Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Minggu, 01 Mei 2016

Sejarah Walisongo(01) : Sunan Gresik-Syekh Malik Ibrahim





1. Tanah Arab Negeri Leluhur.

Suatu ketika di depan para santri yang tengah berkumpul untuk mendengarkan ajaran agama Islam, lelaki yang berkulit gelap, bertubuh tegap dengan sorot mata yang tajam itu berkata memperkenalkan dirinya :

“Namaku  Malik Ibrahim.Tentang dari mana asalku, tidaklah terlalu penting. Tetapi bagi  yang menganggap penting, aku berasal dari negeri yang jauh, terletak di sebelah barat negeri ini. Negeriku tidak jauh dari tanah Hejaz, tempat agama Islam beserta RasulNya, Muhammad saw, dilahirkan “

Malik Ibrahim, lelaki pendatang yang kelak kemudian hari dikenal sebagai pelopor dakwah Islam  dan pendiri pesantren pertama di Pulau Jawa itu, tidak sedang menyembunyikan negara atau kota tempat kelahirannya. Tetapi dia sekedar ingin menekankan kepada para santrinya bahwa dalam pandangan Islam, tempat kelahiran, asal usul, negara dan macam kebangsaan, tidaklah terlalu penting. Karena, menurut ajaran Islam, seluruh permukaan bumi ini adalah milik Allah SWT semata. Lagi pula risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, bukan hanya untuk bangsa Arab saja. Tetapi ditujukan untuk seluruh umat manusia. Agama Islam adalah rahmatan lil alamin.

Para santrinya yang berdatangan dari  Gresik dan sekitarnya pada  awal abad ke 15 M itu, memang tidak pernah tahu secara pasti di negeri mana Sang Ulama itu dilahirkan. Bahkan ahli-ahli sejarah pun kelak hanya dapat menduga-duga saja. Ada yang berpendapat bahwa dia adalah putra seorang penyair besar bangsa Parsi. Raffles sendiri yang terkenal dengan bukunya History Of Java, menulis bahwa  Malik Ibrahim adalah ulama berdarah Arab masih keturunan Sayyid, bergaris keturunan dari keluarga besar Nabi Muhammad saw. Pendapat Raffles ini banyak disetujui oleh banyak ahli Sejarah Islam.

Pengakuan  Malik Ibrahim di depan para santrinya yang menyebutkan bahwa negerinya terletak ke arah barat dari kepulauan Nusantara, menyebabkan ia mendapat gelar Syekh Magribi. Artinya adalah seorang guru ahli agama Islam yang datang dari arah barat kepulauan Nusantara. Tetapi ada juga yang menduga, bahwa beliau berasal dari Maroko atau salah satu negeri Afrika Utara lainnya. Memang negeri-negeri pantai utara Afrika oleh para pedagang dan musafir pada masa itu, dikenal dengan sebutan negeri  Maghribi. 

Kemungkinan besar Malik Ibrahim memang pernah merantau ke Maroko, sebelum merantau ke Asia Tenggara dan Jawa. Terbukti bahwa Malik Ibrahim pernah meneruskan kitab tulisan Ibnu Batuttah yang berjudul Kanz Al’Ulum. Ibnu Batuttah adalah pengelana Muslim termasyhur yang lahir di Tangier, Maroko. Kisah pengembaraannya yang terkenal ditulis oleh Ibnu Juzai pada tahun 1355 M, dengan judul Tuhfat an-Nazzar. 

Menurut Raffles dalam bukunya yang terkenal History of Java (1815 M), Malik Ibrahim berasal dari  Hadramaut, suatu daerah di Arab Selatan. Di situ banyak tinggal suku bangsa Arab golongan Sayyid yang masih ada pertalian nasab dengan Rasulullah saw. Diduga dia lahir sekitar tahu 1360 M, dari keluarga terpandang dan berpendidikan. Keluarganya tidak hanya memberikan kesempatan kepadanya mendalami dan menguasai ajaran Islam. Tetapi dia didorongnya untuk menjadi seorang juru dakwah yang rela berjihad dengan cara mengembara agar dapat menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Sebagaimana para dai dari negeri Arab saat itu yang berdakwah sambil berdagang, demikian pula Malik Ibrahim muda. 

Setelah merasa cukup memperoleh pendidikan di kampung halamannya, sekitar tahun 1379 M, Malik Ibrahim mulai terpanggil untuk merantau. Mula-mula dia merantau ke barat hingga tiba di Maroko dan agaknya menetap cukup lama di sana.  

Di Maroko Malik Ibrahim banyak terpengaruh oleh tulisan pengelana Muslim terkenal Ibnu Batuttah. Bahkan dia mencoba meneruskan kitab tulisan Ibnu Batuttah yang tidak selesai yang berjudul Kanz Al Ulum. Kemungkinan sebelum kitab itu selesai, Ibnu Batuttah keburu wafat (1378 M). Kitab Tuhfat an-Nazzar, yang amat mengagumkan dan berisi kisah pengembaraan Ibnu Batuttah ke sejumlah negeri di Asia dan Andalusia, tentu amat menggoda Malik Ibrahim untuk suatu saat merantau ke negeri-negeri Timur. 

Akhirnya pada tahun 1390 M, Malik Ibrahim meninggalkan Maroko pulang sejenak ke kampung halamannya di Hadramaut, Arab Selatan. Dari sana dia segera berlayar menuju Asia Tenggara. Setelah beberapa minggu  mengarungi Samudra Hindia, sampailah Malik Ibrahim di Pantai Barat India. Di situ ada Bandar Calicut yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang Muslim, sekalipun penguasanya adalah orang Hindu.

Malik Ibrahim sebenarnya berniat mengunjungi Kerajaan Islam Delhi yang telah  banyak diceriterakan oleh Ibnu Batuttah dalam buku yang  telah sempat dibacanya. Tetapi pada saat itu Kerajaan Islam Delhi sedang bergolak dan mendapat ancaman dari penguasa Samarkand yang masih keturunan Jengis Khan dari Mongolia, Timur Lenk. Terpaksa Malik Ibrahim tinggal beberapa tahun di Gujarat. 

Pada tahun 1398 M, Timur Lenk dengan 400.000 pasukan mengepung Kerajaan Islam Delhi dan mencoba menembus benteng pertahanan. Di luar kota, tentara Timur yang  brutal telah menangkap 100.000 orang India, merampas harta bendanya, dan kemudian membunuh semua tawanannnya itu. Walaupun Sultan Delhi Nushrat Syah (1395 – 1399 M), berusaha sekuat tenaga mempertahannkan kota, akhirnya pertahanannya jebol juga. Salah satu penyebab dari kegagalan Sultan Nushrat Syah mempertahankan serangan tentara Mongol adalah karena Sultan masih saja terlibat perselisihan dengan Mahmud Syah II. Akibatnya pertahanan yang dilakukannya tidak optimal. Setelah dikepung dua bulan Kerajaan Islam Delhi jatuh. Ribuan tentara Mongol menerobos masuk kota melakukan pembakaran, perampasan, perampokan dan pembunuhan terhadap penduduk yang tak berdosa. 

Di dalam Masjid Agung Delhi, Timur Lenk dengan gagah perkasa mengumpulkan para pejabat Kesultanan Delhi, termasuk Sultan Nushrat Syah yang telah menyerah. Kemudian dia memproklamirkan dirinya menjadi Maha Raja India. Sultan Delhi Nushrat Syah boleh tetap memerintah, tetapi Timur Lenklah yang berhak mengangkat dan menghentikannya. Namun setahun kemudian dia digantikan oleh Sultan Mahmud Syah II yang sebelum serangan Timur Lenk, merupakan rivalnya. 

Timur Lenk dengan pasukannya pulang kembali ke Samarkand dengan membawa harta rampasan yang tidak terkira banyaknya. Sebelum  menaklukkan India, Timur Lenk telah menguasai wilayah yang amat luas yang telah berhasil ditaklukannya, antara lain Afganistan, Iran, dan Kurdistan. Pada tahun 1393 Kota Baghdad kembali diserang, hingga seluruh wilayah Irak yang berada di sepanjang lembah Sungai Tigris dan Euphrat jatuh di bawah kekuasaannya. Pada tahun 1396 M, Timur Lenk mengerahkan tentaranya ke arah utara untuk menduduki Rusia. Kota Moscow pun berhasil diduduki dan dijarah oleh tentara Timur yang perkasa itu. 

Kemenangan demi kemenangan yang berhasil diraih Timur Lenk, semakin memperbesar ambisinya untuk menjadi penguasa tunggal di dunia. Pada tahun 1402 M, Timur membawa tentaranya ke arah barat. Sasaran ekspansi penaklukannya adalah Turki Usmani, Alepo dan  Siria. Ankara, Ibu Kota Kerajaan Turki Usmani segera diserang. Sultan Turki Bayazid yang mendapat julukan Sang Petir, mecoba melawan gelombang amuk tentara Mongol. Ternyata setelah melalui pertempuran yang amat hebat, Sultan Bayazid berhasil ditangkap tentara Mongol. Sultan Bayazid dirantai dibawa serta kemanapun tentara Mongol pergi dengan dipertontonkan kepada umum. Bila malam tiba Sultan Bayazid dimasukkan ke dalam kurungan besi. Akhirnya Sultan Bayazid meninggal dalam perjalanan. Dari Ankara tentara Timur melewati Alepo, menerabas masuk Siria dan mengepung Damaskus. 

Di Alepo tentara Timur membunuh 20.000 penduduk yang dilewatinya sambil melakukan penjarahan. Sultan Faraj yang memerintah Siria atas nama pemerintahan Mamalik di Mesir, mencoba bertahan, ternyata tak berdaya juga. Maka Damaskus pun jatuh, rumah-rumah penduduk dan bangunan umum nyaris luluh lantak. Bahkan Masjid Umayah yang bersejarah itu nyaris hancur. 

Timur lalu mengumpulkan para ulama Damaskus. Mereka dipaksa untuk mengelurakan fatwa bahwa tindakan Timur dibenarkan oleh ajaran Islam, karena Timur adalah cambuk dari azab Tuhan yang tengah menghukum penduduk yang dianggapnya telah lalai. Usai membacakan fatwa, sejumlah ulama, ahli bangunan dan harta rampasan diangkut ke Samarkand untuk melaksanakan pembangunan Kota Samarkand agar menjadi kota yang paling megah di dunia.  

Siapakah Timur Lenk yang telah melakukan ekspansi penaklukan dengan cara yang amat kejam dan mengerikan, seolah tak kenal ampun kepada musuh-musuhnya itu, padahal ia seorang muslim? 

Timur Lenk adalah orang Mongol, masih  keturunan Jengis Khan yang lahir di Samarkand pada tahun 1336 M. Pada usia remaja dia telah berhasil menjadi pemimpin kaumnya di Samarkand. Timur Lenk, sekalipun berkaki pincang, mampu mengembangkan dirinya menjadi  seorang jendral perang  hebat. Memang  di dalam dirinya mengalir darah penakluk dari para penunggang kuda di padang-padang stepa yang luas di Asia Tengah. 

Tidak seperti Hulagu Khan yang masih memeluk kepercayaan tradisional Mongolia, Yasa, Timur Lenk sudah memeluk Islam. Bahkan dia adalah pengikut sebuah tarekat Naqsyabandiyah yang berkembang di Kota Bukhara, tidak jauh dari Samarkand. Tetapi Timur memiliki paham Islam yang amat ekstrim, disamping ambisinya yang meluap-luap untuk membangun kembali kebesaran Kerajaan Mongol di Iran yang pernah dibangun Hulagu Khan. Dia berpendapat, jika di alam semesta hanya ada satu Tuhan, maka di dunia seharusnya juga hanya ada satu penguasa. Dan Sang Penguasa itu adalah dirinya sendiri.

 Debutnya sebagai Sang Penakluk, dimulai pada tahun 1370 M, ketika ia berusia 34 tahun. Bintangnya mulai naik dan  ia berhasil menjadi seorang jendral yang memimpin dan menempa pasukannya dengan kemampuan tempur yang baik dan memiliki disiplin yang tinggi. Kakinya yang pincang tidak menghalanginya untuk menjadi pemimpin yang cemerlang dan disegani, tetapi juga kejam luar biasa.

Tiga puluh tahun lebih dia malang melintang melakukan ekspansi penaklukan dan setiap  target sasaran operasi penaklukannya hampir semuanya sukses. Hanya dua sasaran yang gagal ditaklukan. Pertama adalah Kerajaan Islam Mamalik Mesir. Sultan Mesir Azhahir Saifudin Barquq (1390 -1399 M), bahkan berani membunuh sejumlah utusan Timur Lenk yang datang kepadanya. Sisanya dicukur jenggot  Mongolnya dan disuruh kembali kepada tuannya. 

Bagi orang Mongol cukur jenggot adalah suatu penghinaan dan tantangan untuk berperang. Dengan memendam amarah yang luar biasa, Timur Lenk, Sang Penakluk itu, membawa puluhan ribu tentara untuk  menyerbu Mesir. Tetapi Mesir telah siap dengan pertahanannya yang tangguh, sehingga usaha Timur untuk menaklukkan Mesir gagal. 

Dengan demikian Mesir adalah satu-satunya Kerajaan Islam yang senantiasa gagal ditaklukkan oleh tentara Mongol. Sebelumnya pada tahun 1260 M, Mesir juga telah berhasil membendung serbuan tentara Mongol pimpinan Hulagu dalam suatu pertempuran hebat di bulan Ramadhan di kota Ain Jalut, perbatasan Siria dan Mesir. Tentara Mongol berhasil dipukul mundur oleh tentara Mesir pimpinan Jendral Mamalik yang perkasa Azhahir Ruknuddin Baybars.

 Sasaran kedua yang juga gagal ditaklukan Timur adalah Tiongkok pada tahun 1405 M. Ketika Timur Lenk, yang saat itu usianya sudah 69 tahun membawa ratusan ribu tentara untuk menaklukkan Beijing, Timur Lenk meninggal dunia di perjalanan. Jenazahnya dibawa pulang ke Samarkand  dan Sang Penakluk yang menakutkan itu dikuburkan di sana. 

Setelah Kerajaan Islam Delhi jatuh akibat serangan Timur Lenk, sejumlah wilayah seperti Dekan, Malawa, Bengal dan Gujarat melepaskan dari Kerajaan Islam Delhi dan menyatakan diri sebagai Kerajaan Islam yang berdaulat dan berdiri sendiri-sendiri. Dengan demikian pada tahun 1399 M, muncul lima Kerajaan Islam di India yakni   Kerajaan Islam Delhi, Malawa, Bengal, Dekan dan Gujarat. Hanya Kerajaan Islam Juanpur yang masih berada dibawah kendali Kerajaan Islam Delhi. Tetapi Juanpur akhirnya  lepas juga dari Delhi. 

Kerajaan Islam Gujarat(1391 -1583 M), sebenarnya sudah muncul pada tahun 1391 M, tetapi saat itu masih merupakan vasal dari Kerajan Islam Delhi. Pasca penyerbuan Timur ke Delhi, barulah  Kerajaan Islam Gujarat muncul sebagai kerajaan Islam yang kuat.  Agaknya Malik Ibrahim tinggal beberapa tahun  di Ahmadabad, Ibu Kota Kerajaan Islam Gujarat yang cukup makmur di India Selatan itu. Maksud Malik Ibrahim untuk mengunjungi Kerajaan Islam Delhi tidak kesampaian. Tetapi dia menyaksikan pergolakan dan perpecahan Kerajaan Islam Delhi dari dekat. 

 Pada awal abad 15 M, barulah Malik Ibrahim bertolak dari Pelabuhan Gujarat meneruskan perjalannnya menuju Kepulauan Nusantara, seperti rencanya semula. Malik Ibrahim pun  tiba dengan selamat di  Kerajaan Islam Samudra Pasai dan segera mendapat sambutan luar biasa dari para ulama dan penguasa Pasai. Saat itu raja yang tengah berkuasa di Pasai adalah Sultan Zaenal Abidin.

 Kunjungan Malik Ibrahim ke Pasai tidak mungkin dilewatkan, karena saat itu Pasai adalah satu-satunya Kerajaan Islam yang ada di Asia Tenggara. Kehadiran Malik Ibrahim di Pasai disambut gembira oleh Sultan Zaenal Abidin dan putranya Jumadilkubro. Usia Jumadilkubro kurang lebih sepuluh tahun lebih muda dari Malik Ibrahim. Di Pasai inilah Malik Ibrahim banyak berdiskusi dengan Syekh Abdul Azis- ulama yang juga baru datang dari Jeddah- Jumadilkubro serta ulama Pasai lainnya. 

Malik Ibrahim banyak menerima informasi tentang tanah Jawa tempat kedudukan Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit dan Kerajaan Hindu Pajajaran. Dari hasil diskusi itu, akhirnya diputuskan agar Malik Ibrahim berdakwah ke Jawa Timur, tempat kedudukan pusat Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1405 M, berlayarlah Malik Ibrahim ke Jawa Timur dan tiba di Pelabuhan Gresik pada tahun itu juga.

Setelah tinggal beberapa lama di Gresik, Malik Ibrahim  mendirikan sebuah toko di kota Leran, 10 km ke arah barat kota Gresik. Beberapa tahun kemudian Malik Ibrahim berhasil mendirikan sebuah pesantren yang merupakan pesantren pertama di Pulau Jawa.



 2. Masyarakat Gresik dan Sekitarnya Pada Masa  Pra-Islam.

Saat itu di kota Gresik sudah banyak pemukim yang beragama Islam. Kebanyakan mereka adalah para pendatang, seperti para bekas tawanan dari Pasai yang dibawa tentara Majapahit ke Jawa Timur. Disamping itu, banyak pula pendatang yang bermukim untuk berdagang. Kota Gresik saat itu merupakan pangkalan yang ramai, karena terletak pada jalur pelayaran niaga yang membentang dari Laut Merah sampai ke Kepulauan Maluku. 

Di Maluku para pedagang dari Arab dan Persia mengumpulkan rempah-rempah untuk dibawa ke Timur Tengah, selanjutnya dibawa ke Eropa. Jauh sebelum para pelaut Portugal, Spanyol, Belanda dan Inggris berdatangan ke Kepulauan Nusantara, jalan perdagangan laut antara Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, sudah lama dikenal para pedagang Arab. Sementara menunggu waktu yang tepat  untuk kembali berlayar, mereka banyak yang  menetap di kota-kota pelabuhan, bergaul erat dengan penduduk pribumi, sambil menyampaikan dakwah Islam. Bahkan banyak di antara mereka yang kemudian menjalin ikatan perkawinan dengan wanita-wanita pribumi. Lambat laun terbentuklah inti keluarga yang Islami.

Pada masa-masa awal Malik Ibrahim tinggal di Gresik, beliau menyaksikan kondisi sebagian besar masyarakat pribumi di sekitarnya yang hidup dalam kondisi yang amat memprihatinkan. Rumah-rumah mereka kotor, cara hidupnya tidak teratur, kebersihan kurang dikenalnya dengan baik, kaki mereka kotor-kotor, karena banyak yang telanjang kaki dan tak beralas kaki. 

 Sumber Gambar : Wikipedia


Dr. Hamka, mengungkapkan dalam tulisannya, bahwa salah seorang penulis China yang sempat mengunjungi Gresik, sempat mengungkapkan dalam tulisannya bahwa cara hidup penduduk pribumi banyak yang belum mengenal kebersihan, mereka seperti hidup di negeri hantu. Penulis  China itu mencatat bahwa ada tiga macam golongan penduduk yang tinggal di Gresik saat itu. Pertama adalah orang Islam yang hidupnya teratur dan bersih-bersih. Kedua, masyarakat China yang hidupnya hampir sama dengan orang Islam. Ketiga, masyarakat pribumi yang jumlahnya besar.

Cara hidup masyarakat pribumi ini tidak teratur, tidak bersongkok dan tidak memakai alas kaki. Memang dalam strukur masyarakat Majapahit yang saat itu menganut agama Hindu Buddha, songkok dan alas kaki hanya boleh dikenakan oleh kasta brahmana dan ksatria. Kasta lain yang lebih rendah dari kedua kasta itu, dilarang keras mengenakan alas kaki dan songkok.

Ketika  Malik Ibrahim tiba di Gresik, Kerajaan Majapahit tidak lagi  diperintah oleh Raja Hayam Wuruk, sedang Maha Patih Gajah Mada sudah meninggal. Sepeningal Raja Hayam Wuruk (1389 M), tahta kerajaan diduduki Wikramawardhana, menantu Hayam Wuruk yang suami Dyah Kusumawardhani, putri Hayam Wuruk. Pada masa pemerintahan Wikramawardhana (1389-1429 M) inilah, Maulana Malik Ibrahim tinggal di Gresik dan gigih berdakwah  mengembangkan  Islam di kalangan rakyat kawula Kerajaan Majapahit.

Melalui pengamatannya yang cermat, Malik Ibrahim sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar rakyat di lapisan bawah hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan. Itu semua akibat dari adanya pembagian kasta yang tajam yang dianut oleh Kerajaan Majapahit. Kasta pertama dan paling atas adalah kasta Brahmana. Kasta ini terdiri dari para brahmana. Mereka adalah para pendeta ahli teologi agama Hindu. Kasta kedua adalah kasta Ksataria, terdiri dari para raja, keluarga raja, para birokrat kerajaan, punggawa atau tentara kerajaan. Kasta ketiga adalah kasta Weisya yang terdiri dari para pedagang dan petani. Kasta keempat adalah kasta Sudra, terdiri dari para buruh dan pekerja kasar lainnya. 

Dampak dari susunan masyarakat yang hirarkis dan diskriminatif itu, sangat merugikan lapisan masyarakat kasta rendah, karena hanya memberikan hak-hak istimewa dan keuntungan pada masyarakat lapisan atas saja.

Secara formal, Kerajaan Majapahit yang diatur berdasarkan agama Hindu itu, mengakui enam jenis sekte agama Hindu dan satu sekte agama Buddha. Menurut Ajar Satmaka, seorang pendeta agama Syiwa  yang tinggal di wilayah  pegunungan Tengger, keenam jenis agama Hindu itu adalah agama Syiwa, Wisnu, Sambu, Indra, Bayu dan Kala. Agama Hindu adalah agama yang menyembah banyak dewa. Masing-masing dewa memiliki tata cara ritual, model penyembahan dan aturan-aturan peribadatan sendiri-sendiri. Setiap rakyat Majapahit yang beragama Hindu, boleh memilih salah satu dari enam dewa  yang akan disembah.

Mari kita lihat peraturan salah satu sekte agama Hindu yang diakui Kerajaan Majapahit, yakni agama Kala. Agama Kala adalah salah satu sekte dalam Agama Hindu yang menyembah kepada Dewa Kala. Para pengikut agama Kala disebut Kalana. Pendeta agama Kala memakai azimat berbentuk zakar ( alat reproduksi laki-laki), terbuat dari gading atau tulang, dipakai sebagai kalung. Mereka menyembah pohon, batu dan sesuatu yang unik  yang dianggap sebagai penjelmaan Sang Kala.

Bila mereka bepergian pada bulan Manggala, mereka tidak boleh menginap di tempat lain. Pada bulan Patrawarna, mereka berpuasa dengan tidak makan garam. Di hari raya agama mereka, makanan yang disantapnya makanan yang serba pedas. Adapun larangannya, tidak boleh kawin dengan lain kasta, tidak boleh mengawini anak inang, anak guru dan saudara tua. Dilarang pula menggarap sawah yang berbentuk punuk banteng atau sapi hutan. Tidak boleh membunuh lipan, anjing dan kalajengking, tidak boleh makan kelapa dan tidak boleh memakai emas.

 Pada saat perkawinan, boleh memakai lempeng emas. Keluarga pengantin perempuan harus berkelahi dengan keluarga pengantin pria. Dalam perkelahian, mereka yang terkena pelipisnya harus didenda.  Sewaktu mengarak pengantin, mereka harus berperilaku seperti orang gila. Bila ada yang meninggal, dalam upacara kematian, mayatnya dimandikan dengan air bidara. Alat-alat untuk memuliakan mayat, haruslah diperoleh dengan cara mencuri. Demikian beberapa  aturan dari salah satu sekte dalam agama Hindu, yakni agama Kala yang diakui oleh pemerintah Kerajaan Majapahit.

Menurut Ajar Satmaka, setiap penduduk yang memeluk agama Hindu diwajibkan untuk memilih satu dari enam sekte agama Hindu yang telah ditetapkan oleh kerajaan. Barang siapa yang tidak menjalankan salah satu dari aturan agama tersebut, akan dikenai hukuman sebagai berikut:

Pemeluk agama Sambu yang melakukan pelanggaran berat, hukumannya  dihujani tombak. Pelanggar agama Syiwa, dibakar. Pelanggar  agama  Indra, dimasukkan ke dalam lubang yang amat dalam. Pelanggar agama Wisnu, hukumannya dibuang ke laut. Pelanggar agama Bayu digantung. Bagaimana dengan pelanggar agama Kala? Hukumannya adalah mereka akan dijadikan mangsa binatang buas di tengah hutan. 

Itulah aturan formal sekte-sekte  dalam agama Hindu Kerajaan Majapahit. Tapi dalam prakteknya mengalami banyak pergeseran dan toleransi. Misalnya, agama Buddha juga diakui. Bahkan akhirnya terjadi sinkretisme antara agama Hindu dan Buddha, menjadi agama Hindu Buddha. Dakwah Islam pun tak dilarang dan tak dihalang-halangi. 

Akibat dari perang Paragreg (1402-1406), yakni perang yang memperebutkan tahta kerajaan, sumber daya politik dan ekonomi kerajaan menjadi amat lemah. Kontrol kerajaan terhadap agama rakyatnya tidak berjalan efektif. Kerajaan cenderung memberikan kebebasan beragama kepada rakyatnya. Bahkan pada masa  Wikramawardhana (1389-1429 M), agama Islam boleh dipeluk  oleh rakyat jelata, asal tidak melalui paksaan dan dilaksanakan secara sukarela. Kebetulan pada saat itu, di wilayah pelabuhan Pantai Utara  Jawa, sudah mulai banyak pendatang yang beragama  Islam yang bermukim di situ. 

Wikramawardhana adalah Raja Majapahit yang banyak sekali menurunkan putra dan putri, tetapi semuanya dari selir-selirnya. Permaisurinya, Dyah Kusumawardhani, tidak memberinya keturunan. Salah satu putra Wikramawardhana yang menjadi salah satu kandidat putra mahkota kerajaan adalah Kertawijaya. Dia naik tahta menggantikan kakaknya Dyah Suhita (1329-1347) yang juga tidak memiliki keturunan. Sebelum naik tahta, Kertawijaya yang kelak lebih dikenal dengan nama Brawijaya I,  sempat menjabat adipati di Tumapel. Karena itu, dia pernah dikenal  sebagai Bhree Tumapel. 

Bhre Tumapel atau Kertawijaya inilah yang kelak menyunting putri Kerajaan Campa di Indo China, yakni Dyah Dwarawati, seorang Muslimah. Konon Kertawijaya menikah dengan Putri Campa saat masih sebagai putra mahkota dan pernikahannya itu dilakukan menurut tatacara agama Islam. Hanya saja dia terpaksa harus kembali memeluk agama nenek moyangnya, ketika harus menduduki tahta kerajaan, karena undang–undang kerajaan mengharuskannya demikian.



Dakwah Islam Malik Ibrahim dilakukan dengan mengunjungi rakyat duafa di sejumlah daerah dan membantu rakyat lapisan bawah mengatasi sejumlah kesulitan dalam masalah kepercayaan, pengobatan, pendidikan,  kesehatan, dan permasalahan sosial lainnya. Lapisan bawah dalam struktur masyarakat yang berdasarkan sistim kasta, merupakan masyarakat yang kurang mendapatkan perhatian yang semestinya dari para penguasa. 
   “Kasihan benar rakyat jelata. Mereka terbelenggu oleh ajaran yang menyembah berhala. Mereka menjadi korban dari kebodohan dan ketidaktahuhan,” renung  Malik Ibrahim saat mendengar bermacam-macam aliran dan tatacara beribadah agama Hindu dalam wilayah kerajaan Majapahit, sebagaimana beliau dengar sendiri dari Ajar Satmaka.

Karena itu, Malik Ibrahim mengutamakan dakwah pada rakyat dari lapisan bawah. Materi dakwah Malik Ibrahim memang amat menarik bagi rakyat klas bawah. Misalnya, disampaikannya bahwa Islam tak mengenal adanya pembagian kasta.

”Semua manusia di hadapan Allah SWT adalah sama. Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannnya”, jelasnya kepada para santri-santrinya.

Malik Ibrahim juga menjelaskan bahwa dalam agama Islam tak dikenal adanya pendeta atau biksu. Yang ada adalah ahli agama dan siapa saja boleh menjadi ahli agama Islam. Tentu saja setelah lebih dulu menjadi santri atau siswa dan belajar pada seorang ulama atau guru agama yang cakap.

Upacara keagamaan dan cara peribadatan dalam Islam juga sederhana, tidak rumit dan tidak memerlukan biaya yang mahal. Misalnya upacara pengantin, kelahiran bayi, merawat jenazah, semuanya dapat dilaksanakan secara sederhana. Bandingkan dengan ajaran agama di luar Islam. Upacara-upacara keagamaan sering dilaksanakan secara  rumit, berbelit-belit dan  tidak jarang menghabiskan beaya yang mahal yang tentu saja memberatkan rakyat biasa. Bahkan terkadang masih ditemukan upacara-upacara pengorbanan yang bukan hanya mengorbankan  hasil pertanian dan ternak, tetapi kadang-kadang  masih  mengorbankan nyawa manusia.

Akibat dakwahnya yang menarik, santri-santri dan pengikutnya cepat bertambah. Bukan hanya penduduk pribumi dari wilayah Gresik, tetapi juga banyak penduduk yang berdatangan dari luar kota.

Malik Ibrahim adalah ulama yang pertamakali mendirikan pondok pesantren di Pulau Jawa. Melalui pesantrennya itu, beliau menggembleng santri-santri pribumi menjadi generasi baru pionir pembawa risalah yang dibawakan Nabi saw.

Dalam usahanya menyebarluaskan agama Islam, beliau tidak puas dengan hanya menunggu bola. Beliau aktif melakukan jemput bola. Bersama santri-santrinya yang sudah senior, sering Malik Ibrahim melakukan perjalanan ke luar kota Gresik, mengunjungi desa-desa di pelosok pedalaman wilayah Kerajaan Majapahit. Memang di wilayah pedalaman Jawa Timur yang jauh dari pusat pemerintahan, kepercyaan lama masih kuat dan berpengaruh.

Dari seringnya  Malik Ibrahim berkeliling ke daerah pedalaman, maka muncullah ceritera-ceritera tutur mengenai kepandaian dan kecakapannya dalam berdakwah. Konon dalam salah satu perjalanan dakwahnya, sampailah  Malik Ibrahim yang diiringi sejumlah santrinya  ke sebuah desa di pedalaman dan tiba di sebuah lapangan di sudut sebuah desa. 

 Rombongan Malik Ibrahim diam sejenak, karena mereka menyaksikan orang-orang desa tengah berkumpul. Orang-orang desa itu berdiri di pinggir lapangan dan mengelilingi dua orang yang saling berkelahi dengan cara saling pukul memukul. Kedua orang yang berkelahai itu berada di tengah lapangan. Tidak jauh dari tempat perkelahian, terdapat semacam altar pemujaan berupa meja panjang. Menghadap altar, berdiri bangunan dari bambu dengan atap rumbia dan dari dalamnya mengalun suara gamelan yang ditabuh dengan nada-nada monoton, terdangar amat ritmis, menusuk-nusuk hati dan membuat bulu roma berdiri.

“Aku menduga mereka sedang menyelenggarakan upacara persembahan kepada dewa mereka”, bisik  Malik Ibrahim kepada para santri pengiringnya.  Malik Ibrahim beserta santrinya, mempercepat langkahnya mendekati orang-orang desa yang tengah berkerumun itu. 

Seorang pendeta tua berambut putih dan berjenggot panjang, nampak duduk dekat para penabuh gamelan. Mulutnya komat-kamit, seperti sedang berdoa. Tangannya memegang sebilah keris yang diacung-acungkan ke arah langit yang biru bersih tanpa banyak awan. Lelaki itu tidak lain adalah pendeta yang tengah memimpin upacara persembahan.

Sementara itu, dua lelaki yang saling berkelahi  yang berada di tengah lapangan sudah kelelahan. Sekujur tubuhnya mandi darah, tapi dari perkelahaian itu tak ada yang kalah dan menang. Akhirnya, keduanya jatuh lunglai  di tengah lapangan dan beramai-ramai digotong  ke luar lapangan. Tak lama kemudian, dari belakang panggung, muncul seorang gadis cantik yang meronta-ronta dan berteriak-teriak, digelandang oleh empat orang lelaki bertubuh kekar, dibawa  menuju altar pemujaan yang berupa meja panjang. 

“Jangan bunuh aku!!!.Jangan bunuh aku !!!” teriak gadis itu, memekakkan telinga karena lengkingan suaranya yang tinggi dan menyayat hati, sambil terus meronta-ronta. Tapi rupanya usahanya sia-sia. Keempat lelaki kekar itu dengan mudah mengangkat tubuh gadis yang  malang itu ke atas meja altar pemujaan. 

Melihat gadis malang yang tak berdaya dan terus meronta-ronta itu,  Malik Ibrahim cepat menyadari  bahwa gadis malang itu tengah terancam bahaya. Dengan cepat  Malik Ibrahim meloncat ketengah lapangan diiringi para santrinya sambil berteriak kepada empat lelaki yang memegangi gadis cantik yang meronta-ronta itu.

 “He, tunggu!” seru Malik Ibrahim mendekati pemimpin upacara yang sudah siap-siap dengan keris terhunus.

“Ki Sanak, apa yang terjadi? Mau diapakan gadis itu?” tanya Malik Ibrahim pada pendeta pemimpin upacara.

“Wahai orang asing,” jawab pendeta itu tenang, “Tidak perlu campur tangan dengan urusan kami.“

“Ketahuilah,“ lanjut pendeta itu, ”Aku dan cantrik-cantrikku sedang menyelenggarakan upacara pemujaan kepada Dewa Indra. Sudah berbulan-bulan kekeringan melanda desa kami. Hujan sudah lama tidak turun. Air sungai sudah lama menyusut, sumber-sumber mata air sudah banyak yang mengering. Warga desa banyak yang sudah kelaparan. Bila hujan tidak segera turun, korban penduduk akan segera bertambah banyak. Kami bisa kehabisan persediaan makanan.”

“Lalu gadis yang meronta-ronta itu, untuk apa?” tanya  Malik Ibrahim seraya menunjuk kepada gadis cantik yang wajahnya sudah pucat pasi, karena ketakutan bukan main. 

“Oh, itu?” sejenak pendeta itu diam, setelah menarik nafas panjang, ia menjawab,” Itu gadis yang terpilih untuk dikorbankan sesuai tatacara agama kami.”

“Haruskah gadis itu dikorbankan?” tanya Malik Ibrahim lebih lanjut.

“Ya, lalu kenapa ?” pendeta itu balik bertanya.

“Apakah gadis itu tidak akan menjadi korban yang sia-sia?” tanya Malik Ibrahim mendesak.

“Wahai orang asing, ketahuilah. Dia adalah gadis sudra dan menurut agama kami sah untuk dikorbankan. Tak ada korban yang sia-sia. Bahkan kelak nyawa gadis itu akan dijemput bidadari yang akan membawanya ke kahyangan. Di sana akan diperistri para dewa, karena besarnya pengorbanan yang telah diberikan. Nasibnya akan lebih baik, ketimbang jadi wanita sudra di dunia. Kalau toh gadis itu harus lahir kembali ke dunia, ia akan terlahir dalam kasta yang lebih tinggi, kasta Ksatria bahkan bisa jadi terlahir dalam kasta Brahmana.”

Malik Ibrahim beserta santri-santri pengiringnya geleng-geleng kepala mendengar penjelasan dari pendeta itu. Bagi Malik Ibrahim dan santri pengiringnya, pengorbanan itu bukan hanya sia-sia, tetapi juga mengerikan. 

“Kasihan gadis malang itu,”  ujar Malik Ibrahim, ”Hai Ki Sanak, sudah berapa orang gadis yang dikorbankan dalam upacara semacam ini ?”

“Satu orang,”  jawab pendeta itu tenang, tanpa sedikit pun rasa menyesal.

“Bagaimana kalau sudah dua orang gadis dikorbankan, tetapi hujan belum juga turun? Apakah  masih akan ada gadis lain yang harus dikorbankan?” tanya Malik Ibrahim lebih lanjut.

“Ya, sampai  hujan turun,“  jawab pendeta itu, kali ini wajahnya agak murung. Kemudian katanya lagi, ”Sudahlah orang asing jangan ganggu kami!”

“Begini Ki Sanak,”  bujuk Malik Ibrahim dengan nada suara yang lembut, tetapi terdengar tegas dan berwibawa. ”Berikan gadis itu kepadaku. Hujan itu datangnya dari Allah SWT. Aku akan mencoba memohon kepada Allah SWT agar hujan di desa ini segera turun.”

Mendengar  usul Malik Ibrahim, pendeta itu nampak mulai tidak sabar dan gelisah, nampak dia ingin cepat-cepat mengusir rombongan tamu yang tak diundang itu.

 “Sudahlah orang asing. Bukankah sudah kukatakan tadi, jangan ganggu aku?  kata pendeta itu sambil berdiri dengan keris terhunus dan memberi isyarat kepada empat laki-laki yang memegangi gadis desa  yang pucat pasi dan ketakutan. 

“Nanti dulu Ki Sanak!“ ujar Malik Ibrahim setengah berteriak. Kali ini  suaranya  tegas dan berwibawa,  kelembutan nada suaranya hilang, membuat yang mendengar diam seketika. Sesaat terjadilah keheningan yang mencekam. Mereka saling menduga pasti akan terjadi perkelahaian dan keributan.

“Aku punya usul Ki Sanak,”  ujar Malik Ibrahim lagi. ”Beri aku waktu sepuluh hari. Serahkan gadis itu kepadaku. Setiap hari selama sepuluh hari, aku bersama santri-santriku akan menyelenggarakan Shalat di tengah-tengah lapangan ini untuk memohon kepada Allah SWT, agar hujan di desa ini segera turun. Insya Allah bila Allah SWT menghendaki, nistaya hujan akan turun di desa ini. Tetapi bila dalam waktu sepuluh hari, hujan belum juga turun,  nasib gadis itu kuserahkan kembali pada Ki Sanak.”

Entah mengapa, kali ini pendeta itu nampak  kebingungan dan ragu-ragu untuk megambil keputusan. Dan tidak seperti biasanya, kali ini ia berpaling kepada para cantriknya, dan bertanya, ”Bagaimana cantrik-cantrikku? Setujukah bila tawaran orang asing itu kita terima?”

Di luar dugaan para cantriknya dan penduduk desa yang hadir di situ langsung berteriak ramai-ramai, ” Setuju!”

“Alhamdulillah!” terdengar Malik Ibrahim beserta para santri pengiringnya  serentak mengucapkan kalimat hamdallah.

Akhirnya tercapailah kesepakatan,  pendeta dan cantrik-cantriknya menerima tawaran Malik Ibrahim dan bersedia menunda pelaksanaan upacara pengorbanan nyawa manusia.

Maka tiap pagi Malik Ibrahim diikuti puluhan santri pengikutnya yang didatangkan dari daerah  Gresik dan sekitarnya, berkumpul di lapangan pinggir desa untuk melaksanakan shalat memohon agar hujan di desa itu cepat-cepat turun. 

Pada hari pertama shalat dilaksanakan, matahari masih bersinar terang memanggang seluruh desa. Hari ke dua, sinarnya mulai meredup. Hari ke tiga, awan gelap mulai nampak di langit. Hari ke empat awan hitam semakin banyak, mendung mulai menggantung di langit, matahari hanya sebentar mempelihatkan wajahnya. Hari ke lima muncul awan tebal dan siang harinya hujan deras mengguyur seluruh pelosok kerajaan Majapahit. 

Betapa gembiranya Malik Ibrahim beserta para santrinya, karena doa mereka dikabulkan. Kurang dari sepuluh hari, hujan sudah turun Dengan turunnya hujan, maka nyawa gadis malang itu berhasil diselamatkan.

Sejak peristiwa itu, banyaklah penduduk desa  yang memeluk agama Islam, termasuk pendeta Hindu Buddha yang biasa memimpin upacara keagamaan di desa itu. Bahkan ia meminta agar di desa itu didirikan pesantren. Dakwah Malik Ibrahim pun semakin  berkembang, bahkan mulai banyak ajar dan pendeta agama Syiwa Buddha yang  berdiskusi dan berdialog dengan Malik Ibrahim. Di antara mereka ada pula yang tertarik memeluk agama Islam. 

Karena keberhasilan Malik Ibrahim mengajak sejumlah pendeta dan ajar masuk Islam,  beliau pun bermaksud menghadap  Raja Wikramawardhana, penguasa Majapahit saat itu. Ketika itu, Wikramawardhana tengah babak belur karena baru saja berperang melawan saudara tirinya, Bhre Wirabumi, penguasa Blambangan. Memang pada akhirnya  dia dengan susah payah berhasil memenangkan peperangan. Wikramawardhana beruntung karena panglima perangnya Bhra Narapati berhasil memenggal kepala Bhre Wirabumi. 

Tetapi dampak dari pemberontakan itu telah membuat Majapahit lemah. Lebih-lebih karena  Kaisar China, Yung Lo (1403-1424 M), segera   mengutus Panglima Cheng Ho untuk meminta ganti rugi pada Raja Majapahit sebesar 60.000 keping tail mas. Ganti rugi itu diminta karena pasukan Wikramawardhana pada saat menyerbu Blambangan, secara tidak sengaja telah membunuh 170 orang China utusan Kaisar yang saat itu sedang mengunjungi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk di antarnya mengunjungi  Kerajaan Blambangan. Saat itulah terjadi penyerbuan tentara Majapahit, sehingga mengakibatkan utusan Kaisar China yang tidak tahu menahu itu ikut menjadi korban.

Wikramawardhana memang menyadari kecerobohan pasukannya, karena itu Raja cepat-cepat  meminta maaf pada Kaisar China. Kaisar China memaafkannya, tetapi tetap menuntut ganti rugi. Namun  Kerajaan Majapahit yang nyaris bangkrut itu, hanya mampu membayar 10.000 tail emas yang diserahkan kepada Laksamana Cheng Ho. Laksamana sendiri tidak mengahadap Raja Majapahit. Dia hanya berlabuh di Gresik, setelah sebelumnya mendarat di Tuban. 

Besar kemungkinan saat di Gresik itu Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam, bertemu dengan Malik Ibrahim. Dari sini kemudian muncul ceritera bahwa Malik Ibrahim, bersama Raja Carmain, menghadap Raja Majapahit dan mengajak Sang Raja agar mau memeluk agama Islam. Sampai sekarang ahli sejarah belum berhasil memecahkan teka-teki siapakah Raja Carmain itu. Besar kemungkinan rakyat Gresik dan penggubah cerita tutur itu, mengira bahwa Laksamana Cheng Ho yang berlabuh di Gresik tahun 1409 itu adalah Raja Carmain. Padahal ia hanyalah utusan Kaisar  China. 

Namun ceritera bahwa  Malik Ibrahim berusaha menemui Raja Majapahit untuk berdakwah kepadanya,  ada benarnya.  Karena Sir Herman W.Arnould,  seorang orientalis dalam bukunya Dakwah Islam, memang menulis pola-pola dakwah para mubaligh Islam. Kepada para raja dan penguasa setempat, para  mubaligh biasanya mengajak agar mereka mau memeluk Islam. Nabi saw sendiri pernah berkirim surat kepada Kaisar Romawi, Kaisar Etiopia, Gubernur Mesir dan Kisra Persia dan mengajak mereka untuk memeluk Islam. Hanya Gubernur Mesir yang memberikan respon positip dan mau memeluk Islam.

 Konon Kaisar Etiopia juga masuk Islam, tetapi secara sembunyi-sembunyi. Kaisar Romawi menolak dengan tegas, sedangkan Kisra Persia malah menyobek surat dari Nabi saw. Karena itu Nabi saw  sempat bersabda bahwa kelak Kisra Persia itu akan di robek-robek oleh rakyatnya sendiri. Memang  tak lama kemudian Kisra Persia itu digulingkan oleh rakyatnya sendiri.

Ajakan halus dan penuh persahaban  Malik Ibrahim kepada Wikramawardhana ditolak dengan halus pula. Tetapi terbukti kemudian, salah seorang calon putra mahkota Kerajaan Majapahit yang juga putra Wikramawardhana, Sri Kertawijaya yang kelak menjadi naik tahta Kerajaan Majapahit ( 1447-1451 M), menyunting gadis Muslimah, putri Raja Campa di Indo China. Konon, Putra Mahkota itu menikah secara Islam. Tetapi akhirnya  Putra Mahkota itu kembali memeluk agama nenek moyangnya saat harus menjabat sebagai penguasa Tumapel dengan gelar Bhree Tumapel. 

Malik Ibrahim, perintis dakwah Islam di Pulau Jawa dan pendiri pesantren pertama itu, wafat pada tahun 1419 M, dan dimakamkan di Gresik. Sejak itu, masyarakat lebih mengenalnya sebagai Sunan Gresik.[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar