Sejak penaklukan
itu, Kerajaan Islam Pasai
berstatus vasal dari Kerajaan Majapahit. Tetapi otonomi yang seluas-luasnya
tetap diberikan. Bahkan Sultan Ahmad Jamaluddin diampuni dan boleh tetap
menduduki singgasananya. Hanya saja tiap tahun harus mengirim utusan dan upeti
ke Majapahit sebagai tanda takluk. Beruntung bahwa dari Kerajaan Islam Pasai
muncul seorang raja yang mampu menurunkan tiga ulama besar legendaris yakni
Syekh Jumadilkubro, Syekh Maulana Ishak dan Syekh Makhdum Ibrahim Asmara. Naskah
Tapel Adam, sebuah naskah berbahasa Jawa yang terbit di
Pasai menyebutkan bahwa Syekh Jumadilkubro adalah putra Raja Pasai ke-5, Sultan Zaenal
Abidin (1383 -1405 M). Syekh Jumadilkubro mempunyai dua orang putra yang juga
menjadi ulama besar. Yang sulung adalah Syekh Maulana Ishak, sedang adiknya,
Syekh Makhdum Ibrahim Asmara.
Dalam tradisi
kronik Jawa, Sultan Zaenal Abidin sering dikacaukan dengan Imam Zaenal Abidin(
wafat 716 M) , putra dari Imam Husein( wafat 683 M), cicit Rasulullah saw, lewat Siti Fatimah. Akibat dari kekacauan
ini, dalam tradisi kronik Jawa, Syekh Jumadilkubro sering dianggap seorang
ulama dari Makkah, keturunan langsung
Nabi saw. Demikian pula Syekh Makhdum
Ibrahim Asmara, sering dianggap sebagai ulama dari Samarkand, karena adanya
persamaan bunyi antara Asmara dan AsSamarkandi.
Informasi dari naskah Tapel Adam itu yang menyatakan bahwa Makhdum Ibrahim
Asmara adalah putra Pasai, bukan putra dari Samarkand,
sesungguhnya memiliki nilai informasi yang penting, khususnya dalam upaya menelusuri sejarah
para Wali di Jawa.
Apalagi secara samar-samar informasi dalam naskah
Tapel Adam itu, sejalan dengan informasi dalam Serat Walisana karya Sunan Giri,
yang mengungkapkan bahwa Makhdum Ibrahim
Asmara, ayah Sunan Ampel adalah keturunan dari Syekh Jumadilkubro.
Barangkali silsilah keturunan yang digunakan Serat
Walisana untuk melukiskan hubungan kekerabatan antara Syekh Jumadilkubro dan
Makhdum Ibrahim Asmara, terlalu umum, hingga pembaca mengira bahwa hubungan
kekerabatan itu amat jauh. Maka pembaca
yang kurang teliti akan mencoba mereka-reka, bahwa Syekh Jumadilkubro berasal
dari negeri Arab.
Padahal hubungan kekerabatan antara Syekh
Jumadilkubro dan Makhdum Ibrahim Asmara begitu dekat, yakni Syekh Jumadilkubro
adalah ayah Makhdum Ibrahim Asmara, yang
berarti kakek Sunan Ampel. Syekh Jumadilkubro juga ayah Maulana Ishak. Dengan
demikian antara Maulana Ishak dan Makhdum Ibrahim Asmara adalah kakak beradik.
Maka Sunan Ampel adalah kemenakan Maulana Ishak. Maulana Ishak sering dianggap
sebagai ayah dari Sunan Giri. Anggapan ini jelas keliru. Maulana Ishak adalah
kakek dari Sunan Giri.
Memang dari dua ulama asal Pasai itu,
yakni Maulana Ishak dan Makhdum Ibrahim Asmara,
telah diturunkan sejumlah orang wali yang penting di Pulau Jawa,
yakni Sunan Giri, Sunan Gunungjati, Sunan Ngudung Rahmatullah, Sunan Ampel
dan Sunan Bonang. Karena itu kita
perlu menyelidiki dan membuat rekontruksi tahun kelahiran Syekh
Jumadilkubro, Maulana Ishak dan
adiknya Makhdum Ibrahim Asmara.
Syekh Jumadilkubro (1370 – 1447 M )
Ibnu Batuttah menjelaskan dalam kitabnya, bahwa saat dia
mengunjungi Pasai yang ke dua kalinya, yakni tahun 1346 M, dia sempat
menyaksikan hajat Sultan Muhammad Dzahir menikahkan putranya. Dapat dipastikan
putranya itu adalah putra mahkota Ahmad Jamaluddin yang naik tahta pada tahun
1354 M, menggantikan ayahandanya, Sultan Muhammad Dzahir yang wafat.
Jika kita anggap kelahiran putra pertama Sultan Ahmad
Jamaluddin selang satu tahun dengan tahun pernikahannya, maka kita dapat
memperkirakan tahun kelahiran putra mahkota Zaenal Abidin, yakni tahun 1347 M.
Bila kita anggap Zaenal Abidin menikah pada usia 20 tahun, karena rata-rata
para pangeran di Asia Tenggara menikah pada usia antara 18 – 25 tahun, maka
Sultanah Bahiah yang kelak menggantikan Zaenal Abidin lahir sekitar tahun 1368
M, karena tahun 1367 M adalah tahun pernikahan putra mahkota Zaenal Abidin.
Sultanah Bahiah
yang naik tahta pada tahun 1405 M, menggantikan Sultan Zaenal Abidin yang
wafat, adalah seorang putri. Dengan demikian Zaenal Abidin tidak punya putra
mahkota. Tetapi dari seorang selir, mempunyai putra, yakni Jumadilkubro. Kita bisa menduga, jarak usia
antara Sultanah Bahiah dan adik tirinya Jumadilkubro, tidak akan terlalu jauh.
Katakanlah tiga tahun. Berarti Jumadilkubro lahir pada tahun 1370 M.
Banyak orang yang bingung dengan nama Jumadilkubro.
Karena dalam kronik lokal yang ada di
Jawa seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah Banten dan Babad Cirebon, banyak disebut
nama tokoh yang memakai nama Jumadil. Misalnya saja Jumadil Akbar, Jumadil
Kabir dan Jumadilkubro. Menurut Dr.Husein Jayadiningrat, sebenarnya nama-nama
itu menunjuk pada nama satu orang yang sama yaitu Jumadilkubro.
Menurut Martin van Bruinssen, kata kubro aneh karena
dipakai untuk nama seorang laki-laki. Sebab dalam tata bahasa Arab, kata kubro
menunjuk kepada kata feminin. Tetapi bagi Husein Jayadiningrat tidak aneh,
karena arti akbar, kubro ataupun kabir,
mengandung arti awal. Jadi Jumadilkubro, Jumadil Akbar dan Jumadil Kabir
identik dengan Jumadilawal, yakni nama bulan ke-5 dari nama-nama bulan dalam
kalender Qomariah, baik kalender
Hijriyah, maupun kalender Jawa.
Dari penjelasan Dr.Husein Jayadiningrat, dapat
disimpulkan bahwa Jumadillkubro adalah tokoh yang dilahirkan pada bulan
Jumadilawal. Sudah jelas bahwa nama Jumadilkubro hanyalah nama panggilan saja.
Lalu siapa nama aslinya?
Martin van Bruinssen menduga bahwa nama asli
Jumadilkubro adalah Najamuddin Al Kubro. Martin juga menyebut adanya kisah yang
dikembangkan oleh para Sayyid dari Hadramaut yang datang ke Indonesia pada abad-18
M, yang menyebut nama Jamaluddin Husein Al Akbar sebagai leluhur Syekh
Jumadilkubro.
Anehnya, menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas
Wali Songo, Martin van Bruinssen menuduh bahwa nama Jamaluddin Al Husein itu,
hanyalah upaya para Sayyid untuk mengoreksi legenda-legenda Jawa yang
menurutnya sudah tepat ( Agus Sunyoto; 2012: 70 ).
Bagaimana mungkin legenda- legenda Jawa dikatakan
lebih tepat, padahal di dalamnya banyak
sekali kisah-kisah yang berbau mitos yang
didasarkan atas fantasi para penggubahnya dan sering menyimpang dari
fakta sejarah yang sebenarnya? Karenanya kisah-kisah yang berbau mitos dan
legenda dalam kronik lokal memang perlu dikritisi agar sesuai dengan fakta dan
kejadian sejarah yang sebenarnya.
Kisah dari para Sayyid yang menyatakan bahwa Syekh
Jumadilkubro memiliki leluhur yang bernama Jamaluddin Husein al-Akbar,
sesungguhnya justru hampir mendekati fakta sejarah. Tokoh yang disebut-sebut
sebagai Jamaluddin Husein al-Akbar itu, sebenarnya adalah Sultan Ahmad
Jamaluddin( 1354- 1383 M ), Sultan Pasai ke-4, ayah dari Sultan Zaenal Abidin (
1383 – 1405 M), yang dengan sendirinya adalah kakek dari Syekh Jumadilkubro.
Karena Syekh Jumadilkubro, seperti telah disebutkan di atas adalah putra dari Sultan
Zaenal Abidin, Sultan Pasai ke-5. Maka dengan demikian memang betul, bahwa
Syekh Jumadilkubro punya leluhur, yakni kakeknya yang bernama Sultan Ahmad
Jamaluddin (1354 -1383 M). Kakeknya itu adalah
Sultan Pasai, bukan dari Hadramaut ataupun negeri Arab lainnya.
Martin menduga bahwa nama asli Jumadilkubro adalah
Najamuddin al-Kubro. Tetapi yang paling mendekati adalah Ahmad Jamaluddin,
karena ayahnya, Zaenal Abidin, yang tidak
punya seorang putra mahkota, tentu berharap agar anak laki-lakinya itu,
sekalipun hanya dari seorang selir tetapi dapat mengikuti jejak kakeknya yaitu Ahmad Jamaluddin.
Dengan demikian nama asli Syekh Jumadilkubro adalah
Ahmad Jamaluddin al Kubro, mengikuti nama kakaknya. Bukan Najamuddin al Kubro.
Syekh Maulana Ishak (1390 - 1365 M )
Kita akan
melanjutkan penelusuran tahun kelahiran Maulana Ishak dan adiknya, Makhdum Ibrahim Asmara. Jika kita anggap Jumadilkubro menikah pada usia 20 tahun, maka pada tahun
1390 M adalah tahun pernikahan Jumadilkubro. Dan anak pertamanya, Maulana Ishak kira-kira akan lahir di sekitar tahun 1390-
1391 M juga. Sedang adiknya Makhdum
Ibrahim Asmara, katakanlah lahir tiga atau empat tahun kemudian, berarti Makhdum Ibrahim Asmara lahir di
sekitar tahun 1394 M.
Kita lanjutkan
dengan Maulana Ishak dan adiknya Makhdum Ibrahim Asmara. Berdasarkan
penelusuran Drs. Widji Saksono dalam bukunya Mengislamkan Tanah Jawa yang
bersumber dari Serat Walisana, disebutkan bahwa Maulana Ishak punya enam orang
putra, berturut-turut dari yang tertua yakni (1)Sayyid Es, (2)Syekh Jakub, (3)Syekh Waliyul Islam, (4)Syekh Kusein, (5)Syekh Maghribi dan (6)Syekh Gharibi.
Pada
tahun 1428 M, Maulana Ishak sudah berusia 38 tahun. Andaikata dia menikah juga pada usia 20 tahun,
maka pada tahun 1428 M, setelah lima belas tahun berumahtangga akan punya enam anak. Bila jarak kelahiran ke
enam putranya itu rata-rata tiga
tahun, maka kita bisa memperkirakan tahun-tahun kelahiran ke
enam putra Maulana Ishak itu.
Yakni, (1)
Sayyid Es lahir sekitar tahun 1411 M, (2) Syekh Yakub lahir sekitar tahun 1414 M,
(3)Syekh Waliyul Islam lahir sekitar tahun 1417 M, (4)Syekh Kusen lahir sekitar tahun
1420 M, (5)Syekh Maghribi lahir sekitar tahun 1423 M. Dan akhirnya si bungsu
(6) Syekh Gharibi akan lahir sekitar tahun 1426 M.
Ketiga
putra tertua
Syekh Maulana Ishak ini pada sekitar tahun 1450 M, saat
usia mereka antara 30-39 tahun, hijrah
ke Jawa dalam rangka melaksanakan dakwah Islam ke wilayah
Kerajaan Majapahit di Jawa Timur dan Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Sayyid Es ke Cirebon, Syekh Yakub bin
Maulana Ishak ke Gresik dan Syekh Waliyul Islam ke Pasuruan.
Mereka semua akhirnya menikah dengan wanita bangsawan pribumi putri para
penguasa daerah setempat.
Dan Syekh Kusen, putra Syekh Maulana Ishak yang ke
empat, pada tahun 1455 M, menyusul kakaknya hijrah pula ke Jawa.
Kemudian menyeberang ke Madura dan berdakwah
di sana. Akhirnya Syekh Kusen berhasil pula menyunting putri penguasa setempat.
Dari perkawinannya dengan putri Madura itu, Syekh Kusen dikaruniai beberapa putra dan putri. Salah
seorang putranya yang kelak menonjol mengikuti jejak kakeknya adalah Syekh
Sabil. Dia diperkirakan lahir tahun 1470 M. Syekh Sabil pergi berguru ke
Malaka, kemungkinan besar juga ke Pasai, negeri leluhurnya, kemudian kembali ke
Jawa dan menetap di Jepara. Kelak dikenal sebagai Sunan Ngudung Rahmatullah.
Putra Syekh Maulana Ishak yang ke-5
Syekh Maghribi akhirnya menyusul kakaknya juga Sayyid Es, bermukim di
Muarajati, kemudian bermukim di daerah Pemalang yang berada di lereng utara
Gunung Slamet. Syekh Maghribi akhirnya menikah dengan gadis pribumi juga dan
mendirikan pesantren di Banjarcahyana, sebelah tenggara Gunung Slamet.
Kemudian putra bungsu Syekh Maulana
Ishak, Syekh Gharibi, mengikuti tradisi kakak-kakaknya menuju Jawa Barat,
akhirnya bermukim di Banten.
Sementara itu, putra tertua Syekh
Maulana Ishak, Sayyid Es yang
hijrah ke Cirebon berusia
sekitar 39 tahun. Dalam tradisi
lokal Cirebon dan Jawa Barat, Sayyid Es ini dikenal sebagai Syekh Nurjati, pendiri
Pesantren Gunungjati. Syekh Nurjati kelak menurunkan Sayyid Zen Abdul Qodir
yang dalam tradisi lokal dikenal dengan Syarif Hidayatulah atau Sunan
Gunungjati I atau Sunan Gunungjati Sepuh.
Memang agak aneh, bahwa putra
tertua Syekh Maulana Ishak itu bergelar sayyid. Padahal biasanya para ksatria
Pasai itu bergelar makhdum, yang merupakan gelar para bangsawan Kerajaan Islam
Delhi. Sayyid sendiri adalah gelar kebangsawanan Arab yang biasanya dinisbatkan
kepada keturunan Nabi saw lewat cucu Nabi saw yakni Husein ra. Rupanya putra
tertua Syekh Maulana Ishak itu, lebih suka mengambil gelar sayyid yang lebih
berwarna Arab dari pada gelar makhdum yang lebih berwarna India. Kelak putra
Sayyid Es, yakni Sayyid Zen Abdul Qodir, setelah naik haji, mengambil gelar
syarif, yang merupakan gelar bangsawan Arab keturunan Nabi saw juga, tetapi lewat
jalur cucu Nabi saw, yakni Hasan ra. Gelar Sayyid Zen Abdul Qodir, setelah naik
haji adalah Syarif Hidayatullah yang kelak dikenal sebagai Sunan Gunungjati I.
Syekh
Yakub,
putra kedua Maulana Ishak, menurunkan Raden Paku atau Sunan Giri dan
Syekh Husein atau Syekh Kusen, menurunkan Sunan Ngudung Rahmatullah dan
cucunya, Sunan Kudus Ja’far Shodiq.
Makhdum Ibrahim Asmara(1394 -1446 M)
Bagaimana dengan
adik Maulana Ishak, Makhdum Ibrahim Asmara? Dia diperkirakan
baru menikah pada tahun 1416 M dengan Dyah Candrawulan Putri kedua Raja Campa Jaya
Simhawarman III yang dalam Serat Walisana disebut Raja Kiyan. Putri pertamanya
Dyah Dwarawati menikah dengan Sri Kertawijaya, calon Putra Mahkota Kerajaan
Majapahit yang menikah pada tahun 1415 M.
Makhdum Ibrahim Asmara, punya dua putra, yang
pertama Raden Santri, lahir sekitar tahun 1417 M, sedang adiknya Raden Rahmat,
kelak menjadi Sunan Ampel, lahir sekitar tahun 1420 M.
Di telinga orang Jawa, mungkin nama Ibrahim Asmara terdengar aneh. Karena kata
asmara lazimnya digunakan untuk perempuan. Karena itu banyak orang yang menduga
kata Asmara dibelakang nama Ibrahim adalah salah ucap dari kata Samarkand,
sebuah kota di Uzbekistan, Asia Tengah. Menurut mereka nama yang seharusnya adalah
Ibrahim As Samarkandi. Diucapkan dalam lidah Jawa menjadi Ibrahim Asmoro Qondi. Benarkah anggapan itu ?
Sebenarnya dengan mengetahui bahwa
di depan nama Ibrahim Asmara terdapat gelar Makhdum, kita
dengan mudah dapat menduga bahwa Ibrahim Asmara adalah seorang pendakwah
yang berasal dari Kerajaan Islam Samudra Pasai. Karena gelar Makhdum merupakan
gelar tradisi para pangeran dari Kerajaan Islam Pasai.
Dengan demikian Ibrahim Asmara adalah salah seorang pangeran dari Samudra
Pasai. Bukan dari Samarkand atau Tyulen. Ada sejumlah kemungkinan yang dapat
menjelaskan asal muasal kata Asmara selain yang diduga sebagai perubahan dari
kata As Samarkandi.
Kemungkinan pertama sebelum tinggal di Campa, dia bernama Makhdum Maulana Ibrahim, karena
kakaknya bernama Makhdum Maulana Ishak. Jadi ada kesejajaran antara nama
dirinya dengan nama kakaknya. Saat tinggal di Campa, komunitas pedagang muslim
yang tinggal di Campa juga cukup banyak. Di antara mereka tentu banyak yang bernama Ibrahim.
Untuk membedakannya dengan Ibrahim-Ibrahim
yang lain, Makhdum Maulana Ibrahim menambahkan kata Samudra di belakang namanya. Jadilah dia
bernama Makhdum Maulana Ibrahim As Samudrani. Lama kelamaan orang lebih senang
menyebutnya sebagai Ibrahim As Sumatrani. Kemudian kata
As Sumatrani, berubah menjadi Asmarani. Hasil kontraksi terakhir, dari Asmarani, berubah menjadi
Asmara. Jadilah dia disebut oleh masyarakat sebagai Ibrahim Asmara. Dan nama
terakhir ini lebih populer dimasyarakatnya. Bukankah kata Samudra memang juga telah berubah menjadi Sumatra?
Bisa jadi pernah pula terpikirkan olehnya untuk memilih kata Pasai, dari pada Samudra, sehingga
namanya menjadi Ibrahim Al Pasai. Tetapi kata Pasai punya konotasi kurang baik,
konon ia bermakna binatang berkaki empat yang dalam dalam Mashab Safii dianggap
najis. Sedang Samudra mempunyai makna lebih positip, yakni semut besar.
Kemungkinan kedua memang sejak lahir dia memang sudah menyandang nama
Asmara dibelakang namanya. Bukankah bahasa Melayu juga mengenal kosa kata
asmara yang bisa saja berarti yang terkasih atau tersayang. Bisa jadi dia
adalah seorang lelaki yang memang
sangat diharap-harapkan kehadirannya
dalam keluarganya, setelah kelahiran kakak sulungnya yang juga seorang
laki-laki. Tradisi kerajaan Melayu,
sangat mengharapkan lahirnya anak laki-laki di tengah-tengah keluarganya. Jadi
tidak ada yang aneh dalam penggunaan nama
Asmara di belakang kata Ibrahim, karena ia mengandung arti yang
tersayang atau yang terkasih.
Kemungkinan ketiga, istri Makhdum Maulana Ibrahim yang putri Raja Campa mempunyai sejumlah nama.
Selain Dyah Candra Wulan, dia juga bernama Rara Sucina,
juga bernama Dyah Retna Siti Asmara. Dyah Retna Siti Asmara, juga cantik,
bahkan melebihi kecantikan kakaknya Dyah Dwarati yang menjadi istri Raja
Majapahit. Jadi Ibrahim Asmara bisa berarti Ibrahim yang beristrikan Dyah Retna
Siti Asmara, putri Raja Campa yang dikisahkan kecantikannya dapat berubah dalam
sehari sebanyak tujuh kali.
Dari sejumlah kemungkinan di atas,
akan lebih mendekati fakta sejarah, bila menetapkan Ibrahim Asmara, ayah Raden
Rahmat adalah putra Pasai, dari pada menganggapnya sebagai pendakwah dari
Samarkand. Atau lebih-lebih dari Tyulen.
Menetapkan Ibrahim Asmara sebagai
pendakwah yang berasal dari Samarkand ataupun Tyulen, disamping kurang mendekati
fakta sejarah, juga terlalu kental kandungan unsur mitosnya.
Dengan kata lain anggapan bahwa Ibrahim Asmara
adalah seorang pendakwah dari Samarkand ataupun Tyulen, hanyalah sebuah mitos
yang tidak berdasar, spekulatip, dan hanya dicari-cari dan ditemukan secara tidak sengaja. Informasi
dalam naskah Tapel Adam bahwa Ibrahim Asmara putra Pasai, amat layak untuk
dipercaya sebagai fakta sejarah.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar