1.
Syekh Yakub bin Maulana Ishak.
Hasil penelusuran Drs.Widji Saksono dalam bukunya Mengislamkan Tanah Jawa,
telah berhasil mengungkapkan bahwa Raden Paku yang kelak dikenal sebagai Sunan
Giri, bukanlah putra Syekh Maulana Ishak. Raden Paku adalah cucu dari Syekh Maulana Ishak, ulama ternama dari Pasai.
Hasil penelusuran itu, memang lebih mendekati fakta
sejarah, dari pada menganggap Raden Paku adalah putra Syekh Maulana Ishak,
sebagaimana yang banyak ditulis dalam buku-buku Kisah Walisongo. Sebab Syekh
Maulana Ishak diperkirakan lahir pada tahun 1490 M, sehingga jika benar dia ayah Raden Paku, maka pada saat Raden Paku lahir (1453 M), tentu Syekh
Maulana Ishak sudah terlalu tua, yakni sudah berusia 63 tahun. Kecil
kemungkinan, bahwa ulama yang sudah berusia sekitar 60 tahun masih harus mengunjungi daerah Blambangan yang sulit medannya
sekalipun untuk tujuan berdakwah. Karena itu yang paling mendekati fakta
sejarah adalah Syekh Yakublah ayah Raden Paku dan dan bukannya Syelkh Maulana
Ishak sebagaimana dikemukakan Drs. Widji Saksana dari hasil penelusurannya.
Syekh Maulana Ishak, ayah Syekh Yakub adalah putra Syekh Jumadilkubro. Sedangkan Syekh
Jumadilkubro adalah putra Sultan Pasai,
Zaenal Abidin (1383 -1405 M). Syekh Yakub bin Maulana Ishak diperkirakan lahir pada tahun 1414 M. Pada
pertengahan abad ke 15 M, dia mengunjungi adik sepupunya Raden Rahmat di Jawa Timur. Antara Syekh Yakub bin Maulana
Ishak dan Raden Rahmat terdapat hubungan kekerabatan yang
dekat. Mereka berdua adalah saudara sepupu, karena ayah mereka kakak beradik. Saat itu Raden Rahmat baru saja menikah dan
tengah sibuk dalam proyek mendirikan pesantren Ampel Denta. Syekh Yakub bin Maulana Ishak sendiri adalah seorang ulama yang serba bisa. Di samping seorang ulama pandai,
beliau juga mengusai ilmu ketabiban. Berkat aktivitas dakwahnya
dan praktek ketabiban yang giat dilaksanakannya, Syekh Yakub banyak berkenalan dengan
sejumlah saudagar kaya di sejumlah kota bandar niaga seperti Malaka, Palembang,
Cirebon, Tuban dan Gresik.
Di
Kota Gresik, Syekh Yakub berkenalan pula dengan salah seorang pengusaha wanita yang kaya raya yang bernama
Nyi Gede Pinatih. Suaminya bernama Pangeran Samudra, telah almarhum. Suami Nyi
Gede Pinatih adalah bekas Syah Bandar
Pelabuhan Gresik yang mengabdi kepada Raja Majapahit. Konon sebelum
menjadi Syah Bandar di Gresik, Pangeran Samudra adalah seorang pejabat tinggi
setingkat patih di Kadipaten Blambangan, suatu daerah di Ujung
Timur Jawa Timur, kini lebih
dikenal dengan nama Banyuwangi.
Karena
kepandaiannya dalam bidang ketabiban, maka penduduk setempat menjulukinya sebagai Syekh
Wali Lanang. Dalam bahasa Jawa dikenal istilah
sada lanang. Sada adalah lidi. Lanang
mengandung arti berani, bertuah atau unggul. Sada Lanang
artinya adalah lidi yang berkhasiat karena memiliki daya penyembuh atau tolak
bala. Karena itu julukan Syekh Wali Lanang, mengandung makna simbolik, yang menunjukkan bahwa
Syekh Yakub bin Maulana Ishak, di samping seorang
yang dianggap memiliki keahlian dalam agama Islam, juga memiliki kemampuan untuk mengobati dan menyembuhkan orang yang sakit.
Hampir semua kronik Jawa seperti Babad Banyuwangi dan
buku-buku yang berisi kisah Walisongo, menyamakan Syekh Wali Lanang dengan
Syekh Maulana Ishak. Padahal Syekh Wali Lanang adalah putra Syekh Maulana
Ishak, bukan Maulana Ishak itu sendiri.
Akibat kesalahan dalam melakukan identifikasi ini, nama Syekh
Yakub bin Maulana Ishak hampi-hampir tidak dikenal. Karena yang dikenal adalah
Syekh Wali Lanang bin Maulana Ishak. Tetapi lama kelamaan dalam ceritera tutur,
Syekh Wali Lanang dianggap identik dengan Maulana Ishak.
Hal ini sebenarnya erat kaitannya dengan tradisi dalam
kebudayaan Jawa, yakni satu orang bisa memiliki nama sampai dua, tiga bahkan
empat nama. Ada nama orang pada saat dilahirkan, ada nama panggilan atau
paraban, ada nama saat berusia dua windu, empat windu dan nama saat berusia lima windu atau 40 tahun
kalender Jawa Islam.
Contohnya Syekh Siti Jenar. Bila dirangkaikan namanya sejak
kecil menjadi sangat panjang yakni Raden Saksar Hasan Ali Abdul Jalil Siti
Jenar. Demikanlah orang Jawa pada masa itu menafsirkan Syekh Wali Lanang bin Maulana Ishak adalah
Syekh Wali Lanang alias Maulana Ishak. Kekeliruan dalam
mengidentifikasi Syekh Yakub sama dengan Syekh Maulana Ishak, mengakibatkan
kekeliruan dalam menetapkan ayah Raden Paku atau Sunan Giri. Raden Paku
dianggap putra Maulana Ishak. Padahal yang mendekati fakta sejarah, Raden Paku
adalah cucu Syekh Maulana Ishak.
Sebagai
seorang ulama dari Samudra Pasai, sudah barang tentu kemampuan Syekh Yakub bin Maulana Ishak di bidang agama tak diragukan lagi. Seperti telah dikemukakan di depan, Samudra Pasai saat itu
adalah sebuah kota di pantai Sumatra Timur, kini masuk wilayah Aceh dan merupakan
pusat Kerajaan Islam pertama di Nusantara (1250 – 1524
M).
Dari
Samudra Pasai Islam berkembang dan tersebar ke wilayah lain di Asia Tenggara
antara lain ke Malaka, Patani, Campa, Brunai, dan Jawa. Peran Samudra Pasai pada masa kejayaannya,
bukan hanya sebagai pusat penyebaran Islam, tetapi juga sebagai pusat
kebudayaan Melayu Islam yang paling
utama di Asia Tenggara. Dari kota Pasailah kesasastran Melayu Islam berkembang.
Para ulama dan inteletual Muslim dari Pasai, giat menulis dan
menerjemahkan kitab-kitab agama dan kesusastraan berbahasa Arab dan Parsi ke
dalam bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Arab Melayu. Huruf Arab Melayu
ciptaan para ulama Pasai ini dikenal sebagai huruf Jawi.
Buku-buku
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu bukan hanya buku-buku pelajaran agama
seperti fikih, rukun Islam, tatacara salat dan lainya lagi. Tetapi
diterjemahkan juga riwayat hidup Nabi Muhammad saw, kisah para nabi dan
hikayat-hikayat yang berasal dari sastra Arab dan Parsi. Buku-buku tasawuf
juga sudah mulai ada yang menerjemahkannya. Kegiatan kesusastraan Melayu Islam
di Samudra Pasai melalui tradisi penerjemahan, telah mendorong
lahirnya sastra pesantren. Karena bahasa
Melayu merupakan bahasa pengantar dan pergaulan penduduk Kepulauan Nusantara,
aktivitas menterjemahkan naskah asing yang menghasilkan
buku-buku agama dan kesusastraaan Islam itu, telah ikut mempercepat tersebarnya Islam ke seluruh
pelosok Nusantara dan Asia Tenggara.
Dalam
pertemuan Syekh Yakub bin Maulana Ishak dengan Sunan Ampel, banyak dibahas
masalah-masalah dakwah Islam di Pulau
Jawa. Sunan Ampel menyarankan kepada Syekh Yakub bin Maulana Ishak agar
bersedia melakukan dakwah Islam ke daerah ujung timur Pulau
Jawa, yakni daerah Blambangan. Daerah Blambangan saat itu merupakan daerah yang
selalu bergolak. Kedekatannya dengan
Bali menyebabkan pengaruh Bali atas wilayah ini amat kuat. Pemberontakan–pemberontakan
dari wilayah ini untuk melepaskan diri dari kekuasaan di Pulau Jawa selalu
mendapat angin dari Bali.
Kadipaten
Blambangan merupakan Kadipaten dengan keyakinan Hindu yang amat kuat dan
mendalam. Maka tepat sekali bila Sunan Ampel menyarankan kepada Ulama
dari Pasai itu untuk mencoba berdakwah
ke daerah yang fanatsime Kehinduannya sangat tebal dan keras seperti
Blambangan. Karena mengikuti saran Sunan Ampel, Syekh Yakub bin Maulana Ishak segera
berangkat menuju Blambangan untuk mencoba berdakwah kepada masyarakat setempat. Bahkan
Syekh Yakub bin Maulana Ishak juga mencoba berdakwah kepada Adipati Blambangan.
Dalam
kisah buku babad setempat, antara
lain Babad Banyuwangi, diceriterakan bahwa pada saat itu putri Adipati Blambangan sedang jatuh sakit dan sudah berobat kemana-mana
tetapi belum sembuh juga. Maka Syekh Yakub bin Maulana Ishak yang saat itu
sudah tenar sebagai tabib penyembuh terkemuka dan dijuluki oleh masyarakat setempat sebagai Syekh Wali Lanang, diundang
oleh Adipati untuk mengobati Sang Putri. Syekh Yakub bin Maulana Ishak
memandang undangan itu merupakan kesempatan yang baik sekali untuk melancarkan
dakwah kepada keluarga kadipaten. Sang Adipati sendiri sempat berjanji
kepadanya, bila kelak ternyata Sang
Putri kesayangannya itu dapat sembuh, Sang Adipati beserta keluarganya bersedia
masuk Islam.
Ternyata
setelah Syekh Yakub bin Maulana Ishak melakukan
usaha penyembuhan, Sang Putri dapat sembuh total. Akhirnya Sang Adipati
merelakan putrinya itu dipersunting Syekh Yakub bin
Maulana Ishak. Sang Putri pun menyatakan diri masuk Islam dan menjadi seorang Muslimah.
Sekalipun Sang Putri sudah sembuh, ternyata Sang Adipati beserta kerabatnya
tetap kukuh dalam kepercayaan Hindunya dan tak bersedia memeluk Islam seperti
yang pernah dijanjikannya kepada Syekh Yakub bin Maulana Ishak. Sang Adipati hanyalah mengijinkan Sang Putri
memeluk Islam untuk dipersunting
oleh pendakwah
dari Pasai itu. Sebagai seorang
pendakwah yang sabar dan ulet, Syekh Yakub bin Maulana Ishak tetap sabar, tawakal dan berserah diri kepada
kehendak Allah SWT.
Tak
berapa lama Sang Putri pun mengandung. Betapa gembiranya Syekh Yakub bin Maulana Ishak karena akan punya
keturunan. Dia berharap bahwa anaknya
yang akan lahir itu seorang anak laki-laki agar supaya kelak dapat menjadi
penerus dakwah Islam di Pulau Jawa. Rupanya doa ulama yang gigih ini dikabulkan.
Saat Sang Putri melahirkan, diperolehnya seorang bayi laki-laki yang cakap dan elok rupanya. Sayang sekali, beberapa
saat setelah melahirkan Sang Putri wafat. Tak berapa lama muncullah wabah
penyakit di Kadipaten Blambangan.
Karena
khawatir akan kesehatan putranya, Syekh Yakub bin Maulana Ishak membawa putranya itu keluar dari Blambangan.
Dibawanya putra kesayangannya itu cepat-cepat meninggalkan Blambangan yang
tengah diserang wabah penyakit. Dia menuju Gresik. Di sana ditemuinya
sahabatnya Nyi Gede Pinatih, janda yang kaya raya, tetapi tak punya anak.
Dengan gembira Nyi Gede Pinatih bersedia
menerima bayi laki-laki itu sebagai anak asuhnya. Syekh
Yakub bin Maulana Ishak juga gembira karena menemukan orang tua asuh yang
cocok dan diharapkan mampu memberikan pendidikan yang baik kepada putranya itu.
Anak asuh Nyi Gede Pinatih itu, diberinya nama Raden Paku.
Setelah
menyerahkan putranya kepada Nyi Gede Pinatih. Syekh Yakub bin Maulana Ishak bermaksud pulang kembali ke Pasai. Kemungkinan besar ayahnya Syekh Maulana Ishak mulai sakit-sakitan, mengingat
usianya pada tahun 1453 M itu, sudah
sekitar 63 tahun. Di samping itu, Syekh Yakub bin Maulana Ishak nampaknya
sangat diharapkan oleh ayahnya Syekh Maulana Ishak untuk mengurus pesantren
asuhannya atau bisa jadi menggantikan jabatan kadi atau penghulu Kerajaan Islam
Samudra Pasai yang secara tradisional dipegang oleh keturunan Syekh
Jumadilkubro.
Sebelum meninggalkan Pulau Jawa, Syekh Yakub bin
Maulana Ishak menemui Sunan Ampel mohon diri untuk kembali ke Pasai dan mohon
kesedian Sunan Ampel agar kelak mau mendidik putranya Raden Paku yang saat itu
telah menjadi anak asuh Nyi Gede Pinatih. Kebetulan Nyi Gede Pinatih memang
seorang wanita Muslimah.
Dalam
cerita babad dan cerita tutur yang beredar di daerah Blambangan, berkembang
versi yang menyimpang dari kisah Syekh Wali Lanang dan putranya Raden Paku. Dikisahkan bahwa Syekh
Wali Lanang telah diusir oleh Adipati Blambangan. Anak lelakinya direbut oleh
Sang Adipati yang murka karena mendapat hasutan dari para juru nujum di kadipatennya.
Mereka memberitahu bahwa sumber kesialan dan penyebab datangnya wabah yang menimpa kadipatennya
adalah akibat dari ulah orang asing yang berani mengusik kepercayaan kepada agama lama yakni agama
Hindu. Cucunya yang lahir dari seorang ayah bangsa Asing, juga dianggap sebagai
sumber musibah. Karena itu Sang Adipati
memerintahkan agar bayi laki-laki cucunya itu dimasukkan ke dalam kotak
dari kayu, lalu dibuangnya ke laut. Dengan membuang bayi sial itu ke laut, Sang
Adipati berharap wabah penyakit pembawa sial itu juga akan ikut terbuang. Maka
Sang Bayi yang tak berdosa itu terapung-apung terbawa arus laut dan akhirnya
ditemukan oleh kapal dagang yang tengah lewat. Kapal dagang itu adalah milik
janda kaya Nyi Ageng Pinatih dari Gresik. Maka bayi mungil itupun diserahkan oleh kapten Kapal yang menemukannya kepada Sang Pemilik Kapal, Nyi Gede Pinatih.
Kalau
kita teliti, kisah yang berbau legenda dan tak masuk akal ini, jelas sekali ditulis
atau dituturkan pada masa-masa belakangan. Mungkin maksudnya untuk memitoskan
bayi itu yang kemudian memang menjadi seorang Raja Ulama yang terkenal di Jawa
Timur. Tetapi yang jelas, kisah itu ditulis oleh seseorang yang pernah membaca
kisah Nabi Musa yang tersebut dalam Serat
Ambiya yang saat itu sudah beredar luas di Tanah Jawa.
Dalam kisah
Nabi Musa, diceriterakan bahwa saat masih bayi Nabi Musa dimasukkan oleh ibunya ke dalam kotak
lalu dihanyutkan ke sungai Nil. Maksudnya agar
Nabi Musa selamat dari undang-undang
yang dikeluarkan oleh Firaun yang akan membunuh
setiap anak laki-laki dari kaum Bani Israil. Bani
Israil atau orang-orang Yahudi saat itu banyak yang dijadikan budak di Mesir. Atas kehendak Allah
SWT, Nabi Musa selamat dari maut, bahkan
ditemukan oleh istri Firaun yang kebetulan tak punya anak. Maka Musa menjadi
anak angkat istri Firaun dan dibesarkan di istana Firaun. Nampak jelas
adanya kemiripan jalan ceritera antara kisah Nabi Musa dalam Serat
Ambiya dengan kisah
Raden Paku atau Sunan Giri yang ditulis dalam buku-buku babad.
2.
Sunan Giri Menjumpai Ayahnya Syekh Yakub bin Maulana Ishak.
Karena tak
memiliki keturunan, Nyi Gede Pinatih mengasuh Raden Paku dengan segenap
perhatian dan kasih sayangnya. Namun sebagai wanita Muslimah yang cerdas dan
ulet, dia tak memanjakan anak asuhnya itu. Harta bendanya yang berlimpah
tak digunakannya untuk memanjakan anaknya. Anak asuhnya itu didik dengan baik.
Bukan hanya dididik dengan ilmu-ilmu
urusan duniawi seperti ketrampilan dalam bidang bisnis. Raden Paku juga dididik
dengan ilmu-ilmu agama. Karena itu Nyi Gede Pinatih tidak segan-segan untuk
berpisah dengan anaknya. Raden Paku disuruhnya berguru
kepada Sunan Ampel dan dia
menjadi santri Sunan Ampel sejak masa-masa menjelang
usia remaja.
Kecerdasan
Raden Paku memang luar biasa. Dengan mudah dia bisa menyerap ilmu dari gurunya.
Karena kagum kepada kecerdasan Raden Paku, Sunan Ampel pun punya niat kelak
mengambilnya sebagai menantu. Kebetulan salah seorang putra Sunan Ampel, Makhdum
Ibrahim berguru bersama-sama Raden Paku. Bahkan mereka bersahabat amat erat, karena mereka berdua sebenarnya masih saudara sama-sama cicit dari Syekh
Jumadilkubro.
Usai berguru pada Sunan Ampel, Raden Paku dididik Nyi
Gede Pinatih agar dia mengusai
seluk-beluk bisnis dan perdagangan. Mungkin wanita hebat itu berpikir bahwa selain
harus menguasai ilmu-ilmu agama anaknya itu perlu menguasai ilmu-ilmu dunia,
dalam hal ini ketrampilan berbisnis dan berdagang.
Maksudnya
tentu saja agar hidupnya di dunia lebih mantap lagi, hingga kehidupan di akhirat
juga akan mantap. Agaknya Nyi Gede Pinatih berpikir, bahwa kalau Raden Paku
pandai berusaha dan berdagang dan tahu sulitnya mencari harta benda, maka kelak
kalau hartanya yang berlimpah telah diwariskan kepada anak angkatnya itu, tidak
akan dihambur-hamburkan untuk hal-hal yang tak bermanfaat. Tetapi akan digunakannya untuk hal-hal yang bersifat amanah,
untuk berjuang dijalan Allah SWT.
Rupanya Raden Paku punya juga bakat untuk berdagang. Hampir dua tahun Raden Paku memimpin armada niaga yang membawa
barang-barang dagangannya dan berlayar membawanya ke arah timur. Antara lain ke Bali, Nusatenggara, Makassar,
Ternate, Tidore, Ambon dan pulau-pulau lain
di Maluku. Bahkan dikisahkan dalam pelayarannya
Raden Paku sempat pula mengunjungi
Kalimantas Selatan dan Kalimantan Timur.
Dalam
babad dikisahkan perjalanan Raden Paku Ke Bali. Dalam perjalanan niaganya ke
Pulau Bali itu Raden Paku memperoleh sukses yang luar biasa. Besar kemungkinan
dalam pelayaran niaganya ke wilayah Indonesia Timur itu, Raden Paku
memanfaatkan waktu luangnya di sela-sela kegiatan niaganya, untuk melakukan
dakwah kepada masyarakat setempat. Obsesinya yang paling besar adalah
mengislamkan Pulau Bali. Bisa jadi Raden
Paku pernah mendengar kisah kegagalan ayahnya beradakwah di daerah Blambangan
yang beragama Hindu, karena pengaruh Bali yang amat kuat di wilayah itu.
Seperti
ayahnya, Raden Paku juga gagal mengislamkan Bali. Tetapi jejak dakwah Raden Paku tampak di Bali Utara. Di sekitar
Singaraja, sedikit demi sedikit terbentuk komunitas Muslim. Walaupun tetap minoritas
tetapi cahaya Islam yang dinyalakan oleh Raden Paku pelan-pelan mulai bersinar.
Kelak para keturuan Sunan Giri
meneruskan usahnya mengislamkan Pulau Bali dari arah Singaraja. Memang betul,
di wilayah Bali Selatan, kepercayaan Hindunya
tetap kukuh tak mudah ditembus oleh dakwah Islam Sunan Giri dan
penerusnya. Tetapi di Bali Utara dakwah Raden Paku
membawa hasil yang menggembirakan.
Setelah
mengetahui bakat bisnis Raden Paku yang tak mengecewakan, Nyi Gede Pinatih
menyarankan agar Raden Paku segera menikah dan naik haji. Saran ibunya itu
diterima Raden Paku dengan senang hati. Dimintanya agar Ibunya itu melamar
putri Sunan Ampel yang bernama Dewi Murtasinah. Tentu saja Nyi Gede Pinatih
amat senang dan setuju sekali dengan
pilihan putranya itu. Demikian pula
dengan Sunan Ampel.
Beberapa
bulan kemudian setelah menikah, Raden Paku berniat untuk pergi menunaikan
ibadah haji ke Makkah, sesuai dengan saran ibunya. Pada masa itu, perjalanan naik
haji bukanlah perjalanan yang mudah. Karena itu Raden Paku tidak akan mengajak
istrinya. Yang diajaknya adalah kakak
iparnya Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim. Usia mereka memang tak berbeda jauh.
Jika Sunan Bonang lahir tahun 1450 M, Raden Paku sekitar tiga
tahun lebih muda, yakni sekitar tahun 1453 M. Diperkirakan mereka berdua menuju
Malaka pada tahun 1475 M. Dari Malaka
mereka berniat akan melanjutkan perjalanannya
ke Makkah.
Ketika itu Malaka telah berkembang menjadi bandar
yang amat ramai, bahkan mampu mengalahkan Pasai. Rajanya yang terkenal dan
disegani adalah Sultan Mansyur Syah (1459 – 1477 M ). Di bawah pemerintahannya,
Kerajaan Malaka mencapai puncak kejayannya. Hubungannya dengan Majapahit yang saat itu tengah surut,
berlangsung sangat baik. Dan ketika Sultan Mansyur Syah berkuasa, Kerajaan
Islam Demak belum berdiri.
Sebagai
bandar dari Kerajaan Islam, ramailah orang-orang berdatangan ke kota Malaka.
Mereka bukan hanya para pedagang tetapi juga para ulama. Para pedagang datang dari berbagai penjuru dunia, antara
lain dari Hindustan, Gujarat, Arab, Parsi, China,
Bugis, Makassar, Sunda dan Jawa. Kedatangan para ulama ke Malaka menyebabkan
Malaka berkembang juga menjadi pusat studi ilmu-ilmu agama Islam. Walaupun
begitu di bidang agama, ulama-ulama Malaka
tetap menaruh hormat terhadap ulama-ulama dari Pasai. Bahkan setiap
timbul perbedaan pendapat dalam masalah-masalah agama, baik yang menyangkut
fikih, tauhid, maupun tasawuf, ulama-ulama Malaka selalu berpaling kepada ulama-ulama Pasai.
Di
Malaka Raden Paku dan Mahdum Ibrahim tinggal beberapa bulan untuk memperdalam
ilmu-ilmu agama kepada ulama-ulama yang ada di Malaka. Dari Malaka, sebelum
meneruskan perjalanannya ke Makkah, mereka berdua menyempatkan diri singgah ke Pasai untuk
menemui salah seorang ulama besar dari Pasai yang namanya telah mereka kenal,
yakni Syekh Yakub bin Maulana Ishak. Dia adalah ayah
Raden Paku.
Betapa
gembiranya Syekh Yakub bin Maulana Ishak saat bertemu dengan
Raden Paku, putranya sendiri yang saat itu sudah remaja, bahkan sudah membangun
rumat tangga. Syekh Yakub bin Maulana Ishak menyarankan kepada
mereka berdua untuk menunda niatnya naik haji. Menurut pertimbangan Syekh
Yakub bin Mulana Ishak, mereka masih terlalu muda dan kesempatan untuk
pergi haji dapat dilaksanakan di lain
kesempatan.
Syekh Yakub bin Maulana Ishak menyatakan bahwa situasi
Kerajaan Majapahit tengah kritis, kehadiran mereka di Pulau Jawa lebih mendesak
dari pada pergi haji. Disarankan agar mereka berdua lebih baik kembali dulu ke
Pulau Jawa, mendirikan pesantren, mendidik para santri, menyebarkan dakwah
Islam sambil mengamalkan dan mempraktekkan ajaran Islam di tengah-tengah
masyarakatnya. Setelah keadaan tenang, barulah dipikirkan kembali rencana untuk
naik haji. Saat itu melaksanakan perjalanan ibadah haji dari Tanah Jawa,
bukanlah pekerjaan yang mudah dan memerlukan waktu berbulan-bulan. Bahkan ada
yanng perlu waktu dua tahun, karena saat tiba di Mekkah, masa pelaksanaan ibadah haji sudah selesai,
hingga mereka harus menunggu satu tahun lagi.
Mereka
berdua ternyata menerima saran Syekh Yakub bin Mualana Ishak, sehingga mereka
segera bersiap-siap pulang kembali ke Jawa. Sebelum berpisah, mereka berdua diberi hadiah berupa
perlengkapan pakaian ulama. Menurut ceritera dalam babad, Raden Paku diberi
gelar Prabu Satmaka, sedang Makhdum Ibrahim diberinya gelar Anyakrawati. Kelak
mereka berdua memang benar mendirikan pesantren seperti yang disarankan oleh
Syekh Yakub bin Maulana Ishak. Raden Paku
mendirikan pesantren di Bukit Giri, sehingga dia dikenal sebagai Sunan Giri.
Sedang Makhdum Ibrahim, mendirikan pesantren di Karangkemuning, Tuban, hingga
dia dikenal sebagai Sunan Bonang.
Saat
tiba di Gresik, ternyata Raden Paku mendapat berita bahwa ibu
asuhnya Nyai Gede Pinatih tengah sakit keras. Tak lama kemudian dia wafat
dengan meninggalkan harta warisan yang cukup
banyak. Nyi Gede Pinatih wafat pada tahun 1477 M. Dalam hati Raden Paku
membenarkan saran ayahnya, Syekh Yakub bin Maulana Ishak. Tak terbayangkan
olehnya, andaikata ibu asuhnya itu wafat saat ia berada di Makkah.
Tentu ia tak akan dapat menunggui saat-saat terakhir hidup ibunya yang amat disegani dan
disayanginya itu.
Dan
bisa jadi pula harta warisan ibunya itu akan diperebutkan oleh banyak orang.
Bukankah ia hanyalah anak asuh dan bukan anak kandung? Tetapi memang Nyi Gede
Pinatih juga memberi pesan agar hartanya yang ada sepeningganya digunakan untuk
kepentingan dakwah Islam dengan mendirikan pesantren.
Itu sebabya dulu Nyi Gede Pinatih menyuruh anak asuhnya itu berguru kepada
Sunan Ampel.
3.
Kedaton Giri Yang Megah.
Sepeninggal
Ibu asuhnya, Raden Paku membangun sebuah pesantren yang amat megah di
ketinggian Bukit Giri. Sejak itu, Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri.
Pesantren itu dibangun dengan harta warisan ibu asuhnya dan merupakan pesantren
yang amat megah pada jamannya. Pesantren Giri selesai di bangun pada tahun 1480 M. Selain bangunan pesantren,
Sunan Giri juga membangun tempat tinggalnya yang tidak kalah megah dengan
bangunan pesantren yang mengelilinginya, hingga orang yang pada saat
itu menyaksikan sendiri bangunan itu,
akan menyebutnya sebagai kedaton. Pesantren dan Kedaton Giri yang megah itu
selesai dibangun pada tahun 1485 M. Pada tahun 1488 M, bangunan utama itu
disempurnakan lagi dengan membangun balai kambang, sebuah taman air yang indah
yang diisi ikan dan kura-kura.
Tujuan
Sunan Giri membangun pesantren dan tempat tinggalnya yang megah di ketinggian
puncak Bukit Giri itu, tidaklah dimaksudkan untuk memamerkan kekayaan dan
kemegahan Pesantren Giri. Tetapi mengandung makna simbolik agar mudah dipahami
oleh orang Jawa dalam rangka meningkatkan dakwah Islam. Sunan Giri, disamping
bakatnya yang menonjol sebagai pengusaha, ulama dan negarawan, dia juga seorang
budayawan yang sangat paham seluk beluk kebudayan Jawa. Dia mengusai beberapa
bahasa sekaligus, antara lain bahasa Kawi, Jawa Kuno, Arab dan Melayu. Dia juga
pandai menulis dalam huruf Jawa, huruf Arab dan huruf Arab Melayu atau huruf
Jawi. Sunan Giri juga menguasai pokok-pokok dalam kepercayan agama Hindu,
khususnya Syiwa-Buddha. Agama Syiwa-Buddha adalah agama yang dipeluk oleh para
penguasa Kerajaan Majapahit dan sebagaian besar rakyatnya. Karena itu Sunan
Giri dapat disebut sebagai perintis ilmu perbandingan agama pada jamannya.
Dalam babad banyak dikisahkan kegemaran Sunan Giri berdiskusi dengan para ajar
dan pemuka agama Syiwa Buddha. Tidak jarang dalam diskusi dan perdebatan itu,
Sunan Giri berhasil mengajak para ajar untuk memeluk agama Islam.
Dalam
agama Syiwa Buddha, Dewa Syiwa merupakan
dewa yang tertinggi, sehingga seluruh pemujaan, persembahan dan berbagai
jenis kultus ditujukan kepada Dewa Syiwa. Di Jawa, Dewa Syiwa disebut juga
Jagad Girinata, yang mengandung arti Sang
Pengatur Dunia yang bersemayam di puncak bukit. Dari puncak bukit itulah
Dewa Syiwa mengatur dunia. Dalam mitos Hindu, dunia terbagai menjadi tiga,
yakni dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Dunia atas adalah dunia
tempat tinggal para dewa. Dunia tengah adalah tempat tinggal
manusia. Sedang dunia bawah adalah tempat tinggal para mahluk yang bukan dewa
seperti peri, setan, hantu dan mahluk rendah lainnya. Para raja Hindu yang
dianggap keturunan Dewa Syiwa, menurut Prof. Dr. Slamet Mulyana, selalu memakai
gelar Giri yang berarti keturunan Jagad Girinata atau Raja Gunung. Pendiri
Kerajaan Singasari, Rajasa Sang Amurwabumi, dianggap sebagai putra dari Batara
Guru atau Jagad Girinata, sehingga Rajasa sering pula disebut sebagai Girinata
Putra atau Girindra Atmasunu.
Bagi
orang Hindu, bukit merupakan tempat yang suci dan sakral. Di Puncak bukit
itulah bersemayam para dewa. Manusia biasa dilarang membangun tempat tinggal di
puncak bukit. Dengan membangun pesantren dan tempat tinggal yang megah di ketinggian puncak Bukit Giri, Sunan Giri
ingin menunjukkan kepada para pemeluk agama Syiwa Buddha, bahwa dia, Raden Paku
telah mampu menundukkan kekuasaan Batara Guru atau Jagad Girinata, karena
ternyata dia mampu membangun pesantren dan tempat tinggal di puncak bukit.
Dengan demikian secara tidak langsung Sunan Giri mengajak umat Hindu pengikut
Syiwa Buddha untuk mengikuti jejaknya memeluk Islam, karena bukankah Batara
Guru atau Jagad Girinata sudah memeluk Islam? Atau paling tidak tempatnya yang
sakral dipuncak bukit, telah di Islamkan oleh Sunan Giri.
Memang
Pesantren Giri kemudian berkembang menjadi pesantren yang amat terkenal di
pulau Jawa. Para santrinya berbondong-bondong datang dari pelbagai penjuru.
Bukan hanya dari pelosok Jawa Timur. Tetapi juga dari Madura, Bali Utara,
Lombok, Sulawesi Selatan, Tidore, Ternate, Ambon dan pulau-pulau lain di
Indonesia Timur. Kemashuran Pesantren Giri kelak bahkan mampu melampaui
Pesantren Ampel Denta, pesantren almamaternya.
4. Peran Politik Sunan Giri.
Sunan Giri
memiliki peran politik yang menonjol, karena dia
adalah salah satu wali yang menggagas dan mendorong terbentuknya Kerajaan Islam Demak. Bersama para wali
mantan santri Sunan Ampel, Sunan Giri menggalang kekuatan agar umat Islam yang jumlahnya terus
meningkat di daerah pesisir dapat memiliki pemerintahan sendiri yang bercorak
Islam. Besar kemungkinan Sunan Giri dan Sunan Bonang terkesan atas perkembangan
Kerajaan Islam Malaka pada waktu mereka
berdua berkunjung ke sana. Kerajaan Islam Malaka keadaannya
relatif lebih maju dan makmur dari pada Kerajaan Hindu Buddha Majapahit yang
saat itu tengah merosot.Tentu saja mereka berdua sempat mendengar riwayat
Sultan Muhammad Syah, pendiri Kerajaan Islam Malaka.
Sebenarnya para wali di Jawa sudah mencoba untuk
berdakwah kepada para penguasa di Jawa agar mau masuk Islam, seperti halnya
yang dilakukan oleh para mubaligh lain kepada Raja Campa
dan juga Parameswara yang kemudian menjadi Sultan Malaka. Syekh Malik Ibrahim
pernah mengajak Wikramawardhana (1389-1429M), tetapi gagal. Putranya Sri Kertawijaya memang sempat
masuk Islam. Tetapi ketika diangkat menjadi penguasa Tumapel dan akhirnya juga dipilih
menjadi Raja Majapahit ( 1447-1451M), dia kembali lagi memeluk agama lamanya. Namun
demikian Raja Majapahit terakhir Dyah Suraprabhawa, sempat meresmikan Kadipaten
Demak di bawah Raden Patah atau Sunan Bintoro
menjadi Adipati Demak yang harus tunduk kepada pemerintahan Majapahit.
Karena
itu bagi Sunan Giri, Sunan Bonang , Sunan Bintoro,
dan Sunan Ampel, tak ada jalan lain kecuali mencari cara yang tepat untuk
mendirikan sebuah pemerintahan Islam. Apalagi syarat untuk itu sudah cukup. Di
pesisir pantai utara sudah banyak
penduduk Muslim yang jumlahnya terus
menerus meningkat.
Pada
tahun 1478 M, Dyah Suraprabhawa, Raja
Majapahit terakhir mangkat dan terjadilah perebutan tahta di antara para
keturunan Wikramawardhana. Ternyata Penguasa Keling Dyah Wijayakarana berhasil
keluar sebagai pemenang. Dia memindahkan
ibu kota kerajaan ke Keling, dekat kota Pare Kediri. Serat Kanda mencatat peristiwa perebutan tahta itu dengan
sebuah candra sangkala yang berbunyi,” Sirna ilang
kertaning bumi”. Hal ini mengandung arti, dengan pindahnya ibu kota kerajaan ke Keling, maka tamatlah riwayat
Kerajaan Majapahit. Dengan kata lain, bagi penggubah Babad, Kerajaan Keling,
bukanlah Kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya.
Pada
tahun 1481 M, para wali di bawah pimpinan Sunan Giri berkumpul untuk menentukan sikap
politiknya, apakah akan mengakui kedaulatan Kerajaan Keling atau membentuk
pemerintahan sendiri yang mandiri, berdaulat dan lepas dari Kerajaan Keling
yang mengaku sebagai penerus Majapahit. Akhirnya para wali sepakat untuk
mendirikian pemerintahan Islam. Sunan
Bintoro Raden Patah, Adipati
Demak yang memilki kecakapan dalam pemerintahan ditetapkan sebagai Sultan
Kerajaan Islam Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar Al Fatah. Pada saat
proklamasi dan wisuda Sultan Demak, Sunan Ampel telah wafat beberapa bulan
sebelumnya karena sakit. Maka pelantikan
Sunan Bintoro Raden Fatah menjadi Sultan Demak dilaksanakan oleh Sunan Giri.
Menurut
Babad Tanah Jawi, selama 40 hari, kekuasan
Kerajaan Islam masih dipegang oleh Sunan Giri. Baru setelah itu
diserahkan kepada Raden Fatah. Tetapi kisah Babad Tanah Jawi ini, sulit
dipercaya, karena mengambil jalan yang berliku-liku dengan alasan yang bersifat
mistik dan berdasar anggapan yang
keliru. Yaitu Raden Patah mengambil alih tahta Majapahit melalui
kekerasan. Maka untuk menghilangkan segala kesialan, untuk sementara waktu
tahta Kerajaan dipegang oleh Sunan Giri. Dengan cara demikian
diharapkan akan hilang segala akibat buruk karena Raden Patah telah
berbuat dosa kepada Raja Majapahit yang menurut Babad Tanah Jawi adalah
ayahnya.
Sudah
dijelaskan di depan bahwa versi jatuhnya Majapahit di dalam Babad Tanah Jawi keliru karena tak
berdasarkan fakta sejarah yang sebenarnya. Raden Patah bukan putra Dyah
Suraprabhawa (1466-1478M), Raja Majapahit terakhir. Tetapi putra kakak
Suraprabhawa, Sri Kertawijaya ( 1447- 1451 M).
Dengan
berdirinya Kerajaan Islam Demak pada tahun 1481 M itu, maka cita-cita Sunan
Giri dan Sunan Bonang agar umat Islam di Jawa memiliki pemerintahan Islam
sendiri seperti halnya Kerajaan Islam Malaka dapat terwujud. Dengan demikian
Kerajaan Islam Demak merupakan salah
satu proyek politik Sunan Giri beserta
para wali yang cukup berhasil.
Dengan
berdirinya Kerajaan Islam Demak, wibawa Sunan Giri bukannya merosot. Peran
Dewan Walisongo justru semakin penting. Sunan Giri adalah Ketua Dewan Walisongo
menggantikan Suna Ampel yang telah wafat
pada masa awal berdirinya Kerajaan Islam Demak. Pesantren Giri sendiri
terus berkembang. Bahkan usia Kedaton Giri melampaui Kerajaan Islam Demak yang tidak
mencapai satu abad.
Sunan
Giri sendiri wafat pada tahun 1506 M. Dan dia dikenal sebagai Sunan Giri sepuh
atau Sunan Giri I. Penerusnya berturut- turut adalah
Sunan Dalem, Sunan Giri Gajah atau Sunan Giri II (1506-1546 M), Sunan Giri III
atau Sunan Seda ing Margi (1546 -1548 M), Sunan Giri Prapen atau Sunan Giri IV
( 1548 – 1603 M). Kedaton dan Pesantren Giri justru mencapai puncaknya pada
masa Sunan Giri Prapen atau Sunan Giri IV.
Wibawa
politik dan keagamaan Sunan Giri Prapen hampir menyamai leluhurnya, Sunan Giri
Sepuh. Sunan Giri Prapen inilah yang memberi gelar sultan kepada Raja Pajang Hadiwijaya
pada tahun 1581 M, sehingga kadipaten-kadipaten di pesisir mengakui kedaulatan Kerajaan Pajang. Sunan
Giri Prapen juga berhasil mencegah perang besar antara Kadipaten Surabaya
melawan Senapati dari Mataram melalui perundingan damai. Akibatnya pertempuran
besar yang dapat membuat banjir darah antara Kadipaten Surabaya dengan Mataram dapat dicegah. Senapati dengan suka
rela bersedia kembali ke Mataram. Kadipaten Surabaya untuk sementara dapat
diselamatkan.
Sepeninggal
Sunan Giri Prapen, Pesantren Giri mulai terancam oleh Mataram. Lebih-lebih setelah Sultan Agung naik tahta (1613 M).
Setelah menggempur Surabaya pada tahun 1635 M, tiga tahun kemudian tentara
Mataran menggempur Giri (1638 M). Sunan Giri V tewas dalam usaha menahan
serangan tentara Mataram. Putranya Sunan Giri VI, naik menggantikan ayahnya.
Tetapi pada tahun 1683 M kembali Mataram di bawah Amangkurat II dan Kompeni
menghancurleburkan Pesantren Giri. Mataram menganggap Sunan Giri VI dianggap
aktif membantu pemberontakan Trunojoyo yang juga berhasil ditumpas Kompeni. Sunan Giri V juga tewas saat mempertahankan pesantren warisan
leluhurnya. Sejak itu, lenyaplah Pesantren Giri sebagai pusat pendidikan Islam yang berwibawa dan berbobot
di Jawa Timur.[ 09-06-2016]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar