9.Pengkhianatan Gubernur Mesir Ali Pasya.
Ketika itu Perang Koalisi selesai. Napoleon pun meringkuk di
Pulau St.Helena. Monarki Eropa merayakan kemenangannya dengan menyelenggarakan
Konggres Wina. Dinasti Bourbon naik tahta Perancis menggantikan Napoleon.
Seolah-olah ikut larut dalam pesta perayaan kemenangan negara-negara koalisi
atas Perancis, Sultan Mahmud II yang bodoh itu ikut juga larut dalam pesta
kemenangan atas Kerajaan Islam Arab Saudi.
Padahal kerusakan luar biasa dialami penduduk Hijaz akibat
serbuan brutal tentara Ali Pasya. Bukan hanya harta penduduk yang dirampas,
tetapi wanita-wanita pun banyak yang diperkosa tentara non muslim Mesir.
Lebih-lebih lagi kekayaan Kerajaan Islam Arab Saudi, nyaris habis dijadikan
barang jarahan yang diangkut dari Dariyyah ke Kairo dan dinikmati Ali Pasya
beserta keluarganya.
Tetapi Sultan Mahmud II segerai menuai akibat dari
kebodohnnya itu. Tahun 1821 M, meletus pemberontakan Yunani. Kembali Mahmud II
menugaskan Ali Pasya untuk memadamkan pemerontakan Yunani. Tahun 1823 M dengan
membawa puluhan ribu pasukan Ibrahim Pasya mendarat di Yunani. Perancis,
Inggris dan Rusia, segera memberikan dukungan pada perang kemerdekaan Yunani
untuk melepaska diri dari kekuasaan Turki Utsmani.
Saat sedang sibuk memantau perang Yunani, di Istambul meletuslah
pemberontakan pasukan elit Turki
Utsmani, Janissary (1826 M ). Sultan Mahmud II terpaksa mengerahkan segenap
kekuatannya untuk menghancurkan pasukan elit itu. Pemberontakan Jenissary
berhasil dilumpuhkan. Akhirnya pasukan elit itu dibubarkan. Tetapi pada tahun
1827 M, Inggris dan Perancis, berhasil mengusir Ibrahim Pasya yang tengah
menduduki Yunani. Perang pun meletus, Pasukan Ibrahim Pasya di Yunani berhasil
dihancurkan tentara Inggris dan Perancis. Akhirnya Ali Pasya memerintahkan Ibrahim Pasya untuk
meninggalkan Yunani dan kembali ke Mesir. Korban nyawa yang diderita Mesir adalah
30.000 tentara Mesir tewas dalam perang di Yunani itu.
Rusia pun tidak melewatkan peluang memaklumkan perang kepada
Turki Utsmani dalam rangka memberikan dukungan pada kemerdekaan Yunani
(1828-1829 M). Perang yang berlangsung 2 tahun itu berakhir dengan kekalahan
Turki Utsmani yang harus melepaskan Adrianopel. Dalam Konperensi London, Rusia,
Perancis, dan Inggris memaksa Sultan Mahmud II agar melepaskan Yunani dan
memberinya kemerdekaan. Sultan Mahmud II yang semakin terjepit itu pun tak
berkutik. Yunani pun lepas dari Turki Utsmani dan menjadi negara merdeka.
Kemalangan Sultan Mahmud II belum juga berakhir. Kini Ali
Pasya mulai berulah, setelah melihat Yunani bisa merdeka. Kenapa Mesir tidak?
Demikian yang berkecamuk dalam benaknya. Mula-mula dia mengajukan tuntutan
ganti rugi kepada Sultan Mahmud II untuk mengganti kerugian yang diderita Mesir
dalam usahanya memadamkan pemberontakan Yunani. Karena Sultan Mahmud II
menolak, Ali Pasya segera menyerang Syam dan mendudukinya. Sultan Mahmud II
nyaris tak dapat berbuat apa-apa. Alangkah dungunya Sultan Mahmud II saat dia
meminta pertolongan pada Rusia, musuh bebuyutannya itu. Sultan Mahmud II wafat
pada tahun 1839 M, meninggalkan warisan Kesultanan Turki Utsmani, The Sick
Man”, yang wilayahnya siap dibag-bagi dan diperebutkan Rusia, Inggris, dan
Perancis.
Sejarah perjalan Dinasi Turki Utsmani mungkin akan lain,
apabila Mahmud II tidak buru-buru menggilas Kerajaan Islam Arab Saudi. Akan tetapi
merangkulnya dan menjadikan mereka penguasa dan penjaga tanah Hijaz yang tunduk
pada pemerintah Turki Utsmani dan menjadikan mereka partner yang paling dapat dipercaya dalam melawan kolonialisme dan imperialisme barat.
Militansi tentara Muwahhidun dan moral yang mereka junjung tinggi dalam setiap
medan pertempuran, justru bisa dijadikan model bagi Dinasti Utsmani dalam
memperbaharui angkatan perangnya yang sudah mulai mengalami demoralisasi.
Kerajaan Islam Arab Saudi justru dapat dijadikan sahabat yang terpercaya bagi
Turki Utsmani guna mengimbangi ambisi Gubernur Mesir Ali Pasya yang meluap-luap
itu. Sayang sekali, hal-hal yang demikian tidak mampu dipikirkan oleh Mahmud
II. Kelak barulah Sultan Hamid II ( 1876 – 1909 M) yang mulai menyadarinya.
Tetapi segalanya telah terlambat. Jarum sejarah tidak mungkin diputar mundur.
Sementara itu, diam-diam Kerajaan Islam Arab Saudi yang
mewarisi semangat founding fathernya Dwi Tunggal Raja Muhammad Ibn Saud dan
Muhammad Ibn Abdul Wahhab, mampu bangkit kembali dilanjutkan oleh anak-anak
keturunannya. Maka mulailah Kerajaan Islam Arab Saudi memasuki tahapan
sejarahnya ke-II ( 1818- 1884 M). Kebangkitannya kembali tak mungkin dibendung.
Bahkan oleh kekuatan imperilaisme dan kolonilaisme barat mana pun.
Seorang Sejarawan Mesir Al Jabarati, yang mengagumi gaya dan
cara berperang tentara Muwahhidun yang unik itu menuliskanyanya sbb :
“Pada waktu masuk waktu shalat, juru adzan mereka maju dan
mengumandangkan adzan dan mereka pun berbaris di belakang seorang imam untuk
melaksanakan shalat dengan khusyuk. Sedangkan jika waktu shalat tiba dan perang
tengah berkecamuk, maka salah seorang di antara mereka mengumandangakn adzan
dan melakukan shalat khauf. Sebagian di antara mereka maju dan sebagian yang
lain mengakhirkan shalatnya. Mereka berperang dengan memegang teguh pesan Ali
bin Abi Thalib dalam perang Jamal, ”Janganlah kalian mengejar orang-orang yang
telah melarikan diri, janganlah kalian melakukan apa pun terhadap orang yang
terluka.Dan barang siapa yang melepaskan senjatanya, dia telah aman.” Mereka
juga berperang dengan berpegang pada amanat Ali bin Abi Thalib yang lain, ”Hati-hatilah! Jangan kalian
bertindak kasar terhadap wanita, walaupun mereka mencela kehormatan kalian dan
menghina para pemimpin kalian. Sesungguhnya seorang laki-laki yang
memperlakukan seorang wanita dengan kasar dan sinis, maka dia akan mendapatkan
sangsinya.”
Pada ekspedisi pertama penaklukan Kerajaan Islam Arab Saudi (
1811- 1814 M), nyaris tentara Mesir senantiasa mengalami kekalahan berhadap-hadapan
dengan tentara Muwahhidun.
Selanjutnya Al Jabarti membandingkan dengan gaya berperang
pasukan Ali Pasya, anak-anaknya Ibrahim Pasya dan Thugun Pasya pada waktu
melakukan ekspedisi penaklukan Kerajaan Islam Arab Saudi ( 1815- 1818 M) yang
berakhir dengang kemenangan tentara Mesir sbb :
“Kebanyakan dari pasukan Mesir tidak beragama. Di antara mereka
banyak yang tidak peduli pada agama. Mereka berperang dengan dibarengi
kotak-kotak minuman haram yang memabukkan. Di tengah mereka tidak pernah
terdengan adzan dan ditegakkan shalat. Tidak pernah terlintas di pikiran mereka
untuk menegakkan syiar-syiar agama. Tidak heran, ketika mereka memperoleh
kemenangan, kerusakan pun merajalela. Mereka membunuh, memperkosa wanita-wanita,
merampas harta benda, dan apa saja yang dapat dirampasnya.”
Bagi Kerajaan Islam Arab Saudi kekalahan dalam perang adalah
ujian bagi kesabarannya. Ada pun kemenangan adalah anugerahNya yang harus disyukurinya. Itulah Kerajaan
Islam Arab Saudi yang didirikan oleh duet dwi tunggal Muhammad- Ibnu Saud dan Syekh
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.
Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab sendiri wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, yang
bertepatan dengan tahun 1792 M, ketika Kerajaan Islam Arab Saudi episode
pertama itu tengah berada di puncak kejayaannya. Dia menjabat Menteri Penerangan Kerajaan Islam
Arab Saudi selama 46 tahun dan meninggalkan 18 orang anak yang kelak dengan
gigih melanjutkan gagasan reformasi dan ajaran Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab
yang telah ditetapkan sebagai doktrin resmi Kerajaan Islam Arab Saudi ( Tammat,19-08-2018).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar