1 Sunan Ngudung .
Mendengar
nama Sunan Ngudung, tentulah muncul dalam benak kita suatu pertanyaan, dimana
sih letaknya kota Ngudung? Agaknya kata Ngudung berasal dari kata Tedunan,
sebuah desa di sebelah utara Kota Kudus sekarang ini, berada di tepi
Sungai Tanggulangin yang mengalir ke Kota Kudus.
Ada juga yang
mengatakan letak Ngudung tidak jauh dari Jipang Panolan, sebuah Kadipaten yang
pernah dipimpin oleh Arya Penangsang. Dia adalah tokoh yang legendaris,
kontroversial dan antagonis dalam kisah-kisah babad dan pementasan ketoprak atau drama Jawa yang populer seperti Ketoprak Mataram. Kalau
begitu, siapakah sebenarnya Sunan Ngudung itu?
Menurut
sebuah sumber Portugal yang dijadikan bahan rujukan oleh Slamet Mulyana dan De Graaf, Sunan Ngudung
yang disebut-sebut dalam Babad Tanah Jawi sebagai Panglima Perang Pertama Kerajaan Islam Demak dalam penaklukan Kerajaan Hindu-Buddha Kediri Majapahit (1527
M), identik atau sama dengan Pate Orob. Orob, mungkin berasal dari salah
ucap orang Portugal dari kata Arab.
Dengan demikian yang dimaksud dengan Pate Orob sebenarnya adalah Adipati yang
berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian menurut sumber Portugal itu, Sunan
Ngudung adalah seorang Adipati yang berasal dari keturunan Arab. Pada masa itu, memang sudah banyak keturunan
Arab yang berhasil menjadi penguasa daerah. Bisa jadi
sumber Portugal itu ada benarnya. Sebab Arya Teja I, mertua Sunan Ampel,
juga keturunan Arab yang nama aslinya Abdurachman. Dia mengganti nama Arabnya dengan Arya Teja, suatu nama
yang lebih bercorak Jawa.
Tetapi dari hasil penelusuran Drs.Widji Saksono, Sunan Ngudung bukan
keturunan Arab. Dia adalah keturuan Pasai juga, seperti halnya Sunan Giri dan
Syarif Hidayatullah dalam versi Serat Walisana. Ayah Sunan Ngudung adalah
Khalif Husein atau Khalif Kusen, putra ke empat Syekh Mulana Ishak.
Sunan Ngudung ikut bertempur melawan
Portugal dalam perang laut Demak–Portugal tahun 1513 M di bawah Panglima Perang
Pati Unus. Sunan Ngudung lama merantau ke Malaka. Wajar jika Tome Pires
menganggap Sunan Ngudung pendatang baru di Jepara dan menduganya sebagai orang
Arab. Sekembali dari Malaka Sunan Ngudung menggantikan kedudukan ayahnya
menjadi penguasa Tedunan.
Nama Arab
Pate Orob adalah Rahmatullah, karena itu dia terkenal sebagai Penghulu
Rahmatullah saat menjabat sebagai Imam Besar Masjid Demak. Orang-orang Portugal
sering menyebut Sunan Ngudung sebagai Sunan Kudus Senior untuk membedakannya
dengan putranya Sunan Kudus Yunior yang
juga terkenal sebagai Panglima Perang Kerajaan Islam Demak. Sunan Kudus Yunior,
putra Sunan Kudus Ngudung, nama sebenarnya adalah Ja’far
Shodiq.
Di
lingkungannnya, Sunan Ngudung dipandang sebagai tokoh yang disegani dan
dihormati. Raden Patah, Patih Unus dan Sultan Trenggono, semua penguasa Demak
itu menaruh rasa hormat pada Sunan
Ngudung. Konon dengan Adipati Unus, menantu Raden Patah dan Raja Demak II (1518-1521 M), masih ada
hubungan keluarga dekat. Sunan Ngudung adalah paman dari Adipati Unus. Di samping
seorang pemeluk Islam yang taat dan menguasai dengan baik Ilmu-ilmu Keislaman, dia juga
adalah panglima perang yang gagah berani.
Beberapa kali
Sunan Ngudung berhasil mempertahankan wilayah Jepara, Jipang,
Tedunan, Rembang dan Juwana dari gangguan Kerajaan Hindu Kediri. Kerajaan di pedalaman Jawa Timur ini sering mencoba melakukan ekspansi
wilayah ke arah barat untuk mendesak Kerajaan Islam Demak. Suatu saat pasukan
Kediri di bawah perintahPatih Umdara,
Patih Kerajaan Kediri, melakukan ofensif besar-besaran menyerang Juwana
dan Rembang yang berada di Timur Laut Demak. Sunan Ngudung beserta anak buahnya
berjuang habis-habisan untuk mengusir pasukan Kediri. Akhirnya Rembang berhasil
direbut kembali. Tetapi Juwana gagal
diselamatkan.
Sultan Trenggono
yang naik tahta pada tahun 1521 M, berkenalan dengan seorang ulama
dari Pasai yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji,
bernama Syekh Nurullah. Syekh Nurullah segera saja mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap Trenggono. Dialah yang mendorong agar Kerajaan Islam Demak secara
bertahap menerapkan hukum syariat Islam. Istilah penghulu mulai
diperkenalkan dalam sistem pemerintahan Demak. Sunan Ngudung yang semula
menjabat sebagai Imam Besar Masjid Demak, ditetapkan sebagai penghulu pertama Kerajaan Islam Demak. Tugasnya memang melaksanakan Hukum Syariat
Islam, tetapi masih terbatas pada
soal-soal peribadatan seperti urusan Pernikahan, pemakaman, warisan dan soal-soal
ritual peribadatan seperti Salat, Puasa dan Zakat.
Syekh
Nurullah kemudian mengangkat dan menobatkan Trenggono sebagai Raja Demak yang bergelar Sultan, hingga sejak
itu dia terkenal sebagai Sultan Trenggono. Hubungan Syekh Nurullah menjadi
semakin dekat, saat Syekh Nurullah menikah dengan adik perempuan Sultan
Trenggono. Ternyata Syekh Nurullah adalah seorang negarawan
yang cakap dan panglima perang yang
gagah berani juga. Maka Sultan Trenggono mengangkat Syekh Nurullah menjadi penasihatnya.
Sunan Ngudung dan Syekh Nurullah, berbagi tugas. Syekh Nurullah bertugas
sebagai penasihat Sultan di bidang politik, sedang Sunan Ngudung ditetapkan sebagai Hakim
syariat, Ketua Dewan Walisongo dan Imam Besar Masjid Demak.
Karena
sama-sama memiliki bakat militer, Syekh
Nurullah diangkat sebagai panglima perang untuk melakukan ekspansi
ke wilayah Jawa Barat yang
sebagian besar masih berada di bawah kekuasaan Pajajaran. Sedangkan Sunan Ngudung ditetapkan sebagai panglima perang untuk melakukan ekspansi ke wilayah Jawa Timur dan pedalaman
Jawa Tengah yang masih berada di bawah kekuasan Kediri.
Sejak
runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 M, peta kekuatan politik di Pulau Jawa
terbagi menjadi tiga kekuatan yakni :
a.Kerajaan Kediri Baru (1486
-1527 M).
Kerajaan ini
merupakan kelanjutan Kerajaan Keling yang menyerang
Majapahit pada tahun 1478 M. Raja Kediri Ranawijaya adalah cucu Sri
Kertawijaya (1447-1451M), karena itu ia mengklaim bahwa Kerajaan Kediri adalah penerus dan pewaris
Kerajaan Majapahit yang telah runtuh pada tahun 1478 M, yang sering diabadikan dengan
ungkapan dalam Candra Sangkala, ”Sirna
ilang kertaning bumi”.
Kitab
Pararaton, yang berarti kitab berisi kisah raja-raja Majapahit
memang tidak menyebutkan kerajaan manakah yang menyerang Majapahit
pada tahun 1478 M yang telah menyebabkan keruntuhannya itu. Akibatnya penggubah
Babad Tanah Jawi dan Babad Kediri, membuat fantasi yang keliru, bahwa yang
menyerang Majapahit pada tahun 1478 M adalah Kerajaan Islam Demak pimpinan
Raden Patah, sebab Raden Patah mendapat gelar Senapati Jimbun.
Padahal
gelar Senapati Jimbun diperoleh Raden
Patah, karena dia sukses melakukan ekspansi ke wilayah barat dan luar Jawa.
Pekalongan, Tegal, Pemalang, Brebes, Cirebon dan Indramayu, berhasil ditaklukkan,
hingga wilayah Pantai Utara Pulau Jawa yang strategis, subur dan kaya dengan produksi
beras itu, jatuh ke tangan Kerajaan Islam Demak. Raden Patah juga berhasil
menaklukkan Palembang di Sumatra Selatan dan Sukadana di Kalimantan Barat.
Tidak ada fakta sejarah yang berhasil membuktikan bahwa Raden Patah pernah menyerang Majapahit.
Hampir dapat dipastikan mustahil Raden Patah akan
menyerang Majapahit, karena sebelum Majapahit jatuh, Kadipaten Demak merupakan
wilayah yang tunduk pada Raja Majapahit. Lagi pula Kadipaten
Demak diresmikan oleh Raja Majapahit terakhir Dyah Suraprabhawa (1466-1478
M) dan Raden Patah diangkatnya sebagai
Adipati Demak.
Berdasarkan
penelusuran sejarah oleh Slamet Mulyana, ternyata yang menyerang Kerajaan
Majapahit sehingga menyebabkan keruntuhannya adalah Adipati Keling Girindrawardhana
Dyah Wijayakarana. Dia adalah putra
bungsu Sri Kertawijaya. Karena
Dyah Suraprabhawa adalah adik Sri Kertawijaya, dengan sendirinya Raja
Majapahit terakhir itu adalah paman dari Adipati Keling. Sedangkan Ranawijaya
yang kelak menjadi Raja Kediri adalah putra
Girindrawardhana Dyah Wijayakarana yang berarti cucu Sri
Kertawijaya.
Dari alur
kekerabatan penguasa Keling dan Kediri
yang berhasil diungkap ahli sejarah dari Universitas Indonesia itu, dapat kita
simpulkan bahwa sebab-sebab dari runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1478 M, adalah akibat
perang saudara perebutan tahta di antara para
keturunan Raja Wikramawardhana (1389- 1429M). Keturunan Dyah
Suraprabhawa dan Keturunan Sri Kertawijaya masing-masing merasa sebagai ahlis waris yang sah atas
tahta Majapahit.
Dalam konflik perebutan tahta itu, keturunan Sri Kertawijaya muncul sebagai pemenang. Tidak heran
bahwa Sri Kertawijaya sering disebut-sebut sebagai Brawijaya I dan Ranawijaya
disebut sebagai Brawijaya VII atau terakhir. Hanya saja buku Babad Tanah Jawi
yang baru ditulis pada awal abad ke 18 M, tidak bisa membedakan mana yang
merupakan Brawijaya pertama dan mana yang terakhir.
Karena itu
kalau kita membaca buku Babad Tanah Jawi ataupun buku babad yang lain yang
menggunakan buku Babad Tanah Jawi sebagai sumber, perlu dilakukan koreksi
seperlunya agar kisah yang dituturkan
itu sejalan dengan fakta sejarah.
Misalnya jika di dalamnya disebut Brawijaya terakhir, maka yang dimaksud adalah
Ranawijaya Raja Kediri Majapahit.
Serangan tentara Kerajaan Islam Demak ke Majapahit, harus diartikan sebagai
serangan Demak ke Kediri Majapahit pada tahun 1527 M atas perintah Sultan
Trenggono bukan atas perintah Raden Patah. Sebab pada tahun 1527 M, Raden Patah
Senapati Jimbun telah wafat (1518 M).
b.Kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran (1433 -1579 M)
Kerajaan
Hindu Pakuan Pajajaran berpusat di Pakuan dekat Bogor. Wilayahnya hampir
meliputi seluruh wilayah Jawa Barat, Banten, DKI dan Lampung. Tetapi dari
laporan pengelana Portugal Tome Pires yang sempat singgah di Banten Tahun 1513 M, melaporkan bahwa kota-kota
pelabuhan di Jawa Barat yang masuk wilayah Pajajaran hanyalah Banten, Pontang,
Cikande, Tonara dan Sunda Kalapa. Sama sekali tidak disebut pelabuhan Muara
Jati, Garage atau pun Cirebon termasuk wilayah Pajajaran.
Menurut De
Graaf, memang daerah Cirebon dan mungkin
juga Indramayu, sejak perempat akhir abad 15 M, sudah berada di bawah pengaruh Demak. Karena itu
berita-berita dari kronik lokal Cirebon yang menyatakan bahwa sejak paruh ke
dua abad 15 M, di Cirebon telah banyak penduduknya
yang beragama Islam dapat dibenarkan. Tetapi berita kronik lokal yang menyatakan
bahwa Cirebon masih berada di bawah kekuasaan Pajajaran, nampaknya malah
meragukan. Justru karena wilayah Cirebon
dan mungkin juga Indramayu telah berada di bawah orbit kekuasaan Demak, maka
Pajajaran merasa terancam oleh Kerajaan Islam yang baru muncul itu yang telah
berkembang menjadi Negara Maritim yang terkuat di Pulau Jawa. Bahkan pada tahun
1513 M, berani menyerang Portugal di Malaka.
Memang armada Portugal bukan tandingan Demak.
Tetapi armada Demak tetap merupakan armada yang
kuat di Asia Tenggara, apalagi di Jawa. Jelas armada Demak bukan lawan yang
seimbang bagi Kediri dan Pajajaran.
Karena
khawatir atas ancaman Demak, Kediri dan Pajajaran mencoba membangun aliansi
dengan Portugal di Malaka. Pada tahun 1514 M, baik Kediri maupun Pajajaran
mengirimkan utusannya ke Malaka untuk meminta perlindungan Portugal. Pada tahun 1522 M, Pajajaran bahkan lebih dulu
berhasil menandatangani kerjasama militer dengan Portugal di Malaka. Sebagai
bukti adanya kerjasama militer dan ekonomi antara Pajajaran dan Portugal, maka
Portugal membangun sebuah pedro ( stone pillar) atau tugu peringatan di tepi
Sungai Ciliwung Sunda Kalapa.
Pemancangan
Pedro itu, bagi Portugal memiliki arti yang penting dan mengandung dua makna
yaitu :
Pertama, pedro itu sebagai tanda bahwa Portugal akan melindungi kepentingan ekonomi
dan keamanan Pajajaran dari ancaman Demak. Maka di situ kelak akan dibangun
benteng pertahanan Portugal yang kuat untuk melindungi Pajajaran.
Kedua, pedro
itu sebagai tanda pemberitahuhan kepada pihak Spanyol bahwa wilayah Pajajaran
tak boleh diganggu gugat, karena Pajajaran telah masuk sebagai wilayah jajahan
Portugal.
Memang Spanyol dan Portugal pada tahun 1492 M, telah
menandatangani perjanjian Tordesillas
yang pada pokoknya berisi kesepakatan untuk membagi dunia menjadi
dua wilayah, yakni wilayah yang diperuntukkan bagi jajahan Spanyol dan wilayah
yang diperuntukkan bagi jajahan Portugal. Karena itu secara politis, sebenarnya
sejak tahun 1522 M, Kerajaan Pajajaran telah berada di bawah jajahan Portugal.
Dan pedro yang telah didirikannya itu sebagai tandanya.
c. Kerajaan Islam Demak (1481 – 1546 M ).
Wilayah
Kerajaan Islam Demak pada awal berdirinya, sebenarnya tidak terlalu luas. Tuban
di Jawa Timur yang merupakan bandar pelabuhan yang kuat, masih merupakan
wilayah Kediri. Kecuali Giri dan sebagian besar Gresik, wilayah pantai utara dan
pedalaman Jawa Timur tunduk sepenuhnya
pada Kediri. Demikian pula daerah Jawa Tengah
Selatan, di sekitar
lembah Bengawan Solo yang subur sampai Pengging, bukan wilayah Demak. Tetapi merupakan wilayah Kediri.
Wilayah Demak
di Jawa hanyalah daerah sepanjang pantai utara Jawa Tengah ke arah Barat sampai
Banten dan Indramayu. Wilayah Jawa Tengah
yang masuk Demak adalah daerah
lembah Serayu dan Citanduy sampai sungai Citarum di wilayah Jawa Barat Selatan. Di sebelah barat Citarum merupakan wilayah Pajajaran.
Di daerah
Banyumas ditemukan kronik lokal, Babad Pasir. Isinya menceriterakan proses
Islamisasi daerah lembah Serayu, lembah Citanduy
dan daerah lereng selatan Gunung Slamet. Konon Sultan Demak Raden Patah pernah
mengirim seorang suci yang bernama Makhdum
kelembah Serayu guna berdakwah kepada Raja Pasir. Jelaslah bahwa orang suci
yanng bernama Makhdum itu tidak lain adalah salah seorang anggota Dewan
Walisongo, Makhdum Ibrahim yang kelak terkenal sebagai Sunan Bonang.
Suatu bukti
bahwa Sunan Bonang pernah berdakwah di daerah ini adalah ditemukannya sejenis
golok yang menjadi senjata khas dari daerah ini yang disebut kudi. Kudi ini adalah golok kreasi
Sunan Bonang yang dalam Babad Kediri dikisahkan digunakan oleh Sunan Bonang untuk
menghancurkan patung-patung berhala di Kota Kediri.
Ternyata
dakwah Makhdum Ibrahim di lembah Serayu itu berhasil. Raja Pasir yang bernama Banyak Belanak itu
masuk Islam secara sukarela. Bahkan kemudian ia menjadi pejuang Islam yang
hebat. Raja Pasir ini meneruskan dakwah Islam ke barat maupun ke timur wilayah
Banyumas. Ke barat hasil dakwahnya tembus wilayah Pasundan sampai batas timur
Sungai Citarum. Ke timur medan dakwahnya sampai Sindoro-Sumbing di sebelah
timur daerah Dieng. Karena jasa-jasanya, Sultan Demak menganugerakhan seorang
putri dari Pati dan gelar Senapati Mangkubumi kepada Raja Pasir.
Raja Pasir
ini memerintah daerah lembah Serayu atas nama Sultan Demak. Batas timur
Kadipatennya adalah gunung Sindoro-Sumbing yang disebutnya sebagai Tugu Mekangkang. Sedang
batas barat sampai Udung-udung Karawang di tepi Sungai Citarum.
Bila berita
Babad Pasir ini dapat dipercaya, berarti pada dasa warsa ke
dua abad ke 16 M, Wilayah Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Pakuan hanyalah
lembah Citarum sisi sebelah barat sampai laut Sunda dan sebagian Lampung saja.
Akibat adanya
persekutuan segitiga, yakni Kediri dan Pajajaran di Jawa dengan
Portugal di Malaka, maka Demak secara geopolitis dan geostrategis berada dalam
posisi terkepung. Kondisi ini cepat disadari oleh Syekh Nurullah dan Sunan Ngudung yang memiliki wawasan bahari yang
cukup luas akibat pengalaman-pengalaman
pelayarannya yang cukup. Maka mereka segera menyusun strategi ofensif
untuk menaklukkan Kediri dan Pakuan sebelum Portugal berhasil membangun benteng
pertahanan, baik di Sunda Kalapa maupun Tuban.
2 Sunan Kudus Ja’far
Shodiq Menaklukan
Kediri.
Sunan
Ngudung, ayah Ja’far Shodiq sebenarnya telah lama menunggu saat
yang tepat untuk menaklukan Kediri. Ia sering kesal karena Kediri beberapa kali menyerang
perbatasan timur Kerajaan Demak. Juwana,
daerah yang dekat dengan Demak, telah jatuh ketangan Kediri.
Maka kesempatan yang ditunggu-tunggu pun tiba saat Sultan Trenggono
memutuskan untuk melakukan penaklukan Sunda Kalapa dan Tuban.
Kedua Kota
Pelabuhan itu merapakan bandar yang penting bagi Pajajaran dan Kediri. Syekh
Nurullah mendapat tugas untuk menaklukan Sunda Kalapa dan wilayah Pajajaran
lainnya dan Sunan Ngudung mendapat tugas menaklukan Tuban dan Kediri, serta
wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah lainnya.
Saat itu Sunan Ngudung sudah punya putra
laki-laki yang bernama Ja’far Shodiq.
Dia adalah remaja yang cekatan, cedas menguasai Ilmu-ilmu
Keislaman seperti ayahnya dan memiliki bakat memimpin. Oleh ayahnya sudah
sering diberi tugas untuk memobilisasi rakyat guna kepentingan bela negara
maupun operasi militer. Dalam penaklukan Tuban dan Kediri, Sunan Ngudung memohon
kepada Sultan Trenggono agar remaja yang
berbakat itu dijadikan wakilnya. Dan Sultan pun menyetujuinya.
Dalam waktu
singkat Ja’far Shodiq telah berhasil membentuk satuan-satuan tempur yang
terdiri dari para santri yang siap untuk
berjihad. Setelah segala persiapan siap, Sunan Ngudung membawa pasukannya ke
arah timur. Sebagai sasaran antara yang diserang lebih dulu adalah
Juwana dan pantai utara Jawa Timur sampai Tuban. Dalam waktu singkat, dengan mudah Juwana dan
Tuban jatuh. Pasukan Demak segera bergerak melanjutkan penyerangan ke arah selatan menuju Kediri, pusat Kerajaan.
Patih
Umdara di Kediri rupanya sudah mendengar jatuhnya Tuban dan Juwana ke tangan Demak. Ia segera mempersiapkan pasukannya dan bergerak
ke luar kota untuk menghadang tentara Demak. Dalam usaha mempertahankan Kediri,
Patih Umdara dibantu oleh dua perwira andalannya, yakni Adipati Terung II dan Pangeran Handayaningrat. Bahkan Adipati Klungkung
dari Bali ikut berpartisipasi
berjuang mempertahankan Kerajaan
Hindu Kediri.
Maka bertemulah
kedua pasukan itu di tepi Sungai Sedayu. Pertempuran hebat antara kedua pihak tak
dapat dihindarkan lagi. Adipati Pengging
Handayaningrat gugur dalam pertempuran. Besar
kemungkinan Ja’far Shodiqlah yang berhasil menewaskan Adipati Pengging itu. Hal ini membuat
pasukan Demak semakin bersemangat. Sunan Ngudung yang ikut langsung terjun
dalam pertempuran berhadapan dengan Adipati Terung II.
Dalam
pertempuran itu, Sunan Ngudung agaknya ragu-ragu untuk membunuh Adipati Terung.
Tetapi akibatnya malah fatal bagi dirinya.
Mungkin Sunan Ngudung masih berharap Adipati Terung II akan berbalik arah berpihak kepada
tentara Muslim dan berpaling ke pihak
Demak. Adipati Terung II ini adalah putra dari dipati Terung I yang mengabdi
kepada Raja Majapahit terkahir Dyah Suraprabhawa.
Tetapi sikap
ragu-ragu Sunan Ngudung ini berakibat fatal. Ia menjadi lengah. Adipati Terung II melancarkan
serangan maut yang mematikan. Tubuh Sunan Ngudung terkena hunjaman senjata tajam yang
menyebabkan luka-luka pada sekujur tubuhnya. Darah pun mengalir. Nyawanya tak
terselamatkan. Sunan Ngudung syahid seketika. Pasukan Demak yang tadinya
bertempur penuh semangat, langsung menghentikan pertempuran.
Mereka amat
sedih dan berduka cita menyaksikan
panglima perangnya gugur dalam medan pertempuran. Pasukan Kediri yang sudah
terdesak segera mengundurkan diri ke dalam Kota Kediri diikuti Adipati Terung II yang
berhasil menyelamatkan diri setelah berhasil menewaskan Panglima Perang Demak.
Kita akan
lihat sejenak siapakah Adipati Terung II yang
telah menewaskan Sunan Ngudung itu.
Dalam Babad Tanah Jawi hanya disebutkan bahwa Sunan Ngudung tewas oleh
Adipati Terung yang mengabdi pada Raja
Majapahit. Dapat dipastikan bahwa Adipati Terung yang menewaskan Sunan Ngudung
itu bukanlah Adipati Terung yang mengabdi pada Raja Majapahit terakhir.
Sebab menurut
kisah Babad Tanah Jawi sendiri, saat
Adipati Terung mengabdi pada Raja Majapahit terakhir
usianya masih amat muda. Katakanlah usianya saat tahun 1478 M, ketika Majapahit
runtuh sekitar 20 tahun. Setelah Kerajaan Kediri Majapahit
berdiri, dia tetap mengabdi pada Kediri dan mengakui kedaulatan Kediri atas
wilayah Terung, yakni wilayah yang terletak antara Surabaya dan Mojokerto
sekarang ini. Karena mengakui kedaulatan Kediri maka dia tetap menjadi Adipati
Terung dan tidak diganggu gugat oleh Kediri. Katakanlah dia itu adalah Adipati
Terung I.
Pada tahun
1527 M, ketika ia bertempur membela Kediri, usianya sudah 69 tahun. Tentu
sebuah usia yang sudah cukup tua untuk dapat mengalahkan Sunan Ngudung yang lebih muda yang usianya saat itu sekitar
57 tahun. Agak mustahil seorang Adipati yang sudah berusia hampir kakek-kakek
mampu mengalahkan Sunan Ngudung yang lebih muda. Apa lagi
dia Panglima Perang yang perkasa.
Karena itu,
besar kemungkinan Adipati Terung yang menurut Babad Tanah Jawi berhasil
membunuh Sunan Ngudung adalah Adipati Terung II, putra dari Adipati Terung
I. Nampaknya Adipati Terung II ini
memang sebaya atau sedikit lebih muda dari Sunan Ngudung. Demikianlah kita
telah mencoba melacak identitas Adipati Terung yang dikisahkan dalam Babad
Tanah Jawi secara kurang lengkap
itu.
Menyaksikan
ayahnya syahid dalam medan pertempuran, Ja’far Shodiq
segera mengambil alih kepemimpinan. Ia memutuskan menunda penyerbuan ke dalam Kota Kediri dan memerintahkan
pasukannya untuk pulang ke Demak sambil membawa jenazah ayahnya.
Sultan
Trenggono amat berduka cita dengan syahidnya Panglima
Perang yang diseganinya itu. Setelah dirawat sebagaimana mestinya,
jenazah Sunan Ngudung dimakamkan di sebelah
barat Masjid Demak.
Usai
pemakaman, Sultan Trenggono menunjuk Ja’far Shodiq menggantikan kedudukan ayahnya. Dia diangkat
sebagai Penghulu Masjid Demak dan Panglima Perang wilayah timur dengan tugas
melanjutkan operasi penaklukan Kediri. Untuk keperluan penaklukan Kediri,
Ja’far Shodiq memohon pada Sultan agar meminta bantuan pasukan dari
Palembang untuk menaklukan Kediri.
Memang dalam pertempuran yang lalu ada sejumlah pasukan Demak yang syahid
juga. Sementara itu tentara Demak yang dibawa
Syekh Nurullah untuk penaklukan Sunda Kalapa belum kembali.
Di samping
itu agaknya Ja’far Shodiq berharap, bila ada sejumlah tentara Palembang yang
ikut serta dalam ekspedisi penaklukan Kediri, Adipati Terung II yang keturunan
Palembang itu, semangat tempurnya pasti
akan menurun karena harus bertempur dengan pasukan yang akan mengingatkan
asal-usulnya moyangnya. Sultan Trenggono menyetujui usul Ja’far Shodiq. Dan
memang tak lama kemudian datang bantuan prajurit dari Palembang. Maka operasi
penaklukan Kediri di bawah Panglima Ja’far Shodiq segara dimulai.
Kerajaan
Kediri segera bersiap-siap menyongsong gelombang serangan yang ke dua. Pasukan
Kediri berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari kepungan tentara Demak yang
datang bagaikan air bah. Setelah pengepungan beberapa hari, rupanya semangat
pasukan Kediri cepat menurun. Pasukan Ja’far Shodiq berhasil menerobos benteng
pertahanan Kota Kediri. Raja diiringi Patih Umdara dan sejumlah pengawalnya
berhasil meloloskan diri menuju Sengguruh dan membuat benteng
pertahanan di sana.
Pada mulanya
Ja’far Shodiq beserta pasukannya
berusaha melakukan pengejaran. Tetapi melihat medan yang berat, Ja’far
Shodiq tidak mau terjebak pada kemenangannya yang baru saja diraihnya. Karena
itu, dia tidak meneruskan pengejaran
sampai Sengguruh. Baginya target penaklukan Kediri telah tercapai. Sultan
Trenggono merasa gembira misi penaklukan Kediri berhasil. Dan Sultan semakin
gembira karena ekspedisi penaklukan Sunda Kalapa oleh Syekh Nurullah juga
berhasil.
3. Sunan Kudus Ja'far Shodiq Menaklukkan Pengging
Di depan
telah dikisahkan bahwa Adipati Pengging Handayaningrat gugur dalam pertempuran
mempertahankan Kediri. Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa istri Adipati
Handayaningrat adalah Putri Pambayun, putri pertama Putri Campa dengan Sri
Brawijaya I alias Sri Kertawijaya. Dari Pernikahan itu mereka mempunya dua
orang putra. Yang tertua bernama Kebo
Kenanga dan yang muda Kebo Kanigara. Setelah Majapahit
jatuh, Kadipaten Pengging merupakan salah satu dari sejumlah kadipaten yang tunduk pada kekuasaan Kediri.
Adipati
Handayaningrat adalah pemeluk agama Hindu Buddha yang taat. Demikian pula putra
yang keduanya, Kebo Kanigara. Sedang Putranya yang pertama Kebo Kenanga, sempat menjadi
mualaf dan masuk Muslim karena dakwah
Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Tetapi setelah Syekh Siti Jenar ikut berdakwah ke
Pengging, Kebo Kenanga berserta sejumlah kerabatnya di Pengging menjadi pengikut setia Syekh Siti Jenar.
Begitu Kediri
jatuh dan Handayaningrat gugur, Pengging berada pada
posisi yang sulit. Bagi Demak sikap Pengging membingungkan. Sekalipun Kediri
sudah jatuh, ternyata Kadipaten Pengging belum juga mau mengakui kedaulatan
Kerajaan Islam Demak.
Sultan
Trenggono kembali menugaskan Sunan Kudus
Ja’far Shodiq untuk menyelesaikan kasus Pengging. Ja’far Shodiq seorang ulama
yang cakap, taat pada syariat, tegas tetapi bijaksana. Dalam kasus Pengging Ja’far Shodiq mula-mula
menempuh jalan damai. Dia berharap Ki
Ageng Pengging Kebo Kenanga secepatnya mengakui kedaulatan Demak, hingga tak
perlu ada konflik bersenjata. Demak sendiri secara de facto sudah mengijinkan
Ki Ageng Pengging Kebo Kenanga meneruskan jabatan ayahnya.
Sikap lunak
Demak terhadap Pengging sebenarnya dapat dimengerti. Pada waktu Demak menyerbu Kediri, Kebo
Kenanga menolak ajakan ayahnya untuk ikut berperang membela Kediri. Menurut
Serat Kanda pada awalnya Kebo
Kenanga sudah mengikuti ajakan ayahnya.
Tetapi karena saran dari gurunya Syekh
Siti Jenar, Kebo Kenanga tidak mau meneruskan berperang membela Kediri.
Bahkan
dalam salah satu versi disebutkan, bahwa dalam pertempuran itu Kebo Kenanga berbalik membela Demak melawan Kediri. Berbeda
dengan adiknya Kebo Kanigara, dia gigih membela Kediri bersama ayahnya. Tetapi setelah Kediri
jatuh Kebo Kanigara melarikan diri
bersembunyi di puncak Merapi. Menurut kisah dalam buku-buku babad, di sana Kebo
Kanigara bertapa di dasar kawah gunung Merapi, hingga tubuhnya terbakar dan
menemui ajalnya
Sikap Kebo
Kenanga yang tidak membela Kediri saat diserbu Demak, menyebabkan Demak pada
mulanya bersifat lunak terhadap Pengging. Bahkan Pengging diberi tenggang waktu
tiga tahun untuk menentukan sikapnya. Tetapi sampai tenggang waktu yang telah
ditetapkan ternyata Pengging belum mau juga mengakui kedaulatan Demak. Maka
tidak ada jalan lain kecuali harus dilakukan ekspdisi militer
untuk menaklukan Pengging. Walapun begitu
Ja’far Shodiq masih mengirimkan utusan lagi untuk kembali mengingatkan
Pengging atas keonsekwensi dan akibatnya bila tak mau mengakui kedaulatan
Demak.
Karena sampai
batas waktu yang telah ditetapkan Pengging belum juga menentukan sikap, Demak
segera mengambil langkah untuk menduduki Pengging dan menangkap Ki Ageng
Pengging dan penasihatnya, Syekh Siti Jenar. Pada tahun 1530 M, setahun setelah
penaklukan Madiun, Ja’far Shodiq dengan
sejumlah pasukannya bergerak ke arah selatan menuju Pengging.
Sebenarnya
pemimpin Pengging yang lain seperti Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh dan Ki
Ageng Ngerang, telah mengingatkan Ki
Ageng Pengging dan Syekh Siti Jenar agar mau mengakui kedaulatan Demak. Tetapi
saran itu ditolak oleh Ki Ageng Pengging dan Syekh Siti Jenar. Maka ketika Demak menyerbu Pengging, hampir
tidak ada perlawanan yang berarti, karena sikap pemimpin Pengging yang terpecah.
Dengan mudah
Pengging dapat ditaklukan. Ki Ageng Pengging
yang mencoba bertahan dengan pasukan pengawalnya yang tak seberapa
berhasil ditangkap. Ja’far Shodiq langsung melaksanakan eksekusi hukuman
mati atas Ki Ageng Pengging saat itu juga.
Sementara itu
guru mistiknya Syekh Siti Jenar berhasil lolos dan menyelamatkan diri. Dia
melarikan diri ke Kediri, kemudian ke Cirebon.
Tetapi akhirnya setelah bersembunyi hampir lima belas tahun, dia tertangkap juga di sana dan dieksekusi mati (1545 M). Pelaksana
eksekusi mati atas Syekh Siti Jenar, juga dilakukan oleh Sunan Kudus Ja’far Sidiq yang sengaja datang
ke Cirebon atas perintah Sultan Demak.
4 Sunan Kudus Ja'far Shodiq Membangun Masjid Kudus
Sejarawan Belanda De Graaf memberitahukan kepada kita
bahwa pada tahun 1543 M, Sunan Kudus mulai membangun masjid di Kudus. Kemudian
dia meletakkan diri dari jabatan Penghulu dan Imam Besar Masjid Demak. Konon Sunan Kudus Ja’far Shodiq
ingin lebih berkonsentrasi kepada soal-soal dakwah dan pengembangan agama Islam di tempat tinggalnya. Sultan Trengggono mengabulkan permintaan itu dan sebagai
penggantinya diangkat Sunan Kalijaga yang sudah
beberapa lama menjadi penasihat Sultan Trenggono dan bertempat tinggal
di Kadilangu setelah pindah dari Cirebon.
Maka dengan
resmi sejak tahun 1543 M, Sunan Kalijaga menjabat sebagai Penghulu Masjid Demak . Dengan mundurnya
Sunan Kudus sebagai Penghulu dan Imam Besar Masjid
Demak, maka pengaruh Sunan Kalijaga makin menguat. Agaknya sejak tahun
1543 M, saat Sunan Kalijaga memegang jabatannya, corak Islam Kerajaan Demak
mulai terbuka terhadap budaya lokal. Pementasan wayang kulit
dengan iringan gamelan semakin sering
dipentaskan di halaman depan Masjid Demak. Demikian pula acara Garebeg Maulud dan Syawal yang merupakan cikal bakal perayaan Sekaten di
Kraton Solo, Yogya dan Cirebon, semuanya berawal dari Masjid Demak pada masa
Sunan Kalijaga menjadi Penghulu Masjid Demak.
Sementara itu
sejak mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Penghulu Masjid Demak, Ja’far Shodiq lebih banyak bermukim di Kudus.
Dan sejak itulah ia dikenal sebagai Sunan Kudus. Kota Kudus sendiri semula
merupakan sebuah desa yang sepi. Tetapi dengan berdirnya Masjid Kudus dan
Pesantren yang didirikan Sunan Kudus, tempat yang semula sepi itu, lama-kelamaan
menjadi ramai. Banyak pedagang yang berdatangan dan ikut bermukim di kota yang
baru berkembang itu.
Konon tanah
untuk pembangunan Masjid Kudus berasal dari tanah wakaf yang diserahkan oleh
seorang China Muslim yang bernama The Ling Sing. Dia terkagum-kagum kepada kedalaman Ilmu-ilmu
Keislaman yang dimiliki oleh Sunan Kudus. Bahkan bisa jadi ia pun banyak
belajar dan mendalami Islam dari Sunan Kudus, hingga ia terkenal dengan sebutan
Kiai Telingsing.
Kiai
Telingsing ini, memiliki ketrampilan di bidang seni ukir dan pahat yang
diajarkannya kepada para santri dan penduduk Kudus yang berminat. Kini daerah
Kudus terkenal pula dengan seni pahat dan ukiran, seperti halnya Jepara, berkat
ilmu seni pahat dan seni ukir Kiai Telingsing yang diwariskan kepada penduduk
Kudus.
Sering kita
dengar kisah, bahwa Sunan Kudus adalah seorang wali yang amat taat pada syariat
hingga menolak budaya lokal dan karenanya berbeda paham dengan Sunan Kalijaga.
Sebenarnya pandangan ini kurang tepat.
Ternyata Sunan Kudus juga terbuka kepada budaya
lokal. Sebagai bukti corak arsitektur Mesjid Kudus tidak mengandung unsur
arsitektur masjid-masjid di Timur Tengah. Padahal Sunan Kudus Ja’far Shodiq
pernah menunaikan ibadah haji, hingga pastilah pernah melihat corak masjid-masjid
di Timur Tengah dari dekat. Tetapi corak
arsitektur Masjid Kudus yang dibangunnya, diwarnai corak arsitektur
bangunan-bangunan tempat ibadah di Jawa pada masa pra Islam.
Secara
keseluruhan corak bangunan Masjid Kudus mirip bangunan sebuah pagoda, yakni
bangunan tempat ibadah orang-orang China
non Muslim. Bukti lainnya, Sunan Kudus melarang para santrinya memakan daging
sapi. Padahal daging sapi tidak diharamkan dalam ajaran Islam. Larangan itu
dimaksudkan untuk menghormati penduduk sekitar Kota Kudus yang saat itu masih
banyak yang memeluk agama Hindu. Inilah bentuk toleransi gaya Sunan Kudus.
Hingga sekarang ini larangan Sunan Kudus itu masih diikuti oleh sebagian besar
penduduk Kudus. Karena itu di Kota Kudus,
kerbau lebih banyak dipotong dari pada sapi, terutama pada Hari Raya Qurban. Masjid Kudus selesai
dibangun pada tahun 1549 M.
Walapun
Sunan Kudus sudah mengundurkan diri sebagai Penghulu Masjid Demak, nampaknya
dia belum melepaskan jabatannya sebagai Panglima Perang. Hal ini terbukti bahwa
setelah tahun 1543 M, masih ada operasi militer ke Jawa Timur, yakni Penaklukan
Sengguruh. Besar kemungkinan pada saat penaklukan Sengguruh Sunan Kudus masih
memegang jabatan Panglima Perang Wilayah Timur.
Hanya setelah
Sengguruh jatuh pada tahun 1545 M, rupanya barulah Sunan Kudus benar-benar
mundur dari semua jabatan publik yang dipeganggnya di Kerajaan Islam Demak.
Eksekusi Syekh Siti Jenar di Cirebon, nampaknya juga terjadi sekitar tahun 1545
M, yakni setelah Sunan Kudus menyelesaikan
tugas akhirnya menaklukan Sengguruh, walapun sudah melepaskan jabatan Penghulu dan Imam Besar Masjid Demak.
Pada saat Demak melakukan penyerbuan ke Panarukan
pada tahun 1546 M, Sunan Kudus tidak disebut-sebut lagi sebagai Panglima
Perang. Bahkan disebutkan dalam sejumlah sumber, Sultan Trenggonolah yang
langsung memimpin operasi penaklukan
Panarukan. Malah menurut Husein
Djajadiningrat, Syekh Nurullah, iparnya yang saat
itu berada di Banten dimintai bantuan agar ikut serta dalam operasi militer penaklukan Panarukan. Ekspedisi ini gagal, karena Sultan Trenggono
terbunuh saat berada di Pasuruan.
Berbagai
sumber menyebutkan bahwa usia Sunan Kudus cukup panjang. Ada yang mnyebutkan
beliau wafat pada tahun 1628 M dan jenazahnya dimakamkan di samping Masjid
Kudus. Kapan Sunan Kudus dilahirkan? Ceritera-ceritera babad tak ada satupun
yang mengungkapkannya. Tetapi bila pendapat De Graaf dan Slamet Mulyana kita
jadikan pegangan, yaitu bahwa penaklukan
Kediri terjadi pada tahun 1527 M. Dan berdasarkan kisah-kisah
babad Sunan Kudus saat itu masih remaja
katakanlah 25 tahun. Maka Sunan Kudus Ja’far Shodiq dilahirkan kira-kira pada
tahun 1502 M.
Konon Sunan
Kudus menikah dengan putri Sunan Bonang. Tetapi sumber lain menyebutkan bahwa
Sunan Kudus menikah dengan putri Adipati Terung II. Adipati Terung II
adalah perwira pasukan Kediri yang
menyebabkan gugurnya Sunan Ngudung, ayah Sunan
Kudus.
Nampaknya
Sunan Kudus telah memaafkan Adipati Terung II, yang setelah Kediri jatuh,
berpihak kepada Demak, masuk Islam dan ikut serta dalam ekspdisi penaklukan
wilayah lain di Jawa Timur setelah Kediri jatuh, seperti Lamongan, Surabaya,
Pasuruhan, Mamenang dan Pananggungan. Bahkan salah satu putri Adipati Terung II
diserahkan kepada Sunan Kudus untuk diperistri.[]
Catatan :
Artikel berikutnya : Sunan Muria - Radaen Umar Said
http://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-walisongo-09-sunan-murio-raden.html
Artikel berikutnya : Sunan Muria - Radaen Umar Said
http://anwarhadja.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-walisongo-09-sunan-murio-raden.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar