Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Sabtu, 18 Agustus 2018

(09) Mengenal Lebih Dekat : Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab





9.Pengkhianatan Gubernur Mesir Ali Pasya.
 Ketika itu Perang Koalisi selesai. Napoleon pun meringkuk di Pulau St.Helena. Monarki Eropa merayakan kemenangannya dengan menyelenggarakan Konggres Wina. Dinasti Bourbon naik tahta Perancis menggantikan Napoleon. Seolah-olah ikut larut dalam pesta perayaan kemenangan negara-negara koalisi atas Perancis, Sultan Mahmud II yang bodoh itu ikut juga larut dalam pesta kemenangan atas Kerajaan Islam Arab Saudi.

Padahal kerusakan luar biasa dialami penduduk Hijaz akibat serbuan brutal tentara Ali Pasya. Bukan hanya harta penduduk yang dirampas, tetapi wanita-wanita pun banyak yang diperkosa tentara non muslim Mesir. Lebih-lebih lagi kekayaan Kerajaan Islam Arab Saudi, nyaris habis dijadikan barang jarahan yang diangkut dari Dariyyah ke Kairo dan dinikmati Ali Pasya beserta keluarganya.

Tetapi Sultan Mahmud II segerai menuai akibat dari kebodohnnya itu. Tahun 1821 M, meletus pemberontakan Yunani. Kembali Mahmud II menugaskan Ali Pasya untuk memadamkan pemerontakan Yunani. Tahun 1823 M dengan membawa puluhan ribu pasukan Ibrahim Pasya mendarat di Yunani. Perancis, Inggris dan Rusia, segera memberikan dukungan pada perang kemerdekaan Yunani untuk melepaska diri dari kekuasaan Turki Utsmani. 

Saat sedang sibuk memantau perang Yunani, di Istambul meletuslah  pemberontakan pasukan elit Turki Utsmani, Janissary (1826 M ). Sultan Mahmud II terpaksa mengerahkan segenap kekuatannya untuk menghancurkan pasukan elit itu. Pemberontakan Jenissary berhasil dilumpuhkan. Akhirnya pasukan elit itu dibubarkan. Tetapi pada tahun 1827 M, Inggris dan Perancis, berhasil mengusir Ibrahim Pasya yang tengah menduduki Yunani. Perang pun meletus, Pasukan Ibrahim Pasya di Yunani berhasil dihancurkan tentara Inggris dan Perancis. Akhirnya  Ali Pasya memerintahkan Ibrahim Pasya untuk meninggalkan Yunani dan kembali ke Mesir. Korban nyawa yang diderita Mesir adalah 30.000 tentara Mesir tewas dalam perang di Yunani itu. 

Rusia pun tidak melewatkan peluang memaklumkan perang kepada Turki Utsmani dalam rangka memberikan dukungan pada kemerdekaan Yunani (1828-1829 M). Perang yang berlangsung 2 tahun itu berakhir dengan kekalahan Turki Utsmani yang harus melepaskan Adrianopel. Dalam Konperensi London, Rusia, Perancis, dan Inggris memaksa Sultan Mahmud II agar melepaskan Yunani dan memberinya kemerdekaan. Sultan Mahmud II yang semakin terjepit itu pun tak berkutik. Yunani pun lepas dari Turki Utsmani dan menjadi negara merdeka.

Kemalangan Sultan Mahmud II belum juga berakhir. Kini Ali Pasya mulai berulah, setelah melihat Yunani bisa merdeka. Kenapa Mesir tidak? Demikian yang berkecamuk dalam benaknya. Mula-mula dia mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Sultan Mahmud II untuk mengganti kerugian yang diderita Mesir dalam usahanya memadamkan pemberontakan Yunani. Karena Sultan Mahmud II menolak, Ali Pasya segera menyerang Syam dan mendudukinya. Sultan Mahmud II nyaris tak dapat berbuat apa-apa. Alangkah dungunya Sultan Mahmud II saat dia meminta pertolongan pada Rusia, musuh bebuyutannya itu. Sultan Mahmud II wafat pada tahun 1839 M, meninggalkan warisan Kesultanan Turki Utsmani, The Sick Man”, yang wilayahnya siap dibag-bagi dan diperebutkan Rusia, Inggris, dan Perancis.

Sejarah perjalan Dinasi Turki Utsmani mungkin akan lain, apabila Mahmud II tidak buru-buru menggilas Kerajaan Islam Arab Saudi. Akan tetapi merangkulnya dan menjadikan mereka penguasa dan penjaga tanah Hijaz yang tunduk pada pemerintah Turki Utsmani dan menjadikan mereka  partner yang paling dapat dipercaya  dalam melawan kolonialisme dan imperialisme barat. Militansi tentara Muwahhidun dan moral yang mereka junjung tinggi dalam setiap medan pertempuran, justru bisa dijadikan model bagi Dinasti Utsmani dalam memperbaharui angkatan perangnya yang sudah mulai mengalami demoralisasi. Kerajaan Islam Arab Saudi justru dapat dijadikan sahabat yang terpercaya bagi Turki Utsmani guna mengimbangi ambisi Gubernur Mesir Ali Pasya yang meluap-luap itu. Sayang sekali, hal-hal yang demikian tidak mampu dipikirkan oleh Mahmud II. Kelak barulah Sultan Hamid II ( 1876 – 1909 M) yang mulai menyadarinya. Tetapi segalanya telah terlambat. Jarum sejarah tidak mungkin diputar mundur. 

Sementara itu, diam-diam Kerajaan Islam Arab Saudi yang mewarisi semangat founding fathernya Dwi Tunggal Raja Muhammad Ibn Saud dan Muhammad Ibn Abdul Wahhab, mampu bangkit kembali dilanjutkan oleh anak-anak keturunannya. Maka mulailah Kerajaan Islam Arab Saudi memasuki tahapan sejarahnya ke-II ( 1818- 1884 M). Kebangkitannya kembali tak mungkin dibendung. Bahkan oleh kekuatan imperilaisme dan kolonilaisme barat mana pun.

Seorang Sejarawan Mesir Al Jabarati, yang mengagumi gaya dan cara berperang tentara Muwahhidun yang unik itu menuliskanyanya sbb :

“Pada waktu masuk waktu shalat, juru adzan mereka maju dan mengumandangkan adzan dan mereka pun berbaris di belakang seorang imam untuk melaksanakan shalat dengan khusyuk. Sedangkan jika waktu shalat tiba dan perang tengah berkecamuk, maka salah seorang di antara mereka mengumandangakn adzan dan melakukan shalat khauf. Sebagian di antara mereka maju dan sebagian yang lain mengakhirkan shalatnya. Mereka berperang dengan memegang teguh pesan Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal, ”Janganlah kalian mengejar orang-orang yang telah melarikan diri, janganlah kalian melakukan apa pun terhadap orang yang terluka.Dan barang siapa yang melepaskan senjatanya, dia telah aman.” Mereka juga berperang dengan berpegang pada amanat Ali bin Abi Thalib  yang lain, ”Hati-hatilah! Jangan kalian bertindak kasar terhadap wanita, walaupun mereka mencela kehormatan kalian dan menghina para pemimpin kalian. Sesungguhnya seorang laki-laki yang memperlakukan seorang wanita dengan kasar dan sinis, maka dia akan mendapatkan sangsinya.”

Pada ekspedisi pertama penaklukan Kerajaan Islam Arab Saudi ( 1811- 1814 M), nyaris tentara Mesir senantiasa mengalami kekalahan berhadap-hadapan dengan tentara Muwahhidun.

Selanjutnya Al Jabarti membandingkan dengan gaya berperang pasukan Ali Pasya, anak-anaknya Ibrahim Pasya dan Thugun Pasya pada waktu melakukan ekspedisi penaklukan Kerajaan Islam Arab Saudi ( 1815- 1818 M) yang berakhir dengang kemenangan tentara Mesir sbb :

“Kebanyakan dari pasukan Mesir tidak beragama. Di antara mereka banyak yang tidak peduli pada agama. Mereka berperang dengan dibarengi kotak-kotak minuman haram yang memabukkan. Di tengah mereka tidak pernah terdengan adzan dan ditegakkan shalat. Tidak pernah terlintas di pikiran mereka untuk menegakkan syiar-syiar agama. Tidak heran, ketika mereka memperoleh kemenangan, kerusakan pun merajalela. Mereka membunuh, memperkosa wanita-wanita, merampas harta benda, dan apa saja yang dapat dirampasnya.” 

Bagi Kerajaan Islam Arab Saudi kekalahan dalam perang adalah ujian bagi kesabarannya. Ada pun kemenangan adalah anugerahNya  yang harus disyukurinya. Itulah Kerajaan Islam Arab Saudi yang didirikan oleh duet dwi tunggal Muhammad- Ibnu Saud dan Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.
Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab sendiri  wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, yang bertepatan dengan tahun 1792 M, ketika Kerajaan Islam Arab Saudi episode pertama itu tengah berada di puncak kejayaannya. Dia  menjabat Menteri Penerangan Kerajaan Islam Arab Saudi selama 46 tahun dan  meninggalkan 18 orang anak yang kelak dengan gigih melanjutkan gagasan reformasi dan ajaran Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab yang telah ditetapkan sebagai doktrin resmi Kerajaan Islam Arab Saudi ( Tammat,19-08-2018).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar