1 Kerajaan Campa .
Kerajaan
Campa adalah kerajaan yang terletak di Indo China. Kemungkinan besar sekarang
masuk wilayah Vietnam Selatan. Secara geografis, posisi Kerajaan Campa yang menghadap Laut
China Selatan amat strategis. Pada masa lalu merupakan pintu gerbang
untuk meninggalkan Asia daratan ke berbagai wilayah di Asia Tenggara. Dalam
etnografi, tercatat pada masa lalu adanya gelombang migrasi perpindahan
suku-suku bangsa dari Asia Daratan ke wilayah Asia Tenggara melintasi wilayah
ini.
Gelombang
pertama terjadi pada tahun 2000 SM. Terjadilah imigrasi besar-besaran penduduk
dari Lembah Sungai Yunan di China Selatan.
Mereka secara bergelombang menuruni lembah-lembah sungai besar akhirnya sampai di Teluk
Tonkin. Dari sini dengan menggunakan perahu bercadik, mereka mengarungi laut China
Selatan, melintasi berbagai pulau, menyeberangi sejumlah selat, akhirnya
bermukim di berbagai wilayah yang tersebar
di Semenanjung Malaka, Kepulauan Nusantara dan Filipina bahkan ada yang sampai di
Madagaskar, Afrika Selatan.
Gelombang
pertama imigran dari Indo China itu dikenal sebagai Proto Melayu atau Melayu Tua. Mereka masih
hidup dalam jaman Batu Muda atau Neolithikum. Alat-alat yang digunakan untuk mempertahankan hidup
antara lain terbuat dari serpihan batu yang telah dihaluskan, misalnya saja,
kapak genggam.
Kemudian
terjadi lagi migrasi gelombang ke dua yang terjadi pada tahun 300 SM. Seperti
pendahulunya, mereka mengikuti jalur pelayaran Laut
China Selatan, merambah pulau-pulau yang tersebar di Nusantara.
Imigran gelombang kedua ini dikenal sebagai suku bangsa Deutero Melayu atau Melayu Muda. Mereka
memiliki kebudayaan yang lebih maju, karena mereka sudah hidup di jaman Perunggu
dan mereka sudah mampu membuat peralatan dari logam.
Di Kepulauan Nusantara, kedua penduduk imigran itu bercampur baur menjadi satu dan
lahirlah suku-suku bangsa yang kemudian
menjadi nenek moyang bangsa-bangsa yang tinggal di Kepulauan
Nusantara, yakni bangsa Indonesia, Malaysia, Brunei dan Filipina. Dari data
Anthropologi tersebut, jelaslah bahwa sudah sejak jaman dulu terjadi hubungan
yang erat antara kebudayaan di wilayah Nusantara dengan kebudayaan di Indo
China.
Pada
abad ke -1 M, mulai terbentuk jalur pelayaran niaga internasional yang
terbentang dari Laut Merah, Laut Arab, Samudra Hindia, Selat Malaka dan Laut China
Selatan. Jalur niaga lewat laut ini, membawa barang-baranmg dagangan dari China
ke India, kemudian ke teluk Persia dan Laut Merah. Dari Laut Merah, barang
dagangan menempuh jalan darat menuju Mesir, kemudian menuju Eropa Barat. Barang
dagangan yang singgah di teluk Persia, dibawa melalui jalur darat menuju
Persia, kemudian diteruskan ke Eropa Timur dan Rusia.
Ketika
itu Mesir, Eropa Barat dan Eropa Timur, berada di bawah kekuasaan Kekaisaran
Romawi. Karena itu jalur perniagaan laut yang membentang dari Laut Merah sampai
Laut China Selatan, merupakan jalur niaga yang menghubungkan peradaban besar
masa lalu yaitu peradaban China, India, Persia dan
peradaban Romawi. Terbentuknya jalur perniagaan
lewat laut yang menghubungkan peradaban barat dan timur itu,
mengakibatkan munculnya kota-kota pelabuhan niaga di sepanjang pantai.
Pada
abad ke-7 M, jalur perniagan laut semakin ramai, karena pada saat itu muncul
peradaban baru, yakni peradaban Islam. Mula-mula pusat peradaban Islam berpusat
di Madinah (622 – 661 M), yakni pada
masa Nabi Muhammad saw dan Khulaufur Rasyidin. Kemudian pusat
Peradaban Islam pindah ke Damaskus pada masa Dinasti Umayyah (661 – 749 M), kemudian pindah lagi
ke Baghdad pada masa Dinasti
Abasiyyah(749 – 1258 M).
Dari
Damaskus, sebenarnya peradaban Islam tidak hanya bergerak ke arah timur yaitu
ke Persia, Asia Tengah, India dan bahkan Asia Tenggara. Tetapi peradaban Islam
juga bergerak ke arah barat. Terbentuklah pusat peradaban Islam di Mesir, Afrika Utara bahkan di semenjung
Iberia atau Andalusia dengan pusatnya di Cordova, Spanyol. Bahkan kelak juga
muncul Istambul sebagai pusat peradaban
Islam di bawah dinasti Turki Usmani.
Pada
abad ke 7 – 14 M, di dunia hanya dikenal tiga peradaban besar, yaitu peradaban China
di Asia, peradaban Islam yang membentang
dari Asia Tenggara, Anak Benua
India, Persia, Timur Tengah, Afrika Utara dan semenanjung Iberia dan peradaban
Romawi yang berpusat di Bizantium. Saat
itu peradaban Hindu di India tengah surut karena berada di bawah bayang-bayang
peradaban Islam yang berpusat di Delhi.
Sudah
sejak abad ke-7 M itulah pelaut-pelaut dan saudagar-saudagar Muslim dari Arab,
berhasil membangun jalur perniagaan laut yang membentang dari Pelabuhan Aden di Yaman Selatan, kemudian Oman, Bahren, pantai
Malabar dan Koromandel di Pantai Barat Anak Benua India, Ceylon, Tanah
Genting Kra di Semenanjung Malaka. Dari Tanah
Genting Kra, saudagar Arab
melanjutkan pelayaran niaganya menyusuri Pantai Barat
Semenanjung Malaka ke arah selatan hingga berakhir di ujung selatan
Semenanjung Malaka. Dari sini, jalur pelayaran niaga
saudagar-saudagar Arab itu pecah menjadi dua.
- Jalur pertama, belok ke kiri menyusuri Pantai Timur Semenanjung Malaka, Pahang, Patani, Pantai Indo China, menyusuri pantai Laut China Selatan dan berakhir di Kanton.
- Jalur ke dua, dari ujung selatan Semenanjung Malaka, jalur perniagan pedagang Arab itu terus ke arah selatan, menyusuri Pantai Timur Sumatra, Pantai Utara Pulau Jawa, terus ke arah timur dan berakhir di Maluku. Bahkan ada yang berakhir di Fak Fak, Papua Barat.
Jalur
perniagan yang membentang dari Laut Merah sampai Laut China Selatan dan Maluku itu dibangun oleh
saudagar-saudagar Muslim pada masa Dinasti Umayyah. Muawiyyah, pendiri Dinasti Umayyah di Damaskus, adalah Khalifah pertama dari dinasti-dinasti Islam yang pertama kali
membangun armada angkatan laut dan armada niaga.
Akibat
lebih lanjut dari suksesnya
saudagar-saudagar Islam membangun jalur perniagaan laut itu, maka
muncullah kota-kota niaga dengan komunitas penduduk yang memeluk agama Islam. Perkembangan
kota-kota pelabuhan niaga dengan komunitas penduduk Muslim itu semakin
meningkat sampai akhir abad ke-16 M. Jaringan komunitas penduduk Muslim itu semakin luas, dan
berkembang bukan hanya dalam bidang niaga, tetapi meningkat pada bidang dakwah
Islam, bahkan politik.
Menurut
Sir Thomas Arnold, saat itu
saudagar-saudagar Arab telah memiliki pusat-pusat perniagaan di
kota-kota pelabuhan, antara lain yang cukup terkenal adalah di Kanton.
Kerajaan Campa
yang diperkirakan baru muncul pada abad ke-11 M, telah berkembang menjadi kota
pelabuhan yang ramai akibat letaknya yang strategis yaitu berada di jalur
perniagaan yang melewati pantai Indo
China dan Laut China Selatan.
Menurut
catatan Al Habib Alwi bin Thahir Al Hadad, saudagar-saudagar Arab sudah lama
mengenal Kerajaan Campa. Pada abad ke 14 M, Campa sudah berkembang menjadi
salah satu pelabuhan transito yang ramai. Di situ telah banyak dibangun
gudang-gudang besar tempat menyimpan barang dagangan. Saat itu Campa berkembang menjadi pelabuhan internasional
yang ramai, barang kali seramai Singapura kelak di kemudian hari.
Sebagai
sebuah kota metropolitan abad ke-14-15 M, di Campa tinggal aneka suku bangsa dengan profesi pedagang.
Tetapi yang paling banyak adalah pedagang-pedagang Arab. Keunikan para pedagang
Arab ini, disamping berdagang, mereka memanfaatkan waktu yang ada untuk
berdakwah. Bahkan mereka aktif membentuk komunitas Muslim, cepat berbaur dengan
penduduk asli bahkan melakukan
pernikahan membentuk inti keluarga Muslim.
Seperti Pasai, pada pertengahan abad ke-14 M, Kerajaan
Campa menjadi vasal Majapahit. Tetapi memasuki abad ke-15 M, Kerajaan Majapahit
mulai melemah akibat perang perebutan tahta antara Wikramawardhana dengan
Wirabumi. Pada saat Majapahit mulai melemah inilah Kerajaan Islam Samudra Pasai
gigih mengirimkan para mubalighnya ke berbagai wilayah Kerajaan Majapahit.
Seorang ulama dari Pasai, Syekh Jumadilkubro, putra Sultan Zaenal Abidin, mencoba berdakwah
kepada keluarga Raja Campa. Ternyata
Syekh Jumadilkubro berhasil meyakinkan Raja Kiyan, Penguasa Campa untuk memeluk Islam.
“Jika Kerajaan Campa menjadi kerajaan Islam,“ jelas Syekh Jumadilkubro memberi saran pada Raja
Kiyan, ”Campa memiliki peluang besar untuk berkembang menjadi kerajaan yang
makmur dan besar, karena akan banyak lagi pedagang-pedagang Muslim yang akan
singgah dan merasa nyaman tinggal di Campa.”
Saran Syekh Jumadilkubro diterima dengan baik. Raja Kiyan
dan seluruh keluarganya menyatakan diri masuk Islam dengan bimbingan Syekh
Jumadilkubro. Sejak itu Kerajaan Campa muncul sebagai satu-satunya kerajaan
Islam di Indo China.
2 Dyah Dwarawati.
Kerajaan
Campa sejak semula sebenarnya mempunyai hubungan yang baik dengan raja-raja dari Jawa Timur. Bahkan Kerajaan
Campa adalah kerajaan yang berada di bawah perlindungan Kerajaan Majapahit. Kitab Nagarakertagama karya Mpu Prapanca, maupun Kitab Hikayat Raja-raja
Pasai dan Hikayat Banjar, memang menyebutkan bahwa seperti halnya daerah Pasai,
Pahang dan Patani pada pertengahan abad ke-14 M, daerah Campa pun sudah menjadi
vasal Kerajaan Majapahit.
Raja
Kertanegara adalah Raja
Jawa yang pertama kali menggagas perlunya menggalang persatuan Nusantara dibawah kendali Singasari. Setelah berhasil
menaklukkan Bali, Maluku, Kalimantan Barat, maka pada tahun 1275 M, dia
mengirimkan ekspedisi Pamalayu di bawah Laksamana Laut Mahisa Anabrang. Tujuan
dari ekspedisi laut ini adalah Kertanegara ingin mengontrol jalur laut Selat
Malaka, suatu jalur laut yang penting karena merupakan pintu masuk ke
Laut China Selatan dan Kepulauan Nusantara.
Sebelumnya,
kontrol atas Selat Malaka berada di bawah Kerajaan Sriwijaya. Tetapi pada paruh
ke dua abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya sudah amat lemah. Keadaan ini
dimanfaatkan oleh Kerajaan Singasari
untuk mengambil alih kontrol atas jalur perniagaan yang strategis
itu. Akhirnya ekspedisi Pamalayu itu
berhasil mendarat di Jambi, tidak jauh dari Selat
Malaka. Ekspedisi ini meraih sukses dan
penguasa Melayu mengakui kdaulatan Singasari. Kemudian ekspedisi ini berhasil
pula menaklukkan Pahang, bagian timur Semenanjung Malaka.
Untuk
mengimbangi kekuatan China di Laut China Selatan, Singasari menggalang aliansi strategis dengan Kerajaan
Campa. Bahkan dengan Raja Campa terjadi hubungan perkawinan yang semakin
memperkuat aliansi strategis itu. Raja Campa saat itu, Jayasingkawarman I,
berkenan memperistri Putri Tapasi,
saudara perempuan Kertanegara.
Pada
saat itu Kekaisaran China diduduki oleh Kaisar Khubilai Khan (1268- 1294 M). Dia berasal dari Dinasti Yuan yang berasal dari Mongolia dan
merupakan cucu dari Jengis Khan, Sang Penakluk dari Mongolia. Kaisar Khubilai Khan naik
tahta bersamaan tahunnya dengan saat
Kertanegara naik tahta Kerajaan Singasari, yakni tahun 1268 M. Dia punya ambisi besar untuk
menjadi super power di Laut China Selatan dan Kepulauan Nusantara. Maka konflik
kepentingan antara Khubilai Khan dan Kertanegara tak dapat dihindarkan lagi.
Pada
tahun 1289 M, Khubilai Khan
mengirimkan utusan yang bernama
Meng Ki ke Singasari. Tujuannya agar Kertanegara sebagai Raja Singasari mau mengakui Kaisar
China sebagai pelindungnya. Alih-alih menyambut tawaran tersebut, Raja
Singasari itu naik pitam karena merasa terhina. Maka utusan yang tak tahu
apa-apa itu, menjadi sasaran kemarahan. Mukanya dirusak dan telinganya
dipotong.
Tentu
saja tindakan Kertanegara yang emosional itu, membuat marah Khubilai Khan, yang
sempat mendapat julukan Kaisar Langit. Maka dikirimkanlah 20.000 pasukan
bersenjata lengkap untuk menghukum Raja Jawa yang dianggapnya sombong dan telah menghinanya itu. Pasukan yang siap
tempur itu dipimpin oleh tiga panglima perang yang gagah berani yaitu Shih Pi
dan Ike Mase, keduanya orang Mongol dan
Kau Hsing, orang China.
Kerajaan
Singasari pun tidak tinggal diam. Persiapan perang mempertahankan kehormatan
dan kedaulatan kerajaan, cepat dilakukan. Kerajaan-kerajaan sekutu seperti Campa diajak untuk berpartisipasi membendung
ambisi teritorial Kaisar China. Respon positip datang dari Kerajaan Campa dengan cara mencoba
menghambat perjalanan tentara China di perairan Laut China Selatan, khususnya di dekat Indo China.
Tetapi kekuatan Kerajaan Campa memang tak seberapa dibandingkan kekuatan
tentara China. Namun begitu, akibatnya ialah kedatangan tentara China
di Tuban, Jawa Timur agak terlambat,
karena bala tentara itu baru bisa mendarat pada tahun 1293 M. Saat itu Sri
Kertanegara telah tewas terbunuh akibat serangan
pasukan pemberontak dari Kediri di bawah pimpinan Jayakatwang pada tahun 1292
M.
Tentara China
yang datang terlambat itu, dimanfaatkan dengan baik oleh Raden Wijaya, menantu
Sri Kertanegara untuk mengalahkan Raja Jayakatwang di Kediri. Setelah
Jayakatwang berhasil dikalahkan dan tentara China
yang tertipu itu berhasil dijebak dan
dibuat kalang kabut, Raden Wijaya pun mendirikan kerajaan baru, yakni Kerajaan
Majapahit. Kaisar China Khubilai Khan, meninggal tak lama kemudian setelah peristiwa
itu, yakni tahun 1294 M.
Pasca
runtuhnya kerajaan Singasari dan lengsernya Kaisar China
itu, kondisi Nusantara dan Laut China Selatan relatif tenang dan Majapahit dapat tumbuh menjadi
Kerajaan yang kuat di Nusantara. Hubungan yang erat antara Kerajaan Majapahit
dan Campa terus berlanjut. Bahkan sampai saat Kerajaan Majapahit mulai
mengalami kemunduran akibat perang saudara yang dikenal dengan Perang Paragreg
(1402-1406 M), setelah wafatnya Hayam
Wuruk(1389 M).
Usai
perang Paragreg, Wikramawardhana mengirimkan sejumlah utusan ke
negeri-negeri seberang lautan, antara lain ke Malaka dan China.
Sebab saat terjadi perang saudara, Kerajaan Majapahit nyaris terpecah jadi dua,
yakni Kedaton Barat di bawah Wikramawardhana dan Kedaton Timur yang berpusat di
Blambangan, di bawah Bhre Wirabumi, putra Hayam Wuruk dari selir.
Bhre
Wirabumi yang pandai berdiplomasi itu, cepat membangun aliansi dengan
negara-negara luar, hingga sudah ada beberapa negara yang mengakui kedaulatan
Kedaton Timur.
Karena
itu, usai penaklukan Bhre Wirabumi,
Wikrawawardhana merasa perlu mengirimkan sejumlah utusan ke negara tetangga
untuk menjelaskan posisi Kerajaan Majapahit yang sebenarnya.
Rupanya
Kertawijaya, putra Wikramawardhana termasuk
salah seorang dari utusan raja yang dikirimkan ke China. Pada saat itulah
rupanya Kertawijaya singgah di Campa. Kunjungan Kertawijaya ke Campa terjadi setelah selesai perang Paragreg dan
setelah kunjungan Laksamana Cheng Ho ke Gresik (1409 M). Di Kerajaan
Campa itu, Sri Kertawijaya rupanya sempat
mengenal
putri Raja Campa, Dyah Dwarawati yang cantik luar
biasa itu, tetapi rupanya belum cukup usia untuk memiliki
seorang suami. Pada tahun 1414 M, Sultan Malaka Muhammad Syah melamar Putri Ratu Pasai Sultanah Bahiah untuk putranya
Iskandar. Maka pada tahun 1414 M, terjadilan pernikahan antara Putra Mahkota
Iskandar dengan putri Ratu Pasai.
Beberapa bulan kemudian Sultan Malaka wafat, maka pada tahun itu juga Iskandar
naik tahta Kerajaan Islam Malaka dengan gelar Sultan Iskandar Syah (1414 -1428
M).
Sementara itu Hikayat Banjar menyebutkan bahwa usai pernikahan Iskandra
Syah, Raja Majapahit mengirim utusan kepada Penguasa Pasai agar Pasai
mencarikan seorang putri Pasai untuk Putra Raja Majapahit. Tentu saja yang
dimaksud dengan Raja Majapahit itu adalah Wikramawardhana (1389 –
1429 M), dan yang dimaksud dengan Penguasa Pasai adalah Sultanah Bahiah (1405
– 1428 M). Sedang yang dimaksud Putra Raja Majapahit tidak lain adalah Kertawijaya. Kronik Banten menyebutkan bahwa
utusan yang dikirim oleh Raja Majapahit adalah Arya Panular.
Ternyata Arya Panular datang
terlambat. Karena pada tahun 1414 M itu, Putri Pasai anak perempuan
satu-satunya dari Sultanah Bahiah baru saja melangsungkan pernikahan dengan
putra Sultan Malaka, Muhammad Syah. Karena itu Syekh Jumadilkubro
adik
Sultanah Bahiah, menyarankan agar Raja Majapahit itu meminang putri Raja Campa
saja yang sudah siap untuk mempunyai suami, lagi pula amat cantik.
Jumadilkubro bersedia menghubungi Raja Campa yang memang
telah dikenalnya dengan baik itu. Mendengar tawaran itu, tentu saja Kertawijaya
langsung setuju, karena sebelumnya ia memang telah mengenal Putri Raja Campa. Akhirnya
Wikramawardhana pun menyetujuinya.
Menurut Sejarawan Belanda De Graaf, perkawinan Putri Campa dengan
Kertawijaya itu dilaksanakan secara Islam.
Kertawijaya bersedia masuk Islam agar supaya dapat menikahi Dyah Dwarawati,
Putri Raja Campa yang Muslimah itu.
Bisa jadi, Syekh Jumadilkubro memang memegang peranan
penting dalam melancarkan proses pernikahan Putri Campa dengan calon Putra
Mahkota Majapahit itu. Syekh Jumadilkubrolah yang membujuk Raja Campa dan mendampingi Arya Panular melamar putri Raja Campa untuk putra Raja Majapahit. Agaknya Syekh
Jumadilkubro juga yang mengantarkan Putri Campa dan pengiringnya dari Kerajaan
Campa ke Majapahit dan Syekh Jumadilkubro juga yang membimbing pernikahan
mereka berdua. Karena pernikahan putra Sultan Malaka dengan Putri Pase terjadi
pada taun 1414 M, maka pernikahan Kertawijaya dengan Dyah Dwarawati itu tentu
tidak akan jauh dari tahun 1414 M. Paling lambat terjadi pada tahun 1415 M, satu tahun setelah
pernikahan Sultan Malaka yang juga baru saja memeluk Islam.
Serat Kanda, sebuah kronik Jawa Timur yang dijadikan salah satu bahan telaah
mendalami Sejarah Jawa oleh De Graaf, menjelaskan bahwa Kertawijaya memberikan banyak mas kawin yang amat berharga yang kelak menjadi pusaka
Kerajaan Majapahit. Barang yang amat berharga itu antara lain, sebuah gong yang
diberi nama Sekar Delima, sebuah kereta
kuda yang diberi nama Kiai Bale Lamur dan sebuah pedati
yang diberi nama Kiai Jebat Betri.
Kertawijaya
adalah putra Wikramawardhana dari selir pertama. Perkawinan Wikramawardhana
dengan Kusumawardhani, putri Hayam Wuruk, tidak menghasilkan keturunan. Tetapi
selir Wikramawardhana amat banyak. Karena itu
dari para selir-selirnya, lahirlah putra-putri keturunannya yang amat
banyak yang kelak akan saling berperang memperebutkan tahta kerajaan.
Dari selir
yang pertama lahirlah putra-putri Wikramawardhana, yakni Dyah Suhita dan Sri Kertawijaya. Dyah Suhita segera naik tahta (1429-1447 M),
setelah Wikrawawardhana mangkat. Dyah Suhita yang memerintah Majapahit dengan dibantu suaminya
Hyang Parameswara, ternyata juga tidak memiliki keturunan. Karena itu ketika
dia meninggal, maka Sri Kertawijaya, adik Dyah Suhita segera dinobatkan sebagai
Raja Majapahit (1447-1451 M).
Sebelum dinobatkan sebagai raja, Sri Kertawijaya adalah Adipati Tumapel dengan gelar Bhre
Tumapel. Rupanya pengangkatan sebagai Bhre Tumapel terjadi setelah pernikahannya
dengan Putri Campa. Pada saat itulah Sri
Kertawijaya kembali kedalam agama nenek moyangnya, karena konstitusi kerajaaan
mengharuskannya demikian. Tetapi Dyah
Dwarawati, tetap bertahan sebagai wanita Muslimah.
Saat
naik tahta Kerajaan Majapahit menggantikan kakaknya, Sri Kertawijaya bergelar
Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya. Karena gelar itu diawali dengan
Wijaya dan diakhiri pula dengan Wijaya, maka masyarakat Majapahit lebih
mengenalnya sebagai Brawijaya. Sebutan Brawijaya menjadi unik sekaligus rumit kalau dilihat dari sudut
pandang sejarah, karena nama itu tidak
pernah tertulis dalam bentuk prasasti atau sumber tertulis seperti Nagarakertagama dan Pararaton.
Satu-satunya
sumber lokal yang menyebut adanya raja Majapahit
yang bernama Brawijaya hanyalah Babad Tanah Jawi. Babad Tanah Jawi adalah
kronik lokal yang baru ditulis pada jaman Mataram Kartasura. Sebutan Brawijaya dapat
dipastikan muncul dalam ceritera tutur yang kemudian diambil alih oleh
penggubah Babad Tanah Jawi.
3 Makhdum Ibrahim Asmara
Di atas telah
disebutkan bahwa Syekh Jumadilkubro telah
berhasil mengislamkan keluarga Kerajaan Campa, Raja Kiyan.
Dalam sejumlah kronik lokal di Jawa, sering disebutkan bahwa Ibrahim Asmaralah
ulama yang telah mengislamkan Raja Campa dan keluarganya. Informasi ini agak kurang tepat. Yang
mendekati fakta sejarah adalah Syekh Jumadilkubro, ayah Ibrahim Asmaralah yang
terlebih dulu mengislamkan Raja Campa dan keluarganya. Setelah Ibrahim Asmara
menikah dengan putri Raja Campa, barulah Ibrahim Asmara melanjutkan dakwah
Islam yang telah dirintis oleh ayahnya.
Hal
ini bisa dilihat dari informasi dalam kronik Banten, bahwa ada ulama besar yang
bernama Syekh Jumadil al Kabir yang berdakwah di wilayah Daratan Asia Tenggara,
seperti Patani, Campa bahkan sampai negeri China. Husein Jayadiningrat telah
menyebutkan bahwa yang disebut-sebut sebagai
Jumadil al Kabir itu, sama orangnya dengan Jumadilkubro, putra dari
Pasai, ayah Ibrahim Asmara.
Serat
Banjar juga menyebutkan bahwa Makhdum Ibrahim putra Pasai, menuju ke Campa.
Arti kata “menuju” ini harus ditafsirkan dalam bahasa Jawa sebagai boyongan.
Artinya Makhdum Ibrahim setelah menikah dengan
Dyah Candrawulan, tidak membawa istrinya tinggal di Pasai sebagaimana lazimnnya seorang suami
membawa istrinya keluar dari rumah kediaman orang tuannya. Tetapi Ibrahim Asmaralah
yang ikut istrinya, karena memang Ibrahim Asmara dibutuhkan di Campa. Disamping
untuk melanjutkan dakwah yang telah berhasil dirintis oleh ayahnya, juga Raja
Campa memerlukannya untuk membantunya mengurus komunitas pedagang Muslim asal
Arab, Gujarat, dan Parsi yang banyak bermukim ataupun singgah di Campa untuk urusan dagang. Fakta bahwa
Makhdum Ibrahim Asmara menikah dengan putri ke dua Raja Campa dan bukan dengan
putri pertama, jelas menunjukkan bahwa
Raja Campa dan keluarganya telah masuk Islam lebih dulu sebelum
pernikahan Makhdum Ibrahim Asmara. Sebab bila Makhdum Ibrahim Asmara yang mengislamkan lebih dulu Raja
Campa dan keluarganya, mestinya Makhdum Ibrahimlah yang menikah dengan Dyah
Dwarawati, putri sulung Raja Campa.
Bukankah
Dyah Dwarawati telah menjadi seorang muslimah pada saat menikah dengan Sri
Kertawijaya pada tahun 1415 M? Lagi pula Makhdum Ibrahim Asmara baru menikah
pada tahun 1416 M dan saat itu usianya baru sekitar 24 tahun. Dengan demikian
yang paling tepat mengislamkan Raja Campa dan keluarganya adalah Syekh
Jumadilkubro, ayah Makhdum Ibrahim Asmara.
Sebagaimana
telah diungkapkan di atas, bahwa Syekh Jumadilkubro mempunyai dua orang putra.
Maulana Ishak,
putra sulung Syekh Jumadilkubro lahir
pada dasa warsa akhir abad ke-14.
Ketika Syekh
Jumadilkubro mengislamkan Raja Campa, putra sulung Jumadil Kubro itu sudah
menikah. Adiknya Makhdum Ibrahim Asmara, baru menginjak masa remaja.
Sementara itu, Raja Kiyan juga masih punya seorang putri yang sudah mulai menginjak remaja, Dyah
Candrawulan, adik Dyah Dwarawati. Akhirnya Syekh Jumadilkubro melamar juga putri
kedua Raja Campa itu untuk putranya Makhdum Ibrahim Asmara. Lamaran diterima
dan menikahlah Makhdum Ibrahim Asmara dengan Dyah Candrawulan, adik dari Dyah Dwarawati, istri Kertawijaya. Pernikahan
diperkirakan terjadi pada tahun 1416 M, setahun setelah pernikahan kakaknya.
Dengan pernikahan itu, Syekh Jumadilkubro berhasil membentuk
jaringan kekerabatan antara Kerajaan Islam Pasai,
Kerajaan Islam Campa, Kerajaan Islam Malaka dan Kerajaan
Hindu-Buddha Majapahit. Itulah sebabnya Majapahit tidak pernah menggangu perkembangan
Kerajaan Islam Malaka, sehinga Malaka mampu berkembang mencapai puncak
kemasyhurannya hampir sepanjang abad 15 M. Majapahit pun semakin toleran kepada
komunitas Islam yang semakin meningkat di wilayahnya.
4 Raden Rahmat
Setelah menikah, Makhdum Ibrahim Asmara, tinggal di Pasai. Di samping
memberikan bimbingan agama Islam pada keluarga Kerajaan Campa, Makhdum Ibrahim
Asmara juga membantu Raja Campa menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan
komunitas saudagar Muslim yang semakin banyak singgah dan bermukim di Campa, setelah Raja Campa dan keluarganya memeluk Islam.
Dari
Pernikahan Makhdum Ibrahim Asmara dengan
putri kedua Raja Campa itu, lahirlah dua orang putra yang diberi nama
Raden Santri dan Raden Rahmat. Diperkirakan
Raden Santri lahir pada tahun 1417 M,
sedangkan adiknya Raden Rahmat baru lahir pada tahun 1420 M. Memang ada pula
penulis sejarah yang menduga Raden Rahmat lahir pada tahun 1401 M. Tetapi
penetapan tahun 1401 M sebagai tahun kelahiran Raden Rahmat terlalu spekulatip
dan kurang mendekati fakta sejarah. Tahun kelahiran Raden Rahmat yang paling
mendekati peristiwa sejarah adalah tahun 1420 M. Sebab saat Kerajaan Campa
diserang oleh musuh pada tahun 1446 M, Raden Rahmat saat itu masih remaja, dan
terlalu tua jika benar beliau dilahirkan tahun 1401 M, sebagaimana banyak
disebutkan oleh sejumlah penulis..
Kedua
cucu Raja Campa itu dididik dalam agama Islam oleh ayahnya sendiri, Makhdum Ibrahim Asmara. Bahkan putra Narpati Taruna, Abu Hurairoh, ikut dididik
bersama-sama Raden Santri dan Raden Rahmat.
Narpati Taruna adalah anak ke 3
Raja Campa. Pada tahun 1443 M, saat ketiga remaja itu tengah menginjak
usia remaja dan sudah menguasai pelbagai ilmu-ilmu keislaman, mereka
bertiga meninggalkan Kerajaan Campa, karena Kerajaan Islam pertama di Indo
China ini mendapat ancaman dari Kerajaan Buddha Koci, kerajaan tetangganya yang
relatip lebih kuat, tetapi kurang makmur.
Menurut
Sejarah Melayu, sebagaimana dikutip oleh De Graaf, Kerajaan Koci adalah
kerajaan yang sangat kuat. Selama berhari-hari Kerajaan Campa yang makmur itu
dikepung musuh. Raja Campa beserta keluarga dan pengawalnya menutup rapat-rapat
gerbang kota.
Sebenarnya
pintu gerbang kota itu cukup kuat dipertahankan. Tetapi Bendahara Raja telah
berkhianat karena menerima suap dan dijanjikan untuk diangkat jadi Raja Campa.
Karena itu, pintu gerbang kota dapat dibuka, dan terjadilah pertempuran yang
hebat.
Raja
Campa beserta seluruh keluarganya dan pengawal setianya tewas terbunuh dalam
pertempuran yang kasar dan brutal. Tidak
dikisahkan bagaimana nasib Makhdum Ibrahim Asmara, menantu Raja Campa dan putra ulama besar dari Pasai Syekh
Jumadilkubro itu, apakah beliau selamat atau termasuk yang syahid. Besar
kemungkinan ayah Raden Rahmat itu, termasuk di antara mereka yang syahid. Namun
Raden Santri, Raden Rahmat dan Abu
Hurairoh berhasil meloloskan diri dari maut karena jauh-jauh hari sudah keluar meninggalkan Kerajaan Campa.
Akibat
serangan itu Kerajaan Campa menjadi lemah. Pengganti Raja adalah Bendahara yang
berkhianat. Tetapi keluarga Bendahara yang berhasil menjadi raja itu hanya
sebentar dapat menikmati kekuasanya,
karena pada tahun 1471 M Kerajaan Campa
kembali mendapat serangan hebat dari suku bangsa Annam, suku bangsa
penakluk dari pedalaman Vietnam. Dalam serbuan itu, Kerajaan Campa benar-benar
musnah. Dan sejak itu kerajaan yang
pernah jaya itu lenyap dari peta dunia. Berita tewasnya keluarga Raja
Campa akibat serangan Kerajaan Koci itu, kelak sampai juga di
Majapahit. Dan memang ke sanalah ketiga orang pangeran
cucu Raja Campa yang berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh.
Dalam
perjalanan dari Campa ke Majapahit, ketiga pangeran itu sempat singgah di
Palembang. Penguasa Palembang saat itu adalah Arya Damar, seorang adipati
di bawah kekuasan Majapahit. Karena itu, kedua pangeran itu diterima dengan
baik oleh Arya Damar. Raden Rahmat bahkan sempat berdakwah dan berdiskusi
panjang lebar soal keyakinan ajaran
Islam dengan Arya Damar. Hasilnya Arya Damar
segera menyatakan diri masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdullah.
Tetapi penduduk setempat segera mengenalnya sebagai Arya Dillah.
Setelah
tinggal beberapa lama di Palembang, mereka melanjutkan perjalanannya menuju
Majapahit. Sampai di Majapahit, mereka diterima dengan senang hati oleh Sri
Kertawijaya dan uwaknya, Putri Campa. Mereka
dititipkan pada Arya Lembu Sora, Adipati Majapahit yang ternyata telah
memeluk Islam. Putri Campa amat gembira, karena kehadiran ketiga keponakannya
itu amat menghiburnya sehingga Putri Campa membujuknya agar mereka itu
bersedia menetap di Majapahit.
Pada
tahun 1447 M, Ratu Suhita mangkat. Maka Sri Kertawijaya, adik Ratu Suhita, naik
tahta Kerajaan Majapahit. Sebelum menggantikan kakaknya, Sri Kertawijaya
menjabat sebagai Adipati Tumapel, sehingga dikenal sebagia Bhree Tumapel.
Walaupun demikian, Sri Kertawijaya sering bermukim di Trowulan karena membantu kakaknya Dyah
Suhita. Lebih-lebih karena kakaknya itu sudah janda karena suaminya Parameswara
meninggal lebih dulu, tidak punya anak laki-laki calon penggantinya, ditambah
lagi sakit-sakitan. Besar
kemungkinan Putri Campa memang ditempatkan di Trowulan, tidak di Tumapel.
Bukankah Syekh Jumadilkubro, mertua Dyah Candrawulan, adik Putri Campa sejak tahun 1420 M, sudah menetap di Trowulan
?
Setelah
Sri Kertawijaya dinobatkan menjadi raja, atas permintaan istrinya Putri Campa,
Sri Kertawijaya mengirim Arya Panular ke Campa untuk mencari informasi keadaan Raja Campa dan keluarganya. Putri Campa tentu ingin tahu nasib ayahnya,
Raja Campa, juga ingin tahu nasib adiknya, Dyah Candrawulan, juga ingin tahu
nasib adiknya lagi, Narpati Taruna. Apalagi ketiga keponakannya yang telah
berkumpul di Majapahit. Mereka pun tentu
juga ingin tahu nasib kedua orang tuanya
masing-masing.
Dalam kronik Jawa memang ada disebutkan bahwa Raja Majapahit
mengutus Arya Panular yang kedua kalinya ke Campa. Kepergian Arya Panular yang
pertama kali ke Campa adalah saat melamar Dyah Dwarawati. Kunjungan yang
keduanya adalah atas permintaan Dyah
Dwarawati yang ingin tahu keadaan keluarganya, setelah serangan Kerajan Koci.
Ketika kembali ke Majapahit,
Arya Panular hanya menyerahkan seuntai kalung. Hal itu mengandung makna
simbolis bahwa seluruh keluarga Raja Campa telah syahid semuanya, tidak ada
satu pun kerabat keluarga Raja Campa
yang selamat. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan tumpes kelor, yang mengandung
makna suatu keluarga musnah semua sampai anak-cucunya, sehingga tidak ada lagi
keturunan yang akan melanjutkan tradisi sebuah keluarga.
Pohon kelor
(Moringa Oleifera), dalam tradisi dan kepercayaan Jawa termasuk pohon yang
dipercaya memiliki daya magis, misalnya dipercaya dapat untuk mengusir roh
halus. Daunnya bisa disayur, bisa pula untuk obat. Bentuknya bulat-bulat
seperti butiran kalung. Karena itu ungkapan tumpas kelor biasa disimbolkan
dengan seuntai kalung.
Setelah Dyah Dwarawati menerima seuntai kalung dari Arya Panular
yang baru tiba dari Campa, tahulah Dyah
Dwarawati dan para keponakannya dari Campa yang saat itu sudah beberapa tahun
menetap di Majapahit, bahwa orang tua mereka telah syahid semuanya dalam
perjuangan mempertahankan kehormatan Kerajaan Islam Campa.
Tentu saja mereka amat sedih. Tetapi sebagai orang yang beriman
mereka hanya bisa berserah diri kepada kehendak Allah SWT. Tak terbayangkan
oleh mereka seandinya mereka tetap tinggal di Campa, mungkin juga mereka akan
mengalami nasib yang sama. Barangkali juga itulah cara Allah SWT mengabulkan
doa Putri Campa, agar keponakannya hijrah dari Campa ke Majapahit dan
menjadikan Majapahit tempat mereka menetap selamanya sekaligus mengembangkan
dakwah Islam di pusat kerajaan yang sempat menjadi yang kerajaan maritim terkuat
di Asia Tenggara.
Dapat dipastikan ayah Raden
Rahmat Ibrahim Asmara termasuk di antara
mereka yang syahid. Sebab sebagai
seorang kstaria yang menyandang gelar makhdum, kecil kemungkinan Ibrahim Asmara
bersifat pengecut dengan cara melarikan diri meninggalkan istri, mertua dan
kerabatnya dalam keadaan terancam musuh. Bagi Ibrahim Asmara yang ksatria Pasai itu, lebih baik
mati berkalang tanah membela martabat keluarga dan agama, dari pada harus
menyerah. Apalagi melarikan diri. Bagi
Makhdum Ibrahim Asmara, sebagai seorang mujahid putra Pasai, adalah sama
saja antara hidup mulia atau mati
syahid.
Dengan demikian informasi yang menjelaskan, bahwa Ibrahim Asmara
meninggalkan Kerajaan Campa menuju Jawa
untuk menyusul putranya ke Majapahit,
tetapi sesampai di Tuban wafat dan dimakamkan disitu, besar kemungkinan
hanyalah kisah fiktif dan mitos yang tidak mengandung nilai historis.
Memang dalam
buku Atlas Wali Songo, tulisan Agus Sunyoto diinformasikan adanya sebuah makam
di Tuban, yaitu di desa Gesik Harjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, lengkap
dengan fotonya yang disebutkan sebagai makam Maulana Ibrahim Asmoro Qondi, ayah
Sunan Ampel ( Agus Sunyoto;2012 :75-77)
Bukan hal yang mustahil bahwa makam itu memang benar makam orang yang
diangap suci dan keramat, Tetapi apa benar yang terkubur di situ jenazah ayah
Sunan Ampel, masih perlu penelitian
lebih lanjut.
Setelah
peristiwa tragis yang menimpa keluarga Raja Campa itu, perhatian Sri
Kertawijaya kepada para keponakan
istrinya itu bertambah besar. Perhatian
itu ditunjukkan Sri Kertawijaya dengan cara meminta agar Arya Teja I, Adipati
Tuban mau mengambil ketiga pangeran asal Campa itu menjadi menantunya. Ternyata
Arya Teja I, Adipati Tuban menerimanya dengan senang hati pinangan secara tidak
langsung dari Sri Kertawijaya untuk ketiga keponakan istrinya itu.
Maka
ramai dan meriahlah pesta pernikahan
diselenggarakan di pendopo Kabupaten Tuban. Adipati Tuban menyelenggarakan
pesta pernikahan bagi ketiga putrinya itu sekaligus. Sri Kertawijaya sendiri
bangga bukan main, karena keponakan istrinya itu berhasil menyunting putri
Tuban, putri Adipati Arya Tedja I, pembantu setia Raja. Raden Santri, pangeran tertua dari Campa
menyunting Dyah Retno Mananjung. Raden Rahmat menyunting Dyah Retno Siti
Manila, sedang Abu Hurairoh menyunting
Dyah Retno Sedasar.
Pernikahan
itu terjadi pada tahun 1450 M. Usai pernikahan mereka Raja Sri Kertawijaya
memberikan hadiah tanah peprenah atau tempat tinggal dan kedudukan bagi mereka
agar mereka dapat mendidik budi pekerti dan ahlak penduduk sesuai dengan ajaran
Islam. Kebijakan Sang Raja ini, menunjukkan bahwa Sri Kertawijaya memberikan respon yang
positip terhadap dakwah Islam di wilayah Kerajaannya.
Sang
Raja juga memberikan hadian tanah-tanah peprenah kepada keponakan istrinya,
Putri Campa itu. Raden Santri mendapat daerah Gresik dan sekitarnya,
Raden Rahmat mendapatkan daerah Ampel dan sekitarnya sedang Abu Hurairoh
mendapat daerah Majagung, hingga kelak beliau ini dikenal dengan nama Sunan
Majagung.
Dari ketiga
pangeran yang mendapat anugerah tanah
peprenah itu, yang paling maju dan berkembang adalah wilayah Ampel tempat
kedudukan Raden Rahmat. Di Ampel ini, Raden Rahmat mendirikan masjid dan
pesantren. Kemampuan Raden Rahmat sebagai ulama dan pendakwah Islam segera
terbukti.
Dalam
waktu singkat hampir seluruh penduduk Ampel yang saat itu berjumlah 3000
keluarga, berbondong-bondong masuk Islam. Pesantren yang didirikan oleh Raden
Rahmat ini, segera saja menjadi
pesantren yang terkenal. Bukan hanya dikenal di wilayah Ampel dan
sekitarnya, tetapi juga dikenal sampai ke luar wilayah Ampel. Hampir tiap hari,
berbondong-bondong rakyat Kerajaan Majapahit yang berguru agama Islam
kepada Raden Rahmat. Raden Rahmat kemudian lebih dikenal sebagai Sunan Ampel.
Sunan berasal dari kata susuhunan yang artinya adalah dia yang dihormati.
Dari
pernikahannya dengan putri Arya Teja I, Sunan Ampel dikarunia tiga orang anak. Putra
sulungnya, adalah Makhdum Ibrahim yang kelak dikenal sebagai Sunan Bonang. Dua
adiknya adalah perempuan. Kemudian Sunan Ampel menikah lagi dengan wanita lain. Dari Pernikahan ini
lahirlah putranya Raden Qosim Masaih Maunat
yang kelak dikenal sebagai Sunan Drajat. Namun ada pula yang
mengisahkan, bahwa Sunan Drajat dan Sunan Bonang, adalah putra Sunan Ampel dari
satu Ibu, yakni sama-sama cucu Arya Teja
I.
Sunan
Ampel mendidik sendiri putra-putrinya, terutama Makhdum Ibrahim dan Raden Qosim
di dalam pesantren yang diasuhnya. Santri lain yang diasuhnya antara lain Raden Paku yang kelak terkenal
sebagai Sunan Giri. Kemudian Raden Patah, putra tiri Arya Damar, Adipati
Palembang. Raden Patah sebenarnya adalah putra Sri Kertawijaya dari seorang
putri peranakan China yang kemudian dikenal sebagai putri China. Raden
Patah kelak menjadi pendiri Kerajaan
Demak dan menjadi Sultan Pertama Kerajaan Demak. Baik Raden Paku maupun Raden
Patah, kemudian menjadi menantu Sunan Ampel.
Ahli-ahli
sejarah berbeda pendapat tentang tahun wafatnya Sunan Ampel. Dengan berpatokan
bahwa Sunan Ampel wafat 19 tahun setelah wafatnya Putri Campa, maka Husein Djajadiningrat menetapkan bahwa
wafatnya Sunan Ampel adalah tahun 1467 M, karena berdasarkan catatan makam
wanita Muslimah di Trowulan, Putri Campa wafat tahun 1448 M. Tetapi berdasarkan cerita tutur dan babad,
Sunan Ampel diperkirakan baru wafat pada tahun 1481 M, beberapa bulan sebelum Raden Patah
dilantik sebagai Sultan Demak yang bergelar Sultan Alam Akbar Al Fatah.
Jika Sunan Ampel wafat pada tahun 1481
M, maka Putri Campa baru wafat pada tahun 1462 M, yaitu 19 tahun sebelum
tahun wafatnya Sunan Ampel .
Wafatnya
Putri Campa tahun 1462 M, lebih sesuai dengan jalan ceritera. Sebab pada tahun
1451 M, Sri Kertawijaya, Raja Majapahit mangkat. Besar kemungkinan setelah Raja
mangkat, Putri Campa diboyong
oleh Raden Rahmat ke Ampel Denta, mengingat kondisi Kerajaan Majapahit setelah
Raja mangkat, menjadi kacau, karena para ahli waris belum juga menemukan kata sepakat, siapakah
yang akan naik tahta menggantikan Raja Sri Kertawijaya yang telah mangkat.
Berdasarkan
penggalian makan di Trowulan, hingga sekarang belum terbukti bahwa makam wanita
Muslimah yang berangka tahun 1448 M, adalah Putri Campa. Karena itu, siapakah wanita Muslimah yang dimakamkan di situ masih misterius. Namun hal itu tidak mengurangi fakta sejarah bahwa
memang ada seorang wanita Muslimah yang
menjadi istri Raja Majapahit. Raja itu oleh rakyat dan Babad Tanah Jawi dikenal
sebagai Raja Brawijaya. Ada juga berita yang menyebutkan bahwa setelah wafat,
Putri Campa dimakamkan di daerah Tuban. Tetapi juga bukan mustahil di komples
makam raja-raja Majapahit, masih ada makam muslimah lainnya selain yang
berangka tahun 1448 M.
Sunan
Ampel sendiri saat wafat, dimakamkan di belakang masjid Ampel, masjid yang
megah dan besar yang pertamakali dibangun
di Pulau Jawa.[]
Mengenai ayah Raden Rahmat atau Sunan Ampel, yakni Makhdum Ibrahim Asmara, putra Syekh Jumadil Kubro, bisa dibaca dengan mengklik link dibawah ini yang berisi Riwayat Sultan Pasai ke 5, Sultan Zaenal Abidin ( 1383 - 1405 M)
http://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/01/sultan-pasai-v-zaenal-abidin1383-1405-02.html
Mengenai ayah Raden Rahmat atau Sunan Ampel, yakni Makhdum Ibrahim Asmara, putra Syekh Jumadil Kubro, bisa dibaca dengan mengklik link dibawah ini yang berisi Riwayat Sultan Pasai ke 5, Sultan Zaenal Abidin ( 1383 - 1405 M)
http://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/01/sultan-pasai-v-zaenal-abidin1383-1405-02.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar