Legenda dan Mitos Kematian Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar dan Sunan Panggung merupakan tokoh oposisi yang menentang
ajaran syariat Islam dari Walisongo. Walaupun Syekh Siti Jenar digambarkan
sebagai wali yang menentang ajaran Walisongo dengan cara menyampaikan ajaran sesat, tetapi oleh pengikutnya sering dimitoskan sebagai tokoh yang sakti luar biasa. Kesaktian Syekh Siti Jenar mengungguli
kesaktian Walisongo yang lain. Hanya Sunan Kalijaga yang dapat mengimbangi
kesaktian Syekh Siti Jenar. Di mata orang-orang Islam Kejawen, kesaktian Syekh
Siti Jenar dengan Sunan Kalijaga seimbang. Hal bisa dilihat dari kisah di bawah
ini.
“Suatu saat Walisongo mengejar-ngejar Syekh Siti Jenar untuk menangkapnya.
Ketika dikejar, Syekh Siti Jenar masuk ke dalam bumi. Tidak ada wali yang bisa
masuk ke dalam bumi, kecuali Sunan
Kalijaga. Sunan Kalijaga segera masuk ke dalam bumi meneruskan pengejaran untuk
menangkap Syekh Siti Jenar. Di bawah tanah yang gelap gulita dan sempit itu, karena kesaktiannya, Syekh Siti Jenar
dapat merubahnya menjadi ruangan yang luas dan lapang seluas alam semesta yang
terang benderang dengan langitnya yang cerah. Untuk menandingi kesaktian Syekh
Siti Jenar, Sunan Kalijaga di dalam tanah itu menciptakan mendung, topan, hujan
badai, dan gempa, sehingga keaadaan yang tadinya terang benderang kembali
sempit, sesak dan gelap seperti sedia kala, bahkan lebih sempit dari semula.
Itu semua berkat kesaktian Sunan Kalijaga. Namun Syekh Siti Jenar belum menyerah. Dia menciptakan suatu keadaan yang
asri dan indah, laksana taman surga lengkap dngan buah-buahnya yang ranum.
Tetapi Sunan Kalijaga tidak mau terkecoh. Untuk
mengalahkan kesaktian Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga menciptakan api dan
kapak-kapak api yang dapat terbang. Lalu kapak-kapak api itu membabat dan
membakar habis segala ciptaan Syekh Siti Jenar. Pohon-pohon dan tiang-tiang habis
ditebang oleh kapak api yang beterbangan menghantam sasaran, tanpa ada tangan
yang mengemudikannya. Karena merasa terdesak Syekh Siti Jenar meloncat keluar dan segera dikejar
oleh delapan orang wali yang dari tadi menunggu di atas tanah. Melihat Syekh Siti
Jenar kembali muncul, mereka ramai-rami mengejarnya. Tetapi Syekh Siti Jenar
masih punya satu kesaktian lagi, yaitu menggandakan dirinya hingga menjadi
delapan Syekh Siti Jenar kembar. Kedelapannya bertempur melawan ke delapan wali
dan semua wali itu dapat dikalahkan. Untung Sunan Kalijaga segera muncul.
Dengan mudah Sunan Kalijaga dapat menemukan Syekh Siti Jenar yang asli dan
menangkapnya.
Setelah Syekh Siti Jenar asli dapat ditangkap, maka Syekh Siti Jenar palsu
lenyap seketika. Akhirnya Syekh Siti Jenar yang telah merepotkan Walisongo itu
dihukum mati” (Drs.Widji Saksono; 1995:45-46 ). Demikianlah kisah yang melukiskan
betapa saktinya Syekh Siti Jenar itu. Kesaktian lainnya yang dimilki Syekh Siti
Jenar antara lain dapat merubah dirinya menjadi cacing, menjadi katak dan
menjadi burung gagak putih.
Syekh Siti Jenar masih memiliki kesaktian lainnya lagi yakni kebal senjata
tajam. Dikisahkan bahwa pada saat Syekh Siti Jenar dieksekusi dengan hukuman
mati, Syekh Siti Jenar masih mampu memperagakan kesaktiannya. Inilah kisah
kematian Syekh Siti Jenar versi Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon karangan PS.Sulendraningrat. "Para wali berkumpul di Masjid Agung Ciptarasa Cirebon, menunggu Syekh Siti
Jenar untuk melanjutkan diskusi yang belum selesai. Dalam diskusi sebelumnya
Syekh Siti Jenar telah membuat marah para wali karena Syek Siti Jenar mengaku
dirinya Allah. Setelah lama ditunggu Syekh Siti Jenar belum datang juga.
Setelah beberapa kali disusul, akhirnya Syekh Siti Jenar mau datang karena yang
menyusulnya empat orang wali yaitu Syekh Magribi, Syekh Majagung, Syekh Bentong
dan Sunan Kudus. Sampai di masjid Syekh
Siti Jenar berkata kepada Sunan Gunungjati, ”Bagaimana kehendak Paduka sehingga undangan datang bertubi-tubi?”.
Sunan Gunungjati menjawab, ”Kang Raka berkali-kali kami undang, karena jumlah yang hadir kurang satu
orang untuk membicarakan ilmu membuka yang tersembunyi.”
“Dari tadi sebenarnya Kang Raka juga sudah menunggu agar dikirim utusan
untuk membuka i’tikad sejatinya. Tetapi kawan-kawan masih memakai penutup,” jawab Syekh Siti Jenar.
Sunan Kudus berkata dengan agak marah, “ Memang benar perkataan Rama,
tetapi janganlah terlanjur bahasa”.
“Tidak merasa terlanjur bahasa, sekejap pun tidak,” bantah Syekh Siti Jenar.
Sunan Bonang menengahi sambil berkata, ”Sekarang kawan-kawan mari kita mulai lagi membicarakan membuka i’tikad
sejati. Tetapi janganlah memakai khijab,”
Mendengar ajakan Sunan Bonaang para wali yang hadir mencapai kata sepakat. Sunan Gunungjati memulai menyampaikan pendapatnya, ”Allah itu adalah sah Dhat dan SifatNya.”
Sunan Giri mengemukakan pendapatnya,“Allah itu adalah bingung karena mudahnya.”
Sunan Bonang berpendapat, “Allah itu adalah tidak bersama, tidak di luar dan tidak di dalam.Bersih
tidak kecampuran”
Syekh Magribi berkata,“Allah itu adalah Zat yang Maha Tunggal.”
Sunan Kalijaga berkata,”Allah itu mengganti, tidak mengganti tetapi mengganti kepadaNya.”
Syekh Bentong ikut urun pendapat,”Allah itu tidak dekat, tetapi juga tidak jauh. “
Demikianlah para wali yang hadir semuanya satu persatu meyampaikan
pendapatnya tentang Zat Allah. Rupanya mereka tengah berdebat tentang hakekat
Allah dan sifat-sifatNya yang dikenal dengan Sifat Dua Puluh. Rata-rata mereka
sependapat, sekalipun bunyi kalimatnya berbeda.
Kini giliran Syekh Siti Jenar
menyampaikan pendapatnya. Ia berkata dengan lantang dan tegas, ”Allah itu adalah nyatanya aku yang
sempurna yang tetap di dalam dhohir batin.”
Mendengar pendapat Syekh Siti Jenar tentang hakekat Allah itu, Sunan Kudus
mulai marah, “Sang Rama senantiasa ngumbar bahasa. Apakah tidak takut kepada
hukum ?”
Syekh Siti Jenar menjawab, ”Hukum apa yang aku takuti? Walau dibunuh Sang Rama tameng dada i’tikad
yang abadi tidak boleh berubah, sebab mengatakan adanya Allah, nanti Allah
sekarang juga Allah!”
Sunan Kudus menjadi tidak sabar dan berkata kepada Sunan Gunungjati, ”Kanjeng Rama Sunan Jati, bagaimana hukumnya orang yang mengaku Allah? Syekh Siti Jenar mengaku Robbul Alamin!”
Sunan Gunung Jati tidak menjawab, hanya memberikan keris Kaki Naga kepada
Sunan Kudus dan Sunan Kudus segera tanggap. Ditusuknya Syekh Lemah Abang atau Syekh
Siti Jenar sampai
beberapa kali.
Ternyata tusukan itu tidak mempan. Para wali yang menyaksikan
kejadian itu tertawa ramai-ramai, sambil berkata,“Masa ada Allah keras seperti batu !”.
Mendengar olok-olok para wali, Syekh Siti Jenar menjawab sambil menantang,” Ayolah Sunan Kudus, tusuklah aku sekali lagi!”.
Sunan Kudus menusukkan kerisnya sekali lagi. Kini keris tembus ke dalam
tubuh Syekh Siti Jenar dan mengucurlah darah merah. Tetapi Syekh Siti Jenar
tidak mati masih tetap hidup dalam keadaan duduk. Para wali bersorak lagi
sambil berkata,”Masa ada Allah keluar darah merah seperti kambing!”.
Syekh Siti Jenar berkata lagi, “Ayolah Sunan Kudus tusuk lagi aku.”
Kembali Sunan Kudus menusukkan keris yang masih dipegangnya. Kali ini tubuh
Syekh Siti Jenar mengeluarkan darah putih. Menyaksikan itu, kembali para wali
tertawa,”Masa ada Allah keluar darah putih seperti cacing”.
Syekh Siti Jenar berkata seraya menantang Sunan Kudus,”Ayolah Sunan Kudus, tusuklah aku sekali lagi.”
Kembali Sunan Kudus beraksi lagi. Keris yang dipegangnya ditusukkan lagi.
Tiba-tiba Syekh Siti Jenar lenyap dari pandangan para wali yang masih
berkelakar sambil tertawa,”Masa ada Allah wujudnya hilang seperti setan.”
Seketika itu juga, muncul Syekh Siti Jenar terlentang dihadapan mereka
seperti orang mati. Berkata para wali sambil bersorak,”Masa ada Allah matinya seperti kayu!”
Segera Syekh Siti Jenar berubah mengecil
sebesar kuncup bunga melati. Dan terdengarlah suara diangkasa:
”Hai Sunan Jati dan para Wali, kelak pada akhir jaman akan ada kerbau bule
mata kucing yang mendarat dari laut.
Itulah yang akan menumpas dan menjajah keturunanmu."
***
Jelas sekali bahwa kisah ini hanya rekaan dan fantasi penggubah naskah yang
ditulis oleh penulisnya pada masa setelah Kerjaan Cirebon dan Banten, dua
kerajaan warisan Sunan Gunungjati, jatuh dibawah kekuasaan penjajah Belanda
sejak tahun 1809 M, pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem
Daendels (1807 -1811M ).Sang Penggubah kisah, telah mengait-ngaitkan jatuhnya dua kerajaan warisan
Sunan Gunungjati ke tangan penjajah Belanda sebagai balas dendam
Syekh Siti Jenar yang telah dieksekusi di Masjid Agung Ciptarasa Cirebon, sebuah
masjid yang didirikan oleh Sunan Gunungjati.
Demikianlah sejumlah kisah legenda para wali yang penuh fantasi. Kita
segera bisa mengetahui, bahwa kisah-kisah legenda para wali itu diilhami oleh
kisah-kisah para nabi dalam Serat Ambiya, kisah-kisah dari dunia wayang yang memang amat digemari oleh orang Jawa maupun
Sunda, dan kisah para sufi atau ahli tasawuf.
Kisah legenda
Syekh Jumadilkubro, diilhami oleh kisah ahli tasawuf ayah Syamsuddin At Tabrizi
yang dianggap telah melakukan perbuatan menyimpang terhadap ajaran syariat
Islam. Pada awalnya ayah Syamsuddin adalah seorang ulama yang amat taat
menjalankan ajaran syariat Islam. Tetapi pada suatu saat dia terpengaruh suatu
ajaran tasawuf gullah, yakni ajaran tasawuf
yang menyimpang karena menolak ajaran syariat Islam. Semua
buku-buku koleksi perpustakaan pribadinya yang berisi ajaran syariat Islam,
dibakarnya sampai habis. Sejak itu dia mengajarkan Islam dalam visi konsep
persatuan hamba dan tuhan tanpa harus menjalankan ritual peribadan seperti
mengucapkan kalimat syahadat, salat, saum, zakat dan ibadah haji.
Putranya,
Syamsuddin At Tabrizi – yang artinya adalah matahari agama dari Kota Tabriz -
tumbuh dan besar dalam bayang-bayang ajaran Islam yang dipenuhi ajaran bid’ah
dari ayahnya. Mungkin Sang Penggubah Kisah Jumadilkubro hendak membuat semacam simbolisme, bahwa
penyimpangan terhadap ajaran syariat Islam yang dilakukan oleh seorang yang
sudah bergelar Syekh sebenarnya sama saja dengan melakukan tindakan tidak
terpuji, seperti halnya orang yang melakukan perkawinan sumbang, sekalipun
hasilnya adalah akan menghasilkan seorang murid yang bisa jadi cemerlang dalam
soal-soal mistik ketuhanan. Tetapi
simbolisme itu berkembang menjadi konsep mistik pemujaan terhadap anak hasil
perkawinan sumbang orang suci.
Kisah legenda Malik Ibrahim, mengingatkan kita pada kisah Nabi Zakaria. Kisah legenda Sunan Ampel
mengingatkan kita pada kisah Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati. Kisah
legenda Sunan Bonang mengingatkan kepada kisah pertemuan Nabi Khidir dengan Nabi Musa di tepi pantai. Kisah legenda Sunan Giri mengingatkan pada kisah Nabi Musa ketika masih bayi, dibuang ibunya ke
sungai Nil dan berlabuh di istana Fir’aun. Kisah Sunan Panggung yang tak mempan
dibakar api, mengingatkan kita pada kisah Nabi
Ibrahim ketika dibakar oleh Raja Namrud. Kisah Bende Kiyai Sima Sunan
Kudus yang mampu mendatangkan beribu-ribu tentara tidak tampak, mengingatkan
kita pada sejarah Nabi Muhammad saw saat
perang Badar. Karena doa Nabi saw, Malaikat turun dari langit membantu tentara
Muslim melawan tentara kafir Quraisy yang jumlahnya tiga kali lipat tentara
Muslim. Hanya saja Nabi saw tidak punya
bende dan memang tidak pernah percaya
pada bende. Yang diajarkan Nabi saw saat berperang hanyalah dengan membaca doa.
Kisah perkelahaian antara Sunan Kalijaga yang hendak menangkap Syekh Siti Jenar, mengingatkan para pembaca
pada lakon wayang Surya Atmaja Maling, yaitu perkelahaian antara Arjuna dan
Surya Atmaja atau Karna. Sunan Kalijaga berperan sebagai Arjuna dan Syekh Siti
Jenar sebagai Adipati Karna atau Surya
Atmaja. Dalam kisah wayang kedua ksatria itu memang memiliki kesaktian yang
seimbang. Tetapi akhirnya Karna bisa ditangkap Arjuna.
Adapun kisah kematian Syekh Siti Jenar, mengingatkan pembaca pada kisah
Raden Narasoma yang hendak membunuh mertuanya, Begawan Bagaspati. Beberapa kali
mertua Narasoma itu ditusuk dengan keris pusaka tetapi tidak mati-mati. Baru
setelah Raden Narasoma meminta keikhlasan mertuanya, Bagaspati yang sangat
sakti karena memiliki
aji Candra Birawa, menyatakan rela mati bila Narasoma berjanji
tidak akan mengkhianati cinta putrinya, Pujiwati. Narasoma menyatakan
kesanggupanya,maka pendeta raksasa itu tewas seketika. Tetapi setelah kematiannya terdengar
suara bahwa kelak ia akan menuntut balas atas kematiannya dalam perang Bharata
Yuda yang pasti akan datang.
Raden Narasoma menghendaki kematian
Bagaspati, karena ia merasa malu sebagai seorang ksatria Putra Mahkota Kerajaan Mandaraka tetapi mempunyai mertua seorang raksasa.
Sekalipun Bagaspati adalah seorang pendeta raksasa, tetapi dia punya putri yang
amat cantik jelita yang benama Dewi Pujiwati atau Setyawati. Raden Narasoma
berjanji, akan menjadikan Dewi Setyawati permaisurinya kelak bila dia naik
tahta Kerajaan Mandaraka. Dan janji itu memang dipenuhinya. Dalam legenda kematian Syekh Siti Jenar itu, sudah jelas bahwa Syekh Siti
Jenar berperan sebagai Begawan Bagaspati
yang memiliki kesaktian luar biasa, sedangkan Sunan Kudus berperan sebagai Raden Narasoma.
Tentu saja kisah-kisah fantasi semacam itu bukanlah fakta sejarah, tetapi
kisah fantasi hasil imajinsi Sang Penggubah Kisah, sekalipun tokoh-tokoh
pelakunya adalah tokoh sejarah yang benar-benar ada dalam dunia empiris, pada
suatu jaman yang sayup-sayup tertinggal jauh di belakang kita.Wallahu alam.[The
End]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar