Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Selasa, 24 Juli 2018

(06) Mengenal Lebih Dekat : Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab





6.Berjuang membangun Masyarakat  Berakidah Tauhid Murni dan Membebaskan Bid’ah.

Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab, tiba kembali di Nejd pada tahun 1736 M. Dia mengikuti ayahnya yang bertugas di Huraymlah. Empat tahun Syekh tinggal di Huraymlah,   dimanfaatkannya waktu dan tenaganya untuk menyebarkan gagasan reformasinya. Syekh mengajak masyarakatnya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Ajakannya sebenarnya mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat, karena mereka pun sebenarnya senang hidup tertib, jauh dari praktek premanisme, pemerasan, pencurian, mabok-mabokan, dan perilaku buruk lainya yang merusak ketentraman dan ketenagan masyarakat. Syekh pun menganjurkan agar pemerintah menerapkan sangsi dan hukuman yang keras berdasarkan hukum syariat pada berbagai macam tindak kejahatan. Saran Syekh menadapat tanggapan yang positip dari pemerintah setempat. Pelan-pelan ketertiban masyarakat mulai terbentuk. Keamanan pun membaik akibat diterapkannya hukum berdasarkan syariat Islam. 

Akan tetapi kelompok preman yang sudah lama menjadi penguasa informal yang meresahkan masyarakat, menjadi jengkel dan dendam kepada Syekh. Mereka menilai seruan-seruannya untuk menegakkan amal ma’ruf nahi mungkar disikapi sebagai upaya untuk membersihkan kaum preman itu. Akhirnya mereka berusaha menghabisi jiwa Syekh, karena itulah jalan yang mudah untuk menghentikan gerakan amar ma’ruf nahi mungkar. Pada suatu malam, sekelompok preman mencoba mendatangi rumah Syekh, memanjat pagar dan hendak masuk rumah Syekh untuk menghabisi nyawa pejuang reformasi itu. Untuklah tindakan para preman itu diketahui sejumlah penduduk, hingga nyawa Syekh pun dapat diselamatkan.

Tapi sejak kejadian itu, Sykeh merasa kurang nyaman tinggal di Huraymlah, dan timbul keinginannya  untuk kembali ke kota kelahirannya dan terpikirkan untuk memulai gerakan reformasinya dari sana saja. Keinginannya itu baru dapat dilaksanakan setelah ayahnya wafat pada tahun 1740 M. Karena itu Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab yang saat itu  berusia 37 tahun, segera meninggalkan Huraymlah menuju kota kelahirannya, Uyainah. Dia sangat berharap dapat menemukan suasana yang nyaman dan kondusif untuk menyebarluaskan gagasan reformasinya. 

Pada awalnya Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab mendapat dukungan dari Utsman bin Mu’ammar, kepala pemerintahan setempat yang bersedia membatu dan mendukung program-program reformasi yang ditawarkan Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab. Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab pun segera bekerja keras, menyebarkan ilmu dan mengenalkan gagasan reformasinya di kota kelahirannya itu. Dia siang malam melakukan pembinaan kepada ummat, baik laki-laki, perempuan maupun para pemuda dengan cara membangkitkan rasa cinta kepada Allah SWT untuk mencapai ridlo Nya dan membudayakan tindakan kebaikan dan amal saleh yang didasarkan ahlakul karimah sebagaimana  telah dicontohkan oleh Nabi saw.

Lama kelamaan dakwah Syekh Muhammad Ibnu Wahhab semakin berkembang. Dia pun dengan cepat  menjadi tokoh yang terkenal di kota kelahirannya. Banyak orang berduyun-duyun ke Uyainah untuk berguru dan menimba ilmu. Sampai pada suatu saat Syekh berkata kepada Emir Utsman,:

“Biarlah kami menghancurkan kubah makam Zaid ibn Al Khatab, karena kubah makam itu didirikan tidak atas dasar ajaran yang benar. Allah SWT tidak ridha dengan perbuatan semacam itu dan Rasulullah  pun melarang membangun bangunan di atas kuburan, juga dilarang membangun masjid di atas kuburan. Kubah makam itu telah mengganggu pikiran ummat dan membelokkan aqidah mereka, akibatnya terjadilah kemusyikan. Oleh karena itu, wajiblah kubah makam itu dihancurkan.”

“Tak ada larangan untuk melakukan itu,” jawab Utsman memberikan persetujuannya.

“Tetapi saya khawatir penduduk Jubailah dari desa yang berdampingan dengan kuburan itu akan mempertahankannya,” kata Syekh pula.

Tanpa komentar lagi, Emir Utsman segera mengerahkan 600 tentaranya untuk meghancurkan kubah makam itu. Tetapi penduduk Jubailah yang telah mecium berita bahwa kubah makam kesayangannya itu akan dihancurkan. Mereka pun segera keluar  berbondong-bondong mendatangi makam untuk mempertahankannya.

Anehnya saat mereka melihat 600 tentara yang dikomandani Emir Utsman dan para pengiringnya, penduduk Jubailah  langsung takut, tak berani mempertahankan makam keramat itu dan akhirnya hanyalah menjadi penonton di pinggir lapangan. Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab sendirilah yang turun untuk pertama kali menghancurkan kubah makam yang dianggap keramat oleh penduduk itu.

Tetapi halangan, tantangan,  dan rintangan yang lebih banyak juga datang, antara lain dari saudara kandungnya sendiri, kakaknya, Sulaiman dan juga sepupunya Abdullah bin Husein. Para penentang dakwah Syekh itu  meminta bantuan penguasa al-Hasa yang punya hubungan dekat dengan penguasa Nejd. Akibatnya pecahlah konflik horisontal antara kelompok pendukung reformasi dan kelompok konservatif penentang reformasi di Kota Uyainah itu. Untuk mencegah pertumpahan darah akibat konflik horisontal itu, terpaksa Emir Utsman menghentikan dukungannya kepada Syekh. Karena Emir Utsman sendiri  takut kepada pemerintah di Nejd. 

Terpaksa Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab keluar dari kota kelahirannya itu. Dengan sedih dia pergi berhijrah mencari perlindungan ke Kota Dariyyah. Keberuntungan rupanya mulai menghampiri Syekh. Di kota Dariyyah ini lah Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab mendapat perlindungan dari Amir di kota itu, Muhammad Ibnu Saud (1725- 1764).

Keputusan Syekh untuk pergi menuju Dariyah dan meninggalkan kota kelahirannya,Uyainah, hampir mirip dengan perjalanan hijrah Nabi saw dari Makkah ke Madinnah. Jika di Madinah Nabi saw dan kaum Muhajirin mendapat perlindungan dari kaum Ansor. Maka Syekh Muhammad ibnu Abdul Wahhab di Dariyyah mendapat perlindungan dari penguasa Dariyyah, Muhammad Ibn Saud.

Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab hijrah dari Unaiyyah ke Dariyyah pada tahun 1743 M. Setahun kemudian, tahun 1744 M, telah tercapai kesepakatan kerja sama antara Syekh Muhammad Ibn Abdula Wahhab dan Raja Muhammad Ibnu Saud. Dua Muhammad ini berikrar untuk saling bahu membahu dalam memperjuangkan reformasi Islam. Mereka berdua bahkan akhirnya mengikatkan diri dalam suatu perkawinan. Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab menikahi saudara Raja Muhammad ibn Saud. Oleh karena itu tahun 1744 M, dapat dipandang sebagai tonggak sejarah berdirinya suatu negara yang kelak dikenal sebagai Kerajaan Islam Arab Saudi. Pada tahun 1744 M, Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab telah berusia 41 tahun. Suatu usia yang ideal ketika orang besar mendekati puncak karir.

Aliansi antara Muhammad Ibnu Saud dan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab itu, yang telah melahirkan Kerajaan Islam Arab Saudi Tahap I, merupakan suatu negara persatuan atau unitarian yang telah memiliki batas-batas geografis yang jelas yang kelak akan meliputi sebagian besar tanah Hedjaz. Sejarah tahapan perkembangan politik Kerajaan Islam Arab Saudi itu dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Yaitu tahapan pertama( 1744 – 1818 M), tahapan kedua (1818 – 1884 M), dan tahapan ke tiga ( 1884 – Jaman sekarang ). Kita hanya akan membicarakan perkembangan Kerajaan Islam Arab Saudi pada tahap ke-1 saja (bersambung ).
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar