Syekh Siti Jenar dan Konflik Demak -Pengging
Kira-kira
pada tahun 1526 M, Dewan Walisongo di bawah pimpinan Sunan Ngudung Rahmatullah
telah menetapkan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu menyimpang dari ajaran
Islam. Karena itu, seperti telah disebutkan di atas, Syekh Siti Jenar
akhirnya dipecat dari keanggotaan Dewan
Walisongo. Tentu saja dengan persetujuan
Sultan Demak Trenggono. Syekh Siti Jenar yang sebelumnya telah punya
banyak pengikut di Pengging, segera pergi menuju Kadipaten Pengging dan di sana melanjutkan
menyebarkan ajarannya. Dan ternyata dia memperoleh banyak pengikut.
Kadipaten
Pengging saat itu masih dipimpin oleh Adipati Handayaningrat yang tunduk kepada
kedaulatan Kerajaan Hindu Buddha Kediri
Majapahit. Handayaningrat punya dua orang putra, yakni Kebo Kenanga, putra
tertua dan Kebo Kanigara, putra kedua. Handayaningrat dan Kebo Kanigara, tidak
begitu tertarik kepada ajaran Syekh Siti Jenar dan tetap setia kepada agama
Hindu Buddhanya. Tetapi putra pertamanya, Kebo Kenanga, menjadi pengikut setia
Syekh Siti Jenar. Dia pun mengajak sahabat-sahabatnya para tokoh-tokoh dan ksatria Pengging seperti Ki Ageng
Tingkir, Ki Ageng Butuh, dan Ki Ageng Sela. Kebo Kenanga
yang kelak terkenal sebagai Ki Ageng Pengging,
dengan mudah menjadi pengikut Syekh Siti Jenar, karena sebelumnya dia bersama para sahabatnya itu adalah mualaf
yang tengah mendalami syariat Islam akibat dakwah Sunan Kudus Ja’far
Shodiq ke daerah ini .
Ketika
Kerajaaan Majapahit runtuh tahun 1478 M, dan berdiri Kerajaan Keling, Raden
Patah dengan dukungan Walisongo dan umat
Islam daerah pesisir, tidak mau mengakui Keling dan memilih mendirikan Kerajaan Islam Demak yang mandiri, berdaulat,
merdeka dan lepas dari Kerajaan Majapahit yang telah runtuh. Sebaliknya
Handayaningrat dari Kadipaten Pengging bersedia tunduk dan mengakui Kerajaan Keling yang kemudian pindah
ke Kediri. Dengan
demikian pada awal berdirinya Kerajaan Islam Demak, Kadipaten Pengging, seperti
juga Kadipaten Tuban, belum masuk
wilayah Demak. Secara emosional maupun
historis Pengging memang lebih nyaman
bergabung dengan Kediri yang menganut Hindu dari pada bergabung dengan Demak
yang Islam.
Itulah
sebabnya Raden Patah pernah memerintahkan Sunan Ngudung untuk berdakwah ke
Pengging. Usaha pertama itu gagal. Pada masa Sultan Trenggono usaha dakwah ke
Pengging dicoba lagi. Kali ini Sunan Ngudung menugaskan putranya untuk
menggarap proyek Islamisasi Pengging.
Dan hasilnya sebenarnya sudah ada, karena putra Handayaningrat, Kebo Kenanga bersedia masuk
Islam dan menjadi mualaf. Bahkan dia mengajak teman-temannnya. Tetapi proyek
Sunan Kudus gagal, karena Syekh Siti Jenar ikut menjadikan daerah Pengging yang
strategis itu menjadi lahan dakwahnya juga. Malahan Syekh Siti Jenar berhasil menarik banyak
pengikut, termasuk murid-murid Sunan Kudus
Ja’far Sodik yang masih mualaf.
Menurut Babad
Tanah Jawi, sebenarnya Raden Patah, Handayaningrat dan Ranawijaya Raja Kediri,
masih termasuk keturunan Sri Kertawijaya Brawijaya I (1447-1451 M). Dikisahkan
dalam Babad yang amat populer itu bahwa
Brawijaya I mempunyai sejumlah istri sbb :
a.Putri Campa
Dari Pernikahannya
dengan Putri Campa, Brawijaya I memiliki sejumlah putra dan putri. Salah
seorang putrinya adalah Dyah Pambayun. Dyah Pembayun ini diperistri oleh Handayaningrat yang pernah berjasa memadamkan
pemberontakan di daerah Blambangan dan Bali. Karena jasanya itu, Handayaningrat
diangkat menjadi menantu dan dianugerahi jabatan Adipati Pengging. Dengan
demikian Handayaningrat adalah menantu Brawijaya I. Handayaningrat ini
dimitoskan sebagai anak keturunan Raja Buaya dari Sungai Bengawan Solo. Karena
itu amat sakti dan usianya juga dimitoskan amat panjang lebih dari 100 tahun.
Dia baru meninggal pada tahun 1527 M, karena ikut berperang melawan Demak
mempertahankan Kerajaan Kediri, membela kemenakannya Raja Ranawijaya. Tetapi
bisa jadi, sebenarnya ada dua generasi
Handayaningrat, yaitu Handayaningrat I dan II, yang luput dari pengamatan
penggubah Babad Tanah Jawi, yang memang sering kurang akurat dalam menyebutkan
masa hidup suatu tokoh sejarah.
b. Putri China
Dengan putri
peranakan China, Brawija I memperoleh seorang anak laki-laki yang bernama Raden
Patah. Saat Raden Patah masih dalam
kandungan, Putri Peranakan China itu
diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar. Setelah remaja, Raden Patah
menjadi santri Sunan Ampel dan tinggal di Ampel Denta. Karena dorongan, petunjuk
dan bantuan Sunan Ampel, Raden Patah berhasil membuka, mendirikan, dan
mengembangkan Pesantren Bintara. Raja
Majapahit Dyah Surapabhawa Brawijaya IV
adik Brawijaya I, merubah nama Bintara menjadi Demak, mengukuhkan berdirinya
Kadipaten Demak dan mengangkat kemenakannya, Raden Patah menjadi penguasa
Demak.
c. Putri Wandan.
Putri
Wandan yang berkulit albino atau
bule, dikawini oleh Brawijaya I, maka
lahirlah seorang anak yang diberi nama
Lembu Peteng. Lembu Peteng kelak menjadi menantu Ki Ageng Tarub II yang
dalam mitos disebutkan punya istri
bidadari Dewi Nawangwulan. Kemungkinan besar Dewi Nawangwulan yang
dimitoskan sebagai bidadari itu, hanyalah
gadis China atau keturunan China yang mungkin tersesat di hutan dan
ditemukan oleh Jaka Tarub. Legenda
manusia kawin dengan bidadari memang
banyak ditemukan sebagai cerita rakyat di China dan Indo China.Ki Ageng
Tarub dengan Dewi Nawangwulan punya anak yang diberi nama Nawangsih. Nawangsih
inilah yang diperistri Lembu Peteng, Putra Brawijaya I. Lembu Peteng
menggantikan mertuanya menjadi Ki Ageng Tarub III. Lembu Peteng kelak
menurunkan Ki Ageng Sela, Pamanahan , Senapati dan raja-raja Mataram lainnya.
Sangat tidak
mungkin bahwa Sri Kertawijaya Brawijaya I tidak mempunyai istri prameswari atau
istri utama. Ketiga istri itu adalah istri selir. Mengenai istri utama Babad
Tanah Jawi menyebut Putri Campa sebagai permaisuri Brawijaya I. Keterangan Babad Tanah Jawi ini
sulit dipercaya. Tidak mungkin Brawijaya I punya permaisuri dari wanita asing. Ternyata memang
berdasarkan pelacakan sumber-sumber
sejarah, Permaisuri Sri Kertawijaya Brawijaya I adalah Penguasa Daha,
Jayawardhani Dyah Jayeswari (Slamet Mulyono; 1985 : 240 ). Dari Pernikahannya
itu Sri Kertawijaya Brawijaya I dikarunia sejumlah putra dan putri. Adipati
Keling Dyah Wijayakarana yang berhasil
mengambil alih tahta Majapahit, adalah putra bungsu Sri Kertawijaya Brawijaya
I. Dyah Ranawijaya, Raja Kediri Majapahit (1486-1527 M), adalah putra
Wijayakarana yang berati cucu Brawijaya I juga. Ranawijaya inilah yang oleh Babad Tanah Jawi sering disebut-sebut
sebagai Brawijaya Terakhir atau Brawijaya VII.
Dengan
demikian antara Raden Patah,
Handayaningrat dan Ranawijaya masih ada hubungan kekerabatan yang dekat
yakni sama-sama keturunan Sri
Kertawijaya Brawijaya I. Dapat dimengerti apabila saat Raden Patah berkuasa
(1481- 1518M), tidak pernah melakukan ekspansi
ke Kediri maupun Pengging. Ekspansi Kerajaan Islam Demak pada saat Raden
Patah berkuasa lebih banyak diarahkan ke
daerah Pesisir Pantai Utara Jawa Tengah
dan Jawa Barat, sampai Cirebon
dan Indramayu. Daerah pedalamannya, yang berhasil dikuasa Demak adalah
daerah Lembah Serayu ke arah barat
sampai Citandui dan Citarum sebelah
timur. Wilayah luar Jawa, wilayahnya sampai Palembang dan Sukadana di
Kalimantan Barat Daya.
Bagaimanapun
juga posisi Pengging bagi Demak adalah penting dan strategis. Karena Pengging
berada pada jalur untuk dakwah Islam ke arah pedalaman Jawa Tengah Selatan khususnya lembah Bengawan Solo
dan daerah sekitar Merapi dan Merbabu yang subur. Di daerah ini banyak terletak
tanah mahkota Majapahit, seperti Pajang, Mataram dan Wengker. Sekalipun begitu
Raden Patah tetap menahan diri dan menghindari konflik dengan Kediri dan
Pengging. Dapat dimengerti bila Kediri
pada awal abad 16 M itu
berkembang menjadi kerajaan di pedalaman
yang menjadi cukup kuat dan makmur.
Tetapi lama
kelamaan konflik Demak dan Kediri tak terhindarkan lagi. Demak menganggap
Portugal yang berada di Malaka adalah musuh utamanya. Tetapi Kediri dan juga Pakuan Pajajaran malah
menjalin aliansi dan kerjasama dengan Portugal di Malaka. Karena itu tak ada
pilihan lain bagi Demak kecuali
melaksanakan ekspansi militer untuk
menaklukan kedua Kerajaan Hindu itu. Pada tahun 1527 M, Demak menyerang Tuban, Kediri
dan Sunda Kalapa. Ketiganya segera saja jatuh ke tangan Demak pada tahun itu
juga. Pakuan Pajajaran baru dapat ditaklukan Banten pada tahun 1579 M.
Penakluk
Sunda Kalapa adalah Syekh Nurullah. Dan penakluk Kediri adalah Sunan Kudus
Ja’far Shodiq. Dalam penaklukan Kediri itu, Handayaningrat yang ikut berperang
mempertahankan Kediri, berhasil ditewaskan tentara Islam Demak. Dengan tewasnya
Handayaningrat, otomatis penguasa Kadipaten Pengging kosong. Maka Kebo Kenanga
atau Ki Ageng Pengging naik menggantikan ayahnya. Demak tentu berharap karena
Kediri telah jatuh, Ki Ageng Pengging segera mau mengakui kedaulatan Demak. Ternyata apa yang diharapkan Demak itu
tidak menjadi kenyataan. Pengging terus menerus
menunda dan belum mau mengakui kedaulatan Demak. Sekalipun bagi Demak sikap Pengging itu
mengherankan, Sultan Trenggono masih
tetap sabar.
Babad Tanah
Jawi menyebutkan bahwa Sultan Trenggono mengutus Patih Wanasalam membujuk Ki
Ageng Pengging untuk segera mengakui kdaulatan Demak. Tetapi rupanya karena
pengaruh yang kuat dari Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging tidak bersedia
mengakui kedaulatan Demak. Rupanya
sepeninggal Handayaningrat, Syekh Siti Jenar telah diangkat menjadi
penasihat Adipati Pengging. Posisi Syekh Siti Jenar terhadap Ki Ageng Pengging
selaku penguasa Pengging, mirip posisi Dewan Walisongo terhadap Sultan Demak,
yakni penasihat Raja atau Adipati.
Misi Patih
Wanasalam ternyata gagal. Pengging tetap belum bersedia mengakui kedaulatan
Demak. Patih Wanasalam atas nama Sultan
Demak masih memberi tenggang waktu tiga tahun untuk menentukan sikap. Tahun
1529 M, Sunan Kudus Ja’far Shodiq selaku
Panglima Perang Demak, mengingatkan Pengging, bahwa tenggang waktu untuk
menetukan pilihan sudah hampir habis. Guna memutus jalur Sengguruh – Pengging,
tahun 1529 M, Sunan Kudus memimpin ekspedisi penaklukan Madiun. Ternyata
jatuhnya Madiun tidak mampu merubah pendirian Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng
Pengging. Karena Pengging tak juga memberi respon, kesabaran Demak pun habis.
Tahun 1530 M, Demak menyerang Pengging, maka
Pengging pun jatuh. Ki Ageng
Pengging ditangkap dan langsung dieksekusi oleh Sunan Kudus..
Dalam Babad Tanah Jawi, maupun Serat Syekh Siti Jenar karangan Ki Sasra Wijaya
atau R.Panji Natarata, diceriterakan bahwa
Ki Ageng Tingkir, sahabatnya itu
telah meninggal lebih dulu dari
pada Ki Ageng Pengging. Dikisahkan pula
bahwa pada saat Nyi Ageng Pengging hamil tua, di rumah Ki Ageng Pengging
dipentaskan pagelaran wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Di tengah
pagelaran, Nyi Ageng Pengging merasa hendak melahirkan kandungannya. Konon pada
saat Ki Ageng Tingkir mendalang itu, bertiuplah angin kencang yang menerpa wayang beber yang
tengah dimainkannya dan terdengarlah suara bree…eeeet. Bersamaan
dengan angin kencang itu, lahirlah bayi
dari rahim Nyi Ageng Pengging, seorang
bayi laki-laki yang elok dan cakap. Maka Ki Ageng Tingkir mohon ijin untuk
memberi nama bayi laki-laki itu Karebet.
Ki Ageng Pengging menyetujuinya. Paginya bayi laki-laki itu diminta oleh Ki
Ageng Tingkir untuk diasuhnya, ternyata Ki Ageng Pengging juga menyetujui.
Babad Tanah
Jawi dan Serat Syekh Siti Jenar karya
Panji Natarata tidak menyebutkan apa alasan Ki Ageng Pengging menyerahkan begitu saja
anak laki-lakinya yang baru lahir dalam asuhan Ki Ageng Tingkir. Bukankah anak
laki-laki pertama itu adalah calon
pewaris dan penerus tahta Kadipaten
Pengging? Apalagi diberitakan setelah mengasuh Mas Karebet tidak lama
kemudian Ki Ageng Tingkir dikabarkan meninggal. Tidak adanya penjelasan mengapa
Ki Ageng Pengging begitu mudahnya menyerahkan anak laki-lakinya itu, menyebabkan
Ahli Sejarah Belanda De Graaf meragukan
Mas Karebet adalah putra Ki Ageng Pengging.
Bisa jadi Mas
Karebet memang putra Ki Ageng Pengging. Pada saat Pengging akan diserbu Demak,
Ki Ageng Pengging mengungsikan istri dan anak laki-lakinya itu ke tempat tinggal
Ki Ageng Tingkir. Sejak itulah Mas Karebet berada dalam asuhan Ki Ageng Tingkir
hingga lebih dikenal sebagai Joko Tingkir. Setelah Ki Ageng Tingkir wafat, rupanya Joko Tingkir
berada dalam asuhan Ki Ageng Butuh. Kelak Joko Tingkir lebih suka dimakamkan di
desa Butuh. Hal ini menunjukkkan adanya hubungan emosional yang erat antara
Joko Tingkir dan Ki Ageng Butuh.
Hubungan Ki
Ageng Butuh dengan Sultan Demak juga amat baik. Hal ini memperkuat dugaan bahwa
Ki Ageng Butuh memang menjadi pemangku kepentingan Demak di Pengging pasca
wafatnya Ki Ageng Pengging. Kelak setelah Joko Tingkir mencapai usia remaja, lewat
rekomendasi Ki Ageng Butuh, Joko Tingkir dengan mudah bisa masuk menjadi
anggota pasukan elit pengawal Sultan Demak. Memang Babad
Tanah Jawi menyebutkan adanya Komandan Prajurit Suronatan Kerajaan Demak yang
bernama Ki Ganjur. Dia adalah
keluarga Ki Ageng Tingkir. Hal
ini semakin memperkuat pendapat bahwa Ki Ageng Tingkir maupun Ki Ageng Butuh
punya hubungan baik dengan Sultan Demak. Dan itu menunjukkan bahwa pasca penaklukan Pengging, Pengging mengakui
kedaulatan Demak.
3 Nasib Syekh Siti Jenar.
Setelah
Pengging jatuh bagaimana nasib Syekh Siti Jenar? Babad Tanah Jawi dan kronik
lokal sejenis yang berisi legenda Syekh Siti Jenar menjelaskan bahwa Syekh Siti Jenar dihukum
mati oleh Sultan Demak karena dia telah mengajarkan ajaran sesat. Keputusan
hukuman mati dilaksanakan akibat hasutan beberapa tokoh Walisongo yang
takut ajaran Syariat Islam yang diajarkan para wali kalah populer
dengan ajaran Syekh Siti Jenar. Padahal ajaran
Syekh Siti Jenar itu terang-terangan menolak ajaran syariat Islam. Ternyata fakta sejarah
tidak demikian. Syekh Siti Jenar dihukum mati karena dianggap menghasut Ki
Ageng Pengging agar menolak mengakui kedaulatan Demak. Bisa jadi memang ada
kepentingan agama dalam kasus eksekusi Ki Ageng Pengging dan Syekh Siti Jenar.
Tetapi faktor agama bukanlah faktor yang utama. Faktor utamanya adalah masalah
politik.
Babad Tanah
Jawi ditulis pada awal abad ke 18 M, oleh Carik Bajra atas perintah Paku Buwono
I pada masa Kerajaan Mataram Kartasura. Carik Bajra adalah salah seorang dari
keturunan Pangeran Adilangu. Jadi dia masih keturunan Sunan Kalijaga. Sebagai
bahan penulisan bukunya itu, Carik Bajra menggunakan buku-buku yang tersimpan
di Perpustakaan Kraton. Salah satu sumber yang dipakainya adalah Babad Mataram
yang ditulis pada jaman Sultan Agung. Dapat dimengerti bila isi Babad Mataram agak tendensius terhadap Kerajaan Demak dan Walisongo, karena Syekh
Siti Jenar yang dipersepsikan sebagai tokoh yang mengajarkan konsep Manunggaling Kawula
Gusti dimusuhi oleh Walisongo.
Tokoh
Walisongo yang paling gigih menentang ajaran Syekh Siti Jenar adalah Sunan
Bonang, Sunan Kudus dan Sunan Giri Gajah. Itulah sebabnya dikembangkan
kisah-kisah fantasi guna mengkultuskan Syekh Siti Jenar dan juga untuk memojokkan
para Walisongo, khususnya ketiga wali tersebut. Karena gaya
penulisannya yang bersifat tendensius untuk menyudutkan Demak dan Walisongo, kisah kematian Syekh
Siti Jenar dalam Babad Tanah Jawi dan
kronik-kronik lokal Jawa Tengah
dan Jawa Timur sulit dipercaya kebenarannya. Kisah kematian Syekh Siti Jenar
versi Babad Cirebon jauh lebih dapat dipercaya. Walaupun belum sepenuhnya bebas
dari unsur mistik dan legenda, tetapi
kecenderungan untuk mengkultuskan Syekh Siti Jenar dan menyudutkan Demak
dengan Dewan Walisongonya, jauh berkurang. Karena itu kisah dalam Babad Cirebon
lebih memiliki nilai obyaktifitas, dibanding Babad Tanah Jawi dan kronik lokal
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Rupanya saat
Sunan Kudus menyerbu Pengging, Syekh Siti Jenar beserta sejumlah pengikutnya
berhasil melarikan diri. Kemungkinan besar lebih dulu melarikan diri ke arah
Kediri., karena walapun telah ditaklukan Demak, belum seluruh wilayah Kediri
yang luas itu mampu dikuasai Demak. Lagi pula di daerah Kediri dan
sekitarnya banyak juga pengikut Syekh
Siti Jenar. Setelah Pengging jatuh, Demak melakukan ekspansi ke Jawa Timur
dalam rangka merebut Sengguruh. Demak memerlukan waktu cukup lama untuk
menaklukan Sengguruh, lebih kurang 15
tahun setelah Pengging jatuh. Untuk
melemahkan Sengguruh Demak lebih dulu
harus menaklukan daerah-daerah di sekitarnya seperti Lamongan, Surabaya, Pasuruan, Madura, Madiun
bahkan Penanggungan, sebuah daerah basis para pendeta Hindu Buddha. Akhirnya
hampir semua wilayah di luar Sengguruh dapat ditaklukan Demak. Bahkan Mamenang yang dekat Kediri, menjadi amat
terancam dan akhirnya juga berhasil
ditaklukan. Agaknya karena merasa terancam, jauh-jauh sebelum kota-kota
sekitar Sengguruh jatuh, Syekh Siti Jenar lebih dulu meninggalkannya dan
pindah ke Cirebon, tanah kelahirannya
yang dianggapnya tempat paling aman untuk bersembunyi. Dan setelah merasa aman dan nyaman mulailah dia
menyebarkan ajarannya dan mencari pengikut dari masyarakat Cirebon dan
sekitarnya. Saat itu Cirebon masih
merupakan wilayah dari Kerajaan Islam
Demak. Penguasa Cirebon adalah Pangeran Pasarean yang mewakili ayahnya Syekh
Nurullah yang tinggal di Banten.
Kegiatan
Syekh Siti Jenar segera tercium oleh tentara keamananan Kadipaten Cirebon. Akhirnya Syekh Siti Jenar
berhasil ditangkap. Pangeran Pasarean segera melapor kepada Sultan Demak
Trenggono dan Syekh Nurullah di Banten. Sultan Trenggono mengutus Sunan Kudus
ke Cirebon untuk melaksanakan eksekusi hukuman mati.. Dengan menggunakan
sebilah keris, disaksikan Pangeran Pasarean dan kemungkinan juga disaksikan
Syekh Nurullah yang datang dari Banten ke Cirebon, Sunan Kudus melaksanakan
eksekusi hukuman mati atas diri Syekh Siti Jenar. Babad Cirebon
mencatat bahwa eksekusi hukuman mati atas
Syekh Siti Jenar itu dilakukan pada bulan Safar 923 H. Bila tahun ini
dikonversikan ke tahun Miladiyah atau Syamsiah, kira-kira bertepatan
dengan tahun 1516 M. Angka ini jelas tidak cocok dengan fakta sejarah. Karena
pada tahun itu Syekh Nurullah masih di Pasai dan Sultan Trenggono belum
menjabat Sultan Demak. Sunan Kudus pun masih berusia remaja. Karena itu angka
tahun yang disebutkan Babad Cirebon tak dapat dijadikan pegangan. Yang lebih
pasti dan dapat dijadikan pegangan peristiwa eksekusi mati atas Syekh Siti
Jenar itu besar kemungkinan terjadi antara tahun 1530 – 1546 M.
Menurut
catatan De Graaf, Sunan Kalijaga pindah ke Demak tahun 1543 M. Kira-kira pada
tahun ini juga Pangeran Panggung murid Syekh Siti Jenar putra Sunan Kalijaga
ikut pindah ke Demak. Pangeran Panggung
kemudian pergi ke Pengging dan bermukim di Panggung, hingga dikenal sebagai Pangeran Panggung. Dengan
demikian antara tahun 1543- 1545 M, Syekh Siti Jenar masih hidup, karena Sunan
Panggung berbuat onar di Msajid Demak adalah sebagai protes atas hukuman mati
yang baru saja dijatuhkan atas diri gurunya itu. Antara tahun 1543- 1545 M,
Sunan Kudus sedang sibuk mempersiapkan operasi penaklukan Sengguruh. Karena itu
kecil kemungkinannya dia bisa pergi ke Cirebon. Maka kita dapat memperkirakan, bahwa Sunan Kudus
ke Cirebon untuk melaksanakan hukuman mati atas Syekh Siti Jenar, terjadi
setelah Sengguruh jatuh. Dan itu berarti
terjadi pada tahun 1545 M.
Setelah
dirawat sebagaimana layaknya seorang Muslim, jenazah Syekh Siti Jenar
dimakamkan di pemakaman umum, di pinggiran kota Cirebon. Berita kematian Syekh
Siti Jenar segera menyebar ke berbagai penjuru tanah Jawa. Maka
berbondong-bondonglah pengikut Syekh Siti Jenar
ke kota Cirebon untuk berziarah. Mereka datang dari berbagai kota di
Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, bahkan ada yang dari Lampung. Setiap
rombongan peziarah datang, mereka menebarkan bunga melati di atas makam Syek
Siti Jenar. Karena itu, pemekaman umum itu menjadi tenar dengan nama Pamlaten,
yang berarti tempat yang dipenuhi bungan
melati. Tentu saja makam itu menjadi harum oleh aroma bunga melati. Tetapi
pengikutnya menduga aroma itu berasal dari jenasah Syekh Siti Jenar.
Dalam kronik
Cirebon dikisahkan pula bahwa Syekh Siti Jenar memiliki dua orang anak
laki-laki yang diberinama Abdul Qodir alias Datuk Badrun dan Abdul Qohar alias
Datuk Fardut. Ketika Syekh Siti Jenar dihukum mati kedua anaknya itu
diselamatkan ke Lamongan Jawa Timur. Tetapi setelah dewasa Abdul Qodir kembali
ke Cirebon, sedang adiknya Abdul Qohar tetap tinggal di Paciran, Lamongan. Dari
kisah kronik Cirebon ini, dapat disimpulkan
bahwa Syeh Siti Jenar lebih lama tinggal di Cirebon setelah melarikan diri
dari Pengging, dari pada tinggal di Kediri. Buktinya dia bisa membangun suatu
keluarga yang memberikannya keturunan. Dalam kronik
Jawa Tengah seperti Serat Syekh Siti Jenar karangan Ki Sastrawijaya, tidak
pernah disinggung kehidupan pribadi dan keluarga Syekh Siti Jenar. Hal ini
menujukkan bahwa masyarakat Cirebon lebih mengetahui detail kehidupan Syekh
Siti Jenar ketimbang masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Memang tradisi Cirebon seperti tulisan PS.Sulendraningrat dalam Babad Tanah
Sunda-Babad Cirebon mencantumkan silsilah Syekh Siti Jenar/Syekh Lemah
Abang/Syekh Abdul Jalil sebagai keturunan ke-21 dari Nabi Muhammad saw. Tetapi
kebenaran silsilah itu kurang dapat diprecaya, karena pembuatan silsilah itu hanyalah
bagian dari upaya mengkultuskan seorang tokoh yang
dianggap suci seperti Syekh Siti Jenar. Lagi pula sumber penulisan Babad Tanah Sunda-Babad Cirebon, diduga baru
ditulis dalam waktu yang belum terlalu lama, yakni pada awal abad ke-19 M,
terutama setelah Kerajaan Banten dan Cirebon jatuh dibawah pemerintahan Hindia
Belanda pada tahun 1809 M. Naskah Walisana yang ditulis Sunan Giri Prapen yang
menyebutkan asal usul moyang Syekh Siti Jenar, jauh lebih dapat dipercaya dari
tulisan PS. Sulendraningrat, sekalipun tidak disertai daftar silsilah nenek
moyang Raden Saksar atau Syekh Siti Jenar.
4 Usaha Pemujaan Syekh Siti Jenar.
Suatu saat
datanglah serombongna peziarah dari Kediri. Mereka menghadap Pangeran Pasarean dan mengajukan permohonan
agar diijinkan membawa jenazah Syekh Siti Jenar untuk dimakamkan di Kediri.
Tetapi Pangeran Pasarean tidak langsung menyetujui. Dia berjanji akan
berkonsultasi dulu dengan Syekh Nurullah, ayahnya yang saat itu tinggal di Banten. Ternyata Syekh Nurullah Sunan Gunungjati
tidak menyetujuinya dan memerintahkan agar makam itu dibongkar dan jenazah Syekh Siti Jenar dipindahkan ke
tempat yang dirahasiakan. Kurang jelas atas inisiatip siapa, yang jelas setelah
makam dibongkar dan jenazah dipindahkan ke tempat yang tersembunyi, ke
dalammnya ada yang memasukkan bangkai
anjing. Maksudnya agar makam itu tidak dijadikan tempat ziarah dan pemujuaan.
Ketika
rombongan dari Kediri datang, penguasa Cirebon mempersilahkannya untuk
membongkar sendiri makam tersebut. Betapa terkejutnya para peziarah itu, karena
setelah makam dibongkar, ternyata yang ada di dalam makam itu, bukan jenazah
Syekh Siti Jenar yang akan dibawa ke Kediri. Tetapi bangkai
seekor anjing. Akhirnya rombongan pulang dengan kecewa dan tangan hampa.
Memang sejak itu, tak ada lagi peziarah yang datang dan makam itu pun menjadi
sepi sebagaimana layaknya makam umum biasa.
Dalam berbagai serat babad dan kronik Jawa Tengah
dan Jawa Timur, banyak dikisahkan bahwa Sultan Bintara Raden Patah, setelah
mengetahui jenasah Syekh Siti Jenar yang dieksekusi di Masjid Demak berubah
menjadi bangkai anjing, memerintahkan agar ada bangkai anjing yang
digantung di alun-alun. Konon sebagai
peringatan, agar rakyat tidak mengikuti ajaran Syekh Siti Jenar. Karena kalau
mengikutinya, bila mati akan berubah menjadi bangkai anjing seperti yang
terjadi pada Syekh Siti Jenar. Jelas kisah ini bersifat tendensius untuk
menyudutkan Raden Patah. Karena saat eksekusi Syekh Siti Jenar, Raden
Patah sudah wafat (1518 M). Lagi pula
konflik Demak Pengging, tidak terjadi pada masa pemerintahan Raden Patah,
tetapi terjadi pada masa Sultan Trenggono (1521-1546 M).
Memang para penggubah kisah-kisah babad dari
Jawa Tengah dan Jawa Timur sering menggambarkan citra buruk Raden Patah. Babad Kediri malah menyebut
dengan nada sinis Raden Patah sebagai Babah Fatah. Babah adalah sebutan untuk
orang China. Dan Raden Patah memang adalah seorang Muslim sekalipun dia
keturunan peranakan China-Jawa.Wallahualam[]
Catatan : Artikel Lanjutan:
Sejarah Syekh Siti Jenar, Diantara Legenda, Mitos, dan Fantasi Libido.
https://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-syekh-siti-jenar-dan-walisongo.html
Catatan : Artikel Lanjutan:
Sejarah Syekh Siti Jenar, Diantara Legenda, Mitos, dan Fantasi Libido.
https://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-syekh-siti-jenar-dan-walisongo.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar