Nama lengkap pendiri Mashab Salafi Muwahiddun ini adalah
Muhammad Ibn Abdul Wahhab ibn Sulaiman ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn
Rasyid At-Tamimi ibn Sa’ad ibn Salamah
ibn Falah ibn Abdul Wahid ibn Humaid ibn Salim ibn Sinan.
Bani Sinan adalah qabilah dari Tamim dan qabilah Tamim ini keturunan qabilah Mudhar Al Hamra
dari keturunan bangsa Arab yang murni dari keturunan Nizar. Dan Nizar
adalah keturunan Adnan.
Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahab lahir di Desa Uyainah, sebuah
desa di Yamamah, di Dataran Tinggi Nejd, kira-kira 70 km sebelah barat
laut Kota Riyadh sekarang ini. Dia lahir
pada tahun 115 H atau 1703 M.
Tahun kelahiran Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab bertepatan dengan tahun penobatan Sultan Ahmad
III, Khalifah Turki Usmani (1703 – 1730 M). Berbeda dengan Ibnu Taimiyyah yang
hidup pada masa Dinasti Mamalik berkuasa atas wilayah Suriah dan Damaskus(
1250-1517 M), Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab hidup pada masa Dinasti Turki
Utsmani( 1299 – 1922 M) yang merupakan imperium Islam terbesar pada jamannya
yang menganut Mashab Sunni Asyariyah, sebagaimana halnya Dinasti Mamalik di
Mesir.
Syekh Muhammad ibnu Abdul Wahhab berasal dari suatu keluarga yang sangat
terhormat di Nejd, baik secara keturunan maupun keagamaan. Keluarganya memang
banyak melahirkan ulama-ulama dan hakim-hakim agama berbobot yang terdidik
dalam Mazhab Hambali. Kakeknya adalah Syekh Sulaiman ibn Muhammad yang
menduduki jabatan prestisius sebagai mufti Nejd. Sedangkan bapaknya, Abdul
Wahhab adalah seorang hakim agama atau qadi di kota Uyainah pada masa
pemerintahan Abdullah Ibn Mu’amar. Selain menjabat hakim agama ayahnya juga
menjadi pengajar tafsir Al Qur’an dan Ilmu Hadits di masjid agung di Kota
Uyainah.
Sejak masa kanak-kanak Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab sudah
menjadi kutu buku, gemar membaca dan belajar Al Qur’an. Dia menghabiskan waktu
bermainnya untuk menghafal Al Qur’an. Tidak mengherankan, jika pada usia 10
tahun, dia sudah hafal Al Qur’an.
Dia termasuk anak yang jenius, cerdas, tajam pikirannya, kuat
ingatannya dan fasih dalam berbicara. Mula-mula dia belajar pada ayahnya
sendiri berbagai ilmu agama yang dikuasai ayahnya, sehingga ayahnya tahu betul
kecerdasan dan bakat yang luar biasa dari anak kesayangan keluarganya itu.
Dipelajarinya tafsir Al Qur’an, Hadist, dan fikih Mashab Hambali yang segera
amat mengherankan ayahnya, karena cepatnya dia menguasai ilmu yang
diajarkannya.
Kepada kakaknya Sulaiman, konon ayahnya malah pernah
berkata,”Sungguh saya telah banyak mengambil hikmah dari kecerdasan anak saya
itu”. Wajar sekali bila ayahnya segera merancang tahap-tahapan pendidikan bagi
anak kebanggaan dan harapan keluarganya itu. Pada usia menjelang remaja,
ayahnya sudah mengajaknya untuk menunaikan ibadah Haji ke Makkah. Kemudian
mengajaknya berziarah ke Madinah dan dia pun bermukim di sana untuk belajar
pada ulama-ulama di Madinah.
Selesai belajar pada para ulama di Hejaz, Syekh Muhammad Ibn
Abdul Wahhab segera kembali ke kota kelahirannya di Nejd. Pada saat baru pulang
dari Hejaz itulah dia mulai tertarik pada pemikiran Ibnu Taimiyyah. Bisa jadi
hal ini disebabkan karena
diskusi-diskusi yang banyak
dilakukan dengan ulama-ulama Mashab Hambali yang ditemuinya di Nejd. Karena
begitu tertariknya dia pada gagasan-gagasan Ibnu Taimiyyah, pada mulanya dia
ingin melakukan pengembaraan ke Damaskus. Tetapi sulitnya keamaan perjalanan ke
Damaskus pada saat itu, menyebabkan dia mengubah niatnya dan memilih pergi ke
Bashrah.
Kota Basrah di Irak menjadi tujuan pertama dalam
pengembaraannya keluar Hedzjaz untuk menuntut ilmu. Di Bashrah dia belajar
sejumlah ilmu agama, seperti ilmu hadist, fiqih, nahu dan lainya lagi dari para
ulama Bashrah yang terkenal. Tetapi karena
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab
telah terdidik dengan baik dalam tradisi Mashab Hambali di lingkungan
keluarganya maupun dari ulama-ulama Mashab Hambali di kota kelahirannya, segera
saja dia terlibat diskusi-diskusi dan debat berkepanjangan dengan sejumlah
ulama di Bashrah yang bermashab non Hambali, yakni Mashab Syafii As’yariyah
yang memang banyak dianut para ulama Bashrah.
Sebagai pengikut Mazhab Hambali, sudah barang tentu dia
sangat menguasai adanya keaneka ragaman dan perbedaan pemikiran Islam yang
berkembang, mulai dari Islam murni pada jaman Nabi saw, jaman para sahabat,
jaman para tabiin, jaman para tabiit tabiin, sampai jaman saat Islam mengalami
degradasi, dekadensi, dan kemunduran parah yang dia saksikan pada jamannya.
Agaknya sejak di Kota Bashrah yang ditinggalinya selama hampir 5 tahun itulah
dia segera merasakan perlunya melakukan reformasi keagamaan dengan
mengembalikan Islam kepada praktek beribadah yang berdasarkan Al Qur’an dan
Sunnah Nabi saw yang telah dipraktekkan para Ulama Salaf. Tak ada jalan lain
baginya, kecuali dengan memungut gagasan-gagasan reformasi Ibnu Taimiyyah yang
sejak lama memang telah memukaunya. Dengan demikian, gagasan-gagasan Ibnu
Taimiyyah yang nyaris meredup hampir lima abad karena serangan para
musuh-musahnya baik pada masa Dinasti Mamalik maupun pada masa Dinasti Turki
Usmani, ditangan Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab, segera menggeliat kembali.
Dan memperoleh energi revitalisasi yang segera akan mengejutkan musuh-musuhnya
yang pro status quo dan telah merasa nyaman dengan menikmati privelege akibat
praktek bid’ah, khurofat, taklid, dan praktek mistik lainnya yang telah
merajalela pada saat itu.
Memang dari kota Bashrah inilah dia mulai mengawali dakwahnya
untuk mengajak dan menyeru penduduk Bashrah kembali kepada ajaran Islam
sebagaimana telah dipraktekkan Nabi saw. Dalam dakwahnya itu Syekh Muhammad ibn
Abdul Wahhab mulai menyerang pemujaan kepada berhala dan penuhanan para wali.
Tetapi sebagai akibat dari seruannya itu, dia telah membangkitkan kemarahan
para ulama setempat. Mereka pun beramai-ramai
meminta agar Syekh Muhammad ibn
Abdul Wahhab itu secepatnya meninggalkan Bashrah yang telah ditinggalinya hampir 5 tahun. Terusir dari Bashrah dia pun
menuju kota tetangganya Zubair, yang terletak di teluk Arab. Tetapi di Zubair dia hanya tinggal beberapa
saat, kemudian meneruskan perjalanannya menuju al-Hasa. Di al-Hasa ini, dia
bertemu dengan seorang ulama bermashab Syafii, Abdullah Ibn Muhammad Ibn Abdullatif yang menerimanya sebagai tamu.
Namun Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab merasa
kecewa terhadap sikap Abdullah yang tradisional. Karena itu dia lalu
melanjutkan perjalanannya ke Baghdad.
Di Kota Baghdad dia
sempat menikmati hidup perkawinan dengan seorang wanita yang kaya raya. Usia
perkawinannya hanya pendek, sekitar 5 tahun, karena istrinya meninggal.
Kematian istrinya itu, menyebabkan dia merancang kembali rencana
pengembaraannya untuk meneguk ilmu. Mula-mula dia pergi ke Kurdistan, kemudian ke
Hamadan dan akhirnya tiba di Isfahan, Iran. Di Kota Isfahan inilah dia sempat
mempelajari filsafat dan tasawuf. Akhirnya setelah bertahun tahun merantau, dia
pun kembali ke kota kelahirannya Nejd (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar