Legenda Jumadil Kubro dan Putranya, Syamsu Tamresy
Seiring dengan perjalanan waktu, kisah dan peran Walisongo sebagai tokoh sejarah, lama kelamaan tergeser ke belakang, sehingga akhirnya menjelma menjadi tokoh legenda dan tokoh mitos. Istilah Walisana pun berubah menjadi Walisongo. Hal ini terjadi seiring dengan menguatnya Kerajaan Mataram yang lebih bercorak Hindu-Buddha dari pada Islam serta mengedepankan hal-hal yang bersifat irasional, mistik, dan religio magik.
Hutan,
gunung, sungai, laut, dan makam-makam kembali dikeramatkan.
Sebelumnya Walisongo tidak pernah mengajarkan kekeramatan makam-makam kecuali hanya mengajarkan tata cara berziarah dan mendoakan ahli kubur. Tetapi sejak jaman Mataram, makam-makam Walisongo banyak yang dipugar dan dijadikan makam
keramat. Para Raja dan Punggawa banyak yang melakukan ziarah ke makam para
wali. Bukan untuk mendoakan para wali, tetapi untuk menyadap dan memperoleh
kekuatan gaib karena menguatnya paham mistik, bahwa makam-makam para wali yang
dikeramatkan itu, merupakan salah satu sumber kekuatan gaib di dunia ini. Akibat dari
pandangan yang bersifat religio magik dan irasional mistik itu dan pemujaan-pemujaan
yang berlebihan serta anggapan adanya kekuatan gaib pada makam Walisongo,
maka munculah kisah legenda dan mitos Walisongo lengkap dengan berbagai
jenis kesaktian dan kegaiban yang dimiliki tokoh-tokoh
Walisongo.
Kalau kita
membaca kisah Walisongo yang banyak dijajakan di kios-kios sekitar makam
Walisongo, akan segera kita lihat bahwa sosok Walisongo sebagai tokoh sejarah
hampir-hampir hilang. Yang paling menonjol adalah sosoknya sebagai tokoh legenda
dan mitos. Wajar saja bila masyarakat kita yang semakin kritis seperti para pelajar dan mahasiswa yang sudah
terdidik akalnya, pada saat membaca buku kisah Walisongo itu sering
bertanya-tanya dalam hati, ini buku sejarah atau legenda? Memang buku Kisah Walisongo yang banyak
beredar di masyarakat dan dipasarkan di sekitar makam-makam Walisongo itu lebih tepat disebut sebagai
legenda Walisongo daripada sejarah Walisongo.
Tokoh yang pertama kali menulis kisah para wali perintis dakwah Islam di Pulau Jawa adalah Sunan Giri Gajah dan Sunan Giri Prapen dengan judul Walisana. Pada waktu Mataram berkuasa dan meluaskan wilayahnya ke Jawa Timur, Pesantren Giri termasuk pesantren yang dihancurkan oleh tentara Mataram. Pertama tahun 1638 M dan yang kedua kali tahun 1683 M. Perpustakaan Giri yang merupakan perpustakaan terlengkap di Pulau Jawa saat itu, termasuk yang menjadi sasaran penghancuran. Banyak buku yang hilang dan dibakar sebagai upaya untuk mengurangi pengaruh Pesantren Giri yang saat itu amat kuat. Hanya beberapa buku peninggalan kepustakaan Pesantren Giri yang selamat sampai di Mataram, antara lain kitab Walisana itu. Sultan Agung sendiri menyesalkan tindakan pasukannya yang kelewat batas dan kurang menghargai karya pustaka peninggalan para wali. Penyesalan Sultan Agung dapat dipahami, karena beliau sendiri adalah seorang sastrawan Jawa yang menghasilkan karya sastra Jawa yang amat indah, Sastra Gending.
Sejak
penaklukan Giri, kitab Walisana menjadi penghuni perpustakaan Kerajaan Mataram, sampai akhirnya
pindah ke perpusatakaan Kerajaan Surakarta. Pada masa kebangkitan kesusastran
Jawa di Kraton Surakarta, yakni pada paruh kedua abad ke 19 M, salah seorang pujangga kraton Surakarta,
menggubah kitab Walisana menjadi Kisah Walisongo.
Pada saat terjadi penggubahan inilah, terjadi proses pemujaan, pengkultusan, mistikisasi, dan legendanisasi para tokohnya. Akibatnya, aspek
kesejarahan tokoh-tokohnya menjadi lenyap dan sosok Walisongo menjelma menjadi
sosok yang sakti, suci, penuh kegaiban dan memiliki kekuatan supranatural bak
para dewa dan ksatria dalam kisah pewayangan
yang amat digemari dalam masyarakat
Jawa.
Di tengah-tengah masyarakat kita, masih sering dijumpai kisah-kisah
Walisongo yang berisi legenda, mitos, dan hal-hal yang irrasional lainnya. Tetapi
masih ada juga anggota masyarakat yang mempercayainya. Bahkan ada penulis yang
menjadikannya dasar rujukan dari buku
yang ditulisnya, tanpa melakukan
penilaian secara kritis apakah kisah yang ajaib itu benar-benar terjadi
atau sekedar fantasi dari sang penggubah kisah. Namun jalan tengah kadang-kadang
ditempuh juga. Misalnya dengan menyatakan bahwa kisah-kisah legenda Walisongo
itu hanya symbol saja. Para pembaca harus mencari sendiri makna dibalik
simbol-simbol itu. Akan tetapi sang penulis kisah legenda Walisongo sendiri
tidak pernah menjelaskan bahwa kisah-kisah
yang ditulisnya itu yang berisi peristiwa- peristiwa gaib, hanyalah
simbol saja. Sebab tujuan
yang sebenarnya dari penulisan kisah-kisah
yang sarat dengan legenda dan hal-hal yang berbau mitos itu, adalah untuk mengkultuskan dan memuja para Walisongo sebagai sosok yang dianggap
keramat dan memiliki kekuatan supra natural atau daya gaib.
Dalam kepercayaan agama lama memang ada anggapan bahwa makam keramat adalah
salah satu tempat istimewa yang dianggap
memiliki daya gaib. Dan daya gaib
itu dapat disadap hingga masuk kedalam tubuh peziarah dan punya dampak akan
menambah wibawa, aura, dan daya gaib pada manusia yang rajin mengunjungi makam
keramat. Maka ramailah orang berziarah ke makam keramat, seperti makam
Walisongo itu. Mereka berziarah bukannya
untuk mendoakan ahli kubur, tetapi malahan
meminta agar didoakan oleh ahli kubur. Namun berkat dakwah Islam yang intensif, kini mulai terjadi perubahan. Mulai
banyak peziarah yang mengerti cara-cara berziarah yang benar yang sesuai dengan
tuntunan Rasulullah saw.
Tampaknya buku-buku yang berisi kisah Walisongo banyak yang bersumber
dari satu sumber yang sama, yakni buku Walisongo yang ditulis pada masa kebangkitan
kesusastraan Jawa yang dimulai pada pertengahan abad ke-18 di kraton-kraton Jawa, khususnya Surakarta dan Mangkunegara, seperti telah dijelaskan di atas.. Serat Walisana yang bisa dijumpai pasca hancurnya Kedaton Giri, hanyalah salinannya. Kitab salinan itu
juga sulit dijamin orisinalitasnya, karena bukan mustahil saat penyalinan
terjadi sejumlah penambahan atau pengubahan dari naskah aslinya. Naskah kitab
yang asli tidak pernah diketemukan. Di bawah ini adalah sejumlah kisah yang berbau mitos dan legenda yang
sering kita jumpai dalam buku-buku kronik lokal dan kisah Walisongo yang banyak beredar di
masyarakat.
Kisah akan
diawali dengan mitos dan legenda Syekh Jumadilkubro, yang menutut TH.Pigeaud adalah
salah satu dari empat orang yang dianggap suci dalam agama Islam. Mitos dan
legenda Syekh Jumadilkubro bagi sebagian orang pastilah dianggap aneh dan
membingungkan. Karena dari sudut sejarah, sebenarnya dia amat layak untuk
dinobatkan sebagai Bapak Walisongo di tanah Jawa. Akan tetapi
dalam berbagai kronik lokal yang ada, dia dimitoskan sebagai tokoh amoral yang
telah melakukan perkawinan sumbang atau incest dengan cara menggauli anak
gadisnya sendiri hingga hamil. Tetapi anak laki-laki hasil perkawinan sumbang
itu memiliki daya gaib dan kesaktian yang luar biasa yang makamnya dipuja-puja
karena dipercaya mampu memberikan kekayaan, kemakmuran, kesejahteraan, dan hidup
berkelimpahan bagi si peziarah.
Untuk menjelaskan fenomena perkawinan sumbang, dikutip analisa Dr.Husein Jayadingrat dari sudut pandangan ilmiahnya. Dengan demikian kita akan mendapat gambaran yang cukup mengenai mitos dan legenda pemujaan terhadap anak hasil perkawinan sumbang yang merupakan akar dari segala bentuk ziarah untuk memuja makam keramat. Tradisi memuja makam keramat merupakan tradisi warisan agama pra-Islam yang di kalangan orang Jawa, menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Wali Songo, disebutnya sebagai agama Kapitayan dan di kalangan orang Sunda disebut agama Sunda Pituin.Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan berbagai legenda dan mitos tokoh Walisongo yang sebagian besar sudah amat dikenal oleh masyarakat, baik meelalui kisah dalam ceritera tutur maupun dari membaca buku-buku kisah Walisongo yang banyak beredar di masyarakat. Dibawah ini sejumlah kisah legenda yang berhubungan dengan leluhur Walisongo dan tokoh Walisongo dan orang suci yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat kita.
Untuk menjelaskan fenomena perkawinan sumbang, dikutip analisa Dr.Husein Jayadingrat dari sudut pandangan ilmiahnya. Dengan demikian kita akan mendapat gambaran yang cukup mengenai mitos dan legenda pemujaan terhadap anak hasil perkawinan sumbang yang merupakan akar dari segala bentuk ziarah untuk memuja makam keramat. Tradisi memuja makam keramat merupakan tradisi warisan agama pra-Islam yang di kalangan orang Jawa, menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Wali Songo, disebutnya sebagai agama Kapitayan dan di kalangan orang Sunda disebut agama Sunda Pituin.Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan berbagai legenda dan mitos tokoh Walisongo yang sebagian besar sudah amat dikenal oleh masyarakat, baik meelalui kisah dalam ceritera tutur maupun dari membaca buku-buku kisah Walisongo yang banyak beredar di masyarakat. Dibawah ini sejumlah kisah legenda yang berhubungan dengan leluhur Walisongo dan tokoh Walisongo dan orang suci yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat kita.
Legenda Syekh
Jumadilkubro – Ibrahim Asmara.
a. Legenda 1:
Dalam kronik
Cirebon yang disusun oleh Penghulu Abdulkahar,
Syekh Jumadilkubro, telah dimitoskan sebagai orang suci,
yang telah melakukan perbuatan amoral. Yaitu telah melakukan perkawinan sumbang
dengan cara menggauli anak gadisnya sendiri sehingga telah menyebabkan lahirnya
seorang anak laki-laki yang bernama Syamsu Tamresy. Karena malu
Jumadilkubro mati dengan cara bunuh diri. Tetapi anaknya, Syamsu Tamresy
berkembang menjadi anak yang sakti yang bisa menyelam ke dalam lautan dan mengubah
dirinya menjadi sekuntum bunga tanjung yang terbuat dari emas. Syamsu Tamresy sebenarnya amat malu
dengan dirinya, karena ia merasa anak hasil suatu perkawinan sumbang. Ia
berkali-kali mencoba bunuh diri. Tetapi usahanya itu selalu gagal karena
ternyata tubuhnya amat sakti, sehingga tidak pernah luka. Suatu saat ia
pergi ke Campa, kemudian masuk ke dalam tanah di bawah pintu gerbang kota
Kerajaan Campa dan bertapa di sana. Akibat perbuatan Syamsu Tamresy itu, di
Kerajaan Campa berkembang wabah penyakit yang sulit diberantas.
Akhirnya ada
orang yang memberitahu Raja bahwa yang menjadi penyebab berkembangnya wabah
penyakit di Kerajaan Campa karena dibawah pintu gapura kerajaan ada seorang
ahli ilmu yang tengah bertapa. Raja Campa lalu menyuruh menggali tanah di bawah
gapura. Ternyata Syamsu Tamresy
diketemukan sedang bertapa di situ. Akhirnya Syamsu Tamresy diambil
menantu oleh Raja Campa dan dinikahkan dengan putrinya, Rara Sucina namanya.
Sejak itu Kerajaan Campa kembali menjadi
makmur, sejahtera dan berkelimpahan.
Dari pernikahan Syamsu Tamresy dengan Rara Sucina, lahirlah putranya
yang bernama Raden Rahmat, kelak menjadi Sunan Ampel. Dalam legenda ini, Sunan
Ampel, dilukiskan sebagai cucu Syekh Jumadil kubro yang punya anak dari hasil
perkawinan sumbang.
b. Legenda 2:
Dalam Sajarah
Banten juga ada mitos kisah Jumadilkubro
yang melakukan perkawinan sumbang dengan menggauli anak perempuannya. Tetapi Jumadilkubro yang amoral ini bukanlah Jumadilkubro yang
ada dalam silsilah yang masih keturunan Nabi saw. Dia adalah Jumadilkubro yang
lain, yakni anak laki-laki Japar Sidik. Siapakah Japar Sidik? Tak ada
penjelasannya dalam kisah itu. Akibat
perbuatannya itu, lahirlah anak laki-lakinya yang diberi nama Syamsu Tabris. Karena
malu akibat perbuatannya sendiri, Jumadilkubro jatuh sakit dan akhirnya
meninggal. Syamsu Tabris yang juga merasa malu, dengan rasa putusasa mengembara
kemana-mana, antara lain ke Rum, Maldewa, Pase, Pulau Upih, akhirnya sampai di
Demak. Suatu saat mayatnya ditemukan di pelabuhan Demak, terapung-apung di bawah
lambung kapal oleh seseorang yang bernama Ki Ambulung. Saat itu Ki
Ambulung sebenarnya sedang bingung, karena tengah terbelit hutang yang banyak.
Tetapi ketika melihat sesosok mayat di laut, mayat itu diangkatnya lalu
dimakamkan. Ketika tengah menggali lubang untuk memakamkan mayat itu, tiba-tiba
ia menemukan banyak emas. Setelah emas itu diambil, mayat yang dia sendiri
tidak tahu siapa namanya itu, dimakamkan di situ. Makam yang berada dipinggir Kota Demak itu menjadi amat terkenal.
Suatu saat
datanglah ke makam itu Ki Gede Panggung. Ia berharap dengan perantaraan mayat
yang ada di dalam kuburan itu, ia bisa melunasi hutang-hutangnya yang menumpuk.
Baru malam pertama ia tidur di situ sudah bermimpi bahwa hajatnya akan
dikabulkan. Paginya, ternyata datang kepadanya seorang perempuan yang
menyerahkan kepada Ki Gede Panggung sebuah bungkusan yang berisi banyak uang
sebagai suatu persembahan yang diserahkannya
kepada penjaga makam. Ki Gede Panggung pun dapat melunasi semua
hutang-hutangnnya. Akhirnya ia membawa anak istrinya tinggal
dekat makam untuk merawat dan menjaga makam itu. Suatu saat datanglah ke situ putra Sultan Trenggono,
Pangeran Prawata yang menanyakan kepada Ki Gede Panggung, makam siapakah yang
dikuburkan di situ. Ternyata Ki Gede
Panggung tak mampu menjawabnya. Pada malam harinya, barulah ia bermimpi
didatangi seorang anak kecil yang masih mengenakan kuncung, yang menjelaskan
kepada Ki Gede Panggung bahwa jika Ki Gede Panggung ditanya orang makam siapa
yang dikubur di situ hendaknya dijawab bahwa makam itu adalah makam Syamsu
Tabris.
c. Legende 3:
Akhirnya di
dalam Babad Tanah Jawi juga ada mitos kisah tentang seorang tokoh yang bernama
Syekh Dumadilkubro yang juga telah
melakukan perkawinan sumbang dengan anak gadisnya sendiri. Tetapi Babad Tanah
Jawi telah mengaitkan tokoh Jumadilkubro yang disebutnya sebagai Dumadilkubro
itu dengan tokoh Abu Hurairoh, yang disebutnya sebagai Bureroh, kemenakan Raden
Rahmat atau Sunan Ampel. Alkisah Bureroh yang telah menyandang nama Syekh
Dumadilkubro atau Abdulkadirkubro telah ditinggal mati oleh istrinya, ketika
istrinya itu melahirkan anak perempuannya. Dia hanya hidup berdua saja dengan
anak perempuannya di tengah hutan, sampai anak perempuannya itu menjadi dewasa.
Tetapi akibat kelalaiannya, anak perempuannya itu hamil dan melahirkan seorang
anak laki-laki. Karena malu, Bureroh atau Syekh Dumadilkubro bunuh diri dengan
melemparkan dirinya ke sungai Gagesik. Mayatnya ditemukan orang dan dimakamkan
disitu. Makam Syeh Dumadilkubro alias Bureroh itu menjadi terkenal, karena
konon mampu mendatangkan kekayaan dan kemakmuran kepada para peziarah.(bersambung)
Catatan : Artikel Berikutnya," Syamsu Tamrezy, Guru Mistik Jalaluddin Rumi.
https://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-syekh-siti-jenar-dan-walisongo_23.html
Catatan : Artikel Berikutnya," Syamsu Tamrezy, Guru Mistik Jalaluddin Rumi.
https://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-syekh-siti-jenar-dan-walisongo_23.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar