Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Jumat, 17 Agustus 2018

(08) Mengenal Lebih Dekat : Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab




8.Konflik Turki Utsmani VS Kerajaan Islam Arab Saudi.
Sementara itu, pada tahun 1798 M, perwira muda Perancis yang tengah naik daun, Napoleon Bonaparte, berhasil menduduki Mesir. Dengan demikian Perancis telah memiliki pijakan yang kuat bukan hanya untuk berekspansi ke tanah Hijaz saja. Tetapi juga untuk berekspansi ke India yang dikuasai Inggris dan ke negeri-negeri lain di Asia Tenggara. Sayang sekali bagi Perancis, Napoleon tidak lama menduduki Mesir, karena dia harus segera kembali ke Perancis. Pengganti Napoleon di Mesir tidaklah sekuat Napoleon. Sehingga Turki Utsmani sesudah  mengumumkan perang terhadap Perancis, segera mengirimkan ekspedisi militer ke Mesir untuk merebut kembali wilayah Turki Utsmani yang hampi hilang itu.

Pada tahun 1805, Muhammad Ali Pasya, komandan pasukan ekspedisi Turki Utsmani, berhasil mengambil alih Mesir dari tangan Perancis. Dia pun diangkat sebagai Gubernur Mesir oleh Sultan Salim III. Tapi sungguh malang nasib Sultan Salim III. Dia terlambat menyadari kemungkinan pengkhianatan Muhammad Ali Pasya. Karena itu, dia berusaha untuk mencopot Ali Pasya dan menariknya kembali ke Istambul. Tapi Ali Pasya bukan orang bodoh. Dia meminta dukungan ulama-ulama Mesir yang baru saja dibebaskan dari penjajahan Perancis. Karena kepandaian Ali Pasya mendekati ulama-ulama Al Azhar yang terlanjur menganggap Ali Pasya adalah pahlawan yang berhasil membebaskan Mesir dari cengkeraman Perancis, para ulama Al Azhar memberikan dukungan penuh pada Ali Pasya. Akibatnya Sultan Salim III tidak berkutik dan membatalkan rencananya untuk mencopotnya. Padahal Sultan Salim III tahu persis bahwa Ali Pasya menyimpan agenda tersendiri untuk menjadi penguasa Mesir bagi dirinya sendiri. Bukan bagi kepentingan Turki Utsmani.

Sultan Salim III wafat pada tahun 1808 M, sehingga tidak sempat menyaksikan pengkhianatan Ali Pasya terhadap Turki Utsmani. Penggantinya, Sultan Mahmud II ( 1808- 1839 M), sama bodohnya dengan Ali Pasya. Keduanya sama-sama terpukau dengan gagasan Revolusi Perancis, ”liberte,egalite dan fraternite ( kebebasan, persamaan dan persaudaraan) dan  reputasi Kaisar Napoleon Bonaparte yang tengah naik daun menjadi penguasa baru di daratan Eropa. Tetapi masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda.

Sultan Mahmud II ingin berguru kepada Perancis, dengan maksud memperkuat angkatan bersenjata Turki Utsmani dengan harapan bisa mempertahankan keutuhan wilayah Turki Utsmani dari ancaman musuh-musuhnya. Saat itu Napoleon Bonaparte setelah berhasil mengangkat dirinya sendiri menjadi Kaisar Perancis (1803- 1813 M), lalu mengobarkan perang di seluruh Eropa daratan dengan maksud untuk menumbangkan monarki di Eropa, menggantinya menjadi suatu republik, tetapi yang harus tunduk kepada Perancis. Akibat ambisi Napoleon itu pecahlah perang koalisi monarki di Eropa melawan Perancis. Perang Koalisi melawan Perancis berlangsung enam kali. Nyaris hampir semua perang koalisi itu dimenangkan Perancis. Sebelum tahun 1803 pecah Perang Koalisi dua kali. Antara tahun 1804 – 1811 M, meletus perang koalisi sampai empat kali. Tiga kali di antaranya dimenangkan Perancis. Tentara Napoleon dengan dukungan artileri dan kavaleri  memang unggul di Eropa daratan. Napoleon hanya gagal untuk menaklukan Inggris dan gagal pula menduduki Rusia karena ancaman badai salju yang tebal (1812 M). Napoleon baru dikalahkan oleh pasukan koalisi dalam pertempuan di Lepzig (1813 M) yang memaksanya turun dari tahtanya dan menyebabkan pembuangan dirinya ke Pulau Elba.

Lawan-lawan Perancis dalam Perang Koalisi itu antara lain Austria, Prusia, Belanda, Rusia, Spanyol, Portugal dan Inggris. Turki sendiri bersikap netral. Sebenarnya negara-negara koalisi terutama Inggris dan Rusia sudah khawatir sekali kalau-kalau Turki Utsmani ikut terjun dalam medan pertempuran membantu Perancis. Lebih-lebih bila diingat Sultan Mahmud II dan Gebernur Mesir Muhammad Ali Pasya adalah pengagum Napoleon. Oleh karena itu Rusia cepat-cepat membuat perjanjian damai dengan Turki, agar Rusia dapat berkonsentrasi menghadapi Perancis, sekaligus mencegah Turki membantu Perancis. Inggris lebih licik lagi. Untuk mengalihkan perhatian Turki Utsmani dari kemungkinan membantu Perancis dalam Perang Koalisi, Inggris menghasut Sultan Mahmud II yang memang bodoh itu untuk memerangi Kerajaan Islam Arab Saudi.

Seperti telah diungkapkan di depan Inggris yang memiliki pangkalan di Teluk Arab, sangat cemas dan merasa terancam dengan kebangkitan Kerajaan Islam Arab Saudi yang telah memantapkan dirinya sebagai penguasa hampir seluruh tanah Hijaz, kecuali Yaman. Inggris sendiri tengah sibuk menghadapi blokade Perancis dan kemungkinan pendaratan pasukan Perancis. Lebih-lebi saat itu tentara Perancis sudah ada yang mendarat di Irlandia. Inggis menghasut Sultan Mahmud II dengan memfitnah Kerajaan Islam Arab Saudi bahwa Kerajaan Islam Arab Saudi yang telah menguasasi hampir sebagian besar wilayah Hedzjaz itu, bermaksud hendak mendirikan negara sendiri yang merdeka lepas dari Turki Utsmani. Difitanahnya juga Kerajaan Islam Arab Saudi itu hendak mendirikah Khalifah Arabiyah.

Sultan Mahmud II, segera termakan hasutan Inggris. Maka segera dilakukan tindakan untuk menghancurkan Kerajaan Islam Arab Saudi itu. Mula-mula Sultan Mahmud II menyuruh Gubernur Irak untuk memerangi Kerajaan Islam Arab Saudi. Ternyata Gubernur Irak merasa tidak sanggup. Lalu Gubernur Syam ditugaskan pula. Tapi Gubernur Syam pun tidak sanggup. Akhirnya tidak ada pilihan lain bagi Mahmud II untuk menugaskan Gubernur Mesir Ali Pasya. Tentu saja Ali Pasya menyambut tugas itu dengan gembira. Sebab dalam benaknya, Ali Pasya tengah menympan agenda untuk membentuk Negara  Mesir yang kuat dan merdeka lepas dari Turki yang wilayahnya mencakup pula tanah Hijaz dan Syam. Sesungguhnya Muhammad Ali Pasya lah yang punya ambisi teritorial untuk kepentingan dirinya sendiri, keluarganya, dan keturunannya. 

Perang antara Mesir dan Kerajaan Islam Arab Saudi pun pecah (1811- 1818 M ). Perang berlangsung sampai tujuh tahun. Ali Pasya mengerahkan segenap kekuatannya untuk menggempur Arab Saudi. Tetapi Arab Saudi dengan tentara Muwahhidunya gigih mempertahankan diri, sehingga membuat tentara Mesir kewalahan. Sayang sekali pada tahun 1814 M, Raja Saud III yang gagah perkasa itu wafat. Putranya Abdullah ( 1814- 1818 M ), segera mengambil alih pimpinan. Ali Pasya mengerahkan putranya, Tughun Pasya dan Ibrahim Pasya. Bahkan Ali Pasya ikut terjun sendiri masuk ke tanah Hijaz dengan membawa sejumlah tentara tambahan. Hampir sebagain besar tentara Mesir yang berperang melawan Kerajaan Islam Arab Saudi itu, terdiri dari orang-orang non muslim, seperti Kristen Koptik Mesir, Kristen Georgia, dan Armenia serta tentara Yahudi bayaran. Berulang kali tentara Muwahhiun itu menemukan tentara Mesir yang berhasil dibunuhnya itu, ternyata dalam keadaan tidak bersunat.

Akibat dari gempuran yang terus-menerus dari tentara Mesir, akhirnya Riyadh jatuh dan Kota Dariyyah terkepung. Untuk menghindari korban lebih banyak, Raja Abdullah memilih menyerah kepada Ibrahim Pasya. Dia lalu dibawa ke Mesir. Dari Mesir lalu dikirim ke Istambul. Disana Sultan Mahmud II memerintahkan agar Raja Abdullah diarak keliling kota dengan maksud untuk mempermalukannya. Sesudah itu Raja Abdulla di gantung. Dan kepalanya dibuang ke Selat Bosporus. Dia pun mati syahid. Semoga Allah swt menerima amal ibadahnya dan perjuangannya.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar