Dalam
diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya,
Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adalah aktivis Pandu HW dan
Pemuda Muhammadiyah. Pada tahun 1964 ikut merintis berdirinya Cabang
Mahammadiyah Kalibagor yang dipimpin Bapak Sodari dan Bapak Bari. Ayanya
tamatan Ambaschool Jaman Hindia Belanda, terakhir menjabat Kepala Bagian
Besalen Pabrik Gula Kalibagor, dengan Pangkat Masinis IV. Ayah Bu Hajjah orang Banyumas
asli, sekalipun leluhurnya dari pihak ayah, berasal dari daerah Pekajangan,
Pekalongan. Darah Aisyiyah mengalir dari Ibunya, Mustiratun yang berasal dari
Kanggotan, Wonokromo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Ibunya, seorang guru TK Aisyiyah Bustanul Alfal,
alumnus Kweekschool Muhammadiyah Kauman, Yogyakarta.
Bu
Hajjah Dra. Sri Aslichah lahir pada tahun 1953, anak ke tiga dari 6 bersaudara.
Bakatnya dalam literasi sudah tampak sejak berusia 5 tahun. Ibunya yang tahu
bakatnya, membimbingnya sendiri dengan calistung (membaca, menulis, dan
berhitung). Buku Kembang Setaman yang banyak memuat ceritera lucu dan menarik,
dijadikan panduan. Maka sebelum masuk Sekolah Dasar Kalibagor 1, Bu Hajjah
kecil sudah bisa membaca, menulis dan berhitung. Sekolah Dasar diselesaikannya
tepat waktu, dan dia termasuk salah satu
bintang klas. Untuk memupuk bakatnya dalam literasi, Ibunya menyediakan majalah
kanak-kanak Taman Putra, dalam bahasa Jawa. Ada juga majalah Penyebar Semangat
dan Mekarsari, juga dalam bahasa Jawa. Ibunya juga menyewakan komik karya
RA.Kosasih dan Oerip, yakni komik
Mahabarata dan Ramayana dari Penyewa Komik Jaffar, di Sokaraja Tengah. Itulah
sebabnya, setelah tamat SD, walaupun anak perempuan, Bu Hajjah pun paham dan
tahu kisah-kisah dalam pewayangan. Majalah Suara Muhammadiyah, menjadi bacaan
wajibnya, terutama rubik kisah para Sahabat Nabi saw.
Walapun NEMnya tinggi saat tamat SD, tetapi dia
gagal masuk SMP Negeri 1 di Purwokerto. Akhirnya SMP Gunungjati di Jalan
Pesayangan Purwokerto yang saat itu merupakan SMP Swasta Favorit, menjadi
pilihannya. Cita-citanya setelah tamat SMP, sebenarnya ingin jadi Asisten
Apoteker. Karena itu, Ibunya mengirimkannya ke Yogya untuk tes masuk di SAA
(Sekolah Asisten Apotiker) Yogyakarta. SAA saat itu merupakan sekolah kejuruan
tingkat atas dengan lama pendidikan 4 tahun, dan ada dibawah naungan Departemen
Kesehatan. Tetapi kembali cita-citanya gagal. Akhirnya dia masuk SMA N 2
Purwokerto, SMA Favorit di Purwokerto. Gelar Sarjana Biologi diraihnya dari
Fakultas Biologi Universitas Jendral Sudirman Purwokerto.
Ada karya tulis Bu Hajjah Dra.Sri Aslichah yang tidak banyak diketahui publik. Karya itu masih berupa manuskrip ditulis
dengan mesin ketik, 23 halaman, dengan satu halaman hilang. Judulnya, ”Sejarah Pembantaian
27 Prajurit Divisi Siliwangi.” Karya itu selesai ditulis pada tanggal 1
Februari 1988. Isinya menceriterakan tewasnya 27 Prajurit Siliwangi di Desa Suro pada hari
Selasa Kliwon, pukul 9.00 pagi, tanggal 28 Desember 1948 dalam pertempuran yang
tidak seimbang melawan penyergapan tentara Belanda yang memburu dan menghalangi
perjalan Long March Pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat.
Mereka semunya berjumlah 82 orang, tiba di Desa
Suro pada Senin Wage dini hari pukul 3.00, bertepatan dengan tanggal 27
Desember 1948. Setelah beristirahat selama satu hari, tiba-tiba datang tentara
Belanda yang bermarkas di PG.Kalibagor dan Pabrik Tapioka Sokaraja, untuk
menyergap tentara Siliwangi yang bersiap-siap melanjutkan perjalanan Long March.
Pertempuran tidak seimbang berjalan singkat, 55
orang prajurit Siliwangi lolos dari penyergapan, berhasil menyelamatkan
diri, dan melanjutkan perjalanannya kembali ke Jawa Barat.
Tetapi 27 orang lainnya tewas dan gugur sebagai
bunga bangsa. Ke-27 prajurit yang gugur itu, baru bisa dimakamkan oleh penduduk
pada hari Rabu, 29 Desember 1948. Dua belas tahun kemudian, tahun 1960,
kerangka 27 jenazah prajurit Siliwangi itu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan
Tanjung Nirwana, Purwokerto. Untuk mengenang perjuangan 27 prajurit Siliwangi
yang gugur di Desa Suro pada tahun 1948 itu, pada tanggal 1 Januari 1974,
masyarakat Desa Suro mendirikan tugu peringatan yang bentuknya sangat sederhana
ditengah-tengah perempatan jalan Desa Suro dengan tulisan,”Telah Gugur 27
Pahlawan RI Tahun 1948”
Pada peringatan Hari Pahlawan 10 Nopember 1987,
Forum Komunikasi Karang Taruna Kecamatan Kalibagor, membentuk Panitya Napak
Tilas Perjuangan Siliwangi Kecamatan Kalibagor, dengan mengambil rute
Kalibagor-Suro-Pekaja. Ibu Hajjah Dra. Sri Aslichah saat itu ikut
berpartisipasi dalam kegiatan Napak Tilas Rute Perjuangan Siliwangi di
Kecamatan Kalibagor, mewakili organisasi wanita remaja Muhammadiyah Kecamatan
Kalibagor, yakni Nasiyatul Aisyiyah
(NA). Kegitan napak tilas yang digelar pada tanggal 15 Nopember 1987 itu
sukses, dan melahirkan ide baru untuk membangun monumen relief perjuangan 27
prajurit Siliwangi di Desa Suro yang lebih representatif, karena tugu
peringatan yang didirikan pada tanggal 1 Januari 1974, dipandang kurang
menggambarkan semangat dan nilai-nilai perjuangan yang hendak di wariskan kepada
generasi muda, khususnya generasi muda Desa Suro dan Kecamatan Kalibagor.
Akhirnya pada tanggal 20 Desember 1987, terbentuk sebuah Panitya
Pembuatan Relief Pembantaian Pejuang Siliwangi. Panitya dipimpin langsung oleh
Dan Koramil 08 Kecamatan Kalibagor, Pelda Mardi, sebagai Ketua I. Ketua II,
Kepala Desa Suro, Supar Yusak. Panitya yang lain adalah, (1) Sekretaris
1-Tarman, Kaur Kesra Kecamatan Kalibagor, (2) Sekretaris 2- Dra. Sri Aslichah, (3) Bendahara – Serka Kasmidi,
anggota Koramil 8 Kecamatan Kalibagor, (4) Teknisi Pelaksana, Sukirno-Kepala PU
Sokaraja, Serda Sobirin, dan Koptu Sudarno dari Koramil 08 Kalibagor. (5) Usaha
Dana, Marjono-Ketua Pemuda Pancamarga Kecamatan Kaalibagor, Ansor Susilo Bsc –
Karyawan Staf Pabrik Gula Kalibagor, dan Serka Karman dari Koramil 08
Kalibagor.(6) Humas, Sertu Sukur dan Endon, Ketua KNPI Kecamatan Kalibagor.
Rupanya manuskrip itu disusun dalam kedudukan
Ibu Hajjah Dra. Sri Aslichah sebagai Sekretaris Panitya Pembuatan Relief
Pembantaian Pejuang Siliwangi di Desa Suro. Akhirnya Panitya berhasil
mempersembahkan monumen sejarah perjuangan Siliwangi di Desa Suro, dengan
menghabiskan dana sekitar Rp.1.422.500,- (Nilai harga tahun 1987 ). Monumen
pengganti tugu peringatan itu, kini masih berdiri di perempatan jalan Desa
Suro, tidak jauh dari Kantor Kepala Desa. Dan jalan yang menghubungkan monumen
tersebut, melintang ke barat sekitar 5 kilometer sampai tiba di Jalan Raya
Sokaraja-Kalibagor-Banyumas, diberi nama Jalan Siliwangi.
Yang unik, manuskrip itu disusun menggunakan
metode ilmiyah dan historiografi sejarah modern, antara lain dengan melakuka
wawancara terhadap saksi-saksi yang masih hidup, serta dokumen tertulis masih
mentah milik Dinas Kebuduyaan Kecamatan Kalibagor. Karena itu validitasnya
dapat dipertanggung jawabkan, dan bisa menjadi rujukan untuk melengkapi Sejarah
Long March Pasukan Siliwangi yang sudah banyak dipublikasikan dan telah menjadi
bagian dari Sejarah Nasional.
Masih menjadi misteri yang belum terungkap,
bukan hanya nama-nama 27 Prajurit Siliwangi yang gugur di Desa Suro pada hari
Selasa Kliwon, tanggal 28 Desember 1948. Tetapi juga komandan peleton yang
memimpin 82 prajurit Siliwagi yang tiba di Desa Suro. Jika dilihat jumlah
pasukan yang tiba di Desa Suro dari Desa Somakaton setelah menyeberangi Sungai
Serayu dengan getek, kemungkinan besar ke-82 prajurit Siliwangi itu merupakan
satu peleton bagian dari beberapa Kompi Prajurit Letkol Daan Yahya yang sedang melaksanakan
perintah Panglima Besar Jendral Sudirman. Mereka melakukan Long March kembali
ke Jawa Barat, setelah hampir satu tahun hijrah ke Yogyakarta yang saat itu
merupakan Ibu Kota Republik Indonesia.
Dalam sejarah perjuangan
bangsa, Long March Siliwangi merupakan salah satu peristiwa paling heroik
khususnya bagi Tentara Nasional Indonesia. Long March Siliwangi adalah
peristiwa pindahnya pasukan Siliwangi dari Yogyakarta dan sekitar Jawa Tengah
yang bergerak kembali ke Jawa Barat pada minggu
ketiga Desember 1948 - Februari 1949. Sejarahnya bermula ketika pada
tanggal 17 Januari 1948 pemerintah Republik dan Belanda menyepakati sebuah
perjanjian di atas Kapal Renville di Teluk Jakarta. Isi perjanjian itu antara lain, Jawa Barat diserahkan pada
Belanda. Sebagai konsekuensinya, pasukan Divisi Siliwangi harus meninggalkan
Jawa Barat dan pindah ke Yogyakarta. Saat itu, Yogyakarta adalah Ibukota Republik
Indonesia. Saat berada di Yogya, pasukan Siliwangi sempat ikut serta memadamkan
pemberontakan PKI Muso atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Madiun 1948.
Setelah bertempur melawan pasukan Muso, seharusnya prajurit-prajurit Siliwangi
kembali ke Yogya dan Jawa Tengah untuk bergabung dalam kantung-kantung perlawanan
TNI yang sedang bergerilya menghadapi Belanda dan terbagi dalam beberapa
kesatuan Wehkreise.
Tetapi pada 19
Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II dan menguasai Yogyakarta. Panglima Besar Jendral Sudirman segera mengeluarkan
perintah yang dikenal dengan Perintah Siasat No. 1, agar pasukan Siliwangi
kembali ke Jawa Barat untuk kemudian bergabung dengan pasukan lainnya dan
melakukan perlawanan. Sejak itu, pasukan Siliwangi yang terdiri dari beberapa
kompi dibawah pimpinan Letnan Kolonel Daan Yahya segera bergerak kembali ke
Jawa Barat. Pasukan Divisi Siliwangi ini juga membawa serta seluruh anggota
keluarganya dan berjalan kaki selama kurang lebih dua bulan lamanya. Sebuah
perjalanan yang tentunya banyak menghadapi mara-bahaya, dengan melintasi
gunung, hutan, lembah, jurang dan juga sungai yang penuh tantangan. Tak hanya
ancaman binatang buas, di belakang dan di depan mereka juga ada pasukan Belanda
dari Batalyon Infanteri-V KNIL atau yang dikenal dengan sebutan Anjing Nica
yang terus membuntuti, meghadang, dan menghalang-halangi gerakan Long March
Pasukan Siliwangi.
Pasukan Belanda yang
mengikuti iring-iringan prajurit Siliwangi terus mengintimidasi dan melakukan
penyerangan. Pada suatu malam, pasukan Siliwangi dan pasukan Belanda yang
membututi sempat berpapasan hingga pecahlah sebuah pertempuran di malam yang gelap.
Dalam pertempuran itu tak ada korban jiwa, tetapi Letkol Daan Yahya berghasil ditangkap
Belanda. Akibatnya, pasukan Long March Siliwangi tercerai berai, dan kehilangan
pemimpin induk pasukan. Tetapi dibawah komandan peletonnya masing-masing, tetap
bersemangat dan pantang menyerah, mereka terus melanjutkan Long March ke Jawa
Barat. Satu peleton serpihan anak buah Letkol Daan Yahya itulah rupanya yang
tiba di Desa Suro pada hari Senin Wage Tanggal 27 Desember 1948. Mereka adalah
salah satu peleton yang terpisah dari induk pasukannya.
Sejarah juga mencatat,
beberapa kali, dan di berbagai tempat sempat masih terjadi pertempuran sengit yang melibatkan
kelompok-kelompok pasukan Siliwangi yang terus melanjutkan Long March dengan tentara
Belanda. Antara lain yang tercatat dalam sejarah adalah pertempuran di
perbatasan Sumedang, Tanjungsiang, Sumedang, dan Ciasem. Tetapi pertempuran di
Desa Suro dengan korban 27 Prajurit Long March Siliwangi itu, masih luput dan belum
tercatat dalam Sejarah Nasional. Karena itu, manuskrip karya historiogafi Bu
Hajjah Dra.Sri Aslichah perlu ditindak lanjuti oleh instansi dan dinas terkait,
agar tercatat dalam Sejarah Long March Prajurit Siliwangi yang telah menjadi
bagian dari Sejarah Nasional Bangsa Indonesia.
Pada bulan Januari
2018, Bu Hajjah Dra.Sri Aslichah, tergolek lemah di Lantai-5 Pavilyun
Indraprasta Rumah Sakit Prof.Dr.Sarjito, Yogyakarta. Dr.Eko dengan anak buahnya
yang merawatnya, memvonis Bu Hajjah menderita penyakit paru-paru basah atau
pleuritis dengan tumor jinak. Setelah dilakukan operasi pengambilan cairan di
paru-paru, Bu Hajjah diijinkan pulang dan menjalani perawatan jalan di RSU Banyumas.
Hasinya, dinyatakan sembuh, tetapi pengobatan untuk pemulihan kesehatan masih
terus jalan, dan disarankan untuk mengurangi aktivitasnya yang berlebihan. Pada bulan Juni, Bu Hajjah sudah mulai aktiv
kembali mengajar dan keliling memberikan ceramah dalam sejumlah pengajian.
Tetapi ketika sedang
memimpin acara manasik haji di Kecamatan Kalibagor, tiba-tiba dadanya merasa
sesak dan harus dilarikan ke rumah sakit Banyumas. Akhirnya pada minggu ke tiga
bulan Oktober 2018, Bu Hajjah di rujuk kembali ke Rumah Sakit Prof.Dr.Sarjito
Yogyakarta, menginap di Pavilyun Cederawasih, dan kembali ditangani Dr.Eko dan
anak buahnya. Ternyata pleuritis paru-parunya kembali kambuh, dan tumor jinak
di paru-parunya telah bermuasi menjadi kanker dengan stadium empat. Dr.Eko
menjelaskan dalam diagnosanya, mutasi itu terjadi, disamping terpicu oleh
aktivitas, juga terpicu oleh polusi udara di daerah Banyumas, antara lain
polusi timbal yang keluar dari asap kendaraan bermotor dan asap pabrik berbahan
bakar fosil. Solusi pengobatan hanya ada dua, yakni dengan obat racikan dan
kemo. Ternyata kemo akhirnya menjadi pilihan. Tetapi ketika operasi kemo akan
dilaksanakan di RSU Margono Purwokerto, pada Hari Kamis siang pukul 11.00 WIB,
tanggal 3 Januari, Allah swt telah memanggil Bu Hajjah Dra. Sri Aslichah untuk
menghadap kehadiratNya. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Jenazah alhmarhumah
dimakamkan di Pemakaman Umum Jengkonang, diiringi para takziah yang terdiri
dari para keluarga, kerabat, aparat desa dan kecamatan, rekan-rekan kerja dan
seperjuangan dari SMP-SMA Muhammadiyah Sokaraja, UMP Purwokerto, Pengurus
Cabang Aisyiyah dan Muhammadiyah
Kecamatan Kalibagor dan Sokaraja, serta Pengurus Wilayah Muhammadiyah
Purwokerto. Almarhumah wafat pada usia 65 tahun, dengan meninggalkan seorang
putri dan 4 orang cucu, dan sejumlah anak asuh. Dalam akun FB nya, Rus Wanto mengenang kepergian Ibu Hajjah
Dra. Sri Aslichah, dengan membuat posting tulisan sbb,
“Innalillahi
wa innalillahi roji'un.Selamat jalan Bu Dra.Sri Aslichah (Bu As),semoga tenang
& damai di sisi ALLAH SWT. Semoga Engkau berada di Surganya Allah
SWT. Terimakasih banyak telah membantu saya selama ini. Kebaikanmu tak kan
pernah tergantikan oleh apapun.Kau selalu mengajarkanku tentang kesederhanaan
hidup. Allah sayang Bu As.Semoga Bu As diberi tempat terbaik di Surganya Allah
SWT. Amin.Walau ragamu terpendam,namun
pancaran kebaikanmu tersimpan di lubuk kalbu hatiku.Allah SWT bersamamu,Allah
sayang Bu As. Selamat jalan Bu As. Semoga tenang di alam sana. RIP Bu Hajjah
Sri Aslichah. (Rus Wanto )”
Allahumma
Aamiin. ( anwar hadja, Kalibagor, 13 Januari 2019 )