Syeh Siti Jenar, Penentang Dakwah Walisongo dan Penggagas Islam Kejawen
1 Riwayat Hidup Syekh Siti Jenar.
Dalam sejarah
proses Islamisasi di Jawa, Dewan Walisongo mendapat tantangan yang berat dari
seorang cendekiawan dan intelektual Jawa
penganut Hindu Buddha Tantrayana yang amat populer di kalangan para
pengikutnya, Syekh Siti Jenar. Jejak
sejarahnya telah lenyap, karena pada tahun 1545 M, Syekh Nurullah Sunan Gunungjati
telah memerintahkan putranya Pangeran Pasarean membongkar dan memindahkan makam
Syekh Siti Jenar dari pemakakam
umum Pamlaten di pinggir Kota Cirebon,
ke tempat yang dirahasiakan. Jenazah itu terpaksa harus dipindahkan ke tempat
yang dirahasiakan agar tidak dijadikan obyek pemujaan dan penyembahan oleh
pengikut fanatiknya yang berdatangan dari berbagai penjuru. Pengikutnya
berdatangan bukan hanya dari Kediri dan Jawa Timur. Banyak juga yang
berdatangan dari Jawa Tengah, Jawa Barat bahkan Lampung.
Walalupun makamnya telah dirahasiakan, tetapi gagasannya
yang berisi ajaran Manunggaling
Kawula Gusti, terus hidup dan berkembang disebarkan oleh para cantrik pengikut
setianya. Ajaranya itu dipersepsikan menjadi semacam doktrin Islam Kejawen yang
dipeluk oleh Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram dan Empat Kerajaan pecahan
Mataram, yakni Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran, Kasultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Siapakah
Syekh Siti Jenar yang ajarannya banyak memukau para priyayi dan orang-orang Jawa, bahkan sampai
pada jaman kita sekarang ini ?.
Riwayat
hidupnya tidak mudah dilacak, tetapi
dari berbagai sumber yang tertulis dalam berbagai babad dan kronik lokal yang
berisi kisah-kisah Syekh Siti Jenar dan setelah menghilangkan berbagai unsur
mistik, mitos dan legenda yang tidak
rasional, sebenarnya riwayat hidup Syekh Siti Jenar masih dapat direkonstruksikan.
Syekh Siti
Jenar lahir dengan nama Saksar, demikian Serat Walisana menyebutkan, putra seorang
brahmana raja yang bernama Resi Bungsu. Resi Bungsu ini adalah salah seorang
pengungsi dari Majapahit yang menyelamatkan diri saat Majapahit jatuh pada tahun 1478 M,
akibat serangan Kadipaten Keling. Dia
seorang pendeta Syiwa Buddha pengikut aliran Tantrayana yang saat itu memiliki
banyak pengikut.
Resi Bungsu
sendiri berasal dari Kediri. Pada awalnya
Resi Bungsu mengabdi pada Raja Majapahit Dyah Surabrabhawa (1466- 1478
M). Dia bersahabat dengan sejumlah pendeta yang terkenal saat itu, seperti
Pendeta Syiwa Murti. Nampaknya Syiwa Murti tidak mengabdi pada Raja Majapahit,
tetapi mengabdi pada Adipati Keling Girindrawardhana Dyah Wijayakarana. Adipati
Keling ini adalah putra bungsu Sri Kertawijaya (1447-1451 M), sedang Dyah
Suraprabhawa, Raja Majapahit terakhir adalah adik Sri Kertawijaya. Dengan
demikian Raja Majapahit itu adalah paman
Adipati Keling. Karena Adipati Keling adalah putra bungsu Sri Kertawijaya,
wajar saja jika dia merasa punya hak
atas tahta Kerajaan Majapahit. Bisa jadi
Pendeta Syiwa Murti inilah yang memperkenalkan Dyah Wijayakarana dengan
Brahmana Ganggadara yang tinggal di Jinggan.
Setelah Dyah
Suraprabhawa mangkat, maka terjadilah
perebutan tahta di antara para cucu Wikramawardana(1389-1429 M). Keturunan Dyah
Surabrabhawa dan pengikutnya rupanya merupakan pihak yang dikalahkan dan
ditaklukkan oleh Adipati Keling Dyah Wijayakarana yang dibantu putranya, Wijayakusuma dan dibantu juga
oleh Brahmana Ganggadara. Nampaknya Syiwa Murti memilih berpihak kepada Adipati Keling.
Resi Bungsu yang kebetulan pendukung keturunan
Dyah Suraprabhawa, beserta sejumlah pengikutnya berhasil meloloskan diri.
Mereka menyelamatkan diri dan meninggalkan Majapahit menuju Cirebon. Kenapa ke Cirebon dan tidak
pulang saja ke Kediri? Bukankah Resi Bungsu berasal dari Kediri? Tentu saja
tidak.
Sebab
Kediri terlalu dekat dengan Keling. Lagi
pula di Kediri banyak pendukung Adipati Keling. Resi Bungsu dan pengikutnya
tidak mau dibantai di kampung halamannya sendiri. Satu-satunya jalan yang aman
adalah menuju Tuban atau Gresik dan dari sana berlayar ke arah barat meninggalkan Jawa Timur. Cirebon
menjadi pilihan, karena mereka mengira Cirebon masih di bawah Kerajaan Hindu
Pajajaran. Lagi pula Cirebon tidak terlalu jauh dari Tuban maupun Gresik.
Syekh
Siti Jenar alias Saksar tak mungkin lahir sebelum tahun 1478 M. Paling cepat
Raden Saksar baru lahir pada tahun 1485 M. Tujuh tahun setelah Resi Bungsu
tinggal di Cirebon merupakan waktu yang cukup bagi Resi Bungsu dan pengikutnya untuk
membangun rumah tangganya kembali setelah kehidupan ekonominya stabil dan
mantap di lingkungan yang sama sekali asing dan baru itu.
Tentu
di luar dugaan Resi Bungsu dan pengikutnya bahwa ternyata Cirebon saat itu bukanlah kota Hindu atau Buddha.
Tetapi sudah menjelma menjadi kota santri. Di situ sudah berdiri sebuah pesantren yang terkenal yakni
Pesantren Gunungjati. Dalam kronik lokal disebutkan bahwa pada pertengahan abad
15 M, di Cirebon sudah ada pesantren yang didirikan oleh Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama pendatang dari
Pasai. Selain itu ada lagi pesantern rintisan Syekh Nurjati, juga ulama
dari Pasai. Pesantren Syekh Datuk Kahfi(1420) lebih lama dari pada Pesantren
Syekh Nurjati(1440 M).
Santri
Syekh Nurjati, berasal dari berbagai latar belakang agama. Banyak siswanya yang
berasal dari keluarga Hindu. Walang Sungsang dan Rara Santang misalnya, adalah
santriwan dan santriwati yang berasal dari keluarga Hindu. Konon dari
Pajajaran. Tentu saja mereka menjadi muslim dan muslimah karena belajar di pesantren.Pesantren Syekh Datuk Kahfi, karena
mengajarkan tasawuf gullah, kemudian diambil alih oleh Sayyid Es dan putranya
Sayyid Zen. Sejak itu pesantren itu bernama Pesantren Gunungjati. Bagi
Resi Bungsu tak ada pilihan lain selain pesantren
untuk pendidikan putranya. Di Cirebon sudah tidak ada padepokan Agama Hindu-Buddha. Bahkan penguasa Cirebon terakhir yang
beragama Hindu, seperti Ki Gedeng Tapa dan Ki Gedeng
Alang-Alang, telah menyerahkan kekuasaannya terhadap Sayyid Es. Sayyid
Es dalam tradisi lokal tidak lain adalah Syekh Nurjati itu. Dia adalah ayah Sayyid Zen atau Syekh Abdul
Qodir.
Karena
itu Resi Bungsu terpaksa merelakan anaknya Raden Saksar berguru di Pesantren Gunungjati.
Tentu saja bukan dengan maksud agar anaknya
itu menjadi muslim. Paling banter hanya berpura-pura muslim. Tujuannya adalah agar supaya
anaknya itu kelak akan bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Lagi
pula tidak ada salahnya punya pengetahuan agama Islam, tanpa harus menjadikan
Islam sebagai keyakinan agamanya. Tambahan pula dengan belajar di pesantren
putranya itu akan memiliki ketrampilan dalam bahasa Arab, menulis huruf Arab
dan menulis serta membaca kitab-kitab berbahasa Melayu yang saat itu ditulis
dalam huruf Arab Melayu atau yang dikenal sebagai huruf Jawi atau Pegon.Pendeknya
banyak keuntungan yang akan diraih oleh putranya itu bila masuk pesantren. Soal
keyakinan, Resi Bungsu bertekad akan mendidiknya sendiri di rumah dengan keyakinan Hindu-Buddhanya.
Ternyata
Raden Saksar adalah siswa yang berbakat dan cerdas. Dia adalah seorang otodidak
yang mampu belajar mandiri. Karena itu setelah lama menimba ilmu di Pesantren Gunungjati,
kira-kira pada usia 15 tahun Saksar
sudah menguasai berbagai ilmu syariat
Islam. Di rumah, ayahnya tetap
mengajarkan agama Hindu Buddhanya dengan maksud agar Saksar tetap dalam keyakinan agama nenek moyangnya. Memang
pada mulanya Resi Bungsu memasukkan Saksar ke pesantren bukan agar supaya
Saksar menjadi santri. Tetapi ternyata Saksar benar-benar
tertarik pada agama Islam. Bahkan pada usia 16 tahun dia menambahkan nama Islam
di depan nama Hindu-Buddhanya yang merupakan
nama pemberian orang tuanya. Nama Islam yang dipilih adalah Hasan Ali.
Dengan demikian namanya menjadi Hasan Ali Saksar. Agaknya pada usia inilah dia
mulai mendalami ajaran tasawuf dari putra Syekh Datuk Kahfi maupun murid-murid
Syekh Datuk Kahfi yang lain.
Tentu
saja Resi Bungsu marah bukan main. Sebab Resi Bungsu memberi nama Saksar karena
berharap agar anaknya kelak bisa menjadi
Pendeta Hindu Buddha seperti dirinya. Barangkali Resi Bungsu berharap pula agar kelak Saksar
dapat mengabdikan diri pada Raja Kediri atau Raja Pajajaran. Ternyata Saksar
malah tertarik pada Islam. Maka
diusirlah Saksar dari rumahnya, karena
dianggap telah meninggalkan agama orang tuannya. Dalam berbagai kisah babad,
diceriterakan bahwa karena marah Resi Bungsu yang sakti itu telah mencipta
anaknya menjadi seekor cacing, membungkusnya dengan tanah liat, lalu
membuangnya ke sebuah danau. Mungkinkah manusia diciptakan menjadi cacing?
Jelas tidak mungkin. Kisah itu hanya sebuah simbol saja. Mari kita cari makna
simbolis dibalik kisah ini.
Danau
adalah sumber air. Air dalam filosofi Hindu adalah lambang ilmu. Jadi danau
bermakna sebagai sumber ilmu., tempat mencai ilmu atau padepokan. Dengan kata
lain yang dimaksud dengan danau dalam kisah ini adalah padepokan atau tempat
seorang pendeta Hindu mengajarkan ilmunya. Dibungkus dengan lumpur dan
dilemparkan ke dalam danau agar tenggelam di dasar danau. Maksudnya adalah
Saksar diusir, disuruh pergi berguru ke sebuah padepokan atau tempat pendeta
Hindu menetap, tinggal lama di sana untuk belajar dan tidak boleh pulang jika
belum menguasai betul kedalaman dari ilmu agama Hindu-Buddha. Jika dia bisa
menguasai ajaran Hindu-Buddha secara
mendalam, maka Resi Bungsu yakin
Saksar akan kuat lagi, dan layak
menjadi manusia, tidak lemah keyakinannya seperti lemahnya seekor cacing.
Kenyataan bahwa Saksar tertarik pada ajaran Islam, bagi Resi Bungsu menunjukkan
bahwa jiwa dan keyakinan Hindu Buddha Saksar masih lemah, selemah cacing.
Memang
sebenarnya Saksar akhirnya dikirim ke Kediri untuk belajar kepada
sahabatnya Pendeta Syiwa Murti. Dari
Pendeta Syiwa Murti inilah Saksar
belajar konsep Manunggaling Kawula Gusti
dalam visi agama Hindu Buddha. Syiwa Murti sendiri adalah pendeta yang cerdas
yang meneruskan pengabdiannya kepada putra Adipati Keling, Raja Ranawijaya
(1486- 1527 M) dari Kediri. Dia menulis naskah Nawa Ruci yang amat indah dilihat
dari sudut kesusastraan yang bercorak
Hindu. Nawa Ruci ini
berkisah tentang Bima dalam perjalanan mistiknya untuk menemukan air suci yang
disebut Maha Parwitra. Dalam proses pencarian itu Bima bertemu dengan Dewa Nawa
Ruci di tengah samudra. Bima kemudian
diajar Ilmu Pelepasan oleh Dewa Nawa
Ruci. Dengan ilmu itu seorang manusia akan
bisa manungal dengan Tuhannya. Kelak pada
masa kebangkitan kesusastraan Kraton Surakarta pada akhir abad 18 M, naskah Nawa Ruci itu digubah oleh Pujangga
Yasadipura I menjadi Serat Dewa
Ruci atau Bima Suci.
Dapat
dipastikan Syekh Siti Jenar telah menyalin naskah Nawa Ruci
untuk dirinya sendiri, kemudian
disalin lagi oleh murid-muridnya yang lain. Pada masa Kerajaan
Pajang, salinan naskah ini sudah masuk perpustakaan Kraton. Dari
Kraton Pajang, salinan naskah Nawa Ruci
itu tiba di Kraton Mataram dan akhirnya sampai di Perpustakan Kraton Surakarta.
Dari sinilah Yasadipura I menggubahnya menjadi Serat Dewa Ruci yang banyak dipentaskan oleh dalang dalam
pentas wayang kulit. Banyak yang menganggap
Kisah Dewa Ruci adalah ciptaan Sunan Kalijaga. Jelas anggapan ini keliru.
Ketika naskah ini disalin oleh Yasadipura I, Sunan Kalijaga sudah wafat.
Selesai
belajar dari Pendeta Syiwa Murti, Hasan Ali Saksar pergi ke Giri dan belajar
mistik Ketuhanan dalam visi ajaran
Islam. Sunan Giri dan keturunannya adalah para penulis yang hebat pada
jamannya. Perpustakaan Giri merupakan perpustakaan yang paling lengkap pada
masa itu. Hubungan yang baik antara Giri dan Pasai, menyebabkan Pesantren dan
Kedaton Giri dengan mudah mendapatkan
salinan kitab-kitab Keislaman dari Pasai, termasuk di antaranya salinan
kitab-kitab tasawuf.
Dapat dipastikan kitab tasawuf Al Ghazali Ihya Ulumudin sudah dimiliki Giri.
Dan Sunan Giri sendiri dalam pandangan
tasawufnya sepenuhnya berpegang pada ajaran Al Ghazali, sehingga selamat dari
tasawuf gullah atau tasawuf yang menyimpang. Pada masa itu, Sunan Giri dan para
wali sudah mengetahui adanya tasawuf yang menyimpang yang bersumber dari ajaran
Al Hallaj. Besar kemungkinan kitab tasawuf karangan Al Hallaj, At Thawwasin
yang berisi ajaran tentang Hulul atau Ittihad telah sampai pula di perpustakan
Giri. Rupanya pada saat tinggal di Giri
inilah Hasan Ali Saksar berhasil mempelajari dan mendalamai ajaran tasawuf Al
Hallaj secara sembunyi-sembunyi, sehingga corak mistik Ketuhanannya
bersesuaian dengan ajaran Ittihad atau Hulul dari Al Hallaj.
Akhirnya
Hasan Ali Saksar meninggalkan Giri dengan keyakinan yang lebih mantap pada
mistik Ketuhanan Al Hallaj maupun Syiwa Murti. Dia pun mulai melakukan sintesa
dan memadukan kedua ajaran tersebut dengan menggunakan idiom-idiom dalam bahasa
Arab maupun Jawa. Dia pulang ke Cirebon
setelah merantau hampir dua windu.
Pada saat itu
usianya sudah hampir empat windu, yakni
sekitar 30 tahun. Ayahnya Resi Bungsu sudah tua dan sakit-sakitan,
akhirnya meninggal. Tetapi bisa jadi Resi Bungsu bangga karena anaknya itu
sudah mengusai ilmu mistik Ketuhanan yang cukup tinggi, bahkan melampaui
dirinya yang hanya menguasai mistik Ketuhanan dalam visi agama Hindu Buddha. Tentu
Resi Bungsu amat bangga dan tidak lagi menganggap anaknya itu seperti
cacing yang lemah. Setelah
ayahnya meninggal, Hasan Ali Saksar masih tetap tinggal di Cirebon. Agaknya dia
tinggal di Cirebon antara tahun 1515- 1525 M. Pada tahun 1515 M itu juga dia
merubah namanya menjadi Abdul Jalil, sebuah nama mistik yang Islami. Abdul
berarti hamba, Jalil berarti Gusti yang berkuasa atau Tuhan. Jadi Abdul Jalil
mengandung makna Hamba Tuhan. Bila diungkapkan dalam bahasa Jawa menjadi
Kawula-Gusti.
Babad Tanah
Sunda dan Babad Cirebon maupun kronik dari tradisi lokal Cirebon mengungkapkan
bahwa pada tahun 1420 M, berdatangan ke Cirebon rombongan ulama berasal dari
Pasai pimpinan Syekh Datuk Kahfi bersama
teman-temannya antara lain Syekh Abdurachman, Syekh Abdurahim dan Syekh
Baghdad. Merekan semua adalah ulama-ulama pengikut tasawuf gullah yang mengajarkan
Ilmu Al Haq, yakni Persatuan Hamba dan Tuhan. Di Cirebon mereka berhasil
mendirikan Pesantren Syekh Datuk Kahfi. Tetapi karena mengajarkan tasawuf
gullah, pada paruh ke dua abad ke -15 M, Sayyid Es beserta putranya Sayyid Zen
berhasil menutupnya dan mengubahnya menjadi Pesantren Gunungjati. Sayyid Zen
Raden Abdul Qodir memegang kendali Pesantren Gunungjati, hingga dia dikenal
sebagai Sunan Gunungjati . Kita akan mnyebutnya dia sebagai Sunan Gunungjati
Senior atau Sunan Gunungjati Sepuh. Sunan Gunungjati Senior ini yang dalam
Serat Walisongo identik dengan Sayyid Zen Raden Abdul Qodir atu Syekh Abdul
Qodir.. Sedang dalam tradisi Jawa Barat dan Cirebon, agaknya Sunan Gunungjati Senior ini identik dengan
Syarif Hidayatullah. Walapun para
mantan santri Syekh Datuk Kahfi sudah tidak memegang pucuk pimpinan Pesantren Gunungjati,
tetapi mereka tetap aktif menggelar sarasehan-sarasehan dan pengajian di
tengah-tegah masyarakatnya. Ke dalam komunitas inilah Abdul Jalil nampaknya
bergabung saat dia kembali ke Cirebon setelah selesai berguru di Jawa Timur.
Dengan demikian pandangan-pandangan taswuf Abdul Jalil semakin mendalam.
Pada tahun
1521 M, Portugal dari Malaka menyerbu Pasai. Akibatnya banyak ulama-ulama Pasai
yang pergi mengungsi ke daerah lain yang lebih aman, antara lain ke Aceh.
Tetapi ada pula di antara mereka yang hijrah ke Jawa, antara lain ke Cirebon.
Tahun 1522 M, merupakan tahun yang penting bagi aktivitas kegamaan di Cirebon.
Pada tahun itu Syekh Nurullah, ulama Pasai yang meninggalkan Pasai tahun 1521
M, sepulang dari menunaikan ibadah haji ke Makkah, hijrah pula ke Cirebon. Dia tinggal di Cirebon bersama
adik perempuannya Retno Siti Jenab. Pada tahun itu pula Sunan Kalijaga yang
baru pulang dari Kampung Upih, Malaka dan
bergelar Syekh Malaya, menuju Cirebon dan
tinggal di sana. Karena banyaknya pendatang baru dari Pasai ke Cirebon
yang rata-rata memiliki Ilmu Keislaman yang cukup maju, kehidupan keagamaan
Islam di situ pun meningkat dan semakin
semarak.
Pusat aktivitas
Keislaman di Cirebon pada saat itu ada di Pesantren Gunungjati, yang dipimpin
Syekh Abdul Qodir. Tapi nampaknya tidak berapa lama setelah Syekh Nurullah tiba di Cirebon, dia segera mengambil
alih kepemimpinan pesantren Gunungjati itu ke bawah kendalinya. Kemungkinan
besar Syekh Abdul Qodir Sunan Gunungjati
Senior ini, sudah tua. Kemungkinan lain,
Syekh Nurullah menikahi putri bungsunya, sehingga dia tidak ragu-ragu
menyerahkan pimpinan Pesantren Gunungjati di bawah kendali Syekh Nurullah.
Hubungan Syekh
Nurullah dengan Sunan Kalijaga juga menjadi semakin erat,
karena Sunan Kalijaga menikahi adik
perempunan Syekh Nurullah yang bernama Retna Siti Jenab. Pada tahun 1524 M,
Syekh Nurullah lebih sering tinggal di Demak untuk membantu Raja Demak
Trenggono. Dalam waktu singkat kepribadian, keulamaan dan keilmuan Syekh
Nurullah menarik hati Trenggono. Karena itu Syekh Nurullah diangkat menjadi
penasihat Raja dalam urusan keagamaan.
Bahkan Syekh Nurullah akhirnya dinikahkan dengan adik perempuan Trenggono, dan
diangkat menjadi anggota Dewan Walisongo. Konon yang memberi gelar Sultan
kepada Trenggono adalah Syekh Nurullah. Satu tahun setelah Syekh Nurullah
menikahi adik Sultan Trenggono, lahirlah putranya yang pertama, Hassanudin(1525
M). Kelak dia mejadi penguasa Banten. Putranya yang kedua Pangeran Pasarean,
kelak menjadi Penguasa Cirebon mewakili Syekh Nurullah.
Pada awal
dasa warsa ke tiga abad ke 16 M itu, karena Sunan Kalijaga, Abdul Jalil dan Syekh
Nurullan tinggal di Cirebon, dapat dipastikan mereka bertiga saling mengenal.
Dan mereka pun sering bertemu untuk mendiskusikan masalah-masalah agama. Tentu
saja yang paling menarik minat mereka sebagai cendekiawan dan intelektual pada
jaman itu adalah soal-soal mistik Ketuhanan. Hanya saja setelah Syekh Nurullah
lebih banyak tinggal di Demak karena kesibukannya, maka dua cendekiawan yang masih
menetap di Cirebon hanyalah Abdul Jalil dan Sunan Kalijaga saja. Dengan
seringnya Syekh Nurullah tinggal di Demak, teman diskusi Abdul Jalil di Cirebon
hanyalah Sunan Kalijaga. Karena Syekh
Nurullah, Sunan Kalijaga dan Abdul Jalil karena pernah sama-sama tinggal di Cirebon, maka
mereka sebenarnya bersahabat akrab. Usia
Abdul Jalil delapan tahun lebih tua
dari Sunan Kalijaga dan lima tahun lebih
tua dari Syekh Nurullah.
Antara Sunan
Kalijaga dan Abdul Jalil juga memiliki
banyak persamaan. Mereka berdua sama-sama cerdas, sama-sama memiliki
bakat dalam mistik, ilmu makrifat dan tasawuf. Dan juga sama-sama punya minat
yang mendalam terhadap kebudayaan Jawa. Karena itu mereka berdua sama-sama
penggemar pentas wayang kulit yang bersumber dari kisah-kisah Mahabharata maupun Ramayana.
Sunan Kalijaga adalah keturunan Bupati
Tuban, yang berarti berasal dari golongan
priyayi atau ksatria, sedang Abdul Jalil berasal dari keturunan Pendeta
Raja Kerajaan Majapahit. Jadi berasal dari golongan brahmana. Dengan demikian kedua-duanya
berasal dari lapisan atas masyarakatnya. Dan yang
lebih penting lagi ke dua-duanya sama-sama memiliki ketertarikan pada paham Persatuan Hamba-Tuhan yang
diajarkan para mistikus Islam. Bedanya adalah Abdul Jalil menimbanya dari
karya Hassan Mansur Al Hallaj, melaui
salinan kitab At Thawwasin yang dipelajarinya di Pesantren Giri. Sedangkan
Sunan Kalijaga menimbanya dari karya Jalaluddin Rumi, mungkin lewat salinan
kitab Mastnawi saat beliau berguru di Kampung Upih.
Karena itu
corak pandangan mistik Abdul Jalil cenderung kepada paham hulul, ittihad atau
reinkarnasi. Sedangkan corak mistik Ketuhanan Sunan Kalijaga cenderung kepada
ajaran Wahdat al Wujud. Perbedan lain barangkali adalah Sunan Kalijaga tidak
menolak syariat Islam sedangkan Abdul Jalil karena pengaruh Syiwa Murti dan
latar belakang keluarganya, cenderung menolak syariat Islam. Hanya saja saat
itu, Abdul Jalil masih menyembunyikan kecenderungannya itu. Secara lahiriah
Abdul Jalil masih tekun menjalankan syariat Islam seperti salat, puasa dan
lainnya lagi, dengan maksud agar dapat diterima oleh komunitas santri yang ada
di sekelilingnya.
Suatu saat
Sunan Kalijaga, mengajak Abdul Jalil, sahabatnya itu pergi ke Tuban.
Rupanya Sunan Kalijaga rindu kampung
halaman setelah lama merantau. Ayahnya Adipati Wila Tikta sudah meninggal. Ipar
dan saudara sepupunya Raden Pamalad
sudah menjadi Adipati Tuban, menggantikan mertuanya. Kesempatan ke Tuban itu,
digunakan oleh mereka berdua mengunjungi Sunan Bonang di Pesantren yang didirikannya.
Dalam pertemuan itu terjadi diskusi antara mereka bertiga. Topik diskusi adalah
ilmu makrifat dengan topik ajaran Persatuan Hamba Tuhan yang saat itu tengah
populer menjadi bahan kajian para wali sebagai paham yang harus ditangkal karena
diaggap sesat. Dalam diskusi itu, baik Abdul Jalil maupun Sunan Kalijaga banyak
mengajukan pertanyaan bagaimana pandangan dan sikap Sunan Bonang terhadap
konsep ajaran Persatuan Hamba Tuhan.
Paham
makrifat Sunan Bonang sama dengan paham makrifat para wali lainnya, yakni
berpegang pada ajaran Al Ghazali yang taat
syariat. Sunan Bonang dengan tegas menjelaskan bahwa paham Hulul, Ittihad, Wahdat al Wujud, dan
Manunggaling Kawula-Gusti adalah paham makrifat atau tasawuf yang sesat,
menyimpang dari ajaran Rasululllah saw. Sunan Bonang mengingatkan kepada ke dua
cendekiawan muda itu agar berhati-hati pada ajaran tasawuf yang bersifat gullah
atau menyimpang itu.
“Hamba dan
Tuhan, memang akan bertemu kelak di akhirat. Melalui dzikir dan doa yang tekun,
seorang hamba juga bisa mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Tetapi di puncak
maqom dalam perjalanan makrifat seorang hamba, sedekat apapun seorang hamba
dengan Tuhannya, keduanya tak mungkin bersatu. Tetap ada batas antara keduanya,”
ujar Sunan Bonang memberikan penjelasan pandangan tasawufnya. Sunan Bonang
tahu bahwa mantan santrinya yang telah menjadi
ulama dan cendekiawan muda itu, serta temannya tertarik pada ajaran Persatuan Hamba Tuhan.
Maka Sunan Bonang mengingatkan keduanya agar tetap berpegang teguh pada ajaran
tauhid sebagaiman diajarkan oleh Nabi saw. Sebagai antitese dan penangkal terhadap konsep Manunggaling Kawula Gusti,
Sunan Bonang menyampaikan konsep Padudoning Kawula Gusti, yakni
Ketidakmungkinan Persatuan Hamba Tuhan. Menurut Sunan Bonang, bersatunya hamba
dan Tuhan, sehingga kedua kenyataan atau realitas itu lebur menjadi satu,
saling tenggelam dan rasuk marasuki satu sama lain, tidak mungkin terjadi.
Senantiasa akan ada batas di antara
keduanya. Tuhan tetap bukan maklhuk dan makhluk tetaplah bukan Tuhan.
”Baina humaa
barzakkun laa yabgiyaan. Di antara keduanya ada batas yang tak dapat dilampaui
. Maha Suci Allah dari persatuan dengan hambanya”, jelas Sunan Bonang seraya
mengutip Al Qur’an Surat Ar Rahman Ayat
20. Dalam
literatur filsafat tauhid ubudiyah
sejalan dengan ungkapan ,”Creatio ex Nihillo”, yang artinya Tuhan menciptakan
mahluknya dari tidak ada menjadi ada. Dalam Ilmu Kalam disebut,” Al Ijad min Al Adam “, demikian penjelasan Dr.
Simuh. Menurutnya inilah ajaran makrifat
yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist, serta dipegang teguh oleh para
pengikut Ahli Sunnah wal Jama’ah atau
Islam aliran Suni. Sedangkan
ajaran tasawuf Wujudiyah dan Manunggaling Kawula Gusti, tidak bersumber
dari ajaran Islam, sekalipun
kadang-kadang disebut-sebut berasal dari Hadist Nabi saw dan dibungkus dengan cara mengutip ayat-ayat Al
Qur’an. Tetapi dengan cara menta’wilkan ayat-ayat Al Qur’an tersebut.
Kisah
pertemuan Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar itu, sering di dramatisir menjadi
mitos dan legenda di dalam sejumlah buku-buku babad. Di bawah ini salah satu
kisah legenda tersebut, “Pada suatu
waktu Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad atau tarekat kepada Sunan Kalijaga
di tengah perahu. Ternyata perahu itu bocor. Kebocoran itu lantas ditambalnya
dengan lumpur. Kebetulan di dalam lumpur ada seekor cacing lembut. Mendengar
wejangan atas pelajaran itu si cacing lantas mampu berbicara seperti manusia.
Maka cacing itu kemudian disabda oleh Sunan Bonang menjadi manusia dan diberi nama
Syekh Siti Jenar. Dia kemudian diangkat derajatnya menjadi wali.“( Sudirman
Tebba; 203:26).
Dari kisah di
dalam alinea yang amat singkat ini, tidak mungkin orang yang membacanya akan
mengerti maknanya bila alinea itu hanya dibaca secara harfiah. Di dalamnya
terkandung makna simbolik yang berisi fakta sejarah penting . Kita harus
menafsirkannya dengan berpegang pada doktrin dalam kepercayaan Jawa kuno yang
bersumber dari ajaran Hindu-Buddha.
Tafsir atas alinea tersebut kurang lebih sbb :
Pertama,
kisah tersebut mengungkapkan sebuah fakta sejarah, bahwa memang telah terjadi
pertemuan sarasehan atau diskusi segitiga antara tiga tokoh yakni Sunan Bonang,
Sunan Kalijaga dan Abdul Jalil. Sunan
Bonang bertindak sebagai narasumber yang berpegang pada ajaran Syariat Islam.
Kedua,
perjalanan mistik seseorang untuk mendekatkan diri pada Tuhan, menurut ajaran
Islam, harus ditempuh dengan melewati tiga tahap, yakni tahap mendalami
syariat, hakekat dan makrifat. Syariat sering dilambangkan dengan perahu, karena perahu adalah alat yang
bisa membawa orang ke tengah danau atau samudra. Danau dan samudra adalah lambang sumber air
atau tempat air. Danau dan samudra sering digunakan untuk melambangkan tempat
sumber ilmu pengetahuan atau sumber ilmu, khususnya Ilmu-ilmu Ketuhanan,
mistik, makrifat, tasawuf, ilmu kalam atau teologia. Adapun tengah-tengah danau
atau samudra juga bisa menggambarkan tingkat penguasaan ilmu makrifat, ilmu
Ketuhanan atau tasawuf yang sudah berada
pada tahap tinggi. Orang yang telah berada di tengah samudra atau danau,
berarti adalah orang yang telah sempurna pengetahuan ilmu Ketuhanannya. Dia
disebut Insan Kamil, Manusia Sempurna
atau Siddha Purusa. Siddha, artinya sempurna. Purusa artinya manusia.
Ketiga,
perahu bocor. Kalimat ini mengandung
sindiran kepada ajaran Syariat Islam. Yakni bahwa Syariat Islam itu kurang sempurna. Karena itu
bisa bocor, bisa tenggelam dan gagal mencapai puncak makrifat yang digambarkan
secara simbolik sebagai sampai ke tengah samudra atau tengah danau. Perahu yang
bocor ditambal dengan lumpur. Lumpur sama dengan air sama dengan ilmu. Jadi
perahu ditambal dengan lumpur mengandung makna
Syariat Islam yang kurang sempurna itu masih perlu disempurnakan yakni
ditambal atau dipadukan dengan ajaran Hindu Buddha.
Keempat,
Abdul Jalil digambarkan sebagai cacing dalam lumpur. Cacing dalam lumpur dapat
dibaca cacing dengan lumpur atau cacing dengan lempung atau tanah liat atau
tanah kuat. Ungkapan ini mengandung makna mistik dan identik dengan ungkapan
keong dengan rumahnya, cacing dengan lumpurnya atau cacing dengan tanah
liatnya, laut dengan asinnya, manis dengan madunya dan ungkapan senada lainnya
yang mengandung arti Manunggaling Kawula Gusti. Abdul Jalil digambarkan sebagai
cacing dalam lumpur, mengandung arti bahwa Abdul Jalil sebenarnya dalam diskusi
itu sudah memiliki ilmu makrifat, ilmu kebenaran sejati atau ilmu Al Haq.
Kelima, setelah mendengar wejangan Sunan Bonang
cacing menjelma menjadi manusia. Artinya dalam sarasehan itu, setelah Sunan
Bonang menjelaskan kaidah-kaidah syariat, hakekat, makrifat dalam visi mistik Islam. Tetapi Abdul Jalil mencoba berdebat dengan
mistik Ketuhanan dalam visi Hindu-Buddhanya yang dikatakan
lebih sempurna dari pada visi mistik Ketuhanan menurut ajaran Islam. Alasan
Abdul Jalil, dalam ajaran Hindu-Buddha,
manusia bisa mencapai puncak makrifat tanpa harus melalui syariat. Dia memberi
contoh kisah Bima, bahwa Bima bisa berjalan ke tengah samudra Lawana-Udadhi
tanpa menggunakan perahu, karena memiliki
Ilmu Jala Sangara. Untuk bertemu dengan Tuhan, bagi orang yang pandai
tak diperlukan syariat. Syariat hanya diperlukan oleh orang yang tak pandai
seperti halnya perahu diperlukan oleh orang yang kurang pandai berenang agar
bisa menuju tengah samudra. Bagi orang
yang bisa berenang karena memiliki Ilmu Jala Sangara, tidak perlu perahu atau
syariat. Jala Sangara artinya adalah alat untuk menghilangkan rintangan, yaitu
segala rintangan yang dapat menghalangi manusia bisa menyatu dengan Tuhannya.
Rintangan itu adalah cinta kepada kehidupan duniawi. Jika orang sudah dapat
melepaskan diri dari cinta kepada kehidupan duniawi yang berupa harta benda,
kedudukan, anak anak dan wanita, tanpa harus menjalankan ajaran syariat orang akan bisa bersatu atau manunggal
dengan Tuhannya. Inilah
doktrin pokok ajaran Manungaling Kawula Gusti, yang intinya adalah menghindari
kehidupan dunia dan menemukan cara mati yang sempurna dengan menggunakan ilmu
yang disebut ilmu Pelepasan. Dengan ilmu Pelepasan maka manusia dapat bersatu dengan tuhannya dan selamat mencapai
puncak kebahagian sejati atau nirwana.
Keenam, Sunan
Bonang mengakui kebenaran pandangan Abdul Jalil, karena itu mengangkatnya
menjadi seorang wali dan konon memberinya
nama Syekh Siti Jenar. Siti berarti Tanah, Uma atau Pertiwi. Jenar melambangkan warna Langit Senjakala, Batara
Guru, atau Wisnu. Maka Siti dan Jenar, Bumi dan Langit, Uma dan Guru, Pertiwi
dan Wisnu, identik dengan pengertian misttik Abdul dan Jalil, Kawula dan Gusti,
Hamba dan Tuhan. Sunan Bonang dikisahkan sebagai Wali yang memberikan nama Siti Jenar dan
mewisudanya menjadi Wali. Maknanya Sunan Bonang sebenarnya dianggap telah
menyetujui pandangan Abdul Jalil.
Demikianlah
makna yang terkandung dalam kisah yang sering disebut sebagai asal usul nama
Syekh Siti Jenar itu. Dari kisah itu
kita dapat menyimpulkan bahwa memang
benar telah terjadi pertemuan dan diskusi di antara mereka bertiga.
Adapun hasil diskusi sebenarnya Abdul Jalil tetap pada pendiriannnya, demikian
pula Sunan Bonang. Dan Abdul Jalil dalam
pertemuan itu sengaja menyembunyikan apa yang menjadi keyakinannya. Bahkan
pura-pura memahami dan mengerti apa yang
yang menjadi pandangan Sunan Bonang. Rupanya
pertemuan mereka bertiga adalah pertemuan terakhir, karena pada tahun 1525 M,
tak lama setelah pertemuan itu, Sunan Bonang wafat. Dengan demikian ada
kekosongan anggota Dewan Walisongo. Atas usul Syek Nurullah, maka Sunan Kalijaga dan Abdul Jalil diangkat oleh
Sultan Trenggono menjadi anggata Dewan Walisongo Kerajaan Islam Demak. Usul itu
terjadi pada saat yang tepat. Sunan Bonang baru saja wafat dan Raden Patah yang
sudah wafat sejak tahun 1518 M, belum ada gantinya. Raden Patah pada saat masih
bertahta, masih merangkap sebagai anggota Dewan Walisongo. Jadi ketika Sunan Bonang wafat, Dewan
Walisongo, yang tadinya kekurangan satu anggota, menjadi kekurangan dua
anggota. Dengan diangkatnya Sunan Kalijaga dan Abdul Jalil, maka menjadi
lengkaplah anggota Dewan Walisongo itu. Sayang memang komposisi yang tepat
siapa-siapa saja yang menjadi anggota Dewan Walisongo pada saat itu, merupakan
masalah yang sangat sukar untuk ditetapkan secara akurat.
Saat itu
Dewan Walisongo dipimpin oleh Sunan Ngudung Rahmatullah yang terkenal amat taat
pada Syariah. Dia adalah ayah Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Maka konflik dengan
Abdul Jalil pun tak terhindarkan lagi. Lebih-lebih setelah Abdul Jalil menginjak usia 5 windu atau 40
tahun. Dan dia mengganti namnya
menjadi Syekh Siti Jenar (1525 M).
Sebuah nama nonArab yang lebih kental
warna Jawanya dari pada warna Arabnya. Hanya kata Syekh saja yang bernuasa Arab yang sengaja
dipakai di depan namamnya.
Di atas
disebutkan dalam legenda bahwa nama Syekh Siti Jenar, adalah nama pemberian
Sunan Bonang. Tetapi pendapat lain menyebutkan nama Syekh Siti Jenar adalah
nama ciptaan Abdul Jalil sendiri, ketika dia berusia lima windu atau 40 tahun
Jawa. Pada saat itulah sebenarnya Syekh Siti Jenar mulai membuka kedoknya. Ia
mulai menyebarkan ajaran-ajaran mistik Ketuhanannnya. Dia dengan tegas menolak
ajaran Syariat Islam, baik pada tingkat individu maupun negara. Dalam
menyampaikan ajarannnya, Dia banyak
menggunakan idiom-idiom Arab dan Jawa, hingga melahirkan suatu varian Islam
yang dikenal dengan Islam Kejawen atau Islam Manunggalig Kawula Gusti. Disebut
Islam Kejawen karena ajarannya banyak disesuaikan dengan nilai-nilai Hindu Buddha
yang memang sudah lebih dulu dimiliki orang Jawa hampir selama seribu tahun.
Karena Syekh
Siti Jenar sudah tidak mungkin lagi diajak kembali ke jalan Islam syariat, maka
Dewan Walisongo segera bertindak. Syek Siti Jenar dipecat dari anggota Dewan Walisongo. Tetapi rupanya
dia sendiri sudah siap, karena dia sudah punya ladang baru tempat menyebarkan
ajaranya dan ternyata memperoleh banyak pengikut yakni di daerah Pengging,
kurang lebih 80 km arah selatan dari
Demak. Ke sanalah
Syekh Siti Jenar mencoba keberuntungannya. Karena Pengging belum masuk wilayah
Demak, tetapi masuk wilayah Kerajaan Hindu Buddha Kediri, maka Dewan Walisongo
dan Sultan Trenggono tak dapat melarangnya, apalagi menjatuhkan hukuman mati.
Lagi pula hukum Islam yang dipraktekkan di Kerajaan Islam
Demak saat itu, masih terbatas pada masalah-masalah ibadah saja, seperti salat,
zakat, puasa, perkawinan dan penguburan. Bahkan untuk hukum waris pun
kelihatnnya belum diterapkan.
Demikan pula
dalam perkara-perkara perdata dan perkara pidana yang berkaitan dengan penodaan
agama atau aliran sesat. Hukum pidana yang dipergunakan oleh Kerajaan Islam
Demak, pada saat itu masih
menggunakan hukum yang berasal dari
Kerajaan Majapahit. Hukum pidana dan perdata yang dipakai bersumber dari kitab Salokantara yang
disusun oleh Raden Patah. Raden Patah mengambilnya dari kitab
hukum Majapahit Kutaramanawa. Dengan demikian kisah yang
menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging dihukum mati
karena menyebarkan aliran sesat adalah fantasi belaka, bertentangan dengan
fakta yang sebenarnya. Baik Ki Ageng Pengging maupun Syekh Siti Jenar dihukum
mati, karena masalah politik. Bukan masalah agama atau perbedaan keyakinan. Masalah
agama hanyalah masalah sekunder. Bukan masalah primer. Masalah primernya adalah
masalah politik.[bersambung]
Catatan : Baca Artikel Lanjutannya Bagian-2:
https://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-walisongo-10-syekh-siti-jenar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar