Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Minggu, 22 Juli 2018

(04) Mengenal Lebih Dekat : Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab





4. Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, Reformator Dunia Islam.

Nama lengkap pendiri Mashab Salafi Muwahiddun ini adalah Muhammad Ibn Abdul Wahhab ibn Sulaiman ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rasyid At-Tamimi ibn  Sa’ad ibn Salamah ibn Falah ibn Abdul Wahid ibn Humaid ibn Salim ibn Sinan.

Bani Sinan  adalah qabilah dari Tamim dan qabilah  Tamim ini keturunan qabilah Mudhar Al Hamra dari keturunan bangsa Arab yang murni dari keturunan Nizar. Dan Nizar adalah  keturunan Adnan.
Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahab lahir di Desa Uyainah, sebuah desa di Yamamah, di Dataran Tinggi Nejd, kira-kira 70 km sebelah barat laut  Kota Riyadh sekarang ini. Dia lahir pada tahun 115 H atau 1703 M.

Tahun kelahiran Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab  bertepatan dengan tahun penobatan Sultan Ahmad III, Khalifah Turki Usmani (1703 – 1730 M). Berbeda dengan Ibnu Taimiyyah yang hidup pada masa Dinasti Mamalik berkuasa atas wilayah Suriah dan Damaskus( 1250-1517 M), Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab hidup pada masa Dinasti Turki Utsmani( 1299 – 1922 M) yang merupakan imperium Islam terbesar pada jamannya yang menganut Mashab Sunni Asyariyah, sebagaimana halnya Dinasti Mamalik di Mesir. 

Syekh Muhammad ibnu Abdul Wahhab  berasal dari suatu keluarga yang sangat terhormat di Nejd, baik secara keturunan maupun keagamaan. Keluarganya memang banyak melahirkan ulama-ulama dan hakim-hakim agama berbobot yang terdidik dalam Mazhab Hambali. Kakeknya adalah Syekh Sulaiman ibn Muhammad yang menduduki jabatan prestisius sebagai mufti Nejd. Sedangkan bapaknya, Abdul Wahhab adalah seorang hakim agama atau qadi di kota Uyainah pada masa pemerintahan Abdullah Ibn Mu’amar. Selain menjabat hakim agama ayahnya juga menjadi pengajar tafsir Al Qur’an dan Ilmu Hadits di masjid agung di Kota Uyainah. 

Sejak masa kanak-kanak Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab sudah menjadi kutu buku, gemar membaca dan belajar Al Qur’an. Dia menghabiskan waktu bermainnya untuk menghafal Al Qur’an. Tidak mengherankan, jika pada usia 10 tahun, dia sudah hafal Al Qur’an.

Dia termasuk anak yang jenius, cerdas, tajam pikirannya, kuat ingatannya dan fasih dalam berbicara. Mula-mula dia belajar pada ayahnya sendiri berbagai ilmu agama yang dikuasai ayahnya, sehingga ayahnya tahu betul kecerdasan dan bakat yang luar biasa dari anak kesayangan keluarganya itu. Dipelajarinya tafsir Al Qur’an, Hadist, dan fikih Mashab Hambali yang segera amat mengherankan ayahnya, karena cepatnya dia menguasai ilmu yang diajarkannya.

Kepada kakaknya Sulaiman, konon ayahnya malah pernah berkata,”Sungguh saya telah banyak mengambil hikmah dari kecerdasan anak saya itu”. Wajar sekali bila ayahnya segera merancang tahap-tahapan pendidikan bagi anak kebanggaan dan harapan keluarganya itu. Pada usia menjelang remaja, ayahnya sudah mengajaknya untuk menunaikan ibadah Haji ke Makkah. Kemudian mengajaknya berziarah ke Madinah dan dia pun bermukim di sana untuk belajar pada ulama-ulama di Madinah. 

Selesai belajar pada para ulama di Hejaz, Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab segera kembali ke kota kelahirannya di Nejd. Pada saat baru pulang dari Hejaz itulah dia mulai tertarik pada pemikiran Ibnu Taimiyyah. Bisa jadi hal ini disebabkan karena  diskusi-diskusi yang  banyak dilakukan dengan ulama-ulama Mashab Hambali yang ditemuinya di Nejd. Karena begitu tertariknya dia pada gagasan-gagasan Ibnu Taimiyyah, pada mulanya dia ingin melakukan pengembaraan ke Damaskus. Tetapi sulitnya keamaan perjalanan ke Damaskus pada saat itu, menyebabkan dia mengubah niatnya dan memilih pergi ke Bashrah.

Kota Basrah di Irak menjadi tujuan pertama dalam pengembaraannya keluar Hedzjaz untuk menuntut ilmu. Di Bashrah dia belajar sejumlah ilmu agama, seperti ilmu hadist, fiqih, nahu dan lainya lagi dari para ulama Bashrah yang terkenal. Tetapi karena  Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab  telah terdidik dengan baik dalam tradisi Mashab Hambali di lingkungan keluarganya maupun dari ulama-ulama Mashab Hambali di kota kelahirannya, segera saja dia terlibat diskusi-diskusi dan debat berkepanjangan dengan sejumlah ulama di Bashrah yang bermashab non Hambali, yakni Mashab Syafii As’yariyah yang memang banyak dianut para ulama Bashrah. 

Sebagai pengikut Mazhab Hambali, sudah barang tentu dia sangat menguasai adanya keaneka ragaman dan perbedaan pemikiran Islam yang berkembang, mulai dari Islam murni pada jaman Nabi saw, jaman para sahabat, jaman para tabiin, jaman para tabiit tabiin, sampai jaman saat Islam mengalami degradasi, dekadensi, dan kemunduran parah yang dia saksikan pada jamannya. Agaknya sejak di Kota Bashrah yang ditinggalinya selama hampir 5 tahun itulah dia segera merasakan perlunya melakukan reformasi keagamaan dengan mengembalikan Islam kepada praktek beribadah yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw yang telah dipraktekkan para Ulama Salaf. Tak ada jalan lain baginya, kecuali dengan memungut gagasan-gagasan reformasi Ibnu Taimiyyah yang sejak lama memang telah memukaunya. Dengan demikian, gagasan-gagasan Ibnu Taimiyyah yang nyaris meredup hampir lima abad karena serangan para musuh-musahnya baik pada masa Dinasti Mamalik maupun pada masa Dinasti Turki Usmani, ditangan Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab, segera menggeliat kembali. Dan memperoleh energi revitalisasi yang segera akan mengejutkan musuh-musuhnya yang pro status quo dan telah merasa nyaman dengan menikmati privelege akibat praktek bid’ah, khurofat, taklid, dan praktek mistik lainnya yang telah merajalela pada saat itu.

Memang dari kota Bashrah inilah dia mulai mengawali dakwahnya untuk mengajak dan menyeru penduduk Bashrah kembali kepada ajaran Islam sebagaimana telah dipraktekkan Nabi saw. Dalam dakwahnya itu Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab mulai menyerang pemujaan kepada berhala dan penuhanan para wali. Tetapi sebagai akibat dari seruannya itu, dia telah membangkitkan kemarahan para ulama setempat. Mereka pun beramai-ramai  meminta  agar Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab itu secepatnya meninggalkan Bashrah yang telah ditinggalinya  hampir 5 tahun. Terusir dari Bashrah dia pun menuju kota tetangganya Zubair, yang terletak di teluk Arab.  Tetapi di Zubair dia hanya tinggal beberapa saat, kemudian meneruskan perjalanannya menuju al-Hasa. Di al-Hasa ini, dia bertemu dengan seorang ulama bermashab Syafii, Abdullah Ibn Muhammad  Ibn Abdullatif yang menerimanya sebagai tamu. Namun Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab merasa  kecewa terhadap sikap Abdullah yang tradisional. Karena itu dia lalu melanjutkan perjalanannya ke Baghdad.

Di Kota Baghdad  dia sempat menikmati hidup perkawinan dengan seorang wanita yang kaya raya. Usia perkawinannya hanya pendek, sekitar 5 tahun, karena istrinya meninggal. Kematian istrinya itu, menyebabkan dia merancang kembali rencana pengembaraannya untuk meneguk ilmu. Mula-mula dia pergi ke Kurdistan, kemudian ke Hamadan dan akhirnya tiba di Isfahan, Iran. Di Kota Isfahan inilah dia sempat mempelajari filsafat dan tasawuf. Akhirnya setelah bertahun tahun merantau, dia pun kembali ke kota kelahirannya Nejd (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar