Sejarah Galuh Purba di Purwokerto-Banyumas
Ahli sejarah Belanda WJ
van der Meulen, memiliki tradisi dan metode
unik jika dia hendak melakukan rekonstruksi sejarah suatu kerajaan dari
masa lalu.
Sebagai seorang
sejarawaan yang tekun dan teliti, sebagaimana umumnya ilmuwan Belanda, tentu
saja van der Meulen sering menghadapi
kelangkaan dokumen, seperti artefac, prasasti dan dokumen tertulis lainnya.
Nah, untuk mengatasi kebuntuan itu, van der Meulen sering mengandalkan toponim dan topografi
sebagai alat bantu melakukan rekonstruksi sejarah. Tentu saja van der Meulen
sangat menguasai filologi, mitologi dan sastra babad, yang banyak membantunya
dalam melakukan rekonstruksi suatu data sejarah.
Salah satu hipotese
van der Meulen yang sangat menarik
adalah hipotesisnya mengenai Kerajaan Galuh Purba yang berdiri di lereng selatan Gunung Slamet pada
abad awal abad ke-7 M. Temuan van der Meulen yang juga sangat mengejutkan adalah
tentang nama Purwokerto, sebuah kota di
selatan Gunung Slamet yang kini menjadi Ibu Kota Kabupaten Banyumas.
Banyak orang menduga,
nama Banyumas lebih tua dari nama Purwokerto. Ternyata van der Meulen berhasil
membuktikan bahwa nama Purwokerto lebih tua dari nama Banyumas yang baru muncul
sebagai kota kabupaten pada akhir abad ke-16 M, yakni tahun 1582 berdasarkan penelitian
ahli epigrafi terbaik MM.Sukarto.
Dengan mengandalkan
berita-berita dari Tiongkok pada masa Dinasti Tang, diketahui bahwa pada abad
ke 7-9 M, di Jawa sudah ada dua kerajaan besar, yakni di Topoteng sebelah barat Hooling. Van der
Meulen berhasil melakukan identifikasi nama Hooling sebagai Kalingga dan
Topoteng sebagai Purwokerto. Jika ibu
kota Kerajaan Holing, terletak di dekat Purwodadi-Grobogan, maka Purwokerto
atau Topoteng menurut lidah Tiongkok yang tidak bisa mengucapkan huruf r,
terletak di lereng selatan Gunung Slamet, kurang lebih di sekitar Kota
Purwokerto sekarang ini.
Di Topoteng itulah
menurut berita Dinasti Tang Tiongkok, pada awal abad ke-7 M, pernah berdiri
Kerajaan Galuh Purba. Dengan demikian cikal bakal kota Purwokerto lebih tua
hampir sembilan abad, dibanding cikal bakal kota Banyumas, yang sering mendapat
julukan pers ibu kota sebagai kota tua. Sayang keberadaan Kerajaan Galuh Purba
di Purwokerto itu cepat surut, sehingga nama Purwokerto ikut lenyap dari
panggung sejarah. Nama Purwokerto baru muncul kembali pada tahun 1831, sebagai
nama dari distrik Kabupaten Ajibarang yang saat itu baru saja dibentuk. Tahun
1832, Kabupaten Ajibarang pindah ke distrik Purwokerto. Sejak tahun 1832 itulah
Purwokerto naik status, dari sebuah distrik, menjadi sebuah kabupaten, yakni
Kabupaten Purwokerto.
Kerajaan Galuh Purba,
menurut van der Meulen, didirikan oleh para imigran suku bangsa Galuh Purba yang
melakukan pengungsian secara besar-besaran menyeberangi Laut China Selatan dari
tanah leluhurnya di daerah Fu-Nan, sekitar Kamboja sekarang. Suku bangsa Galuh
Purba ini tidak sendirian mendarat di Pulau Jawa. Masih ada gelombang imigran
susulan lain yang disebutnya sebagai suku
bangsa Galuh Lor, yang juga berasal dari Fu Nan, Kamboja. Mereka juga berhasil
mendarat di Jawa.
Suku
Bangsa Galuh Lor Pemuja Dewa Rahu.
Setelah mendarat di
Kutai beberapa saat, suku bangsa Galuh Lor melanjutkan pelayarannya ke arah
selatan, menyeberang Laut Jawa, akhirnya mendarat di Pekalongan. Kemudian menyusuri Sungai Lampir.
Sebelumnya, sudah ada suku imigran lain yang mendahului mendarat
di muara Sungai Lampir juga. Gelombang imigran
pertama ini bergerak ke timur, kemudian berhasil mendirikan Kerajaan Kalingga
di sekitar Purwodadi Grobogan. Salah seorang raja Hooling atau Kalingga yang namanya terkenal adalah seorang wanita,
yakni Ratu Sima. Imigran pendatang yang berhasil mendirikan Kerajaan Kalingga
yang memeluk agama Wisynu atau Waisnawa
itu dianggap sebagai leluhur orang Jawa.
Gelombang kedua imigran
yang mendarat di muara Sungai Lampir itu, diidentifikasi van der Meulen sebagai suku bangsa Galuh Lor. Mereka tidak bergerak ke timur mengikuti jejak rombongan
imigran pertama.Rombongan suku Galuh Lor ini memilih meneruskan menyusuri Sungai Lampir ke arah
hulu, mendaki Pegunungan Perahu, akhirnya sampai di Dieng.
Suku bangsa Galuh Lor
ini adalah pemuja dewa Rahu, dewa yang setiap terjadi gerhana, dimitoskan
sebagai penelan bulan dan matahari. Sekte
agama Rahu merupakan sekte Hindusime yang menyimpangan dari agama Wisnu atau
Waisnawa. Mungkin dari kata dewa Rahu itulah maka pegunungan tempat suku bangsa pemuja
Rahu bermukim itu, disebut sebagai Gunung Perahu.
Dalam kisah mitologi
Hindu, raksasa Rahu berhasil mencuri kendi milik para dewa yang berisi air suci
amertam atau air suci jivana. Konon barang siapa
yang meminum air amerta, dia akan
bisa hidup abadi tanpa pernah menjadi tua,seperti para dewa. Raksasa Rahu
memang ingin hidup abadi seperti dewa, maka dia pun mencari akal agar bisa
mencuri air suci para dewa itu. Keinginan Rahu terkabul. Dia berhasil mencuri
kendi berisi air amerta, karena dewa yang menjaganya lengah.
Tetapi ketika raksasa
Rahu hendak meminumnya, tiba-tiba dewa Surya dan dewa Candra melihatnya. Kedua
dewa itu segera memberi tahu dewa Wisnu.
Dewa Wisnu yang diberitahu, cepat bertindak. Raksasa Rahu yang sedang
minum air suci dari mulut kendi dengan tergesa-gesa itu itu, langsung dipanah,
tepat mengenai lehernya. Kepala Rahu pun putus
seketika.
Tapi kepala raksasa
Rahu yang putus dari lehernya itu tetap hidup abadi, karena Rahu sempat
meminumnya namun belum sempat menelannya.Kepala Rahu pun melayang-layang di
angkasa hidup abadi sebagai dewa Rahu, dewa berwujud kepala raksasa tanpa gembung.
Sedang gembung raksasa
Rahu jatuh ke bumi, dimitoskan penduduk menjelma jadi alat penumbuk padi, lesung.
Karena dendam kepada dewa Surya dan dewa Candra, kepala dewa Rahu yang terus
hidup abadi di angkasa itu, selalu mengejar-ngejar dewa Matahari dan Dewa
Bulan. Kisah ini melahirkan mitos gerhana matahri dan gerhana bulan sebagai
legenda rakyat yang sangat populer.
Kekalahan dewa Rahu
dari dewa Wisnu memberi makna simbolik. Suku Galuh Lor penyembah dewa Rahu yang
bermukim di Dieng, berhasil ditaklukkan. Kerajaan Kalingga yang menyembah dewa Wisnu. Memang
suku bangsa Galuh Lor yang menyembah dewa Rahu itu, menurut van der Meulen adalah mantan penjahat bajak laut yang gemar
melakukan perampokan. Suku bangsa Galuh Lor penyembah dewa Rahu ini sering
mengganggu suku Galuh Purba yang berhasil mendirikan Kerajaan Galuh di
Topoteng. Bahkan suku Galuh Lor penyembah dewa Rahu itu berhasil mengusir suku
Galuh Purba di Topoteng. Kemudian di sana mereka mendirikan tempat pemujaan
kepada dewa Rahu yang diberi nama Goromanik, yang artinya adalah permata rahu.
Nama Gunung Agung pun dirubahnya menjadi Gunung Goro,akhirnya menjadi Gunung
Gora.
Suku
Bangsa Galuh Purba
Suku bangsa Galuh Purba
di Topoteng, karena terdesak suku Galuh Lor yang mantan pembajak itu, kemudian
mengungsi ke arah barat, bersatu dengan
saudaranya suku bangsa Galuh Purba yang membangun pemukiman di Garut. Kedua
suku bangsa Galuh Purba itu kemudian bersatu bersama-sama membangun Kerajaan
Galuh Kawali di tepi barat sungai
Citanduy yang kemudian berkembang menjadi kerajaan besar.
Rajanya yang terkenal
sebagai pendiri kerajaan Galuh Kawali adalah Maharaja Wretikandayun. Putra
Maharaja Wretikandayun, Mandi Minyak, akhirnya bisa merebut kembali wilayah Topoteng
dan menghancurkan suku Galuh Lor.
Anehnya, ketika
menghancurkan pemukiman Galuh Lor, Galuh Purba di Kawali, bekerja sama dengan
Kalingga. Padahal Kalingga dan Galuh, berbeda sekte dan berbeda suku. Kalingga adalah
nenek moyang orang Jawa yang menyembah Dewa Wisynu Sedangkan Galuh Kawali adalah
nenek moyang orang Sunda yang menyembah Dewa Syiwa .
Apa sebabnya Galuh Purba
bisa bekerja sama dengan Kalingga untuk menghancurkan Galuh Lor pemuja dewa
Rahu?
Rupanya baik Wretikandayun
maupun Sima memiliki pandangan sama bahwa agama Rahu adalah agama sesat dan
menyimpang yang harus dimusnahkan karena pengikutnya gemar merampok dan
membunuh pemeluk agama lain. Kalau jaman sekarang, mungkin pemuja Rahu itu disebut
teroris.
Lagi pula, Ratu Sima
terkenal tegas dalam menghancurkan
setiap kejahatan. Bahkan konon, putranya sendiri dihukum potong kakinya,
gara-gara tidak sengaja menginjak bungkusan emas yang ditaruh seorang pedagang
Muslim yang ingin menguji tingkat ketaatan rakyat Kalingga kepada Ratu Sima.
Rupanya tradisi anti korupsi, pernah ditanamkan Ratu Sima di Kerajaan Kalingga.
Sayang, nilai-nilai budaya anti korupsi Ratu Sima yang berani menghukum anaknya
itu, tidak terwariskan kepada raja-raja kerajaan Jawa yang muncul kemudian.
Kerjasama kedua
kerajaan beda aliran kepercayaan itu, meraih sukses besar sehingga bisa menghancurkan
kekuasaan suku bangsa Galuh Lor. Hasil kerjasama kedua kerajaan itu tentu saja
berbagi wlayah. Topoteng kembali ke bawah kekuasaan Galuh Purba di Kawali dan
wilayah pegunungan Dieng dan Perahu jatuh ke tangan Kerajaan Kalingga di
Grobogan Purwodadi.
Bisa jadi benar keterangan
dalam Naskah Sunda Wangsakerta yang menyebutkan bahwa Wretikandayun akhirnya berbesanan dengan ratu Sima. Parwati, putri mahkota
Kerajaan Kalingga dipersunting
Mandiminyak, putra Mahkota Kerajaan
Galuh Kawali.
Wretikandayun punya
tiga putra, Sampakwaja, Kedul dan Mandiminyak. Dua putra pertama tak memenuhi
syarat menjadi putra mahkota. Sampakwaja, Si Sulung giginya tongos sedang adiknya, bodoh bin kedul. Hanya Mandiminyak putra
bungsu Wretikandayun yang memenuhi harapan. Sebab dia paling cakap, paling tampan
dan cerdas. Maka Mandiminyaklah yang diangkat jadi putra mahkota. Dan dialah yang
dikawinkan dengan Parwati, putri Ratu Sima. Perkawinan Mandiminyak dengan Parwati, menjadi perintis tradisi
perkawinan silang antara suku Jawa dan suku Sunda. Tradisi inilah yang kelak
melahirkan sub etnis orang Banyumas.
Perkawinan
Mandiminyak dengan Parwati, menurunkan seorang putri, Sannaha.
Mandiminyak yang dalam naskah Sunda Carita Parahiyangan, dilukiskan sebagai
seorang don yuan itu, punya anak juga dari hasil selingkuhnya dengan Dewi Pohacci, istri kakak kandungnya,
Sampakwaja. Dewi Pohacci memang cantik. Mandiminyak pun cakap, putra mahkota pula. Sementara itu Sampakwaja,
sekalipun sulung, giginya terlalu tongos bin mrongol, sehingga dikategorikan
cacad. Karena itu Sampakwaja kehilangan hak sebagai putra mahkota. Namun
ayahnya, Wretikandayun menghiburnya dengan mengangkatnya sebagai Adipati
Galunggung-Sukapura, dan juga memberinya hadiah istri cantik jelita Pohacci Rababu Bunga Mangale-ale.
Dari Perkawinannya
dengan Sampakwaja, Pohacci punya dua putra, Purbasora dan Demunawan. Dari hasil selingkuhnya dengan Putra Mahkota Mandiminyak, Pohacci juga melahirkan
seorang putra yang cerdas dan perkasa, sehingga diberi nama Senna ( dari Bratasena,
Satria Pandawa). Sekalipun Sampakwaja
mengetahui bahwa Pohacci telah selingkuh dengan adiknya, toh Sampakwaja tidak
berani menceraikan Pohacci.
Setelah Senna cukup
umur, dia naik tahta Kerajaan Galuh menggantikan ayahnya Mandiminyak. Tetapi
setelah tujuh tahun menduduki tahta Kerajaan Galuh, kakak tirinya Purbasora,
berhasil mengusirnya. Purbasora merasa
punya hak waris atas tanta kakeknya, Wretikandayun, karena ayahnya, Sampakwaja,
adalah putra sulung kakeknya. Senna terpaksa melarikan diri ke timur, melintasi
lembah Serayu akhirnya mencoba membangun kekuatan dari tepi Sungai Cibaghalin (Bogowonto).
Menurut Naskah
Wangsakerta, Senna melarikan ke Kalingga, meminta perlindungan ibu tirinya
Parwati yang naik tahta menggantikan Ratu Sima. Parwati kemudian malah
mengawinkan Senna dengan Sannaha,anaknya dengan Mandiminyak, yang sekaligus adalah
adik tiri Senna sendiri. Dari perkawinan Senna dengan
Sannaha lahirlah putranya yang bernama
Rakean Jambri alias Sanjaya.
Rake Sanjaya setelah
dewasa mewarisi tahta ibunya, Sannaha.
Karir dan bakatnya segera tampak. Konon
setelah Parwati mangkat, Kalingga pecah jadi dua, Kalingga utara untuk Sannaha
dan Senna, sedang Kalingga Selatan untuk adik Sannaha. Rake Sanjaya berhasil
menyatukan kembali Kalingga Selatan dan Utara dibawah kendalinya. Kerajaan yang
berhasil disatukan kembali itu diberi nama Kerajaan Mataram. Rake Sanjaya pun
menangkat dirinya sebagai Rake Mataram.
Rake Sanjaya juga berhasil
mengambil alih kembali tahta Galuh, setelah berhasil mengalahkan pamannya,
Purbasora dalam suatu pertempuran hebat. Perang hebat Kerajaan Galuh Kawali melawan Kerajaan Mataram
berakhir dengan tewasnya Purbasora. Setelalah kekuasaan Sanjaya surut, Mataram
dan Galuh kembali terpisah. Kerajaan Galuh Kawali berkembang di sebelah barat
Sungai Cibaghalin sedang Kerajaan Mataram, berkembang di sebelah timur Sungai Cibaghalin.
Secara geografis
cakupan wilayah Kerajaan Galuh mencakup sungai Citarum, Cimanuk. Citanduy,
Ciserayu dan Cibaghalin. Van der Meulen dengan memanfaatkan toponim, berhasil
membuktikan cakupan wilayah suku bangsa Galuh dengan menyebut nama desa dengan
kosa kata galuh yang tersebar dari Cirebon, Ciamis, Banyumas, sampai Bagelen.
Misalnya, Rajagaluh (Cirebon), Galuh ( Ciamis), Galuh (Purbalingga), Segaluh
(Selatan Wonosobo), dan Samigaluh yang malah di sisi timur Bagawanta, masuk Kulon
Progo.
Asal muasal kata
Purwokerto.
Memang menurut antropologi
budaya, ada tiga gelombang imigran suku-suku Deutero Melayu yang mendarat di
Pulau Jawa, yakni suku Sunda di Jawa Barat, suku Jawa di Jawa Tengah dan suku
Madura di Jawa Timur. Suku Sunda mendarat di muara Citarum, dan membentuk
Kerajaan Tarumanegara. Suku Jawa, mendarat di Pekalongan, dan mendirikan
Kerajaan Kalingga, sedangkan suku Madura mendarat di Jawa Timur, tetapi
terdesak oleh suku Jawa, sehingga selalu gagal mendirikan Kerajaan Madura,
karena raja-raja Jawa pandai mengambil istri para putri bangsawan Madura.
Hipotes van der Meulen
menyebutkan adanya satu suku bangsa lagi yang merupakan suku bangsa sisipan
dari tiga suku bangsa yang sudah dikenal dalam antropologi budaya di atas. Suku
bangsa sisipan itu adalah suku bangsa Galuh Purba dan Galuh Lor. Posisi
pendaratan Galur Lor sudah dibicarakan,yakni dimuara Sungai Lampir, Pekalongan.
Lalu . di pantai mana di Laut
Jawa suku bangsa Galuh Purba mendarat ?
Menurut van der Meulen,
setelah melalui petualangan panjang dan melelahkan menyeberangi Laut China
Selatan dan melewat berbagai selat,
akhirnya mereka tiba juga di sebelah timur muara Cimanuk, dekat Cirebon. Secara
bertahap mereka menuju arah hilir Cimanuk dengan mengelilingi sisi barat Gunung
Ceremai. Meraka terus menuju hilir, melewati Palimanan, Careme,
Sindang-Sindang, dan Raja Galuh, sebagaimana disebutkan dalam Carita
Parahiyangan. Sebuah kitab semacam babad yang dianggap berasal dari abad ke-16
M, sehingga setara dengan Pararaton.
Rombongan suku Galuh
itu terpecah jadi dua. Satu rombongan belok kanan menuju arah Garut, mengikuti
jalur hilir Cimanuk. Kelompok sisanya, pindah jalur ke kiri sampai di tepi
Citanduy , mengikuti aliran Citanduy, akhirnya rombongan terakhir ini tiba di
kaki Gunung Slamet. Di sana mereka berhasil mendirikan Kerajaan Galuh Purba
yang berhasil diidentifikasi oleh penulis Dinasti Tang. Dilaporkan dalam
catatan Dinasti Tang bawha Topoteng bersama-sama Holing dan Dwahala pernah mengirimkan
utusan ke Tiongkok antara tahun 627 –
649 M.
Tetapi setelah itu nama
Topoteng lenyap. Sedangkan Hooling masih
secara rutin mengirimkan utusannya sampai 3 kali pada abad-abad ke-8 dan ke-9
M. Van der Meulen tidak berhasil
melakukan identifikasi letak Dwahala.Tetapi berhasil dengan baik sekali
melakukan identifikasi Topoteng, sebagai Purwokerto.
Menurut van der Meulen,
kata Topoteng, berasal dari kata Tataweteng, yang mengalami perubahan
pengucapan sehingga menjadi Purwokerto, yang berarti “ yang disusun di permulaan”
Kata tata, semakna dengan kerta, atau kerto yang berarti sedang dibentuk, sedang
menjadi , sedang berproses, sedang disusun, atau sedang diatur.
Adapun kata weteng, poweteng, purwoteng akhirnya
menjadi purwo, yang berarti permulaan, wiwitan
atau awal. Jadi, secara toponim, kata Topoteng, berasal dari kata kerto-purwo,
yang kemudian diucapkan terbalik. Jadilah nama Purwokerto. Demikan van der
Meulen, membuat hipotesis asal mula nama Purwokerto.
Berbeda dengan kata
kerto tapi hampir mirip adalah kata karta, yang berarti pemukiman atau kota
yang sudah terbentuk. Surakarta, berarti
kota yang berani. Demikian pula Kartasura, punya makna yang sama, kota
yang berani. Jayakarta, berarti kota yang jaya atau kota yang menang..
Bagaimana dengan Purwakarta?
Secara toponim, purwa berarti awal, sedang karta berarti kota yang sudah terbentuk. Atau kota yang sudah mapan, kota yang didirikan paling awal. Memang Ibukota Kerajaan Tarumanegara dulu diduga pertama kali didirikan di situs kota Purwakarta, sebelum akhirnya pindah ke arah atas mendekati muara Sungai Citarum. Nama Purwakarta muncul kembali setelah lama tenggelam di lantai sejarah, menjadi nama ibu kota kabupaten pada Agustus 1830 M, yang merupakan pecahan Kabupaten Krawang. Bupati yang mendirikan Kota Purwakarta baru, memang berasal dari Bogor, kota yang dahulu serang dikunjungi Raja Tarumanegara, Purnawarman (395 - 434 M).
Secara toponim dan historis, Kota Purwakarta berdiri lebih dulu dari Kota Purwokerto. Kemiripan nama ini hanya menunjukkan bahwa Kota Purwokerto Banyumas pada masa lalu lebih kuat dipengaruhi kebudayaan Sunda Galuh dari pada kebudayaan Jawa dari kerajaan-kerajaan Jawa di sebelah timur Bagawanta. Malah pendiri Kota Purwokerto, berdasarkan telaah van der Meuluen adalah orang-orang Sunda Galuh Purba. Sedangkan situs Purwakarta, didirikan orang-orang Sunda Tarumanegara.
Bagaimana dengan Purwakarta?
Secara toponim, purwa berarti awal, sedang karta berarti kota yang sudah terbentuk. Atau kota yang sudah mapan, kota yang didirikan paling awal. Memang Ibukota Kerajaan Tarumanegara dulu diduga pertama kali didirikan di situs kota Purwakarta, sebelum akhirnya pindah ke arah atas mendekati muara Sungai Citarum. Nama Purwakarta muncul kembali setelah lama tenggelam di lantai sejarah, menjadi nama ibu kota kabupaten pada Agustus 1830 M, yang merupakan pecahan Kabupaten Krawang. Bupati yang mendirikan Kota Purwakarta baru, memang berasal dari Bogor, kota yang dahulu serang dikunjungi Raja Tarumanegara, Purnawarman (395 - 434 M).
Secara toponim dan historis, Kota Purwakarta berdiri lebih dulu dari Kota Purwokerto. Kemiripan nama ini hanya menunjukkan bahwa Kota Purwokerto Banyumas pada masa lalu lebih kuat dipengaruhi kebudayaan Sunda Galuh dari pada kebudayaan Jawa dari kerajaan-kerajaan Jawa di sebelah timur Bagawanta. Malah pendiri Kota Purwokerto, berdasarkan telaah van der Meuluen adalah orang-orang Sunda Galuh Purba. Sedangkan situs Purwakarta, didirikan orang-orang Sunda Tarumanegara.
Kalau begitu apa makna semantik
dan historis dari kata Topoteng atau Kertopurwo atau Purwokerto yang tercatat
sebagai data historis pada cacatan Dinasti Tang?
Makna semantiknya adalah di Topoteng atau di
Purwokerto pada saat itu sedang terbentuk sebuah pemukiman yang terus
berkembang menjadi sebuah pusat pemerintahan, yaitu pusat pemerintahan Kerajaan
Galuh Purba. Tentu saja wilayah kota Topoteng
pada saat itu mencakup suatu wilayah luas dari sebelah timur Sungai Logawa ke timur sampai
sungai Kranji sekarang ini, atau bahkan sampai Sungai Pelus.
Demikianlah van der
Meulen, membuktikan hipotesenya, bahwa di Purwokerto pada awal abad ke-7,
pernah berdiri Kerajaan Galuh Purba, sekalipun hanya singkat. Tetapi di wilayah
lereng selatan Gunung Slamet itu akhirnya muncul juga pemerintahan Cabang Galuh
Kawali, yakni Kadipaten Pasirluhur yang merupakan kadipaten tertua di Lembah
Serayu, mendahului Kadipaten Wirasaba. Wallahualam.(anwarhadja-02-01-2015).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar