Allah swt berfirman dalam Q.S. 59 :18
:”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap
orang memperhatikan sejarahnya masing-masing untuk hari esok, dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Pada ayat di atas dijelaskan
pentingnya setiap manusia mempelajari sejarahnya sendiri agar manusia selamat
dalam perjalanan hidupnya di dunia menuju kampung akhirat yang berada di sisi
Allah swt kelak di yaumil akhir. Dengan demikian, sejarah penting, bukan saja
bagi tiap individu, tetapi juga bagi tiap keluarga, tiap organisasi, tiap
bangsa dan tiap negara. Dengan mempelajari sejarah, orang akan mengetahui jati
diri dari masa lalu, masa sekarang, bahkan orang bisa meramalkan sejarahnya di
masa depan. Sebagian besar isi Al Qur’an
adalah sejarah para rasul, orang-orang saleh yang mendapat nikmat karunia Allah
swt, dan juga sejarah orang-orang yang ingkar, kafir, tidak bersyukur, dilaknat
dan dimurkai Allah swt.
Kata sejarah sendiri berasal dari
kata dalam bahasa Arab, syajaratun, yang berarti pohon. Pohon itu berkembang
dalam dimensi ruang dan waktu, mulai dari biji, bertunas, tumbuh dan terus
berkembang- bercabang-cabang dengan daunnya yang rindang, berbunga, dan
akhirnya berbuah. Dari buah berkembang menjadi tunas-tunas dan pohon-pohon yang
lain. Demikian pula sejarah manusia, organisasi, bangsa dan negara yang juga
terus berkembang bagaikan sebatang pohon. Tiap orang, organisasi, bangsa dan
negara, memiliki sejarahnya sendiri-sendiri.
Allah swt juga telah mengingatkan
kepada orang-orang beriman pentingya mempelajari sejarah sebagaimana Firmanya
pada Q.S. 11 : 120 sbb, ”Dan sejarah para Rasul Kami kisahkan kepadamu, yakni
sejarah yang dengannya Kami teguhkan hatimu, dan dalam kisah ini telah datang kepadamu kebenaran, pengajaran, serta peringatan
bagi orang-orang yang beriman.” Dengan demikian mempelajari sejarah
menjadi penting, karena sejarah memiliki fungsi, (1) Peneguh hati, (2) Sumber
Kebenaran, (3) Pengajaran, dan (4) Peringatan.
1.Fungsi sejarah sebagai peneguh hati.
Allah swt berfirman dalam Q.S 24 :
55, “Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa
Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan
menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan tetap tidak mempersekutukan
sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah janji
itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”
2.Fungsi sejarah sebagai sumber kebenaran.
Allah swt berfirman dalam Q.S 7 :
176, “Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajatnya) dengan ayat-ayat itu, tetapi dia
cenderung kepada dunia dan cenderung menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamaan seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika
kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka ceriterakanlah (kepada
mereka) kesah-kisah itu agar mereka berpikir.”
3.Fungsi sejarah sebagai pengajaran.
Allah swt berfirman dalam Q.S 2 :
64-65, “Kemudian kamu berpaling setelah ( ada perjanjian) itu, maka kalau tidak
ada karunia Allah dan rahmatNya atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang yang
rugi. Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di
antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, ‘Jadilah kamu kera
yang hina.’ “
4. Fungsi sejarah sebagai peringatan.
Allah swt berfirman dalam Q.S 4 : 137
-139, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman
(pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali
Allah tidak akan memberikan ampunan kepada mereka, dan tidak pula menunjuki
kepada mereka jalan yang lurus.”
Dalam Sejarah Islam, kita mengenal
istilah shirah dan maghazi. Apakah shiroh dan apakah maghazi itu ?
Pada jaman pra Islam, orang Arab
sudah banyak yang membuat riwayat tentang tokoh, suku, dan sejumlah peristiwa
penting, tetapi belum disampaikan secara tertulis, sekalipun bangsa Arab, jauh
sebelum masa Islam sudah mengenal huruf, tulisan, dan angka Arab. Budaya lisan
dan tutur, masih mendominasi kisah-kisah yang mereka susun. Misalnya, kisah
Ka’bah, sumur Zamzam, kisah kedatangan Bani Jurhum ke Lembah Makkah, dan
kisah-kisah pahlawan leluhur mereka yang gagah berani, dermawan, setia pada
janji, dan sebagainya. Dalam riwayat yang disampaikan secara lisan, sering kali
dengan maksud agar menarik, ditambahkan kisah-kisah fantasi dan rekaan.
Akibatnya kisah-kisah dan riwayat yang disampaikan secara lisan, sering terjadi
campur aduk antara fakta, khayalan, dan rekaan. Dangan kata lain, kisah-kisah
yang disampaikan lewat ceritera tutur itu lebih banyak unsur subyektifnya dari
pada obyektifnya.
Pada jaman Islam muncul pula tradisi
baru yakni berkembangnya riwayat perjuangan kaum muslimin dalam menyebarkan
dakwah Islam dan peperangan-peperangan yang dilakukan melawan kaum kafir yang
berusaha menghalangi dakwah Islam.
Tetapi semua riwayat itu belum disampakaikan secara tertulis, dan umat Islam
harus bersabar sampai pada masa Khalifah Bani Umayah, Umar bin Abdul Azis (717
– 720 M).
Ketika Al Qur’an turun, Nabi saw mulai memerintahkan
para sahabatnya untuk menulisnya. Nabi
saw mulai mengenalkan budaya literasi terhadap kita suci Al Qur’an. Selain
dihafal, Al Qur’an juga sudah ditulis pada masa Nabi saw. Dengan demikian, Al
Qur’an merupakan satu-satunya kitab suci di dunia yang paling otentik, karena
Al Qur’an ditulis pada masa Sang Penerima Risalah masih hidup. Bahkan Nabi saw
sendirilah, dengan bimbingan malaikat Jibril yang langsung menyusun sistimatika
Al Qur’an ke dalam 114 surat dan 30 juz. Tetapi Nabi saw melarang para
sahabatnya menuliskan hadist dan kisah-kisah perjuangan kaum muslimin dengan maksud
agar tidak tercampur dengan kitab suci Al Qur’an karena masih ada wahyu-wahyu
dari Allah swt yang masih terus diturunkan kepada Nabi saw.
Ketika Muawiyah (602 – 680 M)
memegang jabatan Khalifah, mulai terasa kebutuhannya untuk menuliskan sejarah
Islam, sebab Islam sudah mulai tersebar ke luar jazirah Arabia. Saat itu kitab
suci Al Qur’an sudah dibukukan dan dibakukan, sehingga Kitab Suci Al Qur’an
yang ada di tangan kaum muslimin di manapun mereka berada semuanya sama.
Muawiyah mengundang orang Yaman yang bermukim di Shan’a, Abid bin Syariyyah Al
Jurhumi dan memintanya agar menuliskan nama raja-raja di Yaman dan Jazirah Arab, serta peristiwa penting di
masa lalu. Langkah Muawiyah ternyata telah memotivasi lahirnya cendekiawan muslim
yang bergairah untuk menulis masalah-keislaman, tetapi masih terbatas para
sekitar perjuangan Rasulullah. Sebab
pada saat itu masih berlaku larangan untuk menuliskan kitab hadist dan kitab
apa pun yang ada kaitannya dengan kehidupan pribadi dan rumah tangga Rasulullah.
Tetapi dampak dari larangan itu justru muncul banyak hadist palsu dan riwayat Nabi
saw yang bersifat fiktif, berdasarkan khayalan penyusun riwayat, agar riwayat
Nabi saw menjadi menarik. Yang banyak diriwayatkan adalah sejumlah mukjizad
Nabi saw.Muncul pula kisah-kisah Israiliyah yang disusupkan orang-orang Yahudi, untuk melemahkan kepercayaan kaum muslimin.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul
Azis (717 -720 M), dia mengeluarkan perintah untuk mulai menyusun kitab hadist, sekaligus
mencabut larangan untuk menuliskan riwayat kehidupan Nabi saw, sepanjang isinya
benar-benar obyektip dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Sejak itu
muncul para cendekiawan muslim para penulis kitab hadis dan penulis sejarah
Nabi saw. Di antara mereka adalah Urwah bin Zubair bin Al Awwam, Abban bin
Ustman bin Affan, Wahb bin Munabih, Syurahbil bin Sa’ad, Ibnu Syihab Az-Zuhry,
Ashim bin Umar bin Qatadah, Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm, Musa bin Uqbah, Ma’mar
bin Rasyid. Dan yang paling menonjol adalah Muhammad bin Ishak (704 - 767 M), dengan kitabnya
yang berjudul,”Sirah Nabawiyah.”
Sejak itulah istilah Sirah menjadi
sangat populer, yang artinya adalah riwayat
hidup, atau biografi yang ditulis dengan pendekatan obyektip, dengan
menggunakan sumber-sumber yang dapat dipercaya, bebas dari unsur legenda dan
mitologi. Pada jaman modern, metode penulisan sejarah Nabi saw yang dilakukan
Ibnu Ishak, disebut Historiografi.
Selain istilah Siroh, dikenal juga
istilah maghazi diperkenalkan oleh Al Waqidi (747 – 823 M), dalam karyanya,”Al
Maghazi”. Arti maghazi, sama dengan siroh. Sejak itu menyusul penulis-penulis
biografi lain, yang menulis bukan hanya riwayat Nabi saw, tetapi juga
kisah-kisah para Nabi, sahabat, dan tokoh-tokoh pejuang Islam lainnya. Antara
lain yang terkenal adalah Ibnu Hisyam ( wafat 833 M).Dia menjadi terkenal
karena menyempurnakan Sirah Nabawiyah karya Ibnu Ishak[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar