8.Konflik Turki Utsmani
VS Kerajaan Islam Arab Saudi.
Sementara itu, pada tahun 1798 M, perwira muda Perancis yang
tengah naik daun, Napoleon Bonaparte, berhasil menduduki Mesir. Dengan demikian
Perancis telah memiliki pijakan yang kuat bukan hanya untuk berekspansi ke
tanah Hijaz saja. Tetapi juga untuk berekspansi ke India yang dikuasai Inggris
dan ke negeri-negeri lain di Asia Tenggara. Sayang sekali bagi Perancis,
Napoleon tidak lama menduduki Mesir, karena dia harus segera kembali ke
Perancis. Pengganti Napoleon di Mesir tidaklah sekuat Napoleon. Sehingga Turki
Utsmani sesudah mengumumkan perang
terhadap Perancis, segera mengirimkan ekspedisi militer ke Mesir untuk merebut
kembali wilayah Turki Utsmani yang hampi hilang itu.
Pada tahun 1805, Muhammad Ali Pasya, komandan pasukan
ekspedisi Turki Utsmani, berhasil mengambil alih Mesir dari tangan Perancis.
Dia pun diangkat sebagai Gubernur Mesir oleh Sultan Salim III. Tapi sungguh
malang nasib Sultan Salim III. Dia terlambat menyadari kemungkinan
pengkhianatan Muhammad Ali Pasya. Karena itu, dia berusaha untuk mencopot Ali
Pasya dan menariknya kembali ke Istambul. Tapi Ali Pasya bukan orang bodoh. Dia
meminta dukungan ulama-ulama Mesir yang baru saja dibebaskan dari penjajahan
Perancis. Karena kepandaian Ali Pasya mendekati ulama-ulama Al Azhar yang
terlanjur menganggap Ali Pasya adalah pahlawan yang berhasil membebaskan Mesir
dari cengkeraman Perancis, para ulama Al Azhar memberikan dukungan penuh pada
Ali Pasya. Akibatnya Sultan Salim III tidak berkutik dan membatalkan rencananya
untuk mencopotnya. Padahal Sultan Salim III tahu persis bahwa Ali Pasya
menyimpan agenda tersendiri untuk menjadi penguasa Mesir bagi dirinya sendiri.
Bukan bagi kepentingan Turki Utsmani.
Sultan Salim III wafat pada tahun 1808 M, sehingga tidak
sempat menyaksikan pengkhianatan Ali Pasya terhadap Turki Utsmani. Penggantinya,
Sultan Mahmud II ( 1808- 1839 M), sama bodohnya dengan Ali Pasya. Keduanya
sama-sama terpukau dengan gagasan Revolusi Perancis, ”liberte,egalite dan
fraternite ( kebebasan, persamaan dan persaudaraan) dan reputasi Kaisar Napoleon Bonaparte yang
tengah naik daun menjadi penguasa baru di daratan Eropa. Tetapi masing-masing
memiliki kepentingan yang berbeda.
Sultan Mahmud II ingin berguru kepada Perancis, dengan maksud
memperkuat angkatan bersenjata Turki Utsmani dengan harapan bisa mempertahankan
keutuhan wilayah Turki Utsmani dari ancaman musuh-musuhnya. Saat itu Napoleon
Bonaparte setelah berhasil mengangkat dirinya sendiri menjadi Kaisar Perancis
(1803- 1813 M), lalu mengobarkan perang di seluruh Eropa daratan dengan maksud
untuk menumbangkan monarki di Eropa, menggantinya menjadi suatu republik,
tetapi yang harus tunduk kepada Perancis. Akibat ambisi Napoleon itu pecahlah
perang koalisi monarki di Eropa melawan Perancis. Perang Koalisi melawan
Perancis berlangsung enam kali. Nyaris hampir semua perang koalisi itu
dimenangkan Perancis. Sebelum tahun 1803 pecah Perang Koalisi dua kali. Antara
tahun 1804 – 1811 M, meletus perang koalisi sampai empat kali. Tiga kali di antaranya
dimenangkan Perancis. Tentara Napoleon dengan dukungan artileri dan
kavaleri memang unggul di Eropa daratan.
Napoleon hanya gagal untuk menaklukan Inggris dan gagal pula menduduki Rusia
karena ancaman badai salju yang tebal (1812 M). Napoleon baru dikalahkan oleh
pasukan koalisi dalam pertempuan di Lepzig (1813 M) yang memaksanya turun dari
tahtanya dan menyebabkan pembuangan dirinya ke Pulau Elba.
Lawan-lawan Perancis dalam Perang Koalisi itu antara lain
Austria, Prusia, Belanda, Rusia, Spanyol, Portugal dan Inggris. Turki sendiri
bersikap netral. Sebenarnya negara-negara koalisi terutama Inggris dan Rusia
sudah khawatir sekali kalau-kalau Turki Utsmani ikut terjun dalam medan
pertempuran membantu Perancis. Lebih-lebih bila diingat Sultan Mahmud II dan
Gebernur Mesir Muhammad Ali Pasya adalah pengagum Napoleon. Oleh karena itu
Rusia cepat-cepat membuat perjanjian damai dengan Turki, agar Rusia dapat
berkonsentrasi menghadapi Perancis, sekaligus mencegah Turki membantu Perancis.
Inggris lebih licik lagi. Untuk mengalihkan perhatian Turki Utsmani dari
kemungkinan membantu Perancis dalam Perang Koalisi, Inggris menghasut Sultan
Mahmud II yang memang bodoh itu untuk memerangi Kerajaan Islam Arab Saudi.
Seperti telah diungkapkan di depan Inggris yang memiliki
pangkalan di Teluk Arab, sangat cemas dan merasa terancam dengan kebangkitan
Kerajaan Islam Arab Saudi yang telah memantapkan dirinya sebagai penguasa
hampir seluruh tanah Hijaz, kecuali Yaman. Inggris sendiri tengah sibuk
menghadapi blokade Perancis dan kemungkinan pendaratan pasukan Perancis.
Lebih-lebi saat itu tentara Perancis sudah ada yang mendarat di Irlandia. Inggis
menghasut Sultan Mahmud II dengan memfitnah Kerajaan Islam Arab Saudi bahwa
Kerajaan Islam Arab Saudi yang telah menguasasi hampir sebagian besar wilayah
Hedzjaz itu, bermaksud hendak mendirikan negara sendiri yang merdeka lepas dari
Turki Utsmani. Difitanahnya juga Kerajaan Islam Arab Saudi itu hendak
mendirikah Khalifah Arabiyah.
Sultan Mahmud II, segera termakan hasutan Inggris. Maka
segera dilakukan tindakan untuk menghancurkan Kerajaan Islam Arab Saudi itu.
Mula-mula Sultan Mahmud II menyuruh Gubernur Irak untuk memerangi Kerajaan
Islam Arab Saudi. Ternyata Gubernur Irak merasa tidak sanggup. Lalu Gubernur
Syam ditugaskan pula. Tapi Gubernur Syam pun tidak sanggup. Akhirnya tidak ada
pilihan lain bagi Mahmud II untuk menugaskan Gubernur Mesir Ali Pasya. Tentu
saja Ali Pasya menyambut tugas itu dengan gembira. Sebab dalam benaknya, Ali
Pasya tengah menympan agenda untuk membentuk Negara Mesir yang kuat dan merdeka lepas dari Turki
yang wilayahnya mencakup pula tanah Hijaz dan Syam. Sesungguhnya Muhammad Ali
Pasya lah yang punya ambisi teritorial untuk kepentingan dirinya sendiri,
keluarganya, dan keturunannya.
Perang antara Mesir dan Kerajaan Islam Arab Saudi pun pecah
(1811- 1818 M ). Perang berlangsung sampai tujuh tahun. Ali Pasya mengerahkan
segenap kekuatannya untuk menggempur Arab Saudi. Tetapi Arab Saudi dengan
tentara Muwahhidunya gigih mempertahankan diri, sehingga membuat tentara Mesir
kewalahan. Sayang sekali pada tahun 1814 M, Raja Saud III yang gagah perkasa
itu wafat. Putranya Abdullah ( 1814- 1818 M ), segera mengambil alih pimpinan.
Ali Pasya mengerahkan putranya, Tughun Pasya dan Ibrahim Pasya. Bahkan Ali
Pasya ikut terjun sendiri masuk ke tanah Hijaz dengan membawa sejumlah tentara
tambahan. Hampir sebagain besar tentara Mesir yang berperang melawan Kerajaan
Islam Arab Saudi itu, terdiri dari orang-orang non muslim, seperti Kristen
Koptik Mesir, Kristen Georgia, dan Armenia serta tentara Yahudi bayaran.
Berulang kali tentara Muwahhiun itu menemukan tentara Mesir yang berhasil dibunuhnya
itu, ternyata dalam keadaan tidak bersunat.
Akibat dari gempuran yang terus-menerus dari tentara Mesir,
akhirnya Riyadh jatuh dan Kota Dariyyah terkepung. Untuk menghindari korban
lebih banyak, Raja Abdullah memilih menyerah kepada Ibrahim Pasya. Dia lalu
dibawa ke Mesir. Dari Mesir lalu dikirim ke Istambul. Disana Sultan Mahmud II
memerintahkan agar Raja Abdullah diarak keliling kota dengan maksud untuk
mempermalukannya. Sesudah itu Raja Abdulla di gantung. Dan kepalanya dibuang ke
Selat Bosporus. Dia pun mati syahid. Semoga Allah swt menerima amal ibadahnya
dan perjuangannya.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar