Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Rabu, 05 September 2018

Antara Shiroh,Maghazi, dan Penulisan Sejarah Nabi saw


                                                     

Allah swt berfirman dalam Q.S. 59 :18 :”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap orang memperhatikan sejarahnya masing-masing untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”

Pada ayat di atas dijelaskan pentingnya setiap manusia mempelajari sejarahnya sendiri agar manusia selamat dalam perjalanan hidupnya di dunia menuju kampung akhirat yang berada di sisi Allah swt kelak di yaumil akhir. Dengan demikian, sejarah penting, bukan saja bagi tiap individu, tetapi juga bagi tiap keluarga, tiap organisasi, tiap bangsa dan tiap negara. Dengan mempelajari sejarah, orang akan mengetahui jati diri dari masa lalu, masa sekarang, bahkan orang bisa meramalkan sejarahnya di masa depan.  Sebagian besar isi Al Qur’an adalah sejarah para rasul, orang-orang saleh yang mendapat nikmat karunia Allah swt, dan juga sejarah orang-orang yang ingkar, kafir, tidak bersyukur, dilaknat dan dimurkai Allah swt.

Kata sejarah sendiri berasal dari kata dalam bahasa Arab, syajaratun, yang berarti pohon. Pohon itu berkembang dalam dimensi ruang dan waktu, mulai dari biji, bertunas, tumbuh dan terus berkembang- bercabang-cabang dengan daunnya yang rindang, berbunga, dan akhirnya berbuah. Dari buah berkembang menjadi tunas-tunas dan pohon-pohon yang lain. Demikian pula sejarah manusia, organisasi, bangsa dan negara yang juga terus berkembang bagaikan sebatang pohon. Tiap orang, organisasi, bangsa dan negara, memiliki sejarahnya sendiri-sendiri.

Allah swt juga telah mengingatkan kepada orang-orang beriman pentingya mempelajari sejarah sebagaimana Firmanya pada Q.S. 11 : 120 sbb, ”Dan sejarah para Rasul Kami kisahkan kepadamu, yakni sejarah yang dengannya Kami teguhkan hatimu, dan dalam kisah ini telah datang  kepadamu kebenaran, pengajaran, serta peringatan bagi orang-orang yang beriman.” Dengan demikian mempelajari sejarah menjadi penting, karena sejarah memiliki fungsi, (1) Peneguh hati, (2) Sumber Kebenaran, (3) Pengajaran, dan (4) Peringatan.

1.Fungsi sejarah sebagai peneguh hati.
Allah swt berfirman dalam Q.S 24 : 55, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan tetap tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”

2.Fungsi sejarah sebagai sumber kebenaran.
Allah swt berfirman dalam Q.S 7 : 176, “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajatnya) dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan cenderung menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaan seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka ceriterakanlah (kepada mereka) kesah-kisah itu agar mereka berpikir.”

3.Fungsi sejarah sebagai pengajaran.
Allah swt berfirman dalam Q.S 2 : 64-65, “Kemudian kamu berpaling setelah ( ada perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmatNya atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang yang rugi. Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, ‘Jadilah kamu kera yang hina.’ “

4. Fungsi sejarah sebagai peringatan.
Allah swt berfirman dalam Q.S 4 : 137 -139, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberikan ampunan kepada mereka, dan tidak pula menunjuki kepada mereka jalan yang lurus.”

Dalam Sejarah Islam, kita mengenal istilah shirah dan maghazi. Apakah shiroh dan apakah maghazi itu ?

Pada jaman pra Islam, orang Arab sudah banyak yang membuat riwayat tentang tokoh, suku, dan sejumlah peristiwa penting, tetapi belum disampaikan secara tertulis, sekalipun bangsa Arab, jauh sebelum masa Islam sudah mengenal huruf, tulisan, dan angka Arab. Budaya lisan dan tutur, masih mendominasi kisah-kisah yang mereka susun. Misalnya, kisah Ka’bah, sumur Zamzam, kisah kedatangan Bani Jurhum ke Lembah Makkah, dan kisah-kisah pahlawan leluhur mereka yang gagah berani, dermawan, setia pada janji, dan sebagainya. Dalam riwayat yang disampaikan secara lisan, sering kali dengan maksud agar menarik, ditambahkan kisah-kisah fantasi dan rekaan. Akibatnya kisah-kisah dan riwayat yang disampaikan secara lisan, sering terjadi campur aduk antara fakta, khayalan, dan rekaan. Dangan kata lain, kisah-kisah yang disampaikan lewat ceritera tutur itu lebih banyak unsur subyektifnya dari pada obyektifnya.

Pada jaman Islam muncul pula tradisi baru yakni berkembangnya riwayat perjuangan kaum muslimin dalam menyebarkan dakwah Islam dan peperangan-peperangan yang dilakukan melawan kaum kafir yang berusaha menghalangi  dakwah Islam. Tetapi semua riwayat itu belum disampakaikan secara tertulis, dan umat Islam harus bersabar sampai pada masa Khalifah Bani Umayah, Umar bin Abdul Azis (717 – 720 M).

Ketika  Al Qur’an turun, Nabi saw mulai memerintahkan para sahabatnya untuk menulisnya.  Nabi saw mulai mengenalkan budaya literasi terhadap kita suci Al Qur’an. Selain dihafal, Al Qur’an juga sudah ditulis pada masa Nabi saw. Dengan demikian, Al Qur’an merupakan satu-satunya kitab suci di dunia yang paling otentik, karena Al Qur’an ditulis pada masa Sang Penerima Risalah masih hidup. Bahkan Nabi saw sendirilah, dengan bimbingan malaikat Jibril yang langsung menyusun sistimatika Al Qur’an ke dalam 114 surat dan 30 juz. Tetapi Nabi saw melarang para sahabatnya menuliskan hadist dan kisah-kisah perjuangan kaum muslimin dengan maksud agar tidak tercampur dengan kitab suci Al Qur’an karena masih ada wahyu-wahyu dari Allah swt yang masih terus diturunkan kepada Nabi saw.

Ketika Muawiyah (602 – 680 M) memegang jabatan Khalifah, mulai terasa kebutuhannya untuk menuliskan sejarah Islam, sebab Islam sudah mulai tersebar ke luar jazirah Arabia. Saat itu kitab suci Al Qur’an sudah dibukukan dan dibakukan, sehingga Kitab Suci Al Qur’an yang ada di tangan kaum muslimin di manapun mereka berada semuanya sama. Muawiyah mengundang orang Yaman yang bermukim di Shan’a, Abid bin Syariyyah Al Jurhumi dan memintanya agar menuliskan nama raja-raja di Yaman dan Jazirah Arab, serta peristiwa penting di masa lalu. Langkah Muawiyah ternyata telah memotivasi lahirnya cendekiawan muslim yang bergairah untuk menulis masalah-keislaman, tetapi masih terbatas para sekitar perjuangan Rasulullah.  Sebab pada saat itu masih berlaku larangan untuk menuliskan kitab hadist dan kitab apa pun yang ada kaitannya dengan kehidupan pribadi dan rumah tangga Rasulullah. Tetapi dampak dari larangan itu justru muncul banyak hadist palsu dan riwayat Nabi saw yang bersifat fiktif, berdasarkan khayalan penyusun riwayat, agar riwayat Nabi saw menjadi menarik. Yang banyak diriwayatkan adalah sejumlah mukjizad Nabi saw.Muncul pula kisah-kisah Israiliyah yang disusupkan orang-orang Yahudi, untuk melemahkan kepercayaan kaum muslimin.

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis (717 -720 M), dia mengeluarkan perintah untuk mulai menyusun kitab hadist, sekaligus mencabut larangan untuk menuliskan riwayat kehidupan Nabi saw, sepanjang isinya benar-benar obyektip dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Sejak itu muncul para cendekiawan muslim para penulis kitab hadis dan penulis sejarah Nabi saw. Di antara mereka adalah Urwah bin Zubair bin Al Awwam, Abban bin Ustman bin Affan, Wahb bin Munabih, Syurahbil bin Sa’ad, Ibnu Syihab Az-Zuhry, Ashim bin Umar bin Qatadah, Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm, Musa bin Uqbah, Ma’mar bin Rasyid. Dan yang paling menonjol adalah Muhammad bin Ishak (704 - 767 M), dengan kitabnya yang berjudul,”Sirah Nabawiyah.”

Sejak itulah istilah Sirah menjadi sangat populer, yang artinya adalah  riwayat hidup, atau biografi yang ditulis dengan pendekatan obyektip, dengan menggunakan sumber-sumber yang dapat dipercaya, bebas dari unsur legenda dan mitologi. Pada jaman modern, metode penulisan sejarah Nabi saw yang dilakukan Ibnu Ishak, disebut Historiografi.

Selain istilah Siroh, dikenal juga istilah maghazi diperkenalkan oleh Al Waqidi (747 – 823 M), dalam karyanya,”Al Maghazi”. Arti maghazi, sama dengan siroh. Sejak itu menyusul penulis-penulis biografi lain, yang menulis bukan hanya riwayat Nabi saw, tetapi juga kisah-kisah para Nabi, sahabat, dan tokoh-tokoh pejuang Islam lainnya. Antara lain yang terkenal adalah Ibnu Hisyam ( wafat 833 M).Dia menjadi terkenal karena menyempurnakan Sirah Nabawiyah karya Ibnu Ishak[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar