Kota
Purbalingga merupakan sebuah kota ibu kota Kabupaten Purbalingga yang terletak di
lereng selatan timur Gunung Slamet, kurang lebih 20 kilometer arah timur Kota Purwokerto.
Jika kita berkendaraan ke arah utara kota Purbalingga kita akan sampai di Kota
Bobotsari. Baik Bobotsari maupun Purbalingga secara toponim merupakan situs
tua, melebihi situs kota tua Banyumas.
Apakah
keunikan Purbalingga dan Bobotsari ditinjau dari sudut toponim sejarah Lembah
Serayu?
Seperti
halnya kota Purwokerto, nama Purbalingga secara historis jauh lebih dulu dikenal dari pada Kota
Banyumas. Jika Kota Banyumas baru
muncul pada penghujung abad ke- 16 M,
nama Purbalingga sudah dikenal jauh sebelum abad ke-16 M.
Kata
purba dalam kamus Bahasa Sunda, disamping mengandung pengertian awal, permulaan, dan
jaman dahulu, juga mengandung arti berwibawa atau berkuasa, karena kata purba
merupakan perubahan dari kata murba yang artinya adalah berkuasa.
Sedang kata lingga mengandung
arti tugu untuk memuja Sang Hyang Syiwa dalam
mitologi Hinduisme.
Jika
kata majemuk purba-lingga, dibalik akan
didapat kata lingga-purba. Secara harfiah,
lingga-purba mengandung arti lingga
untuk memuja dewa paling berkuasa dalam
Hinduisme, yaitu Sanghyang Syiwa.
Kata
lingga-purba juga bisa ditafsirkan sebagai tugu lingga yang didirikan oleh orang-orang
berwibawa atau penguasa berwibawa yang
pasti memakai nama Purba. Kalau demikian siapakah gerangan tokoh berkuasa
dengan nama Purba yang telah mendirikan tugu lingga untuk memuja Syiwa, dewa
paling berkuasa itu?
Toponim Bobotsari bisa dengan mudah mengungkapkan
siapakah penguasa dengan nama Purba yang telah mendirikan lingga-purba
itu.Kata bobot, menurut van der Meulen, berasal dari kata mbobot, meteng atau
weteng, yang semakna dengan kata purwo dan purba. Jadi kata bobot-sari identik
dengan kata purba-sari. Nah, mudah bukan buat menebak siapa tokoh yang mendirikan situs
Purbalingga? Situs Purbalingga didirikan oleh tokoh wanita berwibawa dan
berkuasa yang namanya Purbasari. Dia
pernah bermukin di Bobotsari dan mendirikan sebuah tugu untuk memuja Sang Hyang
Syiwa di Purbalingga.
Nama
Bobotsari juga menunjuk pada nama Putri
Purbasari yang tengah hamil, setelah melakukan bulan madu dengan suaminya. Dengan
demikian, di Bobotsari itulah, pada jaman dahulu Putri Purbasari dengan suaminya pernah mendirikan sebuah pesanggrahan tempat mereka
berdua menikmati bulan madu dan memadu kasih.
Nama
Purbasari sama sekali tidak dijumpai dalam ceritera rakyat dan tradisi lisan Banyumas. Tetapi nama Purbasari justru
dikenal dalam tradisi lisan ceritera pantun Sunda Lutung Kasarung. Pantun
Lutung Kasarung ini berisi kisah dua putri Raja Tapa Ageung dari Kerajaan
Pasirbatang, yakni Putri Purbasari dan Putri Purbararang yang terlibat dalam
perselisihan memperebutkan hak atas tahta Kerajaan Pasirbatang.
Lutung
Kasarung versi Pasundan ini berbeda dengan Lutung Kasarung versi
Banyumas. Tetapi Lutung Kasarung versi Pasundan dapat dipastikan lebih tua dari Lutung Kasarung
versi Banyumas. Bahkan Lutung Kasarung versi Banyumas dalam beberapa hal
mengadopsi kisah Lutung Kasarung versi Pasundan. Perbedaannya adalah Lutung Kasarung versi Pasundan menceriterakan
Kerajaan Pasirbatang dengan tokoh-tokoh utamanya Purbararang, Indrajaya,
Purbasari dan Guru Minda. Sedangkan Lutung Kasarung Banyumas tokoh utamanya
Raden Kamandaka dan Dewi Ciptarasa dari Kadipaten Pasirluhur.
Kisah Lutung Kasarung Versi Tanah Pasundan
Secara
garis besar, pantun Sunda Lutung Kasarung menceriterakan Raja Tapa Agung dari
Kerajaan Pasirbatang Anu Girang yang ingin lengser dari jabatannya karena dia
merasa sudah tua. Permasalahan timbul karena Raja Tapa Agung menunjuk putri bungsunya,
Purbasari sebagai pewaris tahta kerajaan. Sedangkan putri sulungnya,
Purbararang hanya diserahi jabatan sementara saja, sampai adik bungsunya itu
cukup dewasa untuk dapat menduduki tahta kerajaan yang akan ditinggalkannya. Rupanya
bagi Raja Tapa Agung, Putri Purbasari, bungsu dari tujuh bersaudara disamping
berwajah cantik, juga dipandangnya sebagai
calon pewaris tahta yang lebih memiliki keunggulan dan kemampuan untuk mengendalikan pemerintahan.
Karakter
Purbasari dilukiskan dalam beberapa bait pantun Sunda Lutung Kasarung yang
berhasil dikutip Ayip Rosidi sbb :
“Semu
ratu sorot menak/bulu betis muril-muril/tetenger jadian kuring/bulu punduk
miuh-miuh/tetenger jadian tahun/sangaruang dina tarang/tetenger jadian
kuras/puter kurung dina irung/tetenger terah wong agung/tapak jalak dina letah/
tetenger bisa merentah/ taktak taraju jawaen/ geulis ti nitis ngajadi/ jalma
lenjang ti pangpangna/ geulis datang ka nu lahir/ trus ka langit ping pitu/ parat
ka congkar buana/komarana mancur ka langit”
Ayip
Rosidi, Sastrawan Sunda kelahiran Jatiwangi Cirebon menerjemahkan teks di atas sbb:
“Wajah
ratu wibawa bangsawan/ bulu betis ikal bergulung/ alamat banyak punya kawula/
bulu roma berpiuh-piuh/alamat subur bertanam padi/tanda sangauang pada dahi/
alamat banyak rizki/ tanda putirkurung pada hidung/ alamat keturunan orang
besar/ tanda cakra pada lidah/ alamat pandai memerintah/ bahu seperti timbangan
jawa/ cantik sejak asali/ ramping dari mula jadi/ jelita sampai pun jasmani/
menembus sampai langit ke tujuh/ sampai di pusat dunia/ wibawa memancar ke
langit”
Sang
Juru Pantun bukan hanya melukiskan profil lahiriyah Purbasari, tetapi sekaligus
dia juga membuat tafsiran unik tanda-tanda fisik Purbasari mulai dari betis,
bahu, dahi, hidung, lidah dan tanda-tanda kecantikan lainnya sebagai sosok calon
ratu yang cocok untuk mengendalikan pemerintahan, mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan bagi rakyat Kerajaan Pasirbatang.
Kisah
Purbasari berakhir dengan hidup bahagia setelah dia mengalami cobaan berat
karena fitnah jahat Purbarangrang yang bermaksud menyingkirkannya. Purbararang yang jahat itu dilukiskan Sang Juru pantun
dengan ciri-ciri penampilan wajah
sebagai berikut:
“Urat
nganteng dina tarang/ pangaruh jalma nu bedang”
Ayip
Rosidi menterjemahkannya sbb :“Urat
merentang pada dahi/ akibat selalu menang sendiri”
Dalam
kisah Lutung Kasarung versi Pasundan itu, disebutkan bahwa Purba Rarang sangat
kecewa dengan keputusan ayahnya. Maka sebagai pelampiasan rasa dendamnya, Purba
Rarang menyuruh agar kulit Purbasari yang semula halus kuning mengkilat berubah
menjadi hitam legam bagaikan jelaga. Dengan menggunakan ramuan yang telah
diberi japa manta oleh seorang dukun, tubuh dan wajah Purbasari langsung
berubah menjadi hitam karena pengaruh ramuan keler nahun. Tetapi karena
Purbasari memang gadis dengan wajah cantik, sekalipun kulit dan wajahnya telah
berubah menjadi hitam, kecatikan Purbasari tetap memancar keluar.
Setelah
Purbararang berhasil merubah rupa
Purbasari sehingga berwajah buruk, lalu Purbararang menyuruh Si Lengser
mengantarkan Purbasari ke hutan rimba, yakni hutan rimba di tepi Gunung Cupu.
Di sana Purbasari ditinggalkan di sebuah dangau. Dan kepada rakyat Kerajaan
Pasirbatang Purbararang mengumumkan bahwa Purbasari sedang pergi bertapa ke
luar kota. Purbasari yang cerdas itu menghadapi musibah yang menimpa dirinya
dengan memanfaatkan waktu yang ada untuk menjalani tapa di tempat itu, sampai
akhirnya datang pertolongan seorang ksatria putra dewa, Guru Minda yang turun
ke dunia dalam bentuk seekor lutung akibat kutukan dari ibunya sendiri,Sunan
Ambu. Sunan Ambu adalah seorang dewa
perempuan, penguasa dunia atas atau kahyangan dalam mitologi kepercayaan
leluhur orang Sunda.
Dikisahkan
bahwa Guru Minda pada suatu malam bermimpi melihat wajah cantik Purbasari yang
belum pernah dilihatnya sebagai wajah gadis cantik mirip ibunya, Sunan Ambu.
Gadis itu dilihatnya tinggal di buana tengah atau alam dunia. Ketika menghadap
Ibunya pagi harinya. Guru Minda tidak dapat menahan gejolak asmara untuk
melirik wajah Ibunya, yang cantik jelita itu dengan maksud untuk mencocokkan kembali
kemiripan gadis dalam impian itu dengan wajah ibunya. Dilirik seperti itu oleh
putranya, Sunan Ambu langsung, murka. Sunan Ambu menilai tindakan putranya itu
melanggar undang-undang alam semesta. Seorang anak laki-laki tidak boleh
mencintai ibunya.
Akibatnya
Guruminda dikutuk menjadi seekor kera jenis lutung sebagai hukuman atas
perilakunya yang dinilai tidak sopan dan melanggar hukum. Setelah diberi
nama Lutung Kasarung, Sunan Ambu
memberitahu putranya dimana tempat tinggal
gadis dalam mimpi yang ditemui Guru Minda. Menurut Ibu Guru Minda,
sesungguhnya gadis cantik itu memang telah ditakdirkan jadi istri putra
satu-satunya itu. Ibunya juga memberi nasihat, bahwa kutukan Sunan Ambu kepadanya
kelak akan lepas dengan sendirinya jika Guru Minda berhasil menemui Purbasari.
Dan juga jika gadis cantik yang sedang mengalami penderitaan akibat fitnah
kakaknya itu mau mengakui bahwa Lutung Kasarung adalah kekasih calon suaminya.
Guru
Minda pun segera meninggalkan Ibunya setelah mendapat nasihat secukupnya, untuk
mencari gadis idamannya. Akhirnya Guru Minda berhasil menemui Purbasari yang
tinggal di tepi hutan tidak jauh dari kaki bukit kecil, Gunung Cupu. Guru Minda
langsung terkesan kepada kecantikan Purbasari dan merasa iba atas kemalangan
yang tengah di derita gadis yang wajahnya mirip ibunya yang dilihatnya melalui
sebuah mimpi. Guru Minda pun bertekad menolong Purbasari melepaskan diri dari pengaruh
mantra jahat keler nahun.
Dengan
bantuan Ibunya, Guru Minda membangunkan
tempat tinggal yang indah buat Purbasari, sehingga rumah tinggalnya yang semula
reyot, berubah seketika mirip sebuah
pesanggarahan.Selanjutnya Guru Minda memantrai air dalam bak mandi yang
akan digunakan mandi Purbasari. Setelah mandi, tiba-tiba kekuatan mantra ramuan
keler nahun yang menyiksa Purbasari, lenyap seketika. Purbasari pulih kembali
jadi seorang putri cantik jelita hingga membuat Guru Minda yang masih berujud
kera itu sangat terpesona. Guru Minda masih harus menjalani ujian kesabaran,
sabar menunggu sampai Purbasari mau mengatakan cinta kepada dirinya dan mau
menjadi istrinya sekalipun dirinya berujud kera agar kutukan dari Ibunya,Sunan
Ambu, bisa lepas.
Memang
pada akhirnya siasat licik dan jahat
Purbararang yang dibantu kekasihnya Indrajaya, gagal total, karena
Purbasari mendapat pertolongan dari dewa, berkat kesabarannya dan ketekunannya
dalam berdoa dan menjalani tapa di pinggir hutan tempat dia di buang. Di akhir
ceritera Purbasari mengatakan kepada Purbararang bahwa kera sakti Lutung
Kasarung itu memang benar adalah kekasih dan calon suaminya. Akibat pernyataan
Purbasari itu, Guru Minda pun terlepas dari kutukan. Dia berubah kembali
menjadi seorang ksatria tampan dan sakti. Purbararang akhirnya menyerah kalah.
Tahta Kerajaan Pasirbatang diserahkan kepada Purbasari, sesuai wasiat ayahnya.
Purbasari
pun naik tahta Kerajaan Pasirbatang, didampingi Guru Minda. Kerajan Pasirbatang
pun berkembang menjadi kerajaan yang makmur. Demikian ringkasan kisah pantun
Lutung Kasarung yang digubah kedalam bentuk prosa oleh tokoh sastrawan Sunda
Ayip Rosidi dengan diberi judul Purbasari Ayu Wangi.
Dimanakah letak Kerajaan Pasirbatang.
Pantun
Sunda Lutung Kasarung tidak secara eksplisit menjelaskan dimana gerangan letak
Kerajaan Pasirbatang itu. Ayip Rosidi yang mengubah kisah pantun Lutung Kasarung menjadi kisah berbentuk
prosa, juga tidak pernah menyinggungnya, dimana letak Kerajaan Pasirbatang.
Sebagian
besar orang Sunda malah menduga kisah
Purbasari-Purbararang itu terjadi di sekitar Kuningan. Tetapi dari sudut
toponim nama-nama tokoh dan kerajaan dalam pantun Lutung Kasarung, kecil
kemungkinan bahwa letak Kerajaan Pasirbatang ada di sekitar Kuningan.
Sebenarnya
teka teki lokasi Kerajaan Pasirbatang
dapat dipecahkan dengan mudah, jika kita mau sedikit sabar meneliti toponim nama-nama
tokoh dan tempat yang disebut dalam pantun
Sunda Lutung Kasarung. Kita dapat mengikuti metode van der Meulen.
Dengan
mudah akan kita temukan bahwa letak Kerajaan Pasirbatang tidak bisa lain
kecuali di lereng selatan Gunung Slamet, di bekas wilayah Kerajaan Galuh Purba
yang pernah disebutkan oleh van der Meulen. Sejumlah nama desa yang diawali dengan
kata pasir, dapat kita jumpai di Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas,
tidak jauh dari Sungai Logawa. Desa dengan nama pasir itu adalah desa Pasirwetan, Pasirlor, Pasirkidul dan
Pasirkulon. Di desa itu lah pada jaman dahulu merupakan lokasi Kerajaan
Pasirbatang yang diabadikan oleh Sang Juru Pantun dalam kisah Lutung Kasarung
yang isinya sangat populer di tanah Pasundan.
Dalam
kisah berbentuk pantun itu, disebutkan bahwa nama Raja Kerajaan Pasirbatang
adalah Raja Tapa Agung. Tentu nama Tapa Agung bukan nama sebenarnya. Nama itu
adalah nama kehormatan, nama samaran atau gelar yang diberikan Sang Juru Pantun. Gelar
itu mengandung arti bahwa Raja Tapa
Agung adalah seorang raja yang pada akhir hidupnya memilih hidup sebagai
pertapa di lereng Gunung Agung. Gunung
Agung adalah nama Gunung Slamet pada jaman Kerajaan Galuh dan Pajajaran. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa letak Kerajaan Pasirbatang, yang diceriterakan Sang Juru Pantun, lokasinya
di lereng selatan Gunung Slamet.
Juru
Pantun juga memperjelas lokasi Kerajaan
Pasirbatang dengan menyebutkan secara lengkap nama kerajaan, yakni Kerajaan Pasirbatang
Anu Girang. Kata girang dalam kamus bahasa Sunda, mengandung arti hilir sungai.
Dalam bahasa Sunda ada ungkapan,” Cai ngocorna ti girang ka hilir” Artinya, air
sungai mengalir dari hulu ke hilir. Dengan demikian semakin jelas bahwa letak
Kerajaan Pasirbatang, bukan di Kuningan. Tetapi di kaki selatan Gungung Slamet,
dekat hulu sebuah sungai. Sungai yang paling tepat memenuhi gambaran Sang Juru
Pantun yang hendak mengabadikan kisah Kerajaan Pasirbatang itu, tidak lain adalah
Sungai Logawa.
Di
sebelah timur Sungai Logawa, sampai
sekarang masih terdapat nama desa yang diawali dengan kata pasir, yakni Desa
Pasirwetan, Pasirkulon, Pasirkidul dan Pasirlor..
Kata
pasir dalam troponin nama tempat di Pasundan, sering dipakai untuk menunjukkan
kauntitas sesuatu yang unik di sebuah lokasi geografi. Misalnya Pasirnangka,
Pasirimpun, Pasirkoja dan nama lokasi lain yang diawali dengan kata pasir yang
banyak bertebaran di wilayah Pasundan. Desa Pasirnangka, misalnya,
menunjukkan bahwa di desa itu dahulu banyak ditumbuhi pohon nangka. Sedangkan Desa
Pasirimpun, menunjukkan bahwa sungai yang melewati desa itu dulunya banyak ikan
sejenis lunjar yang disebut impun.
Bagaimana
dengan Pasirbatang? Batang dalam kamus
bahasa Sunda, artinya adalah tombak, salah satu jenis senjata perang yang
terbuat dari logam. Dengan demikian arti toponim Pasirbatang adalah suatu
lokasi yang penduduknya memiliki keahlian membuat alat-alal perang dan
pertanian yang tebuat dari logam, terutama sekali tombak. Rupanya Kerajaan
Pasirbatang merupakan kerajaan yang rakyatnya banyak dikerahkan membuat tumbak
untuk keperluan perang dan pertahanan.
Demikianlah
toponim Kerajaan Pasirbatang Anu Girang, menjelaskan bahwa penduduk di sekitar
pusat Kerajaan Pasirbatang banyak yang hidup sebagai pengrajin berbahan logam
untuk memenuhi kebutuhan alat-alat pertananian dan perang seperti
pisau,sabit,golok,cangkul, pedang, keris, tumbak dan lainnya lagi. Desa yang paling memenuhi
gambaran tersebut adalah Desa Pasirwetan. Karena di desa Pasirwetan, Kecamatan
Karanglewas itulah kerajinan logam paling berkembang di bandingkan dengan
desa lain.
Kita
dapat menyimpulkan bahwa berdasarkan toponim nama Kerajaan Pasirbatang dan Raja
Tapa Agung pada jaman dahulu pernah berdiri Kerajaan Pasirbatang di selatan
lereng Gunung Slamet, tidak jauh dari Sungai Logawa ke arah hulu. Tentu
Kerajaan Pasirbatang itu mendahului Kadipaten Pasirluhur yang dalam sejarah
Kerajaan Galuh, memang sempat menjadi Kerajaan Pasirluhur, sekalipun dalam
waktu yang tidak terlalu lama, dengan rajanya bernama Rakean
Banga!.Wallahualam(anhadja,20-01-2016)
Catatan :Sumber Gambar:Wikipedia
Catatan :Sumber Gambar:Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar