Samsyu Tabriz , Sufi dari Samarkand, Guru Jajaludin Rummi
Ada pada berbagai bangsa
Kisah-kisah
perkawinan sumbang semacam itu, sebenarnya banyak ditemukan dalam kisah-kisah
legenda dan mitos yang ada pada berbagai
kebudayaan dari berbagai bangsa. Misalnya saja, kisah Oudipus putra dari Raja
Tebe, Laius dan permaisurinya Jokaste dalam Mitologi Yunani. Setelah secara
tidak sengaja membunuh ayahnya sendiri Raja Laius, secara tidak sengaja pula
Oudipus menikahi Jokaste, ibunya sendiri. Dari perkawinan itu lahirlah
anak-anaknya yang berjumlah empat orang. Dua orang putra, Eteokles dan
Polineses serta dua orang putri yakni Ismene dan Antigon.
Di akhir
kisah Oudipus baru mengetahui kesalahannya, maka gemparlah Kerajaan Tebe. Untuk
menebus dosanya Oudipus mencungkil kedua matanya dengan perhiasan Jokaste,
hingga menjadi buta. Kemudian Oudipus keluar meninggalkan singgasananya,
terlunta-lunta dalam pengembaraannya masuk hutan keluar hutan hanya ditemani
anaknya yang bungsu Antigone. Akhirnya
Oudipus raib dari tengah hutan. Konon dibawa Peri Hutan ke suatu tempat yang
ada di dasar bumi yang bernama Hade. Di sana Oudipus menerima hukuman dan
siksaan akibat perbuatannya melakukan perkawinan sumbang dengan ibunya, sekalipun
tak disengajanya. Dalam mitologi Jawa jaman pra Islam dikenal kisah Watu Gunung
yang melakukan perkawinan sumbang dengan
mengawini ibunya. Raja Baka yang sakti di Prambanan juga dikisahkan
sebagai anak hasil perkawinan sumbang antara bapak dan anak. Dalam mitologi
Sunda sangat terkenal kisah Sangkuriang yang juga hendak mengawini Danyang
Sumbi, ibunya sendiri.
Selain di
dalam mitologi, kisah perkawinan sumbang ternyata memang juga dilakukan oleh
sejumlah tokoh sejarah. Tetapi terbatas hanya antara kakak dan adik. Bukan
antara ayah dan anak kandung atau antara ibu dan anak kandung. Misalnya
saja, dalam Sejarah Mesir, Raja-raja
Dinasti Ptolemy dikabarkan banyak
melakukan perkawinan sumbang dalam rangka menjaga kemurnian darah keturunannya.
Cleopatra Philopator(51 -30 SM), Ratu Mesir yang terkenal cantik jelita itu,
adalah putri dari Ptolemy XII (80-51 SM), yang menikahi adik kandungnya sendiri
Cleopatra Trypahaina. Setelah kawin dengan
dengan Kaisar Romawi Yulius Caesar (100-44 SM), Cleopatra Philopator
kawin lagi dengan Mark Antony (83-30 SM).
Ratu Mesir
yang mampu membuat dua Jendral Romawi bertekuk lutut itu, ternyata adalah putri
dari perkawinan sumbang ke dua orang tuanya. Kaisar Romawi Nero yang terkenal
amat kejam, juga dikabarkan jatuh cinta pada adiknya sendiri.
Akhirnya dalam
Sejarah Majapahit, Raja Majapahit ke-2 Jayanegara ( 1309 -1328 M) atau Kala
Gemet, putra Raden Wijaya, tidak mau mengambil seorang istri, karena konon ia
jatuh cinta pada adiknya sendiri sekalipun beda ibu, yakni Tribhuana Tunggadewi
dan Sri Rajendradewi, puri Raden Wijaya dengan permaisuri Gayatri. Demikianlah
perkawinan sumbang dikisahkan oleh berbagai bangsa, baik sebagai legenda, mitos
maupun kisah dalam sejarah.
Penyimpangan hasrat libido
Perkawinan sumbang atau incest, yakni
perkawinan antar hubungan keluarga dekat,
seperti anak perempuan dengan ayahnya, anak laki-laki dengan ibunya,
atau kakak dan adik yang berlainan jenis, menurut Husein Jayadiningrat, secara
psiko analisa merupakan salah satu
bentuk dari gangguan kejiwaan yang
disebut sebagai penyimpangan hasrat seksual.
Pada awalnya
hasrat seksual itu mencari obyek cinta kepada lingkungan dekatnya, seperti
ayah, ibu dan saudara sekandung. Pada orang yang normal, hasrat semacam itu
dapat dikendalikan, tetapi terpecah-pecah menjadi serpihan- serpihan yang tetap
tersimpan di alam bawah sadarnya. Pada suatu ketika serpihan-serpihan hasrat
seksual itu muncul dalam bentuk fantasi dan khayalan, yang mengakibatkan
lahirnya kisah-kisah fantasi perkawinan sumbang semacam kisah-kisah di atas. Bagi
mereka yang bendungan pertahanan jiwanya
tidak kuat, hasrat seksual itu dapat meledak, maka terjadilah perkawinan
sumbang. Itulah sebabnya hampir semua tradisi dan agama mengutuk terjadinya
perkawinan sumbang sebagai suatu perbuatan aib, dosa dan dikutuk oleh adat yang
ada di sekelilingnya, dengan maksud agar setiap orang dapat menjaga agar
bendungan hasrat seksual yang salah di dalam menemukan obyek cintanya tidak
jebol.
Tetapi dalam
kepercayan Jawa pra- Islam yang oleh Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Wali
Songo disebutnya sebagai agama Kapitayan,
anak-anak dari hasil perkawinan sumbang antara ayah dan anak, dimitoskan
sebagai memilki daya gaib dan kesaktian luar biasa. Demikian pula para pelaku
perkawinan sumbang. Hal ini bisa kita lihat
pada tokoh Watu Gunung, Raja Baka
dan Sangkuriang yang semuanya dikisahkan sebagai tokoh-tokoh yang memilki daya
gaib serta kesaktian yang luar biasa. Memang sebuah tema tentang orang-orang
sakti dari para ksatria, seperti yang ada dalam dunia wayang merupakan
tema-tema yang amat disukai oleh orang Jawa dan juga orang Sunda.
Kenapa anak
hasil perkawinan sumbang orang sakti dan suci, dianggap memiliki kesaktian dan
kedigdayaan luar biasa? Hal ini sebenarnya berkaitan dengan konsep reinkarnasi,
emanansi, pemancaran, menitis ataupun
kelahiran kembali daya-daya gaib yang dianggap bisa terjadi melalui proses
persanggamaan atau hubungan seksual. Semakin dekat hubungan darah dalam proses
persanggamaan, maka akan semakin
sempurna pula proses pewarisan daya-daya
gaib kepada keturunannya. Bahkan dianggap akan terjadi semacam
revitalisasi daya-daya gaib. Dapat dikatakan bahwa kultus pemujaan terhadap
makam orang-orang suci dan sakti dapat dilacak asalnya berawal dari kultus
pemujaan terhadap ritus-ritus persanggamaan dan alat-alat repoduksi baik
laki-laki mapun perempuan.
Konsep
pemujaan terhadap ritus persanggamaan yang berasal dari tradisi kepercayaan
agama pra-Islam, dalam legenda dan mitos kebudayaan Jawa dan Sunda mengambil berbagai macam bentuk yang amat
bervariasi dan luas, mulai dari pemujaan makam keramat seorang tokoh yang
dilahirkan dari hasil perkawinan sumbang
tokoh sakti dan suci, pembuatan tugu yang berupa lingga dan yoni,
pemujaan terhadap Dewi Kesuburan seperti Dewi Padi, pemujaan terhadap orang
kerdil maupun anak kecil berkuncung sebagai lambang phalus, pemujaan terhadap
wanita nareswari yakni wanita yang alat reproduksinya memancarkan sinar gaib
sebagai suatu simbol akan daya gaibnya untuk melahirkan para raja atau
penguasa, sampai kisah Bima Suci, Dewa Ruci maupun Nawa Ruci. Dalam kisah
Bima Suci maupun Nawa Ruci yang merupakan mitos pemujaan terhadap tokoh Bima,
yang sering dikaitkan dengan ajaran yang
amat populer dikalangan orang Jawa yakni konsep mistik Ketuhanan
Manuggaling Kawula Gusti, sebenarnya
juga berakar pada konsep pemujaan terhadap ritus persanggamaan. Hal ini bisa
kita saksikan pada patung Bima di candi Sukuh yang terkenal itu.
Salah satu
sekte agama Buddha yang memuja ritual persanggamaan sebagai cara untuk mencapai
persatuan hamba dan tuhan adalah aliran Tantrayana yang sangat berkembang di
Jawa Timur pada masa Kerajaan Kediri, Singasari bahkan Majapahit. Raja terakhir
Singasari, Sri Kertanegara (1268- 1292 M), dikenal sebagai pengikut Tantrayana
yang gemar melakukan pesta ritual persanggamaan secara massal. Dia dikabarkan
terbunuh saat sedang melakukan pesta ritual persanggamaan massal.
Mahapatih
Gajah Mada juga disebut-sebut sebagai pengikut Tantrayana, tetapi tidak ada
berita bahwa dia pernah melakukan ritual persanggamaan masal. Akhirnya Syekh
Siti Jenar, mantan anggota Dewan Walisono Kerajaan Islam Demak yang dipecat
karena mengajarkan ajaran sesat, diduga secara sembunyi-sembunyi juga
mengajarkan ritualitas persanggamaan sebagai salah satu cara untuk mencapai
kondisi ekstase atau trance yang diklaimnya sebagi puncak persatuan hamba dan
tuhan. Hal ini bisa dilihat pada kisah Lebe Lontang, murid Syekh Siti Jenar
yang mengajarkan Dzikir Ojrad Ripangi. Besar sekali kemungkinannya, dari
komunitas pengikut sekte agama Buddha Tantrayana, telah dilahirkan anak-anak
dari hasil hubungan perkawinan sumbang atau incest. Hanya kasus-kasus ini tidak
terungkap dalam sejarah, karena sifat keanggotan sekte ini yang bersifat
rahasia dan tertutup.
Setelah Islam
datang, kepercayaan adanya daya gaib kepada anak-anak hasil perkawinan sumbang
yang berasal dari kepercayaan agama Kapitayan bagi orang Jawa atau agama Sunda Pituin bagi orang Sunda, maupun sekte agama Buddha
Tantrayana, masih sempat merembes menjadi bagian dari
kepercayaan masyarakat yang secara formal sudah memeluk Islam.
Jadi
kepercayaan warisan agama lama masa pra- Islam seperti Kapitayan, Sunda Pituin,
maupun Tantrayana yang masih hidup sebagai bagian dari tradisi ritualitas
kehidupan keagamaan umat Islam yang sering dianggap sebagai local wisdom, antara lain pemujaan terhadap kuburan orang suci dan sakti hasil dari perkawinan sumbang
atau incest, maupun orang suci dan sakti sebagai pelaku perkawinan sumbang,
khususnya perkawinan sumbang antara ayah dan anak gadisnya sendiri. Contoh yang
nyata adalah pemujaan terhadap makam yang diduga makam Bureroh di Gagesik dan makam Syamsu Tabris di Demak.
Makam-makam semacam itu, dianggap menyimpan daya gaib yang apabila berhasil
disadap ke dalam tubuh seorang peziarah, akan mampu memancarkan aura pada si
peziarah sehingga dia akan memiliki daya gaib
mendatangkan kekuasaan, kekayaan, mudah mendapatkan jodoh dan kemakmuran
pada dirinya.
Dalam kronik
Cirebon karya Penghulu Abdulkahar, Syamsu Tamresy anak Jumadilkubro,
dikisahkan sebagai tokoh yang sakti,
karena dia adalah anak hasil perkawinan sumbang Jumadilkubro dengan anak
gadisnya, Dewi Hani. Di Kerajaan Campa Syamsu Tamresy menikahi Rara Sucina,
putri Raja Campa. Dari hasil perkawinan mereka berdua, lahirlah putranya yang
bernama Raden Rahmat, yang kelak bernama
Sunan Ampel. Dalam kisah Penghulu Abdulkahar itu, tidak dikisahkan adanya
pemujaan terhadap makam Syekh Jumadilkubro, maupun makam putranya Syamsu Tamresy.
Dengan mudah kita dapat menduga, bahwa usaha mengait-ngaitkan Raden Rahmat yang
kelak menjadi seorang wali yang akan banyak menurunkan para wali di Tanah Jawa
sebagai anak Syamsu Tamresy, sebenarnya hanyalah usaha untuk menjelaskan
bahwa Raden Rahmat juga
memiliki daya-daya gaib dan kesaktian yang luar biasa yang akan tetap tersimpan
secara abadi di dalam makamnya maupun makam para wali keturunannya, sebab dia adalah keturunan dari orang tuanya yang sakti karena orang tuanya terlahir sebagai anak incest..
Siapakah
sebenarnya Syamsu Tamresy ataupun Syamsu Tabris, yang telah dimitoskan sebagai
orang suci dan sakti hasil perkawinan sumbang ayahnya yang bernama Syekh
Jumadilkubro dan yang disebut-sebut oleh kronik Cirebon sebagai ayah Raden
Rahmat atau Sunan Ampel ?.
Syamsu
Tabris, Syamsu Tamresy, maupun Syamsu Tomres, sebenarnya adalah satu nama yang
menunjuk kepada seorang tokoh sejarah. Nama aslinya adalah Syamsuddin At Tabrizi, seorang sufi
legendaris yang amat mashur kelahiran Kota Tabriz, sebuah kota di Barat Laut
Caspia, termasuk wilayah Iran Utara, dekat perbatasan Azerbaijan.
Dia hidup pada paruh pertama abad ke- 13 M.
Kota Tabriz, tidak hanya dekat dengan Samarkand, tetapi juga dekat dengan
Tyulen. Wajar bila kemudian ada orang yang menganggap bahwa Ibrahim Asmara,
ayah Raden Rahmat berasal dari Samarkand.
Anggapan ini
bukan hanya karena adanya asosiasi atau
kemiripan antara kata Asmara dan As
Samarkandi. Tetapi gagasan dan fantasi Penghulu Abdulkahar yang menyamakan ayah Raden Rahmat, Ibrahim Asmara, dengan
Syamsu Tamresy, jelas ikut berperan terhadap munculnya anggapan bahwa seperti
halnya Syamsuddin At Tabrizi, Ibrahim Asmara pun adalah pendakwah yang berasal
dari daerah-daerah yang tidak terlalu jauh dari Tabriz yang berada disekitar
Laut Caspia. Kalau tidak Tyulan, ya
Samarkand. Atau menyatukan kedua kota itu. Bermukim di Samarkand, tetapi
imigran dari Tyulen.
f. Fakta Sejarah Syamsuddin
At Tabrizi.
Syamsuddin
At Tabrizi, sebenarnya memang seorang
sufi pengembara yang hebat, pandai menarik masa, ungkapan ungkapan pandangan
sufistiknya mampu mempesona dan memukau banyak orang. Muridnya yang amat
mencintainya dengan seluruh jiwa raganya adalah Jalaluddin Rumi (1207 – 1273
M), yang kemudian juga berkembang menjadi seorang sufi yang terkenal. Tetapi
nasib hidupnya amat tragis.
Syamsudin At Tabrizi, dibunuh pada suatu malam
secara beramai-ramai dengan cara diculik oleh anak ke-2 Jalaluddin Rumi,
Alauddin Walad. Dia dibantu murid-murid dari
pesantren asuhan Sultan Walad,
anak sulung Jalaluddin Rumi yang berada di Kota Konya, Asia Kecil. Tubuh
Sufi yang dituduh menyebarkan ajaran bid’ah itu, diseret ramai-ramai setelah
sebelumnya dihujani tusakan pisau oleh penculiknya, kemudian di masukkan
kedalam sebuah sumur tua dengan maksud untuk disembunyikan.
Peristiwa
yang mengerikan itu terjadi pada tahun 1247 M, saat Jalaluddin Rumi berusia 40
tahun. Sebenarnya Jalaluddin Rumi sempat mencoba mencegah agar gurunya itu
tidak keluar menemui kerumunan orang-orang yang pada malam yang naas itu,
berteriak-teriak dari luar memanggil-manggil namanya.
Tetapi
Syamsuddin At Tabrizi dengan tenang berdiri, melangkah ke pintu sambil berkata
kepada Jalaluddin Rumi:
“Nampaknya aku memang dipanggil untuk
menghadapi kematian.“
Jalaluddin
Rumi yang menggigil ketakutan, terpaksa ikut berdiri mengikuti gurunya, sambil
berbisik:
”Sesungguhnya
hanya kepadaNyalah semua ciptaan dan takdir.Terpujilah Allah Tuhan Alam
semesta. Semoga kita selamat sentausa.”
Di malam yang gelap itu, mereka berdua sama
sekali tidak tahu siapa yang tengah mengepungnya dan juga tidak menyadari maut
yang tengah mengamcamnya.
Saat pintu
rumah Jalaluddin itu terbuka, tiba-tiba dari arah luar yang gelap gulita,
sebilah pisau yang berkilat-kilat bergerak cepat menghunjam berulang kali perut
Sufi yang malang itu. Darah cepat mengucur dari tubuh Syamsuddin At Tabrizi dan
ia pun sempoyongan seperti hendak jatuh ketanah.
Tiba-tiba
Sufi itu mengeluarkan jeritan aneh yang sejenak sempat membuat heran dan gentar
mereka yang menyerangnya. Namun, sebelum tubuh yang berlumuran darah itu jatuh
ke tanah, tangan-tangan yang cekatan dari penyerangnya dengan sigap dan cepat
menarik dan menyeret keluar tubuh yang sudah tak berdaya itu.
Mereka
membawanya lari di dalam gelap, menyembunyikan tubuh yang sudah tak bernyawa
itu dengan cara memasukkannya ke dalam sumur tua dan diam-diam menguburkanya di
situ.
Jalaluddin
Rumi langsung shock dan jatuh sakit akibat
mengalami peristiwa yang mengerikan itu. Paginya Sultan Walad, putra
sulung Jalaluddin Rumi, dengan dibantu sejumlah murid pesantrennya, mencoba mencari-cari jasad sufi korban penculikan malam itu.
Ternyata
tidak berhasil ditemukan. Tetapi selang bebera hari kemudian Sultan Walad pada
suatu malam dalam tidurnya bermimpi
didatangi Syamuddin At Tabrizi yang memberitahu bahwa dirinya tengah
tertidur di dasar sebuah sumur tua. Begitu bangun dari mimpinya, Sultan Walad
mengajak anak buahnya mendatangi sebuah sumur tua untuk membuktikan kebenaran
dari mimpinya itu.
Ternyata
mimpinya benar. Jazad sufi itu
ditemukan terkubur di dasar sebuah sumur tua. Paginya jenazah Syamsuddin At
Tabrizi diangkat ramai-ramai. Setelah dirawat sebagaimana mestinya, jenazah itu
dikuburkan secara layak. Sufi Besar itu
dimakamkan berdampingan dengan makam ayah Jalaluddin, Muhammad Bahauddin Walad,
yang terletak di samping bangunan masrasah di kota Konya yang didirikannya.
Sementara
itu, ketujuh orang komplotan pembunuh Syamsuddin At Tabrizi, tiba-tiba terkena
penyakit aneh. Mereka satu persatu meninggal secara tidak wajar, termasuk
Alauddin Walad, adiik Sultan Walad, putra Jalaluddin Rumi yang ikut serta dalam
komplotan penculikan dan pembunuhan Sufi guru spiritual ayahnya.
Pada upacara
pemakaman jenazah Syamsuddin At Tabrizi, Jalaluddin Rumi sendiri tidak hadir.
Dia sangat terpukul dan sedihnya bukan main ditinggalkan oleh guru spiritualnya
yang amat dicintainya dengan cara yang amat tragis dan dramatis. Berhari-hari
ia mengurung dirinya di rumahnya. Setelah kesehatannya pulih kembali, dia
menggubah sebuah kitab puisi yang amat indah yang sengaja ia persembahkan untuk
mengenang mendiang guru spiritualnya yang berjudul Divan I Syamsu Tabriz.
Sepeninggal gurunya, Jalaluddin Rumi
berkembang menjadi sufi hebat juga. Dia mendirikan suatu tarekat yang terkenal
dimana-mana, baik di dunia timur maupun barat, yang dikenal sebagai Darwis yang
menari atau The Whirling Dervishes.
Pandangan
sufistik Jalaluddin Rumi dimuat dalam karya agungnya Matsnawi. Mastnawi ditulis
pada masa-masa episode akhir dari hidupnya. Selama hampir lima belas tahun dari
akhir masa hidupnya itu, Jalaluddin Rumi terus menerus menghasilkan puisi-puisi sufistiknya yang diciptakan saat
dia berada dalam keadaan ekstase atau tranche. Murid-murid setianya dengan tekun terus menerus mencatat karya
agung yang terdiri atas 25.700 kuplet yang dikumpulan menjadi 6 jilid yang kemudian dikenal sebagai
Matsnawi.
Melalui
Matsnawi pandangan sufistik Jalaluddin Rumi sampai juga ke Samudra Pasai dan
Asia Tenggara. Sunan Kalijaga disebut-sebut sebagai seorang wali yang pernah
belajar tarekat Jalaliyah atau Maulawiyah yakni tarekat yang didirikan oleh
Jalaluddin Rumi, di Pulau Upih di Pantai Barat
Semenanjung Malaka.
Pandangan tarekat Jalaliyah disebut-sebut
sebagai amat dinamis, memandang dunia dengan pandangan optimis, penuh dengan
gerak, menggunakan musik, amat toleran, tidak menolak syariat Islam, dan
menjunjung tinggi kemanusiaan. Amat jauh berbeda dengan tarekat yang didirikan
oleh Syekh Datuk Kahfi di Cirebon yang banyak dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan Sufi Mansyur Al
Halaj yang bersifat ekstrim, memandang hidup dengan pesimis, menolak syariat
Islam, lebih menekankan pada ajaran
berupa teknik menjemput maut yang selalu dinanti-nantikannya, karena
pandangannya yang ekstrim dan pesimistis bahwa hidup di dunia adalah kematian,
sebagaimana juga nampak pada salah satu muridnya, Syekh Siti Jenar.
Bersamaan
dengan tersebarnya tarekat Jalaluddin Rumi dan pandangan-pandangan sufistiknya,
kisah kematian Syamsuddin At Tabrizi
yang dramatis itu nistaya ikut tersebar juga.
Kisah
dramatis kematian Syamsuddin At Tabrizi itulah yang telah mengilhami lahirnya
kisah-kisah fantasi berbau mitos tokoh
yang bernama Syamsu Tamresy, Syamsu Tomres, maupun Syamsu Tabris.
Ia dilukiskan
sebagai orang suci yang sakti, punya daya gaib, bisa merubah dirinya menjadi
sekuntum bunga tanjung dari emas sebagai lambang kekayaan dan keberlimpahan,
makam tempat mengubur jasadnya ataupun makam keturunannya mampu mendatangkan
kekayaan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi para peziarah.
Daya gaib itu
diperoleh karena, sesuai dengan kepercayaan agama pra-Islam yang berkembang di
kalangan orang Jawa dan orang Sunda, bahwa dia adalah anak hasil dari
perkawinan sumbang seorang tokoh suci. Dan tokoh suci tetapi yang berperilaku menyimpang itu adalah Syekh Jumadilkubro!
Barang kali mitos yang aneh semacam itu, hanya
tejadi di Pulau Jawa. Seorang yang melakukan perbuatan amoral, justru di puja
karena dianggap akan mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran. Bandingkan
dengan kisah Oudipus dan keturunannya yang harus menanggung dosa dan hidup
sengsara dan terlunta-lunta, padahal perbuatan itu dilakukan secara tidak
sengaja.
Tetapi apapun
kisah misteri yang menyelimuti kematian Syamsuddin At Tabiz, adalah mustahil
Syamsuddin At Tabrizi, Syamsu Tabris ataupun Syamsu Tamresy adalah ayah
Raden Rahmat. Sebab sufi legendaris itu,
meninggal pada tahun 1247 M, di Kota Konya, Asia Kecil, sedang Raden Rahmat,
baru lahir pada tahun 1420 M di Kota Campa. Jadi terbentang jarak hampir dua
abad antara keduanya. Dengan demikian Syamsu Tamresy, bukanlah Ibrahim Asmara,
juga bukan ayah Raden Rahmat. Anggapan bahwa Syamsu Tamresy ayah Raden Rahmat
adalah mitos. Demikian pula anggapan bahwa Ibrahim Asamara, ayah Raden Rahmat,
berasal dari Samarkand atau Tyulen, hanyalah mitos yang tidak memiliki nilai
historis.[Bersambung]
Catatan : Artikel Lanjutan, "Legenda dan Mitos dari Sunan Gresik - Sunan Panggung
https://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-syekh-siti-jenar-dan-walisongo_56.html
Catatan : Artikel Lanjutan, "Legenda dan Mitos dari Sunan Gresik - Sunan Panggung
https://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-syekh-siti-jenar-dan-walisongo_56.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar