6.Berjuang
membangun Masyarakat Berakidah Tauhid
Murni dan Membebaskan Bid’ah.
Syekh Muhammad Ibn
Abdul Wahhab, tiba kembali di Nejd pada tahun 1736 M. Dia mengikuti ayahnya
yang bertugas di Huraymlah. Empat tahun Syekh tinggal di Huraymlah, dimanfaatkannya waktu dan tenaganya untuk
menyebarkan gagasan reformasinya. Syekh mengajak masyarakatnya untuk menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar. Ajakannya sebenarnya mendapat sambutan yang hangat
dari masyarakat, karena mereka pun sebenarnya senang hidup tertib, jauh dari
praktek premanisme, pemerasan, pencurian, mabok-mabokan, dan perilaku buruk
lainya yang merusak ketentraman dan ketenagan masyarakat. Syekh pun
menganjurkan agar pemerintah menerapkan sangsi dan hukuman yang keras
berdasarkan hukum syariat pada berbagai macam tindak kejahatan. Saran Syekh
menadapat tanggapan yang positip dari pemerintah setempat. Pelan-pelan
ketertiban masyarakat mulai terbentuk. Keamanan pun membaik akibat
diterapkannya hukum berdasarkan syariat Islam.
Akan tetapi kelompok
preman yang sudah lama menjadi penguasa informal yang meresahkan masyarakat,
menjadi jengkel dan dendam kepada Syekh. Mereka menilai seruan-seruannya untuk
menegakkan amal ma’ruf nahi mungkar disikapi sebagai upaya untuk membersihkan
kaum preman itu. Akhirnya mereka berusaha menghabisi jiwa Syekh, karena itulah
jalan yang mudah untuk menghentikan gerakan amar ma’ruf nahi mungkar. Pada
suatu malam, sekelompok preman mencoba mendatangi rumah Syekh, memanjat pagar
dan hendak masuk rumah Syekh untuk menghabisi nyawa pejuang reformasi itu.
Untuklah tindakan para preman itu diketahui sejumlah penduduk, hingga nyawa
Syekh pun dapat diselamatkan.
Tapi sejak kejadian
itu, Sykeh merasa kurang nyaman tinggal di Huraymlah, dan timbul
keinginannya untuk kembali ke kota
kelahirannya dan terpikirkan untuk memulai gerakan reformasinya dari sana saja.
Keinginannya itu baru dapat dilaksanakan setelah ayahnya wafat pada tahun 1740
M. Karena itu Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab yang saat itu berusia 37 tahun, segera meninggalkan
Huraymlah menuju kota kelahirannya, Uyainah. Dia sangat berharap dapat
menemukan suasana yang nyaman dan kondusif untuk menyebarluaskan gagasan
reformasinya.
Pada awalnya Syekh
Muhammad Ibn Abdul Wahhab mendapat dukungan dari Utsman bin Mu’ammar, kepala
pemerintahan setempat yang bersedia membatu dan mendukung program-program
reformasi yang ditawarkan Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab. Syekh Muhammad Ibn
Abdul Wahhab pun segera bekerja keras, menyebarkan ilmu dan mengenalkan gagasan
reformasinya di kota kelahirannya itu. Dia siang malam melakukan pembinaan
kepada ummat, baik laki-laki, perempuan maupun para pemuda dengan cara
membangkitkan rasa cinta kepada Allah SWT untuk mencapai ridlo Nya dan
membudayakan tindakan kebaikan dan amal saleh yang didasarkan ahlakul karimah
sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi
saw.
Lama kelamaan dakwah Syekh
Muhammad Ibnu Wahhab semakin berkembang. Dia pun dengan cepat menjadi tokoh yang terkenal di kota
kelahirannya. Banyak orang berduyun-duyun ke Uyainah untuk berguru dan menimba
ilmu. Sampai pada suatu saat Syekh berkata kepada Emir Utsman,:
“Biarlah kami
menghancurkan kubah makam Zaid ibn Al Khatab, karena kubah makam itu didirikan
tidak atas dasar ajaran yang benar. Allah SWT tidak ridha dengan perbuatan
semacam itu dan Rasulullah pun melarang
membangun bangunan di atas kuburan, juga dilarang membangun masjid di atas
kuburan. Kubah makam itu telah mengganggu pikiran ummat dan membelokkan aqidah
mereka, akibatnya terjadilah kemusyikan. Oleh karena itu, wajiblah kubah makam
itu dihancurkan.”
“Tak ada larangan untuk
melakukan itu,” jawab Utsman memberikan persetujuannya.
“Tetapi saya khawatir
penduduk Jubailah dari desa yang berdampingan dengan kuburan itu akan
mempertahankannya,” kata Syekh pula.
Tanpa komentar lagi,
Emir Utsman segera mengerahkan 600 tentaranya untuk meghancurkan kubah makam
itu. Tetapi penduduk Jubailah yang telah mecium berita bahwa kubah makam
kesayangannya itu akan dihancurkan. Mereka pun segera keluar berbondong-bondong mendatangi makam untuk
mempertahankannya.
Anehnya saat mereka
melihat 600 tentara yang dikomandani Emir Utsman dan para pengiringnya,
penduduk Jubailah langsung takut, tak
berani mempertahankan makam keramat itu dan akhirnya hanyalah menjadi penonton
di pinggir lapangan. Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab sendirilah yang turun
untuk pertama kali menghancurkan kubah makam yang dianggap keramat oleh penduduk
itu.
Tetapi halangan,
tantangan, dan rintangan yang lebih
banyak juga datang, antara lain dari saudara kandungnya sendiri, kakaknya,
Sulaiman dan juga sepupunya Abdullah bin Husein. Para penentang dakwah Syekh
itu meminta bantuan penguasa al-Hasa yang
punya hubungan dekat dengan penguasa Nejd. Akibatnya pecahlah konflik
horisontal antara kelompok pendukung reformasi dan kelompok konservatif
penentang reformasi di Kota Uyainah itu. Untuk mencegah pertumpahan darah
akibat konflik horisontal itu, terpaksa Emir Utsman menghentikan dukungannya
kepada Syekh. Karena Emir Utsman sendiri
takut kepada pemerintah di Nejd.
Terpaksa Syekh Muhammad
ibn Abdul Wahhab keluar dari kota kelahirannya itu. Dengan sedih dia pergi
berhijrah mencari perlindungan ke Kota Dariyyah. Keberuntungan rupanya mulai
menghampiri Syekh. Di kota Dariyyah ini lah Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab
mendapat perlindungan dari Amir di kota itu, Muhammad Ibnu Saud (1725- 1764).
Keputusan Syekh untuk
pergi menuju Dariyah dan meninggalkan kota kelahirannya,Uyainah, hampir mirip
dengan perjalanan hijrah Nabi saw dari Makkah ke Madinnah. Jika di Madinah Nabi
saw dan kaum Muhajirin mendapat perlindungan dari kaum Ansor. Maka Syekh
Muhammad ibnu Abdul Wahhab di Dariyyah mendapat perlindungan dari penguasa
Dariyyah, Muhammad Ibn Saud.
Syekh Muhammad Ibnu
Abdul Wahhab hijrah dari Unaiyyah ke Dariyyah pada tahun 1743 M. Setahun
kemudian, tahun 1744 M, telah tercapai kesepakatan kerja sama antara Syekh
Muhammad Ibn Abdula Wahhab dan Raja Muhammad Ibnu Saud. Dua Muhammad ini
berikrar untuk saling bahu membahu dalam memperjuangkan reformasi Islam. Mereka
berdua bahkan akhirnya mengikatkan diri dalam suatu perkawinan. Syekh Muhammad
ibn Abdul Wahhab menikahi saudara Raja Muhammad ibn Saud. Oleh karena itu tahun
1744 M, dapat dipandang sebagai tonggak sejarah berdirinya suatu negara yang
kelak dikenal sebagai Kerajaan Islam Arab Saudi. Pada tahun 1744 M, Syekh
Muhammad Ibn Abdul Wahhab telah berusia 41 tahun. Suatu usia yang ideal ketika
orang besar mendekati puncak karir.
Aliansi antara Muhammad
Ibnu Saud dan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab itu, yang telah melahirkan Kerajaan
Islam Arab Saudi Tahap I, merupakan suatu negara persatuan atau unitarian yang
telah memiliki batas-batas geografis yang jelas yang kelak akan meliputi sebagian
besar tanah Hedjaz. Sejarah tahapan perkembangan politik Kerajaan Islam Arab
Saudi itu dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Yaitu tahapan pertama( 1744 – 1818
M), tahapan kedua (1818 – 1884 M), dan tahapan ke tiga ( 1884 – Jaman sekarang
). Kita hanya akan membicarakan perkembangan Kerajaan Islam Arab Saudi pada
tahap ke-1 saja (bersambung ).
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar