1
Lamongan
Hampir
sepanjang dasa warsa pertama abad ke 21 ini (2002-2008 M),
media massa ditanah air kita diramaikan dengan berita-berita terorisme, akibat
dari perbuatan Amrozy Cs. Amrozy adalah pelaku peledakan bom Bali yang
menimbulkan ratusan korban orang tak berdosa. Ada warga Indonesia, tetapi ada
juga warga asing, terbanyak para wisatawan dari Australia. Akhirnya
Amrozy berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman
mati. Eksekusi hukuman mati dilaksanakan pada pertengahan November 2008.
Jenazah Amrozy dimakamkan di tanah kelahirannya Lamongan, Jawa Timur.
Agak mengherankan sebenarnya, bahwa di Lamongan dapat muncul penganut Islam garis keras. Dari sisi aqidah, sebenarnya Amrozy Cs menghendaki palaksanan ajaran syariat Islam yang murni bersumber dari Al Qur’an dan Hadist Nabi saw. Sebenarnya sepanjang kehendak itu dilaksanakan sebatas berupa ajakan, contoh dan teladan yang baik, mestinya tidak akan menimbulkan masalah. Sumber masalah, karena mereka memaksakan kehendak dengan tindakan-tindakan yang diwarnai berbagai macam tindak kekerasan.
Konon Amrozy dan keluarganya yang memiliki pesantren sering kali melakukan pengusiran kepada penduduk desanya yang gemar melakukan ziarah kubur. Bila berita ini benar, tentu patut disesalkan. Karena Nabi saw sendiri tidak pernah melarang orang melakukan ziarah kubur, sepanjang orang tahu cara-cara melakukan ziarah kubur dan mampu membebaskan dari unsur-unsur musyrik. Memang yang dilarang Nabi saw adalah ziarah kubur yang mengandunmg unsur musryik, misalnya bukan mendoakan ahli kubur, tetapi meminta-minta barokah kepada ahli kubur. Ziarah kubur semacam inilah yang dilarang oleh Islam dan tentu saja oleh Nabi saw. Memang betul pula bahwa Nabi saw tidak pernah melakukan ziarah kubur secara sengaja dan jongkok berdoa di depan makam ahli kubur. Dalam tareh disebutkan bahwa setelah penaklukan Mekkah, Nabi saw sempat mengunjungi makam istrinya Khadijah. Tetapi merutinkan ziarah kubur tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw.
Lamongan sendiri merupakan kota tua, sebagian besar penduduknya pemeluk Islam yang penuh toleran terhadap nilai-nilai budaya lokal. Namun pada masa Hindu-Buddha, Lamongan memang termasuk daerah yang banyak dihuni oleh penganut Hindu Buddha fanatik atau penganut garis keras pada jamannya. Ketika Majapahit runtuh pada tahun 1478 M dan muncul Kerajaan Keling Majapahit lalu menjelma menjadi Kerajaan Kediri Majapahit, Kadipaten Lamongan merupakan wilayah yang tetap taat dan setia kepada Kerajaan Kediri Majapahit. Bahkan pada saat Kerajaan Kediri menyerang Pesantren Giri karena tidak mau mengakui kedaulatan Kediri, orang-orang dari daerah Lamongan yang terkenal keras dan fanatik dalam kepercayaan Hindu-Buddhanya ikut serta dalam usaha penyerbuan Pesantren dan Kedaton Giri. Diberitakan bahwa Pesantren Giri sempat mengalami kesulitan berat akibat serbuan dari Kediri yang dibantu oranga-orang Hindu Lamongan. Namun Sunan Giri berhasil menyelamatkan Pesantren dan Kedatonnya. Gangguan terhadap Giri tidak hanya sekali tetapi beberapa kali. Kadang-kadang berupa tindakan teror dari para pemeluk Hindu Buddha aliran garis keras pada jaman itu. Babad Tanah Jawi mengisahkan penyelamatan Pesantren Giri oleh Sunan Giri sendirian saja. Konon, hal itu bisa dilakukan karena Sunan Giri memiliki kesaktian.
Suatu ketika Sunan Giri melihat ratusan prajurit musuh yang tahu-tahu sudah mengepung Giri di kaki bukit. Menghadapi keadaan gawat yang tak terduga itu, Sunan Giri tak kehilangan akal. Dia segera berdoa dan dengan pertolongan Allah SWT Sunan Giri dapat segera merubah persawahan yang mengelilingi prajurit pengepung itu menjadi sebuah tambak. Akibatnya gerak maju tentara pengepung menjadi terhambat. Lama kelamaan prajurit pengepung yang ratusan banyaknya itu kelaparan. Tetapi Sunan Giri yang melihat prajurit pengepung itu kelaparan, timbul rasa kasihan. Maka Sunan Giri mengubah tambak itu kembali lagi menjadi persawahan, tetapi dengan tanaman padi yang siap untuk dipanen. Karena kelaparan prajurit pengepung itu segera memanen padi dan menumbuknya menjadi beras, lalu dimasak, hingga mereka menjadi kenyang. Kini mereka kembali bersiap siap hendak naik ke puncak bukit untuk menduduki Giri. Melihat hal itu, Sunan Giri segera mengambil pasir dan dilemparkannya ke bawah. Seketika itu, pasir pun berubah menjadi ribuan lebah yang menyengati prajurit pengepung. Tentu saja mereka menjadi kalang kabut.
Walapun begitu, prajurit-prajurit yang militan dan fanatik tidak mau mundur. Mereka terus berusaha naik ke atas. Karena itu, terpaksa Sunan Giri menciptakan sebuah keris dari pena atau kalam yang biasa digunakan oleh Sunan Giri untuk menulis. Keris ciptaan Sunan Giri yang asalnya dari pena kesayangannya itu, disebut keris Kala Munyeng. Keris Kala Munyeng segera beraksi, setelah dilemparkan oleh Sunan Giri. Keris itu berputar-putar di udara dan dengan cepat menusuki prajurit-prjurit pengepung yang keras kepala itu. Akibatnya mereka banyak yang berjatuhan dan bergelimpangan bersimbah darah. Baru setelah mereka melihat banyak teman-temannya yang tewas karena serangan keris Sunan Giri, mereka mulai mau mundur secara beramai-ramai. Sejak itu, tak ada lagi usaha-usaha untuk menghancurkan Pesantren Giri yang dilancarkan oleh Kerajaan Kediri dengan bantuan orang-orang Hindu Buddha Lamongan yang fanatik itu.
Demikian kisah legenda penyerangan Giri itu. Karena legenda, maka jalannya ceritera sulit sekali dipercaya. Tetapi berita bahwa Pesantren Giri pernah mendapat serangan hebat dari Kerajaan Hindu Kediri dengan bantuan orang-orang Hindu Lamongan, mengandung banyak kebenaran dan karenanya peristiwa itu dapat dipercaya. Fanatisme dan radikalisme memang bisa muncul pada agama apa saja, tidak peduli apakah itu Islam, Kristen, Yahudi, Hindu maupun Buddha.
2 Raden Qosim
Raden Qosim
adalah putra Sunan Ampel. Dengan demikian Raden Qosim adalah adik Sunan Bonang.
Ada yang berpendapat bahwa Raden Qosim adik Sunan Bonang satu ibu. Tetapi ada
pula penulis yang berpendapat bahwa Raden Qosim adalah adik Sunan Bonang
berlainan ibu. Kelak Raden Qosim menjadi
terkenal dengan nama Sunan Drajat. Sunan Ampel memberi nama putra laki-lakinya
yang kedua itu Qosim, mungkin karena Sunan Ampel ingin meneladani Nabi saw. Bukankah
putra Nabi saw yang sulung juga bernama Qosim? Jika putra Nabi saw itu wafat saat masih kanak-kanak, tentunya
Sunan Ampel berharap bahwa putra laki-lakinya yang diberi nama Qosim itu
berusia panjang, agar dapat menyebarkan ke seluruh penjuru bumi Syariat Islam yang dibawa oleh
Nabi saw.
Harapan Sunan Ampel ternyata menjadi kenyataan. Raden Qosim, seperti juga kakaknya, tekun dalam belajar, rajin membaca, sabar mengikuti pelajaran dari ayahnya. Raden Qosim juga dianugerahi kecerdasan yang tinggi hingga cepat menguasai berbagai ilmu agama dari ayahnya. Buku-buku agama yang berserakan di perpustakaan ayahnya, tidak bosan-bosannya dibacanya. Buku bacaan selingan yang digemari Raden Qosim adalah kisah para Nabi saw yang termuat dalam Kitab Ambiya. Isi Kitab Ambiya ini memang bersifat didaktik. Kitab Ambiya sudah dikenal di Nusantara sejak berdirinya Kerajaan Islam Samudra Pasai pada akhir abad ke -13 M. Dari sana kitab ini menyebar ke mana-mana. Saat itu ketab-kitab agama dan pengetahuan diperbanyak dengan cara disalin. Sunan Ampel yang juga gemar menulis dan mengumpulkan buku. Tentu memperolehnya dengan cara menyalinnya atau menyuruh para santrinya untuk menyalinnya. Kitab Ambiya ditulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Arab Melayu yang dikenal juga sebagai huruf Jawi. Namun demikian karena banyak murid-murid Sunan Ampel yang pandai pula menulis dan membaca huruf Jawa, maka mereka banyak menerjemahkan pula kitab-kitab itu ke dalam bahasa Jawa dan tentunya juga dengan huruf Jawa. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan mereka dalam memberikan ceramah-ceramah atau pengajaran yang kebanyakan masih banyak menggunakan bahasa Jawa.
Sunan Ampel sendiri amat bangga dengan kedua putranya itu. Setelah Raden Qosim dewasa, dan menurut pandangan Sunan Ampel sudah memilki berbagai kecakapan, bukan hanya dalam ilmu-ilmu agama tetapi ilmu ketrampilan yang berhubungan dengan urusan dunia, disarankannya agar anaknya itu merantau ke luar daerah, mengikuti jejak kakaknya.
“Wahai Qosim, anakku! Engkau sudah cukup membantu mengajar para santri di pesantren ini. Kini tiba saatnya engkau membuka sebuah pesantren di luar daerah untuk menyebarluaskan agama Kanjeng Nabi saw. Aku pikir engkau perlu mengikuti jejak kakakmu. Pergilah ke Tuban dahulu dan temuilah saudara-saudara Ayah di sana. Garaplah wilayah yang terletak antara Tuban dan Gresik, terutama daerah Lamongan. Adapun wilayah dari Tuban ke barat biarlah menjadi garapan Kakakmu , Makhdum Ibrahim,“ ujar Sunan Ampel pada suatu saat.
“Baiklah, jika menurut Ayahanda itulah yang terbaik, Insya Allah ananda akan laksanakan. Ananda akan mempersiapkan diri berangkat dan mohon doa restu Ayahanda. Mungkin perlu waktu empat atau lima hari untuk mempersiapkan diri.”
Sunan Ampel menyetujuinya, setelah diam sejenak, lalu katanya, ”Engkau harus berdakwah dan mendirikan pesantren di wilayah antara Gresik dan Tuban. Di situ masih banyak penduduk pemeluk Hindu Buddha yang fanatik. Jika engkau berdakwah di sana berlakulah sopan, ajak mereka ke dalam syariat Kanjeng Nabi saw dengan cara ma’ruf, sopan dan secara baik-baik. Ikutilah nasihat Baginda Ali agar memberi tongkat kepada yang buta, memberi minum yang kehausan, memberi makan yang kelaparan dan memberi pakaian kepada yang telanjang dan memberikan payung kepada yang kehujanan. Insya Allah dakwahmu akan berhasil. “
“Menurut Ayahanda, dengan apakah sebaiknya ananda harus pergi ke sana ? “
Sunan Ampel diam sejenak lalu jawabnya, ”Aku pikir sebaiknya engkau pergi ke Gresik dulu.Temui kakakmu di pesantren Giri. Dari Gresik engkau dapat menggunakan perahu atau kapal ke Tuban. Dari Tuban barulah engkau menuju ke timur. Itulah jalan yang paling mudah menuju ke daerah tempat engkau seharusnya berdakwah.”
3 Ingat Kisah Nabi
Yunus.
Raden Qosim
terhenyak sejenak. Tidak seperti kakaknya, seumur hidup Raden Qosim belum
pernah bepergian lewat laut. Kini ayahnya menyarankan agar ia menuju Lamongan
dengan menempuh jalan memutar, melewati Gresik kemudian ke Tuban lebih dulu
lewat jalan laut. Memang saat itu jalur transportasi lewat darat belum banyak.
Sebenarnya bisa saja Raden Qosim
menempuh jalan darat. Tetapi bisa jadi akan mengalami banyak kesuilitan yang
harus dihadapi, antara lain medan yang berat, hutan yang lebat, binatang buas
dan penduduk yang masih jarang dan tinggal terpencar-pencar.
Pada saat itu orang memang lebih suka pergi ke Lamongan lewat Tuban. Sekalipun begitu Raden Qosim percaya kepada saran ayahnya yang tentu saja jauh berpengalaman dari pada dirinya. Bisa jadi dengan sarannya itu, ayahnya hendak memberikan pengalaman yang berharga kepadanya. Selama ini memang ia merasa lebih banyak berkutat di sekitar Ampel Denta dan belum pernah pergi jauh menempuh perjalanan laut. Walaupun begitu Raden Qosim memang memilki banyak kecakapan hingga Sunan Ampel tidak pernah khawatir akan masa depannya. Beberapa malam menjelang keberangkatannya, Raden Qosim tidak bisa tidur. Terbayang-bayang selalu olehnya laut yang luas ciptaan Allah SWT, Tuhan Alam Semesta yang Maha Perkasa. Dalam Al Qur’an yang tiap malam dibacanya, banyak dijumpai ayat-ayat yang menjelaskan kebesaran Tuhan yang telah menciptakan laut dan perahu-perahu yang dapat mengapung di atasnya dan anginyang bertiup yang menyebabkan perahu-perahu itu bisa berlayar ke tempat-tempat yang jauh di muka bumi. Raden Qosim ingat pada kisah para nabi yang sering dibacanya melalui Kitab Ambiya. Di antara para nabi itu, banyak yang berurusan dengan laut, misalnya Nabi Musa. Nabi Musa harus membelah Laut Merah dengan tongkatnya agar terhindar dari kejaran Firaun. Atas pertolongan dari Allah SWT, Laut Merah terbelah seketika, hingga Musa dan pengikutnya dapat menyelamatkan diri dengan cara menyeberangi Laut Merah. Setelah Nabi Musa dan pengikutnya berhasil menyeberang, tiba-tiba Laut Merah yang semula terbelah itu, menyatu kembali. Akibatnya Firaun dan tentaranya yang tengah mengejar Musa dan pengikutnya, tenggelam ke dasar laut.
Raden Qosim juga ingat kisah Nabi Yunus. Nabi Yunus diperintah oleh Allah SWT mengajak penduduk Niniveh yang gemar menyembah berhala itu agar supaya mereka mau meninggalkan kebiasaan musyrik yang buruk itu dan hanya menyembah kepada Allah SWT saja. Maka pada malam sebelum keberangkatannya dibacanya kembali kisah Nabi Yunus itu. Niniveh adalah sebuah kota tua di tepi sungai Tigris di lembah Mesopotamia Irak, di dekat Kota Mosul sekarang. Ternyata ajakan dan dakwah Nabi Yunus itu ditolak mentah-mentah oleh penduduk. Ajakannya untuk berdzikir, berdoa, menyembah dan memohon pertolongan hanya kepada Allah SWT saja, diacuhkan begitu saja. Lama kelamaan Nabi Yunus berputus asa dan marah. Lalu dia meninggalkan negerinya dengan menyusuri Sungai Tigris sampai akhirnya tiba di tepi Pantai Teluk Persia. Dari sana Nabi Yunus menumpang sebuah kapal yang akan membawanya ke suatu tempat. Ke sanalah Nabi Yunus hendak berdakwah. Padahal Allah SWT tidak menyuruhnya untuk pergi meninggalkan negerinya dan berdakwah di tempat lain. Dan ia pun tidak diperintahkan untuk berlayar. Kehendaknya untuk berlayar semata-mata adalah kemauannya sendiri lantaran marah, kesal, jengkel dan putus asa, karena dakwahnya tidak mendapat sambutan dari penduduk negerinya. Karena itulah Allah SWT menghalang-halangi kepergiannya.
Ketika Nabi Yunus tengah berlayar itu, tiba-tiba datanglah sebuah badai, sehingga kapal yang ditumpanginya hampir saja tenggelam. Awak kapal terpaksa mengurangi muatannya dengan melemparkan barang-barang yang ada ke dalam laut. Ternyata tindakan ini pun tidak menolongnya.
Lalu awak
kapal dan penumpang pun bermusyawarah. Mereka semua harus tetap hidup, tetapi
tetap harus ada yang bersedia dilemparkan ke laut untuk mengurangi muatan
kapal. Supaya adil, dilakukanlah dengan cara undian. Ternyata Nabi Yunus
termasuk penumpang yang malang. Dia harus meninggalkan kapal yang hampir
tenggelam itu. Caranya harus terjun ke laut dan menyelamatkan dirinya sendiri.
Tentu saja risikonya adalah mati tenggelam dan peluang untuk selamat amatlah
kecil. Karena tak
ada pilihan, Nabi Yunus hanya dapat
pasrah. Ia sadar mungkin itulah takdir dari Allah SWT. Ia menyesal karena merasa belum berhasil
melaksanakan perintah Allah SWT mengajak penduduk negerinya beriman kepada
Allah SWT.
Kini ia malah menghadapi maut yang telah terbayang di depan matanya. Maka Nabi Yunus hanya bisa berdoa, ”Tiada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau Ya Allah. Sesungguhnya aku tergolong orang-orang yang aniaya, Laa ilaaha illaa Anta. Subhanaka inni kuntu minadhalimiin.” Nabi Yunus pun segera dilemparkan ke laut. Tetapi aneh. Tiba-tiba muncul seekor ikan besar yang segera menyambar dan menelannya. Nabi Yunus atas kehendak Allah SWT, kini berada dalam perut ikan. Di dalam perut ikan, Nabi Yunus masih sadar. Karena itu, ia terus menerus membaca doa di atas. Ia memang sudah pasrah terhadap apa yang bakal terjadi atas dirinya. Dan ia merasa menyesal karena telah meninggalkan negerinya tanpa menunggu atau memohon petunjuk kepada Allah SWT. Setelah tiga hari tiga malam di dalam perut ikan, rupanya ikan itu merasa tidak enak, karena di dalam perutnya ada benda asing yang atas kehendak Allah SWT, sulit dicernakkan. Maka ikan itu pun berenang ke tepi, kemudian dimuntahkannya segala isi perutnya. Nabi Yunus ikut terlempar dari perut ikan dan terjatuh di pasir yang lunak di tepi pantai. Ia pun pingsan di sana. Ketika Nabi Yunus sadar, tubuhnya sudah amat lemah. Tiga hari tiga malam perutnya kosong. Namun ia bersyukur karena Allah SWT masih menyelamatkannya.
Nabi Yunus segera melakukan sujud syukur di tepi pantai. Ia pun berhasil menemukan pohon buah-buahan yang banyak tumbuh di tepi pantai. Karena itu Nabi Yunus dapat memetiknya dan memakannya dengan lahap. Tak henti-hentinya Nabi Yunus berdoa, sampai akhirnya datang wahyu kepadanya . Ia disuruh kembali lagi ke negerinya. Penduduk negerinya kini telah beriman kepada Allah SWT akibat dari dakwahnya pada masa yang lalu. Dan juga akibat bencana alam yang telah menimpa negeri mereka. Yang aneh adalah Nabi Yunus justru terdampar di pantai dari negerinya sendiri, sehingga ia tidak perlu jauh-jauh untuk melaksanakan perintah Allah yakni kembali lagi ke negerinya karena Allah SWT dengan kekuasaanNya telah mengembalikan Nabi Yunus ke negeri yang hendak ditinggalkannya.
Raden Qosim tersenyum sejenak setelah membaca akhir dari kisah Nabi Yunus itu. Akankah aku mengalami kejadian seperti Nabi Yunus? pikirnya di dalam hati. Ia pun berjanji kepada dirinya sendiri tidak akan melakukan kesalahan yang dilakukan oleh Nabi Yunus yaitu berputus asa ketika ajakan dakwahnya belum mendapat sambutan sebagaimana yang ia harapkan.
Tibalah
saatnya bagi Raden Qosim untuk meninggalkan ayah bundanya, keluarganya
sahabat-sahabatnya di pesantren milik ayahnya tempat ia ikut belajar, kemudian menjadi
salah seorang guru membantu ayahnya. Ya, ia harus
meninggalkan kota kelahiran yang ia cintainya. Betapa berat rasanya, karena ia
memang bukan orang yang gemar berkelana seperti kakaknya, Sunan Bonang.
Seandainya saja ia tidak ingat pada pesan ayahnya dan kewajiban untuk
menyebarkan agama Islam, sebenarnya ia merasa lebih suka tinggal di pesantren
Ampel Denta yang telah memberinya kenyamanan, ketentraman dan kebahagiaan.
Setelah mohon doa restu kepada ayah bundanya, Raden Qosim bergegas meninggalkan Ampel Denta dengan tekad yang bulat, tawakal dan berserah diri kepada Allah SWT. Di Gresik ia singgah sejenak ke tempat kakak iparnya, Sunan Giri. Sunan Giri bukan saja mantan santri Sunan Ampel, tetapi juga menantu karena menikah dengan salah satu kakak Raden Qosim. Dari Sunan Giri, Raden Qosim mendapat banyak nasihat, petunjuk dan juga tambahan bekal. Sunan Giri adalah seorang wali yang kaya raya, tetapi sangat pemurah. Kekayaannya digunakan untuk berjuang di jalan Allah. Sunan Giri juga berjanji akan memberikan bantuan tambahan bila kelak Raden Qosim telah menemukan tempat yang cocok untuk mendirikan pesantren. Raden Qosim memang amat terkesan dengan keindahan Pesantren Giri yang dibangun di atas ketinggian sebuah bukit. Dan dari ketinggian itu, orang dapat memandang keindahan alam di sekitarnya yang merupakan ciptaan Tuhan Alama Semesta.
Di Pelabuhan Gresik Raden Qosim menyaksikan kapal dan perahu yang hilir mudik kian kemari. Ada yang baru datang hendak berlabuh. Ada pula yang hendak berangkat. Ketika itu Pelabuhan Gresik ramai sekali. Saat itu Gresik adalah pelabuhan terbesar di Jawa Timur setelah Tuban. Dari Gresik ada kapal-kapal yang berlayar ke arah barat menuju Tuban. Ada pula yang berlayar ke arah timur menuju Bali, Nusatenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Maluku. Kota Gresik memang saat itu berada pada tiga jalur pelayaran Nusantara. Akhirnya Raden Qosim berhasil menemukan kapal yang akan berlayar ke arah barat menuju Tuban. Singkat ceritera, kapal suda berada di tengah Laut Jawa di Pantai Utara Jawa Timur antara Tuban dan Gresik. Ketika itu cuaca sedang tidak bersahabat. Ramalan cuaca pada saat itu belum dikenal. Kapal-kapal berlayar hanyalah berdasarkan pengalaman saja. Untuk keselamatan penumpang, tiap penumpang hanyalah diberi sepotong kayu yang ringan sebagai pelampung bila di luar dugaan ternyata terjadi kecelakan laut. Benda yang baru pertama kali dilihatnya itu dipegang erat-erat oleh Raden Qosim. Dia berharap pelayarannya akan selamat dan dengan cepat dapat sampai di Tuban.
Manusia
memang hanya bisa berharap, tetapi
Tuhan bisa menentukan hal yang lain. Ketika kapal yang ditumpangi Raden Qosim
berada di tengah laut, tiba-tiba datanglah badai yang amat besar. Ombak
sebesar bukit datang silih berganti. Kapal pun mulai oleng dihantam
ombak dan mulai tak dapat dikendalikan. Nahkoda kapal dibantu para awaknya
berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan kapal yang penuh muatan itu. Ketika posisi
kapal dalam keadaan miring, tiba-tiba datang ombak sebesar bukit yang
menghantam lambung kapal. Tak ayal lagi kapal yang
dalam posisi tidak stabil itu, terbalik dan tenggelam seketika. Terdengar
jeritan yang memilukan dari tengah laut
yang luas itu. Semua penumpang terlempar ke laut, terapung-apung dan terbawa
arus mengikuti nasib dan keberuntungannya masing-masing, termasuk Raden Qosim. Setelah badai
hilang Raden Qosim menemukan dirinya sendiri terapung-apung di laut yang luas
tiada bertepi. Sejauh mata memandang, Raden Qosim tak melihat satu manusia pun.
Rupanya mereka telah terseret arus hingga saling menjauh dan saling terpencar
jauh sekali. Raden Qosim tidak pernah tahu bagaimana nasib mereka. Ia merasa sendirian terapung-apung dan hanya
berpegangan pada sepotong pelampung dari kayu. Seluruh bekal yang dibawanya
tidak satu pun yang tersisa. Semuanya tenggelam ke dalam laut, hanya baju yang
melekat pada dirinya yang dapat diselamatkan. Dalam situasi kritis seperti itu,
Raden Qosim hanya bisa berdoa kepada Allah SWT, karena memang hanya Allah SWT
lah yang akan dapat menolongnya.
Raden Qosim tidak menduga sama sekali bahwa kisah Nabi Yunus yang sempat dibacanya kembali, kini benar-benar menimpa dirinya. Maka Raden Qosim segera berdoa seperti doa yang diucapkan Nabi Yunus. Ia pun berharap akan muncul ikan penolong. Tetapi ia tidak berharap ikan penolong itu adalah ikan raksasa yang akan menelannya seperti yang dialami Nabi Yunus. Ia pun terus berdoa dan berjuang untuk melepaskan diri dari maut. Raden Qosim tidak ingin maut secepat itu menjemputnya, sebelum ia berhasil melaksanakan dakwah Islam seperti yang diamanatkan oleh ayahnya. Di tengah perjuangan antara hidup dan mati itu, tiba-tiba Allah SWT memberikan pertolongan kepada hambaNya yang tawakal, bertakwa dan berserah diri. Tanpa diduga muncullah di sekeliling Raden Qosim yang tengah terapung-apung di tengah laut yang luas itu, sekelompok ikan dari dalam laut. Seakan-akan mereka muncul begitu saja. Jumlahnya puluhan, mungkin ratusan.
Ikan-ikan
sebesar bantal itu, beramai-ramai mendorong Raden Qosim.
Betapa gembiranya Raden Qosim karena tahu-tahu ikan-ikan
itu telah mendorong dirinya ke arah pantai. Tiba-tiba pula kakinya menyentuh
tempat yang dangkal. Dengan segenap sisa-sisa tenaga
yang ada Raden Qosim berjalan tertatih-tatih ke pantai, akhirnya dia menjatuhkan
dirinya di atas pasir yang lunak dan kering. Ia tidak tahu kemana perginya
ikan-ikan penolong itu karena tiba-tiba saja Raden Qosim tak sadarkan diri. Ketika ia
sadar, tahu-tahu sudah berada di rumah salah seorang penduduk yang rupa-rupanya
telah beramai-ramai memberikan pertolongan kepadanya. Raden Qosim lalu berceritera,
bahwa ia adalah putra Sunan Ampel. Tujuan semula
hendak pergi ke Lamongan tetapi melewati Tuban. Tiba-tiba kapal yang
ditumpanginya terbalik dihantam ombak. Dia sendiri terapung-apung sendirian di
atas laut, sampai suatu ketika diselamatkan oleh berpuluh-puluh ikan sebentar
bantal yang tiba-tiba saja muncul dari dalam laut.
“Apa nama ikan itu Ki Sanak ?” tanya Raden Qosim kepada penduduk yang tidak lain adalah nelayan yang tinggal di tepi pantai itu.
“Nama ikan itu adalah ikan talang, Raden,” jawab salah seorang penduduk. Penduduk perkampungan nelayan itu amat menghormati Raden Qosim, setelah tahu bahwa Raden Qosim adalah putra Sunan Ampel. Nama Sunan Ampel ternyata sudah banyak didengar oleh penduduk di kampung nelayan itu.
“Kalau begitu, lestarikan mereka. Janganlah diganggu. Jika kalian menjaringnya lepaskan kembali. Insya Allah kalian akan selamat, banyak rejeki dan dijauhi dari segala macam bahaya,” pesan Raden Qosim.
Penduduk mengikuti pesan Raden Qosim. Tak ada penduduk kampung nelayan yang berani melanggar pesan itu. Tetapi lama kelamaan, ikan talang dianggap ikan keramat. Padahal maksud Raden Qosim, bila ikan talang tetap lestari, dan membiarkan ikan talang berkembang biak, maka keselamatan nelayan yang tiap hari melaut dengan sendirinya juga akan menjadi lebih baik. Karena dengan adanya ikan-ikan itu, seandainya ada nelayan yang mengalami kecelakaan laut, besar kemungkinan akan bisa diselamatkan seperti pengalaman Raden Qosim sendiri. Adanya ikan di laut yang gemar menolong para pelaut dan nelayan yang mengalami musibah di laut, bukanlah mitos. Hampir semua pelaut di dunia mengenalnya. Di perairan Sungai Mahakam misalnya, nelayan setempat memuliakan sejenis ikan pesut, karena mereka seperti halnya ikan talang di pantai utara Jawa Timur adalah ikan sahabat nelayan yang setiap saat dapat diharapkan akan memberikan pertolongan kepada nelayan yang mengalami musibah di laut.
Raden Qosim
dalam waktu singkat diterima sebagai pemuka agama di tempat itu. Cara dakwahnya
yang memikat, mangakibatkan dengan cepat ia memperoleh banyak pengikut. Di perkampungan
nelayan itu Raden Qosim mendirikan langgar dan pesantren. Di langgar dan
pesantrennya, bukan hanya diajarkan ilmu-ilmu agama. Berbagai jenis ketrampilan
yang berkaiatan dengan cara mengurus penghidupan juga diajarkan. Misalnya
cara membuat bangunan rumah yang
memenuhi sayarat-syarat kesehatan, membuat jamban, WC dan kamar mandi umum,
membuat tambak-tambak ikan dan mengolah ikan hasil tangkapan menjadi ikan asin. Ibu-ibu dan
anak-anak wanita para nelayan itu juga diajari membatik. Ketrampilan membatik
pada awalnya hanyalah ketrampilan yang dimiliki oleh para bangsawan dalam
masyarakat Hindu Buddha yang bersifat hirarkis dan diskriminatif. Jenis
ketrampilan semacam itu sudah diajarkan Raden Qosim pada saat magang sebagai
guru di Pesantren Ampel Denta. Karena itu saat mengajari penduduk kampung
nelayan, Raden Qosim tidak merasa canggung lagi. Tidak mengherankan bila dalam
waktu singkat sejak Raden Qosim tinggal di situ, kesejahteran warga desa
nelayan itu meningkat dengan cepat. Sebenarnya
Raden Qosim memang seorang pembaharu dan inovator pada jamannya. Kepentingan
hidup di akhirat diajarkan berdampingan dengan kepentingan hidup di dunia.
Karena itu ajaran Islam yang dikembangkan Raden Qosim di mata
masayarakat sekitarnya jauh lebih menarik dan memilki kegunaan yang
pragmatis dibanding agama Hindu –Buddha yang bersifat statis dan tidak banyak
menjanjikan perubahan. Rakyat kebanyakan hanya dijadikan obyek dari ritual
keagamaan kalangan bangsawan kraton dan
para brahmana.
Setelah beberapa tahun tinggal di kampung nelayan dan berhasil mendidik sejumlah santri yang akan mengelola langgar dan pesantrennya, Raden Qosim pindah beberapa kilometer ke arah selatan dari perkampungan nelayan itu. Raden Qosim selalu ingat pesan ayahnya agar ia berdakwah di daerah Lamongan. Betapa terkejutnya Raden Qosim saat ia mengetahui, bahwa tempat ia terdampar di pantai dulu dan desa nelayan tempat ia menetap, ternyata merupakan tempat yang tidak jauh dari daerah Lamongan.
“Maha Besar Engkau, Ya Allah. Engkau telah mempercepat perjalanannku ke tempat tujuan dengan kekuasaanMu dan dengan cara-caraMu sendiri”, renung Raden Qosim saat mengenang kejadian yang menimpanya. Agaknya, peristiwa yang dialaminya merupakan jalan pintas yang Allah takdirkan kepadanya. Perkampungan nelayan tempat Raden Qosim tedampar itu, kelak dikenal sebagai desa Jelak. Dari desa Jelak, Raden Qosim pindah ke arah selatan. Di sana kembali Raden Qosim membangun masjid dan pesantren. Di sini pun dakwah Raden Qosim meraih sukses. Bahkan pengikutnya jauh lebih banyak dari pada desa Jelak yang memang hanyalah sebuah kampung nelayan. Hanya dalam waktu tiga tahun, kehidupan masyarakat sekitar Raden Qosim tinggal menjadi bergairah dan hidup.
Malam-malam yang biasanya sunyi dan senyap, menjadi semarak, karena lantuna ayat-ayat suci Al Qur’an dari masjid dan pesantren Raden Qosim. Desa ini menjadi semakin makmur, banyak pendatang baru, desa pun bertambah luas, karena dibukanya pemukiman baru. Kelak desa ini dinamakan Banjar Anyar yang artinya adalah Desa Baru. Walapun pengikut Raden Qosim terus bertambah, tetapi tetap saja sebagian besar adalah rakyat biasa. Para pemimpin masyarakat kebanyakan masih tetap setia kepada kepercayaan Hindu-Buddhanya. Karena itu terpikirkan oleh Raden Qosim andaikata mereka mau masuk Islam dan menerima dakwahnya, nistaya penduduk yang masuk Islam pastilah akan bertambah banyak lagi. Raden Qosim mengetahui bahwa para pemuka masyarakat menganggap dirinya rendah, sekalipun dia sendiri sebenarnya turunan bangsawan juga. Bukankah Sunan Ampel dulunya adalah seorang pangeran cucu Raja Campa ?
Raden Qosim tahu bahwa dalam agama Hindu ada konsep bahwa para brahmana, ajar dan wiku, termasuk kelompok kasta papan atas. Hanya merekalah yang boleh membangun tempat tinggal di ketinggian sebuah bukit. Sebab bukit dianggap sebagai pusat makrokosmos alam semesta, yakni tempat para dewa memerintah dan mengatur dunia. Adapun keraton tempat para ksatria tinggal adalah pusat mikrokosmos dunia, dari situ para ksatria memerintah dan mengatur rakyat di wilayahnya. Para ksatria, karena hanya berurusan dengan wilayah dunia, tidak boleh tinggal dan membangun kraton di puncak bukit. Karena itu terpikir juga oleh Raden Qosim untuk mengikuti jejak Sunan Giri, yaitu membangun masjid dan pesantren di puncak bukit. Kebetulan pula beberapa kilometer ke arah selatan dari Desa Banjar Anyar, terdapat hutan dan perbukitan yang berada di tempat ketingian tertentu. Penduduk setempat menyebutnya sebagai Bukit Duwur.
Setelah melakukan observasi yang cermat, Raden Qosim memutuskan untuk membangun pemukiman, masjid dan pesantren di Bukit Duwur itu. Dengan bantuan sejumlah penduduk dan para santrinya, Raden Qosim bekerja keras membabat hutan di lereng bukit, menebang pohon, memotong kayu, membuat tiang dan rangka atap rumah. Raden Qosim yang ahli bangunan itu, juga mengajarkan para santri dan penduduk setempat cara-cara membuat batu bata melalui pembakaran, mengajarkan cara-cara membuat alat-alat dapur dari tanah liat yang dibakar. Akhirnya setelah berbulan-bulan bekerja keras, impian Raden Qosim terwujud. Dia berhasil membangun tempat tinggal, masjid dan pesantren di Bukit Duwur. Tempat tinggal Raden Qosim yang baru itu, kelak dikenal oleh penduduk dengan sebutan Dalem Duwur. Artinya tempat tinggal Raden Qosim yang berada di Bukit Duwur. Dalem Duwur segera menjadi ramai. Para santri banyak yang berdatangan ke sana. Dari Dalem Duwur itulah Raden Qosim melaksanakan dakwahnya, mengajak masyarakat sekitarnya untuk memeluk Islam.
Nama Raden Qosim sebagai ahli agama semakin terkenal. Penduduk sekitarnya menyebutnya sebagai Sunan Drajat. Artinya seseorang yang dihormati dan memiliki martabat atau derajat yang tinggi, karena mampu bertempat tinggal di tempat yang tinggi, yang memang menurut kepercayan agama lama tempat-tempat yang tinggi hanya mungkin ditempati oleh mereka yang memilik derajat yang tinggi saja. Ternyata setelah Sunan Drajat bertempat tinggal di situ, akhirnya banyak pemuka masyarakat yang menghadap, berdiskusi dan bertanya tentang agama Islam. Dan akhirnya banyak pula di antara mereka yang bersedia mengucapkan Kalimat Syahadat dan masuk Agama Islam. Mereka semakin terpikat kepada Sunan Drajat, karena Sunan Drajat dalam berdakwah menggunakan gending sebagai bagian dari cara dakwahnya. Ternyata memang Sunan Drajat seorang seniman ulung. Tiap malam Jum’at, selesai pengajian di masjidnya, diadakan pagelaran pentas gending guna mengiringi para santri yang membawakan lagu-lagu ciptaan Sunan Drajat yang disebutnya Pangkur. Pangkur artinya Pangudi isining Kur’an (Usaha untuk mendalami Al Qur’an ). Isi tembang-tembangnya adalah ajaran moral yang bersumber dari Al Qur’an. Dengan iringan gamelan maka isi pesan dalam tembang-tembang itu akan mudah dihayati oleh pendengarnya.
Ketika Sultan Demak Raden Patah mengetahui Sunan Drajat berhasil membentuk pusat dakwah Islam berupa pesantren di daerah Lamongan, Raden Patah merasa gembira sekali. Karena saat itu Lamongan belum termasuk ke dalam wilayah Demak. Sebagian besar Lamongan masih mengakui kekuasaan Kerajaan Hindu-Buddha di Kediri. Raden Patah memberinya gelar Sunan Mayang Madu dan memberikan hadiah berupa tanah seluas 61 hektar yang berhasil dibeli dari penduduk setempat.
Seperti
halnya Sunan Bonang, Sunan Drajat juga mencoba untuk berdakwah ke pusat
Kerajaan Hindu-Buddha di Kediri. Tetapi usahanya juga gagal. Namun demikian
Sunan Drajat berhasil memperistri salah satu putri kerabat
Kraton Kediri. Sunan Drajat berharap agar kelak istrinya yang menjadi Muslimah
itu akan dapat menarik keluarga kerajaan yang lain.
Karena Kerajaan Kediri main mata dengan Portugal yang berkuasa di Malaka, maka Demak melakukan kegiatan ofensif dengan menaklukan Kerajaan Hindu-Buddha di Kediri pada tahun 1527 M. Kediri jatuh dan Raja beserta keluarga dan pengikutnya mengungsi ke Sengguruh dan bertahan beberapa lama di sana. Pada tahun tahun 1545M, Demak di bawah Sultan Trenggono kembali menaklukan Kerajaan Hindu-Buddha di Sengguruh. Tetapi saat itu, Sunan Drajat diperkirakan sudah wafat. Agaknya Sunan Drajat wafat tidak lama setelah kakaknya Sunan Bonang wafat.Jadi antara tahun 1525-1530 M. Jika penduduk Lamongan sekarang banyak yang memeluk Islam, itu semua berkata jasa dan perjuangan Sunan Drajat yang tentu saja tidak sedikit.[ 12-06-2016]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar