Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Minggu, 15 Mei 2016

Sejarah Walisongo (02) : Raden Rahmat Sunan Ampel, Pendakwah Keturunan Raja Kerajaan Campa





1 Kerajaan Campa .

Kerajaan Campa adalah kerajaan yang terletak di Indo China. Kemungkinan besar sekarang masuk wilayah Vietnam Selatan. Secara geografis, posisi  Kerajaan Campa yang menghadap Laut China Selatan amat strategis. Pada masa lalu merupakan pintu gerbang untuk meninggalkan Asia daratan ke berbagai wilayah di Asia Tenggara. Dalam etnografi, tercatat pada masa lalu adanya gelombang migrasi perpindahan suku-suku bangsa dari Asia Daratan ke wilayah Asia Tenggara melintasi wilayah ini.

Gelombang pertama terjadi pada tahun 2000 SM. Terjadilah imigrasi besar-besaran penduduk dari Lembah Sungai Yunan di China Selatan. Mereka secara bergelombang menuruni lembah-lembah sungai besar akhirnya  sampai di Teluk Tonkin. Dari sini dengan menggunakan perahu bercadik, mereka mengarungi laut China Selatan, melintasi berbagai pulau, menyeberangi sejumlah selat, akhirnya bermukim di berbagai wilayah yang tersebar  di Semenanjung Malaka, Kepulauan Nusantara dan  Filipina bahkan ada yang sampai di Madagaskar, Afrika Selatan.

Gelombang pertama imigran dari Indo China itu dikenal sebagai  Proto Melayu atau Melayu Tua. Mereka masih hidup dalam jaman Batu Muda atau Neolithikum. Alat-alat yang digunakan untuk mempertahankan hidup antara lain terbuat dari serpihan batu yang telah dihaluskan, misalnya saja, kapak genggam.

Kemudian terjadi lagi migrasi gelombang ke dua yang terjadi pada tahun 300 SM. Seperti pendahulunya, mereka mengikuti jalur pelayaran Laut China Selatan, merambah pulau-pulau yang tersebar di Nusantara. Imigran gelombang kedua ini dikenal sebagai suku bangsa  Deutero Melayu atau Melayu Muda. Mereka memiliki kebudayaan yang lebih maju, karena mereka sudah hidup di jaman Perunggu dan mereka sudah mampu membuat peralatan dari logam.

Di  Kepulauan Nusantara, kedua penduduk  imigran itu bercampur baur menjadi satu dan lahirlah  suku-suku bangsa yang kemudian menjadi nenek moyang bangsa-bangsa yang tinggal di Kepulauan Nusantara, yakni bangsa Indonesia, Malaysia, Brunei dan Filipina. Dari data Anthropologi tersebut, jelaslah bahwa sudah sejak jaman dulu terjadi hubungan yang erat antara kebudayaan di wilayah Nusantara dengan kebudayaan di Indo China.

Pada abad ke -1 M, mulai terbentuk jalur pelayaran niaga internasional yang terbentang dari Laut Merah, Laut Arab, Samudra Hindia,  Selat Malaka dan Laut China Selatan. Jalur niaga lewat laut ini, membawa barang-baranmg dagangan dari China ke India, kemudian ke teluk Persia dan Laut Merah. Dari Laut Merah, barang dagangan menempuh jalan darat menuju Mesir, kemudian menuju Eropa Barat. Barang dagangan yang singgah di teluk Persia, dibawa melalui jalur darat menuju Persia, kemudian diteruskan ke Eropa Timur dan Rusia.

Ketika itu Mesir, Eropa Barat dan Eropa Timur, berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi. Karena itu jalur perniagaan laut yang membentang dari Laut Merah sampai Laut China Selatan, merupakan jalur niaga yang menghubungkan peradaban besar masa lalu yaitu peradaban China, India, Persia dan peradaban Romawi. Terbentuknya jalur perniagaan  lewat laut yang menghubungkan peradaban barat dan timur itu, mengakibatkan munculnya kota-kota pelabuhan niaga di sepanjang pantai.

Pada abad ke-7 M, jalur perniagan laut semakin ramai, karena pada saat itu muncul peradaban baru, yakni peradaban Islam. Mula-mula pusat peradaban Islam berpusat di Madinah (622  – 661 M), yakni pada masa Nabi Muhammad saw dan Khulaufur Rasyidin. Kemudian pusat Peradaban Islam pindah ke Damaskus pada masa Dinasti  Umayyah (661 – 749 M), kemudian pindah lagi ke Baghdad  pada masa Dinasti Abasiyyah(749 – 1258 M).

Dari Damaskus, sebenarnya peradaban Islam tidak hanya bergerak ke arah timur yaitu ke Persia, Asia Tengah, India dan bahkan Asia Tenggara. Tetapi peradaban Islam juga bergerak ke arah barat. Terbentuklah pusat peradaban Islam  di Mesir, Afrika Utara bahkan di semenjung Iberia atau Andalusia dengan pusatnya di Cordova, Spanyol. Bahkan kelak juga muncul  Istambul sebagai pusat peradaban Islam di bawah  dinasti Turki Usmani.

Pada abad ke 7 – 14 M, di dunia hanya dikenal tiga peradaban besar, yaitu peradaban China di Asia, peradaban Islam yang membentang  dari Asia Tenggara, Anak Benua India, Persia, Timur Tengah, Afrika Utara dan semenanjung Iberia dan peradaban Romawi yang berpusat di Bizantium.  Saat itu peradaban Hindu di India tengah surut karena berada di bawah bayang-bayang peradaban Islam  yang berpusat di Delhi.

Sudah sejak abad ke-7 M itulah pelaut-pelaut dan saudagar-saudagar Muslim dari Arab, berhasil membangun jalur perniagaan laut yang membentang dari  Pelabuhan Aden di Yaman Selatan, kemudian Oman, Bahren, pantai Malabar dan Koromandel di Pantai Barat Anak Benua India,  Ceylon, Tanah Genting Kra di Semenanjung Malaka. Dari Tanah Genting Kra,  saudagar Arab melanjutkan pelayaran niaganya menyusuri Pantai Barat Semenanjung Malaka ke arah selatan hingga berakhir di ujung selatan Semenanjung Malaka. Dari sini, jalur pelayaran niaga saudagar-saudagar Arab itu pecah menjadi dua.

  • Jalur pertama, belok ke kiri menyusuri Pantai Timur Semenanjung Malaka, Pahang, Patani, Pantai Indo China, menyusuri pantai Laut China Selatan dan berakhir di Kanton.

  • Jalur ke dua, dari ujung selatan Semenanjung Malaka,  jalur perniagan pedagang Arab itu terus ke arah selatan, menyusuri Pantai Timur Sumatra, Pantai Utara Pulau Jawa, terus ke arah timur dan berakhir di Maluku. Bahkan ada yang berakhir di Fak Fak, Papua Barat.

Jalur perniagan yang membentang dari Laut Merah sampai Laut China Selatan  dan Maluku itu dibangun oleh saudagar-saudagar Muslim pada masa Dinasti Umayyah. Muawiyyah,  pendiri Dinasti Umayyah di  Damaskus, adalah Khalifah pertama dari  dinasti-dinasti Islam yang pertama kali membangun armada angkatan laut dan armada niaga.

Akibat lebih lanjut dari suksesnya  saudagar-saudagar Islam membangun jalur perniagaan laut itu, maka muncullah kota-kota niaga dengan komunitas penduduk  yang memeluk agama Islam. Perkembangan kota-kota pelabuhan niaga dengan komunitas penduduk Muslim itu semakin meningkat sampai  akhir abad ke-16 M.  Jaringan komunitas  penduduk Muslim itu semakin luas, dan berkembang bukan hanya dalam bidang niaga, tetapi meningkat pada bidang dakwah Islam, bahkan politik.

Menurut Sir Thomas Arnold, saat itu  saudagar-saudagar Arab telah memiliki pusat-pusat perniagaan di kota-kota pelabuhan, antara lain yang cukup terkenal adalah di Kanton.

Kerajaan Campa yang diperkirakan baru muncul pada abad ke-11 M, telah berkembang menjadi kota pelabuhan yang ramai akibat letaknya yang strategis yaitu berada di jalur perniagaan  yang melewati pantai Indo China dan Laut China Selatan.

Menurut catatan Al Habib Alwi bin Thahir Al Hadad, saudagar-saudagar Arab sudah lama mengenal Kerajaan Campa. Pada abad ke 14 M, Campa sudah berkembang menjadi salah satu pelabuhan transito yang ramai. Di situ telah banyak dibangun gudang-gudang besar tempat menyimpan barang dagangan.  Saat itu Campa  berkembang menjadi pelabuhan internasional yang ramai, barang kali seramai Singapura kelak di kemudian hari.

Sebagai sebuah kota metropolitan abad ke-14-15 M, di Campa tinggal  aneka suku bangsa dengan profesi pedagang. Tetapi yang paling banyak adalah pedagang-pedagang Arab. Keunikan para pedagang Arab ini, disamping berdagang, mereka memanfaatkan waktu yang ada untuk berdakwah. Bahkan mereka aktif membentuk komunitas Muslim, cepat berbaur dengan penduduk asli  bahkan melakukan pernikahan membentuk inti keluarga Muslim.

Seperti Pasai, pada pertengahan abad ke-14 M, Kerajaan Campa menjadi vasal Majapahit. Tetapi memasuki abad ke-15 M, Kerajaan Majapahit mulai melemah akibat perang perebutan tahta antara Wikramawardhana dengan Wirabumi. Pada saat Majapahit mulai melemah inilah Kerajaan Islam Samudra Pasai gigih mengirimkan para mubalighnya ke berbagai wilayah Kerajaan Majapahit. Seorang ulama dari Pasai, Syekh Jumadilkubro, putra  Sultan Zaenal Abidin, mencoba berdakwah kepada keluarga Raja Campa. Ternyata  Syekh Jumadilkubro berhasil meyakinkan Raja Kiyan, Penguasa Campa untuk memeluk Islam.

“Jika Kerajaan Campa menjadi kerajaan Islam,  jelas   Syekh Jumadilkubro memberi saran pada Raja Kiyan, ”Campa memiliki peluang besar untuk berkembang menjadi kerajaan yang makmur dan besar, karena akan banyak lagi pedagang-pedagang Muslim yang akan singgah dan merasa nyaman tinggal di Campa.

Saran Syekh Jumadilkubro diterima dengan baik. Raja Kiyan dan seluruh keluarganya menyatakan diri masuk Islam dengan bimbingan Syekh Jumadilkubro. Sejak itu Kerajaan Campa muncul sebagai satu-satunya kerajaan Islam  di Indo China.    



2 Dyah Dwarawati.

Kerajaan Campa sejak semula sebenarnya mempunyai  hubungan yang baik dengan raja-raja dari Jawa Timur. Bahkan Kerajaan Campa adalah kerajaan yang berada di bawah perlindungan Kerajaan Majapahit. Kitab Nagarakertagama karya Mpu Prapanca, maupun Kitab Hikayat Raja-raja Pasai dan Hikayat Banjar, memang menyebutkan bahwa seperti halnya daerah Pasai, Pahang dan Patani pada pertengahan abad ke-14 M, daerah Campa pun sudah menjadi vasal Kerajaan Majapahit.

Raja Kertanegara adalah  Raja Jawa yang pertama kali menggagas perlunya menggalang persatuan Nusantara  dibawah kendali Singasari. Setelah berhasil menaklukkan Bali, Maluku, Kalimantan Barat, maka pada tahun 1275 M, dia mengirimkan ekspedisi Pamalayu di bawah Laksamana Laut Mahisa Anabrang. Tujuan dari ekspedisi laut ini adalah Kertanegara ingin mengontrol jalur laut  Selat  Malaka, suatu jalur laut yang penting karena merupakan pintu masuk ke Laut China Selatan dan Kepulauan Nusantara.

Sebelumnya, kontrol atas Selat Malaka berada di bawah Kerajaan Sriwijaya. Tetapi pada paruh ke dua abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya sudah amat lemah. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Kerajaan Singasari  untuk mengambil alih kontrol atas jalur perniagaan yang strategis itu.  Akhirnya ekspedisi Pamalayu itu berhasil mendarat di Jambi, tidak jauh dari Selat Malaka. Ekspedisi   ini meraih sukses dan penguasa Melayu mengakui kdaulatan Singasari. Kemudian ekspedisi ini berhasil pula menaklukkan Pahang, bagian timur Semenanjung Malaka.

Untuk mengimbangi kekuatan China di Laut China Selatan, Singasari menggalang aliansi strategis dengan Kerajaan Campa. Bahkan dengan Raja Campa terjadi hubungan perkawinan yang semakin memperkuat aliansi strategis itu. Raja Campa saat itu, Jayasingkawarman I, berkenan memperistri  Putri Tapasi, saudara perempuan Kertanegara.

Pada saat itu Kekaisaran China diduduki oleh Kaisar Khubilai Khan (1268- 1294 M). Dia berasal dari  Dinasti Yuan yang berasal dari Mongolia dan merupakan  cucu  dari Jengis Khan, Sang Penakluk  dari Mongolia. Kaisar Khubilai Khan naik tahta bersamaan tahunnya dengan  saat Kertanegara naik tahta Kerajaan Singasari, yakni tahun 1268 M. Dia  punya ambisi besar untuk menjadi super power di Laut China Selatan dan Kepulauan Nusantara. Maka konflik kepentingan antara Khubilai Khan dan Kertanegara tak dapat dihindarkan lagi.

Pada tahun 1289 M, Khubilai Khan  mengirimkan  utusan yang bernama Meng Ki  ke Singasari.  Tujuannya agar Kertanegara  sebagai Raja Singasari mau mengakui Kaisar China sebagai pelindungnya. Alih-alih menyambut tawaran tersebut, Raja Singasari itu naik pitam karena merasa terhina. Maka utusan yang tak tahu apa-apa itu, menjadi sasaran kemarahan. Mukanya dirusak dan telinganya dipotong.

Tentu saja tindakan Kertanegara yang emosional itu, membuat marah Khubilai Khan, yang sempat mendapat julukan Kaisar Langit. Maka dikirimkanlah 20.000 pasukan bersenjata lengkap untuk menghukum Raja Jawa yang dianggapnya sombong  dan telah menghinanya itu. Pasukan yang siap tempur itu dipimpin oleh tiga panglima perang yang gagah berani yaitu Shih Pi dan  Ike Mase, keduanya orang Mongol dan Kau Hsing, orang China.

Kerajaan Singasari pun tidak tinggal diam. Persiapan perang mempertahankan kehormatan dan kedaulatan kerajaan, cepat dilakukan. Kerajaan-kerajaan sekutu seperti  Campa diajak untuk berpartisipasi membendung ambisi teritorial Kaisar China. Respon positip datang dari Kerajaan Campa dengan cara mencoba menghambat perjalanan tentara China di perairan Laut China Selatan, khususnya di dekat Indo China. Tetapi kekuatan Kerajaan Campa memang tak seberapa dibandingkan kekuatan tentara China. Namun begitu, akibatnya ialah kedatangan tentara China di  Tuban, Jawa Timur agak terlambat, karena bala tentara itu baru bisa mendarat pada tahun 1293 M. Saat itu Sri Kertanegara telah tewas terbunuh  akibat serangan pasukan pemberontak dari Kediri di bawah pimpinan Jayakatwang pada tahun 1292 M. 

Tentara China yang datang terlambat itu, dimanfaatkan dengan baik oleh Raden Wijaya, menantu Sri Kertanegara untuk mengalahkan Raja Jayakatwang di Kediri. Setelah Jayakatwang berhasil dikalahkan dan tentara China yang  tertipu itu berhasil dijebak dan dibuat kalang kabut, Raden Wijaya pun mendirikan kerajaan baru, yakni Kerajaan Majapahit. Kaisar China Khubilai Khan, meninggal tak lama kemudian setelah peristiwa itu, yakni tahun 1294  M.

Pasca runtuhnya kerajaan Singasari dan lengsernya Kaisar China itu, kondisi Nusantara dan Laut China Selatan relatif tenang dan Majapahit dapat tumbuh menjadi Kerajaan yang kuat di Nusantara. Hubungan yang erat antara Kerajaan Majapahit dan Campa terus berlanjut. Bahkan sampai saat Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran akibat perang saudara yang dikenal dengan Perang Paragreg (1402-1406 M), setelah wafatnya  Hayam Wuruk(1389 M).

Usai perang Paragreg, Wikramawardhana mengirimkan sejumlah utusan ke negeri-negeri seberang lautan, antara lain ke Malaka dan  China. Sebab saat terjadi perang saudara, Kerajaan Majapahit nyaris terpecah jadi dua, yakni Kedaton Barat di bawah Wikramawardhana dan Kedaton Timur yang berpusat di Blambangan, di bawah Bhre Wirabumi, putra Hayam Wuruk dari selir.

Bhre Wirabumi yang pandai berdiplomasi itu, cepat membangun aliansi dengan negara-negara luar, hingga sudah ada beberapa negara yang mengakui kedaulatan Kedaton Timur.

Karena itu,  usai penaklukan Bhre Wirabumi, Wikrawawardhana merasa perlu mengirimkan sejumlah utusan ke negara tetangga untuk menjelaskan posisi Kerajaan Majapahit yang sebenarnya.

Rupanya Kertawijaya, putra Wikramawardhana termasuk salah seorang dari utusan raja yang dikirimkan ke China. Pada saat itulah  rupanya  Kertawijaya singgah di Campa. Kunjungan Kertawijaya ke Campa terjadi setelah selesai perang Paragreg dan setelah kunjungan Laksamana Cheng Ho ke Gresik (1409 M). Di Kerajaan Campa itu, Sri Kertawijaya rupanya sempat mengenal putri Raja Campa, Dyah Dwarawati yang  cantik luar biasa itu, tetapi rupanya belum cukup usia untuk memiliki seorang suami. Pada tahun 1414 M, Sultan Malaka Muhammad Syah melamar Putri  Ratu Pasai Sultanah Bahiah untuk putranya Iskandar. Maka pada tahun 1414 M, terjadilan pernikahan antara Putra Mahkota Iskandar dengan putri  Ratu Pasai. Beberapa bulan kemudian Sultan Malaka wafat, maka pada tahun itu juga Iskandar naik tahta Kerajaan Islam Malaka dengan gelar Sultan Iskandar Syah (1414 -1428 M).

Sementara itu Hikayat Banjar menyebutkan bahwa usai pernikahan Iskandra Syah, Raja Majapahit mengirim utusan kepada Penguasa Pasai agar  Pasai  mencarikan seorang putri Pasai untuk Putra Raja Majapahit. Tentu saja yang dimaksud dengan Raja Majapahit itu   adalah Wikramawardhana (1389 – 1429 M), dan yang dimaksud dengan Penguasa Pasai adalah Sultanah Bahiah (1405 – 1428 M). Sedang  yang dimaksud Putra Raja Majapahit  tidak lain  adalah  Kertawijaya. Kronik Banten menyebutkan bahwa utusan yang dikirim oleh Raja Majapahit adalah Arya Panular.

Ternyata Arya Panular  datang terlambat. Karena pada tahun 1414 M itu, Putri Pasai anak perempuan satu-satunya dari Sultanah Bahiah baru saja melangsungkan pernikahan dengan putra Sultan Malaka, Muhammad Syah. Karena itu Syekh Jumadilkubro adik Sultanah Bahiah, menyarankan agar  Raja Majapahit itu meminang putri Raja Campa saja yang sudah siap untuk mempunyai suami, lagi pula amat cantik.

Jumadilkubro bersedia menghubungi Raja Campa yang memang telah dikenalnya dengan baik itu. Mendengar tawaran itu, tentu saja Kertawijaya langsung setuju, karena sebelumnya ia memang telah mengenal Putri Raja Campa. Akhirnya Wikramawardhana pun menyetujuinya.  

Menurut Sejarawan Belanda De Graaf, perkawinan Putri Campa dengan  Kertawijaya itu dilaksanakan secara Islam. Kertawijaya bersedia masuk Islam agar supaya dapat menikahi Dyah Dwarawati, Putri Raja Campa yang Muslimah itu.

Bisa jadi, Syekh Jumadilkubro memang memegang peranan penting dalam melancarkan proses pernikahan Putri Campa dengan calon Putra Mahkota Majapahit itu. Syekh Jumadilkubrolah yang membujuk Raja Campa  dan mendampingi Arya Panular melamar putri Raja Campa untuk putra Raja Majapahit. Agaknya Syekh Jumadilkubro juga yang mengantarkan Putri Campa dan pengiringnya dari Kerajaan Campa ke Majapahit dan Syekh Jumadilkubro juga yang membimbing pernikahan mereka berdua. Karena pernikahan putra Sultan Malaka dengan Putri Pase terjadi pada taun 1414 M, maka pernikahan Kertawijaya dengan Dyah Dwarawati itu tentu tidak akan jauh dari tahun 1414 M. Paling lambat  terjadi pada tahun 1415 M, satu tahun setelah pernikahan Sultan Malaka yang juga baru saja memeluk Islam.

Serat Kanda, sebuah kronik Jawa Timur yang dijadikan salah satu  bahan telaah mendalami Sejarah Jawa oleh De Graaf, menjelaskan bahwa  Kertawijaya memberikan banyak  mas kawin   yang amat berharga yang kelak menjadi pusaka Kerajaan Majapahit. Barang yang amat berharga itu antara lain, sebuah gong yang diberi nama Sekar Delima, sebuah  kereta kuda yang diberi nama Kiai Bale Lamur dan sebuah pedati yang diberi nama Kiai Jebat Betri. 

Kertawijaya adalah putra Wikramawardhana dari selir pertama. Perkawinan Wikramawardhana dengan Kusumawardhani, putri Hayam Wuruk, tidak menghasilkan keturunan. Tetapi selir Wikramawardhana amat banyak. Karena itu  dari para selir-selirnya, lahirlah putra-putri keturunannya yang amat banyak  yang kelak akan saling  berperang memperebutkan tahta  kerajaan.

Dari selir yang pertama lahirlah putra-putri Wikramawardhana, yakni  Dyah Suhita dan Sri Kertawijaya. Dyah  Suhita segera naik tahta (1429-1447 M), setelah Wikrawawardhana mangkat. Dyah Suhita yang memerintah Majapahit dengan dibantu suaminya Hyang Parameswara, ternyata juga tidak memiliki keturunan. Karena itu ketika dia meninggal, maka Sri Kertawijaya, adik Dyah Suhita segera dinobatkan sebagai Raja Majapahit (1447-1451 M).

Sebelum  dinobatkan sebagai raja, Sri Kertawijaya  adalah Adipati Tumapel dengan gelar Bhre Tumapel. Rupanya pengangkatan sebagai Bhre Tumapel terjadi setelah pernikahannya dengan Putri Campa. Pada saat itulah  Sri Kertawijaya kembali kedalam agama nenek moyangnya, karena konstitusi kerajaaan mengharuskannya demikian.  Tetapi Dyah Dwarawati, tetap bertahan sebagai wanita Muslimah.

Saat naik tahta Kerajaan Majapahit menggantikan kakaknya, Sri Kertawijaya bergelar Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya. Karena gelar itu diawali dengan Wijaya dan diakhiri pula dengan Wijaya, maka masyarakat Majapahit lebih mengenalnya sebagai Brawijaya. Sebutan Brawijaya menjadi unik sekaligus rumit kalau dilihat dari sudut pandang sejarah,  karena nama itu tidak pernah tertulis dalam bentuk prasasti atau sumber tertulis seperti Nagarakertagama dan Pararaton.

Satu-satunya sumber lokal yang menyebut adanya raja Majapahit yang bernama Brawijaya hanyalah Babad Tanah Jawi. Babad Tanah Jawi adalah kronik lokal yang baru ditulis pada jaman Mataram Kartasura. Sebutan Brawijaya dapat dipastikan muncul dalam ceritera tutur yang kemudian diambil alih oleh penggubah Babad Tanah Jawi.



3 Makhdum Ibrahim Asmara

Di atas telah disebutkan bahwa Syekh Jumadilkubro telah berhasil mengislamkan keluarga Kerajaan Campa, Raja Kiyan. Dalam sejumlah kronik lokal di Jawa, sering disebutkan bahwa Ibrahim Asmaralah ulama yang telah mengislamkan Raja Campa dan keluarganya.  Informasi ini agak kurang tepat. Yang mendekati fakta sejarah adalah Syekh Jumadilkubro, ayah Ibrahim Asmaralah yang terlebih dulu mengislamkan Raja Campa dan keluarganya. Setelah Ibrahim Asmara menikah dengan putri Raja Campa, barulah Ibrahim Asmara melanjutkan dakwah Islam yang telah dirintis oleh ayahnya.

Hal ini bisa dilihat dari informasi dalam kronik Banten, bahwa ada ulama besar yang bernama Syekh Jumadil al Kabir yang berdakwah di wilayah Daratan Asia Tenggara, seperti Patani, Campa bahkan sampai negeri China. Husein Jayadiningrat telah menyebutkan bahwa yang disebut-sebut sebagai  Jumadil al Kabir itu, sama orangnya dengan Jumadilkubro, putra dari Pasai, ayah Ibrahim Asmara.

Serat Banjar juga menyebutkan bahwa Makhdum Ibrahim putra Pasai, menuju ke Campa. Arti kata “menuju” ini harus ditafsirkan dalam bahasa Jawa sebagai boyongan. Artinya Makhdum Ibrahim setelah menikah dengan  Dyah Candrawulan, tidak membawa istrinya tinggal di  Pasai sebagaimana lazimnnya seorang suami membawa istrinya keluar dari rumah kediaman orang tuannya. Tetapi Ibrahim Asmaralah yang ikut istrinya, karena memang Ibrahim Asmara dibutuhkan di Campa. Disamping untuk melanjutkan dakwah yang telah berhasil dirintis oleh ayahnya, juga Raja Campa memerlukannya untuk membantunya mengurus komunitas pedagang Muslim asal Arab, Gujarat, dan Parsi yang banyak bermukim ataupun singgah  di Campa untuk urusan dagang. Fakta bahwa Makhdum Ibrahim Asmara menikah dengan putri ke dua Raja Campa dan bukan dengan putri pertama, jelas menunjukkan bahwa  Raja Campa dan keluarganya telah masuk Islam lebih dulu sebelum pernikahan Makhdum Ibrahim Asmara. Sebab bila Makhdum Ibrahim  Asmara yang mengislamkan lebih dulu Raja Campa dan keluarganya, mestinya Makhdum Ibrahimlah yang menikah dengan Dyah Dwarawati, putri sulung Raja  Campa.

Bukankah Dyah Dwarawati telah menjadi seorang muslimah pada saat menikah dengan Sri Kertawijaya pada tahun 1415 M? Lagi pula Makhdum Ibrahim Asmara baru menikah pada tahun 1416 M dan saat itu usianya baru sekitar 24 tahun. Dengan demikian yang paling tepat mengislamkan Raja Campa dan keluarganya adalah Syekh Jumadilkubro, ayah Makhdum Ibrahim Asmara.

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa Syekh Jumadilkubro mempunyai dua orang putra. Maulana Ishak, putra sulung Syekh Jumadilkubro lahir  pada dasa warsa akhir abad ke-14.

Ketika Syekh Jumadilkubro mengislamkan Raja Campa, putra sulung Jumadil Kubro  itu sudah menikah. Adiknya Makhdum Ibrahim Asmara, baru menginjak masa remaja.

Sementara itu, Raja Kiyan juga masih punya seorang putri yang sudah mulai menginjak remaja, Dyah Candrawulan, adik Dyah Dwarawati. Akhirnya Syekh Jumadilkubro melamar juga putri kedua Raja Campa itu untuk putranya Makhdum Ibrahim Asmara. Lamaran diterima dan menikahlah Makhdum Ibrahim Asmara dengan Dyah Candrawulan, adik dari Dyah Dwarawati, istri Kertawijaya. Pernikahan diperkirakan terjadi pada tahun 1416 M, setahun setelah pernikahan kakaknya.

Dengan pernikahan itu, Syekh Jumadilkubro berhasil membentuk jaringan  kekerabatan antara Kerajaan Islam Pasai, Kerajaan Islam Campa, Kerajaan Islam Malaka dan Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit. Itulah sebabnya Majapahit tidak pernah menggangu perkembangan Kerajaan Islam Malaka, sehinga Malaka mampu berkembang mencapai puncak kemasyhurannya  hampir sepanjang   abad  15 M. Majapahit pun semakin toleran kepada komunitas Islam yang semakin meningkat di wilayahnya.

4 Raden Rahmat

Setelah menikah, Makhdum Ibrahim Asmara, tinggal di Pasai. Di samping memberikan bimbingan agama Islam pada keluarga Kerajaan Campa, Makhdum Ibrahim Asmara juga   membantu Raja Campa menangani  masalah-masalah yang berkaitan dengan komunitas saudagar Muslim yang semakin banyak singgah dan bermukim di Campa, setelah Raja Campa dan keluarganya memeluk Islam. 

Dari Pernikahan Makhdum Ibrahim Asmara dengan  putri kedua Raja Campa itu, lahirlah dua orang putra yang diberi nama Raden Santri  dan Raden Rahmat. Diperkirakan Raden Santri  lahir pada tahun 1417 M, sedangkan adiknya Raden Rahmat baru lahir pada tahun 1420 M. Memang ada pula penulis sejarah yang menduga Raden Rahmat lahir pada tahun 1401 M. Tetapi penetapan tahun 1401 M sebagai tahun kelahiran Raden Rahmat terlalu spekulatip dan kurang mendekati fakta sejarah. Tahun kelahiran Raden Rahmat yang paling mendekati peristiwa sejarah adalah tahun 1420 M. Sebab saat Kerajaan Campa diserang oleh musuh pada tahun 1446 M, Raden Rahmat saat itu masih remaja, dan terlalu tua jika benar beliau dilahirkan tahun 1401 M, sebagaimana banyak disebutkan oleh sejumlah penulis.. 

Kedua cucu Raja Campa itu dididik dalam agama Islam oleh ayahnya sendiri, Makhdum Ibrahim Asmara. Bahkan putra Narpati Taruna, Abu Hurairoh, ikut dididik bersama-sama Raden Santri dan Raden Rahmat.  Narpati Taruna adalah anak ke 3  Raja Campa. Pada tahun 1443 M, saat ketiga remaja itu tengah menginjak usia remaja dan  sudah menguasai  pelbagai ilmu-ilmu keislaman, mereka bertiga meninggalkan Kerajaan Campa, karena Kerajaan Islam pertama di Indo China ini mendapat ancaman dari Kerajaan Buddha Koci, kerajaan tetangganya yang relatip lebih kuat, tetapi kurang makmur.

Menurut Sejarah Melayu, sebagaimana dikutip oleh De Graaf, Kerajaan Koci adalah kerajaan yang sangat kuat. Selama berhari-hari Kerajaan Campa yang makmur itu dikepung musuh. Raja Campa beserta keluarga dan pengawalnya menutup rapat-rapat gerbang kota.

Sebenarnya pintu gerbang kota itu cukup kuat dipertahankan. Tetapi Bendahara Raja telah berkhianat karena menerima suap dan dijanjikan untuk diangkat jadi Raja Campa. Karena itu, pintu gerbang kota dapat dibuka, dan terjadilah pertempuran yang hebat.

Raja Campa beserta seluruh keluarganya dan pengawal setianya tewas terbunuh dalam pertempuran yang  kasar dan brutal. Tidak dikisahkan bagaimana nasib Makhdum Ibrahim Asmara, menantu Raja Campa dan  putra ulama besar dari Pasai Syekh Jumadilkubro itu, apakah beliau selamat atau termasuk yang syahid. Besar kemungkinan ayah Raden Rahmat itu, termasuk di antara mereka yang syahid. Namun Raden Santri, Raden Rahmat  dan Abu Hurairoh berhasil meloloskan diri dari maut karena jauh-jauh hari sudah keluar meninggalkan Kerajaan Campa.

Akibat serangan itu Kerajaan Campa menjadi lemah. Pengganti Raja adalah Bendahara yang berkhianat. Tetapi keluarga Bendahara yang berhasil menjadi raja itu hanya sebentar  dapat menikmati kekuasanya, karena pada tahun 1471 M Kerajaan Campa  kembali mendapat serangan hebat dari suku bangsa Annam, suku bangsa penakluk dari pedalaman Vietnam. Dalam serbuan itu, Kerajaan Campa benar-benar musnah. Dan sejak itu   kerajaan yang pernah jaya itu lenyap dari peta dunia. Berita tewasnya keluarga Raja Campa  akibat serangan  Kerajaan Koci itu, kelak sampai juga di Majapahit. Dan memang ke sanalah ketiga orang pangeran  cucu Raja Campa yang berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh.

Dalam perjalanan dari Campa ke Majapahit, ketiga pangeran itu sempat singgah di Palembang. Penguasa Palembang saat itu adalah Arya Damar, seorang adipati di bawah kekuasan Majapahit. Karena itu, kedua pangeran itu diterima dengan baik oleh Arya Damar. Raden Rahmat bahkan sempat berdakwah dan berdiskusi panjang lebar  soal keyakinan ajaran Islam dengan Arya Damar. Hasilnya Arya Damar  segera menyatakan diri masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdullah. Tetapi penduduk setempat segera mengenalnya sebagai Arya Dillah.

Setelah tinggal beberapa lama di Palembang, mereka melanjutkan perjalanannya menuju Majapahit. Sampai di Majapahit, mereka diterima dengan senang hati oleh Sri Kertawijaya dan uwaknya, Putri Campa. Mereka  dititipkan pada Arya Lembu Sora, Adipati Majapahit yang ternyata telah memeluk Islam. Putri Campa amat gembira, karena kehadiran ketiga keponakannya itu amat menghiburnya sehingga Putri Campa membujuknya agar  mereka itu   bersedia  menetap di Majapahit.

Pada tahun 1447 M, Ratu Suhita mangkat. Maka Sri Kertawijaya, adik Ratu Suhita, naik tahta Kerajaan Majapahit. Sebelum menggantikan kakaknya, Sri Kertawijaya menjabat sebagai Adipati Tumapel, sehingga dikenal sebagia Bhree Tumapel. Walaupun demikian, Sri Kertawijaya sering bermukim  di Trowulan karena membantu kakaknya Dyah Suhita. Lebih-lebih karena kakaknya itu sudah janda karena suaminya Parameswara meninggal lebih dulu, tidak punya anak laki-laki calon penggantinya, ditambah lagi sakit-sakitan. Besar kemungkinan Putri Campa memang ditempatkan di Trowulan, tidak di Tumapel. Bukankah Syekh Jumadilkubro, mertua Dyah Candrawulan, adik Putri Campa  sejak tahun 1420 M, sudah menetap di Trowulan ?

Setelah Sri Kertawijaya dinobatkan menjadi raja, atas permintaan istrinya Putri Campa, Sri Kertawijaya mengirim Arya Panular ke Campa untuk mencari  informasi keadaan Raja Campa dan keluarganya.  Putri Campa tentu ingin tahu nasib ayahnya, Raja Campa, juga ingin tahu nasib adiknya, Dyah Candrawulan, juga ingin tahu nasib adiknya lagi, Narpati Taruna. Apalagi ketiga keponakannya yang telah berkumpul di Majapahit. Mereka pun  tentu juga ingin tahu nasib  kedua orang tuanya masing-masing.

Dalam kronik Jawa memang ada disebutkan bahwa Raja Majapahit mengutus Arya Panular yang kedua kalinya ke Campa. Kepergian Arya Panular yang pertama kali ke Campa adalah saat melamar Dyah Dwarawati. Kunjungan yang keduanya adalah  atas permintaan Dyah Dwarawati yang ingin tahu keadaan keluarganya, setelah serangan Kerajan Koci.

Ketika kembali ke Majapahit,  Arya Panular hanya menyerahkan seuntai kalung. Hal itu mengandung makna simbolis bahwa seluruh keluarga Raja Campa telah syahid semuanya, tidak ada satu pun kerabat keluarga Raja  Campa yang selamat. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan tumpes kelor, yang mengandung makna suatu keluarga musnah semua sampai anak-cucunya, sehingga tidak ada lagi keturunan yang akan melanjutkan tradisi sebuah keluarga.

Pohon kelor (Moringa Oleifera), dalam tradisi dan kepercayaan Jawa termasuk pohon yang dipercaya memiliki daya magis, misalnya dipercaya dapat untuk mengusir roh halus. Daunnya bisa disayur, bisa pula untuk obat. Bentuknya bulat-bulat seperti butiran kalung. Karena itu ungkapan tumpas kelor biasa disimbolkan dengan seuntai kalung.

Setelah Dyah Dwarawati menerima seuntai kalung dari Arya Panular yang baru tiba dari Campa,  tahulah Dyah Dwarawati dan para keponakannya dari Campa yang saat itu sudah beberapa tahun menetap di Majapahit, bahwa orang tua mereka telah syahid semuanya dalam perjuangan mempertahankan kehormatan Kerajaan Islam Campa.

Tentu saja mereka amat sedih. Tetapi sebagai orang yang beriman mereka hanya bisa berserah diri kepada kehendak Allah SWT. Tak terbayangkan oleh mereka seandinya mereka tetap tinggal di Campa, mungkin juga mereka akan mengalami nasib yang sama. Barangkali juga itulah cara Allah SWT mengabulkan doa Putri Campa, agar keponakannya hijrah dari Campa ke Majapahit dan menjadikan Majapahit tempat mereka menetap selamanya sekaligus mengembangkan dakwah Islam di pusat kerajaan yang sempat menjadi yang kerajaan maritim terkuat di Asia Tenggara.

Dapat dipastikan  ayah Raden Rahmat Ibrahim  Asmara termasuk di antara mereka yang syahid.  Sebab sebagai seorang kstaria yang menyandang gelar makhdum, kecil kemungkinan Ibrahim Asmara bersifat pengecut dengan cara melarikan diri meninggalkan istri, mertua dan kerabatnya dalam keadaan terancam musuh. Bagi Ibrahim   Asmara yang ksatria Pasai itu, lebih baik mati berkalang tanah membela martabat keluarga dan agama, dari pada harus menyerah. Apalagi melarikan diri. Bagi  Makhdum Ibrahim Asmara, sebagai seorang mujahid putra Pasai, adalah sama saja  antara hidup mulia atau mati syahid.

Dengan demikian informasi yang menjelaskan, bahwa Ibrahim Asmara meninggalkan Kerajaan  Campa menuju Jawa untuk menyusul putranya ke  Majapahit, tetapi sesampai di Tuban wafat dan dimakamkan disitu, besar kemungkinan hanyalah kisah fiktif dan mitos yang tidak mengandung nilai historis.

Memang dalam buku Atlas Wali Songo, tulisan Agus Sunyoto diinformasikan adanya sebuah makam di Tuban, yaitu di desa Gesik Harjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, lengkap dengan fotonya yang disebutkan sebagai makam Maulana Ibrahim Asmoro Qondi, ayah Sunan Ampel ( Agus Sunyoto;2012 :75-77)  Bukan hal yang mustahil bahwa makam itu memang benar makam orang yang diangap suci dan keramat, Tetapi apa benar yang terkubur di situ jenazah ayah Sunan  Ampel, masih perlu penelitian lebih lanjut.

Setelah peristiwa tragis yang menimpa keluarga Raja Campa itu, perhatian Sri Kertawijaya kepada para keponakan  istrinya itu bertambah  besar. Perhatian itu ditunjukkan Sri Kertawijaya dengan cara meminta agar Arya Teja I, Adipati Tuban mau mengambil ketiga pangeran asal Campa itu menjadi menantunya. Ternyata Arya Teja I, Adipati Tuban menerimanya dengan senang hati pinangan secara tidak langsung dari Sri Kertawijaya untuk ketiga keponakan istrinya itu.

Maka ramai dan meriahlah  pesta pernikahan diselenggarakan di pendopo Kabupaten Tuban. Adipati Tuban menyelenggarakan pesta pernikahan bagi ketiga putrinya itu sekaligus. Sri Kertawijaya sendiri bangga bukan main, karena keponakan istrinya itu berhasil menyunting putri Tuban, putri Adipati Arya Tedja I, pembantu setia Raja.  Raden Santri, pangeran tertua dari Campa menyunting Dyah Retno Mananjung. Raden Rahmat menyunting Dyah Retno Siti Manila, sedang Abu Hurairoh  menyunting Dyah Retno Sedasar.

Pernikahan itu terjadi pada tahun 1450 M. Usai pernikahan mereka Raja Sri Kertawijaya memberikan hadiah tanah peprenah atau tempat tinggal dan kedudukan bagi mereka agar mereka dapat mendidik budi pekerti dan ahlak penduduk sesuai dengan ajaran Islam. Kebijakan Sang Raja ini, menunjukkan bahwa  Sri Kertawijaya memberikan respon yang positip terhadap dakwah Islam di wilayah Kerajaannya.

Sang Raja juga memberikan hadian tanah-tanah peprenah kepada keponakan istrinya, Putri Campa  itu.  Raden Santri mendapat daerah Gresik dan sekitarnya, Raden Rahmat mendapatkan daerah Ampel dan sekitarnya sedang Abu Hurairoh mendapat daerah Majagung, hingga kelak beliau ini dikenal dengan nama Sunan Majagung.

Dari ketiga pangeran yang mendapat anugerah  tanah peprenah itu, yang paling maju dan berkembang adalah wilayah Ampel tempat kedudukan Raden Rahmat. Di Ampel ini, Raden Rahmat mendirikan masjid dan pesantren. Kemampuan Raden Rahmat sebagai ulama dan pendakwah Islam segera terbukti.

Dalam waktu singkat hampir seluruh penduduk Ampel yang saat itu berjumlah 3000 keluarga, berbondong-bondong masuk Islam. Pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat ini, segera saja menjadi  pesantren yang terkenal. Bukan hanya dikenal di wilayah Ampel dan sekitarnya, tetapi juga dikenal sampai ke luar wilayah Ampel. Hampir tiap hari, berbondong-bondong  rakyat  Kerajaan Majapahit yang berguru agama Islam kepada Raden Rahmat. Raden Rahmat kemudian lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari kata susuhunan yang artinya adalah dia yang dihormati.

Dari pernikahannya dengan putri Arya Teja I, Sunan Ampel dikarunia tiga orang anak. Putra sulungnya, adalah Makhdum Ibrahim yang kelak dikenal sebagai Sunan Bonang. Dua adiknya adalah perempuan. Kemudian Sunan Ampel menikah lagi  dengan wanita lain. Dari Pernikahan ini lahirlah putranya Raden Qosim Masaih Maunat  yang kelak dikenal sebagai Sunan Drajat. Namun ada pula yang mengisahkan, bahwa Sunan Drajat dan Sunan Bonang, adalah putra Sunan Ampel dari satu Ibu, yakni sama-sama  cucu Arya Teja I.

Sunan Ampel mendidik sendiri putra-putrinya, terutama Makhdum Ibrahim dan Raden Qosim di dalam pesantren yang diasuhnya. Santri lain yang diasuhnya  antara lain Raden Paku yang kelak terkenal sebagai Sunan Giri. Kemudian Raden Patah, putra tiri Arya Damar, Adipati Palembang. Raden Patah sebenarnya adalah putra Sri Kertawijaya dari seorang putri peranakan China yang kemudian dikenal sebagai putri China. Raden Patah  kelak menjadi pendiri Kerajaan Demak dan menjadi Sultan Pertama Kerajaan Demak. Baik Raden Paku maupun Raden Patah, kemudian menjadi menantu Sunan Ampel.

Ahli-ahli sejarah berbeda pendapat tentang tahun wafatnya Sunan Ampel. Dengan berpatokan bahwa Sunan Ampel wafat 19 tahun setelah wafatnya Putri Campa,  maka Husein Djajadiningrat menetapkan bahwa wafatnya Sunan Ampel adalah tahun 1467 M, karena berdasarkan catatan makam wanita Muslimah di Trowulan, Putri Campa wafat tahun 1448 M.  Tetapi berdasarkan cerita tutur dan babad, Sunan Ampel diperkirakan baru wafat pada tahun 1481 M, beberapa bulan sebelum  Raden Patah dilantik sebagai Sultan Demak yang bergelar Sultan Alam Akbar Al Fatah. Jika  Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 M, maka Putri Campa baru wafat pada tahun 1462 M, yaitu 19 tahun sebelum tahun  wafatnya Sunan Ampel .

Wafatnya Putri Campa tahun 1462 M, lebih sesuai dengan jalan ceritera. Sebab pada tahun 1451 M, Sri Kertawijaya, Raja Majapahit mangkat. Besar kemungkinan setelah  Raja  mangkat,  Putri Campa diboyong oleh Raden Rahmat ke Ampel Denta, mengingat kondisi Kerajaan Majapahit setelah Raja mangkat, menjadi kacau, karena para ahli waris  belum juga menemukan kata sepakat, siapakah yang akan naik tahta menggantikan Raja Sri Kertawijaya yang telah mangkat.

Berdasarkan penggalian makan di Trowulan, hingga sekarang belum terbukti bahwa makam wanita Muslimah yang berangka tahun 1448 M, adalah Putri Campa. Karena itu, siapakah  wanita Muslimah yang dimakamkan di situ  masih misterius. Namun  hal itu tidak mengurangi fakta sejarah bahwa memang  ada seorang wanita Muslimah yang menjadi istri Raja Majapahit. Raja itu oleh rakyat dan Babad Tanah Jawi dikenal sebagai Raja Brawijaya. Ada juga berita yang menyebutkan bahwa setelah wafat, Putri Campa dimakamkan di daerah Tuban. Tetapi juga bukan mustahil di komples makam raja-raja Majapahit, masih ada makam muslimah lainnya selain yang berangka tahun 1448 M.

Sunan Ampel sendiri saat wafat, dimakamkan di belakang masjid Ampel, masjid yang megah dan besar yang pertamakali dibangun  di Pulau Jawa.[] 

Mengenai ayah Raden Rahmat atau Sunan Ampel, yakni Makhdum Ibrahim Asmara, putra Syekh Jumadil Kubro, bisa dibaca dengan mengklik link dibawah ini yang berisi Riwayat Sultan Pasai ke 5, Sultan Zaenal Abidin ( 1383 - 1405 M)

http://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/01/sultan-pasai-v-zaenal-abidin1383-1405-02.html 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar