempertahankan doktrin Aswaja, mengakibatkan KH.Sirajuddin Abbas tidak bisa mengembangkan budaya berpikir yang logis, rasional, dan empiris. Corak, ragam, dan gaya berpikirnya cenderung taklid, dogmatis, otoriter, serta menganggap doktrin yang diyakinilah yang paling benar. Ujung-ujungnya adalah mengembangkan sifat ta’ashub, fanatik buta, dan sikap ekstrim lainnya. Hanya buku-buku kitab kuning yang dijadikan rujukan dan dianggap sebagai satu-satunya sumber paling dapat dipercaya. Kitab-kitab diluar kitab kuning, hanya dipandang dengan sebelah mata. Sikap ta’ashub dan fanatik yang ada pada diri KH.Sirajuddin Abbas, menyebabkan dia menaruh kecurigaan berlebihan terhadap gerakan Islam pembaharuan yang dimotori oleh Ibnu Taimiyyah dan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. 

Bagi KH.Sirajuddin Abbas, gagasan dan pemikiran Ibnu Taimiyyah, dipandangnya  lebih berbahaya dari pada gagasan dan pikiran-pikiran Karl Marx. Demikian pula gerakan Islam modernis di Indonesia, dianggap lebih berbahaya dari pada gerakan komunisme. Itulah sebabnya KH.Sirajuddin Abbas pada masa Orde Lama sangat dekat dengan tokoh-tokoh Komunis. Boleh dikatakan KH.Sirajuddin Abbas adalah  satu-satunya tokoh Islam di Indonesia yang membawa PERTI bermesra-mesraan dengan PKI. KH.Sirajuddin Abbas juga satu-satunya ulama yang paling rajin menghadiri undangan-undangan pertemuan tingkat internasional yang disponsori oleh PKI maupun negara-negara komunis. Tentu tidak terlalu mengejutkan jika saat Pemberontakan G.30.S/PKI meletus pada akhir September 1965 M, KH.Sirajuddin Abbas ditempatkan oleh Letkol Untung menjadi Anggota Dewan Revolusi  dengan nomor urut 13.

Pada tahun 1969 M, KH.Sirajuddin Abbas menulis buku yang berjudul I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA TARBIYAH Jakarta. Secara garis besar buku ini menguraikan pokok-pokok dari paham Aswaja dan paham-paham yang dianggap bertentangan dengan Aswaja. Bagi KH.Sirajuddin Abbas yang terpengaruh oleh teori perjuangan klas yang dikembangkan tokoh-tokoh Marxis, semua kelompok yang berpaham non Aswaja dianggapnya sebagai musuh Aswaja. Bagi KH.Sirajuddin Abbas, Ibnu Taimiyyah dan Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah penganut Mujazimah atau Mushabihah. Karenanya KH.Sirajuddin Abbas menganggap Ibnu Taimiyyah dan Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab bukan hanya dianggap bukan kelompok Islam Sunny. Tetapi mereka berdua juga dianggap sebagai musuh yang membahayakan bagi Aswaja.

Sudah barang tentu menggolongkan Ibnu Taimiyyah dan Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, sebagai seorang Mujasimah bukan hanya merupakan kekeliruan besar. Tetapi cenderung merupakan usaha-usaha untuk melancarkan fitnah kepada dua tokoh reformasi yang gigih menganjurkan agar umat Islam kembali kepada nilai-nilai dan praktek keagamaan Islam yang telah diajarkan Nabi saw, yakni berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah.

6.1.Jumlah Firqah dalam Islam dari sisi aqidah atau I’tiqad.
Adanya firqah-firqah dan kelompok dalam Islam yang disebabkan oleh perbedaan pendapat dan pandangan, sebenarnya merupakan Sunatullah yang tidak bisa dihindarkan. Nabi saw sendiri memang telah meramal akan adanya perbedaan pendapat dan firqah-firqah dalam Islam.

Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, Nabi saw pernah bersabda:
“Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad di tanganNya, akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, yang satu masuk surga dan yang lain masuk neraka”.

Bertanya para sahabat,”Siapakah firqah yang tidak masuk neraka itu, Ya Rasulullah?”

Nabi saw menjawab,”Ahlusunnah wal Jama’ah.”

Hadits ini menimbulkan masalah, siapakah sebenarnya yang disebut sebagai ahlusunnah wal jama’ah?. Dan firqah mana saja yang disebutkan akan masuk neraka dan bukan termasuk golongan ahlusunnah wal jama’ah?

Jika kita perhatikan sabda Nabi saw, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan Ahusunnah wal Jamaah dalam hadist tersebut adalah mereka yang mengamalkan agamanya dengan berpegang kepada Sunnah Rasul dan Al Qur’an yang merupakan bagian terbesar umat pada saat itu(jamaah). Kelompok yang berpegang pada Sunnah Nabi saw dan Al Qur’an ini, dalam literatur barat sering disebut sebagai kelompok Sunni.Kata Sunni sendiri sebenarnya menunjukkan pada pengertian Sunnah Nabi saw. Artinya kelompok yang berpegang pada Sunnah Rasulullah dan Al Qur’an, baik dalam persoalan aqidah, fiqih, imammah maupun tassawuf.

Ibnu Taimiyyah dan Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab adalah Mujtahid dan Ulama yang mengajak agar umat Islam kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah. Maka sangat tidak masuk akal apabila kedua tokoh itu, dianggap tidak termasuk golongan yang seakidah dengan golongan ahlu sunnah wal jamaah atau golongan Sunny.

6.2.Tujuh Puluh Dua Golongan Dalam Islam.
Konon dalam Kitab Bughyatul Mustasyidin, karangan Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar,dengan mengutip kitab,”Maarijul Hidayat”, menulis sbb:
“Fashlun hendaklah anda berhati-hati dari bermacam bid’ah dan pemeluk-pemeluknya.Dan berantaslah bid’ah itu, serta jauhilah pemeluk-pemeluknya.Jangan sekedudukan dengan mereka. Ketahuilah bahwa pokok-pokok dari macam-macam bid’ah dalam ilmu usul  itu sebagai yang diterangkan para ulama ada tujuh besar golongan yaitu:

1.      Mu’tazilah, ialah mereka yang berpendapat bahwa amal perbuatan manusia itu adalah perbuatan dan amal manusia sendiri, bahwa ru’yatul mu’minin kepada Allah kelak di surge tidak ada.Jumlah mereka ada 20 golongan
 2.      Syiah, ialah mereka yang mencintai Ali ra,dengan cara yang berlebih-lebihan. Firqah ini terdiri dari 22 golongan.
 3.      Khawarij, yaitu golongan yang membenci Ali ra,dengan kebencian yang amat berlebihan,bahkan mengkafirkannya dan memandang kafir bagi orang-orang yang berdosa besar.Jumlahnya 20 golongan.
 4.      Murjiah,ialah mereka yang berpendapat, tiada mengapa berbuat maksiat,jika diserati iman dan tak berarti apa-apa taat jika disertai kufur.Jumlahnya 5 golongan.
5.      Najjariyah, ialah mereka yang berpendapat bersamaan dengan pendapat Ahli Sunnah wal Jamaah dalam amal dan perbuatan manusia sebagai takdir dari Allah.Tetapi sependapat dengan Mu’tazilah dalam  menafikan sifat-sifat Allah dan menganggap kalamullah itu hadist.Jumlah mereka 3 golongan.
6.      Jabariyah ialah golongan yang berpendapat tak ada ikhtiar dari manusia.sebab Tuhan isudah lebih dahulu menentukan  sesuatu.Jumlah mereka hanya 1 golongan saja.
 7.      Musyabbihah,yaitu golongan yang berpendapat bahwa  Allah itu menyerupai makhluk ,berjizim dan memiliki sifat hulul,yakni bersatu dengan makhluk. Mereka ini hanya berjumlah 1 golongan.

Dengan demikian bila direkap,akan kita peroleh data sebagai berikut:
Nomor.
Nama Kelompok
Jumlah
Keterangan
1.
Mu’tazilah
20
Golongan
2.
Syiah
22
Golongan
3.
Khawarij
20
Golongan
4.
Murjiah
5
Golongan
5.
Najjariyah
3
Golongan
6.
Jabbariyah
1
Golongan
7.
Musyabihah
1
Golongan

Jumlah
72
Golongan


Bila ditambah dengan  1 golongan lagi,yakni Ahli Sunnah wal Jama’ah, maka jumlah firqah dalam Islam memang akan menjadi 73 golongan.Jadi cocog dengan riwayat Thabrani.

Ketika menjelaskan tentang paham golongan Musyabihah atau Antrophormisme yang menganggap Tuhan memliliki sifat-sifat seperti manusia, dengan enteng dan ringan tanpa beban, KH.Sirajuddin Abbas menulis, ”Kaum Ibnu Taimiyyah termasuk dalam golongan Musyabihah dan kaum Wahabi termasuk kaum pelaksana dari faham Ibnu Taimiyyah.” Ternyata sebagai dasar argumentasi KH.Sirajuddin Abbas menilai Ibnu Taimiyyah termasuk golongan Mujasimah atau Musyabihah, karena dia menyandarkan pada kisah Ibnu Batutah yang dikutipnya dari Rihlah Ibnu Batutah sperti telah dijelaskan diatas.

 Sebagai sandaran lain adalah kitab-kitab yang ditulis oleh musuh-musuh Ibnu Taimiyyah, termasuk tulisan Ibnu Hajar al-Haitimi yang dipujanya sebagai ulama besar Mashab Safii –As’yariyah yang telah melakukan kritik habis-habisan terhadap gagasan Ibnu Taimiyyah. Sayang sekali, kritikan Ibnu Hajar al-Haitami itu  dilakukan tiga abad setelah Ibnu Taimiyyah wafat. Sebab Ibnu Hadjar al-Haitimi baru lahir 222 tahun kemudian setelah kelahiran Ibnu Taimiyyah. Dengan demikian validitas kritik Ibnu Hajar al-Hatimi jelas sangat lemah, karena jauhnya rentang waktu antara masa hidup Ibnu Taimiyyah dengan Ibnu Hajar al-Haitami.

Hanya sebagai bahan banding, Karl Marx menulis Kitab Das Kapital yang dimaksudkan sebagai kritik atas buku karya Adam Smith, Wealth Nation, jarak antara keduanya kurang dari satu abad ( 1775- 1848 M). Karena itu kritik Karl Marx dinilai cukup memiliki bobot ilmiah,sekalipun gagal menemukan jalan keluar dari problem ekonomi pasar yang digagas Adam Smith.

Kritik KH.Sirajuddin Abbas terhadap Ibnu Taimiyyah, sebenarnya jauh dari sikap seorang ilmuwan yang biasa berpolemik dan menghargai perbedaan pendapat. Sungguh suatu cara yang tidak masuk akal jika orang ingin mengkritik dan mengkritisi Ibnu Taimiyyah, tetapi tidak mau membaca sendiri karya-karya Ibnu Taimiyyah. Mengkritik dan mengkritisi pemikiran dan gagasan Ibnu Taimiyyah dengan cara hanya membaca kitab-kitab yang mengkritiknya, bukan hanya menunjukkan cara-cara yang tidak ilmiyah. Tetapi juga menunjukkan skapnya yang tidak otonom, tidak mandiri, dan sangat kental dengan cara berpikid taklid dan dogmatis. Yakni hanya numpang pada kewibawaan penulis kritik.

Padahal setebal apa pun dan sebanyak apa pun sebuah karya kritik, tetap saja akan  kalah berbobot dengan karya yang tengah dikritiknya, kecuali kalau karya kritik itu mampu menunjukkan jalan keluar yang lebih rasional dan berbobot dari kitab yang tengah dikritiknya. Justru semakin banyak karya kritik yang ditulis orang, akan menunjukkan semakin berbobotnya karya yang tengah dikritiknya itu. Apalagi kalau kritik itu ditulis hanya sekedar untuk melancarkan fitnah atau menghujat demi suatu kepentingan tertentu. Bukan demi mencari kebenaran yang ilmiah dan rasional.

Sesungguhnya  tidak ada perbedaan yang mendasar antara I’tiqad  Ibnu Taimiyyah dengan doktrin Aswaja, karena ke dua-duanya berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Kalau toh ada perbedaan, hanyalah pada hal-hal yang bersifat furu atau ranting, yang disebabkan oleh perbedaan dalam metode berpikir dan mengambil kesimpulan sehingga terjadi perbedaan persepsi dan pandangan. Perbedaan yang paling mencolok dan selalu menjadi polemik hanyalah masalah ziarah kubur, tabaruq, tawassul, perbedaan penafsiran soal bid’ah, taqlid, tahlilan, Maulud Nabi dan lainnya lagi. Tentang penafsiran ayat sifat-sifat Allah antara Ibnu Taimyah dengan Abu Hasan Al Asyari, nyaris tidak berbeda. Justru Ibnu Taimiyyah berusaha menyempurnakan pandangan tokoh pendiri doktrin Aswaja itu.

Budaya politik yang cenderung totaliter dan monolitik yang dikembangkan para Ulama Syafii Asyariyah  demi kepentingan status quo pihak yang berkuasa, mengakibatkan munculnya sikap yang tidak demokratis dan tidak mau menghargai perbedaan pandangan. Dan tentu saja, alih-alih bersikap peka terhadap setiap kritikan. Kritik terhadap penguasa, sudah dianggap bagian dari makar. Dan terhadap setiap pelaku makar, hanya ada satu jalan, yakni menjebloskannya kedalam penjara. Ironi dan tragedi inilah yang dialami oleh Ibnu Taimiyyah yang berjuang untuk memperbaiki ketimpangan masyaraktnya hanya bermodalkan pena dan kata-kata.

Karena itu, walapun kadang-kadang terjadi perang pena dan perang mulut antara ulama Syaffi-As’yariyah dalam setiap polemik, tetapi perbedaan itu tidak mengakibatkan pemikiran Ibnu Taimiyyah bertentangan secara diametral dengan pahan Aswaja As’yariyah yang dibangun oleh Imam Abu Hasan al-As’yari. Hanya para penyebar fitnah lah yang menganggap Ibnu Taimiyyah termasuk golongan Mujasimah dan karennya dianggap bertentangan secara diametral dengan paham Aswaja. Padahal, Ibnu Taimiyyah bukan Mujasimah, bukan Musyabihah, dan bukan pula penganut paham Anthrophormisme.

Sungguh mengherankan dan mengagumkan kesetiaan Ibnu Taimyah kepada kebenaran yang diyakininya, sebagaimana disampaiakan kepada para pengikutnya yang senantiasa ramai mengunjunginya di penjara. Ibnu Taimiyyah masih sempat berkata, “Jika aku diberi emas sebesar gedung penjara ini, tidaklah akan menyamai rasa syukur nikmatku ini.”

Pada kesempatan lain Ibnu Taimiyyah juga mengajarkan kalimat hikmah  tentang arti orang yang menjadi tawanan, saat dia berkata, “Orang yang dihukum itu adalah orang yang tertutup hatinya dari Tuhannya. Dan orang yang ditawan itu adalah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya”.

Sangat wajar jika seorang penulis barat, Ignaz Goldziher, setelah membaca dn menelusuri karya Ibnu Taimiyyah,  menilai Ibnu Taimiyyah sebagai seorang ulama paling terkemuka awal abad ke-14 M. Seorang ilmuwan barat lainya, Duncan Black Macdonald, memberikan  julukan kepada Ibnu Taimiyyah sebagai a saint malgre lui atau ulama paling kondang di abad ke-14 M.

Memang Ibnu Taimiyyah adalah Ulama Besar, Mujtahid Pembaharu Pemikiran Islam, seorang Reformis yang mencoba membuka pintu Ijtihad yang telah dinyatakan tertutup oleh ulama-ulama Safii-As’yariyah, dan mengajak umat Islam menjalankan syariat agamanya sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw.

 Kecermerlangan pemikirannya ikut mengantarkan Eropa memasuki abad Renaissance, Reformasi dan Pencerahan yang telah mengantarkan dunia barat memasuki abad sain dan teknologi. Sumbangan terbesar Ibnu Taimiyyah ialah gagasannya mengembangkan metode berpikir empirisme, yang tetap tunduk kepada kekuasaan dari wahyu. Gagasan empirisme Ibnu Taimiyyah, mendahului satu langkah di depan Roger Baccon, seorang filsuf empirisme dunia barat. TAMAT (by anwar hadja,29-01-2018)













Tidak ada komentar:

Posting Komentar