Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Sabtu, 02 Januari 2016

Sejarah Galuh Purba di Purwokerto-Banyumas



Sejarah Galuh Purba di Purwokerto-Banyumas

Ahli sejarah Belanda WJ van der Meulen, memiliki tradisi dan metode  unik jika dia hendak melakukan rekonstruksi sejarah suatu kerajaan dari masa lalu. 

Sebagai seorang sejarawaan yang tekun dan teliti, sebagaimana umumnya ilmuwan Belanda, tentu saja van der Meulen sering  menghadapi kelangkaan dokumen, seperti artefac, prasasti dan dokumen tertulis lainnya. Nah, untuk mengatasi kebuntuan itu, van der Meulen  sering mengandalkan toponim dan topografi sebagai alat bantu melakukan rekonstruksi sejarah. Tentu saja van der Meulen sangat menguasai filologi, mitologi dan sastra babad, yang banyak membantunya dalam melakukan rekonstruksi suatu data sejarah.

Salah satu hipotese van der Meulen  yang sangat menarik adalah hipotesisnya mengenai Kerajaan Galuh Purba  yang berdiri di lereng selatan Gunung Slamet pada abad awal abad ke-7 M. Temuan van der Meulen yang juga sangat mengejutkan adalah tentang  nama Purwokerto, sebuah kota di selatan Gunung Slamet yang kini menjadi Ibu Kota Kabupaten Banyumas.

Banyak orang menduga, nama Banyumas lebih tua dari nama Purwokerto. Ternyata van der Meulen berhasil membuktikan bahwa nama Purwokerto lebih tua dari nama Banyumas yang baru muncul sebagai kota kabupaten pada akhir abad ke-16 M, yakni tahun 1582 berdasarkan penelitian ahli epigrafi terbaik MM.Sukarto.

Dengan mengandalkan berita-berita dari Tiongkok pada masa Dinasti Tang, diketahui bahwa pada abad ke 7-9 M, di Jawa sudah ada dua kerajaan besar, yakni  di Topoteng sebelah barat Hooling. Van der Meulen berhasil melakukan identifikasi nama Hooling sebagai Kalingga dan Topoteng sebagai Purwokerto.  Jika ibu kota Kerajaan Holing, terletak di dekat Purwodadi-Grobogan, maka Purwokerto atau Topoteng menurut lidah Tiongkok yang tidak bisa mengucapkan huruf r, terletak di lereng selatan Gunung Slamet, kurang lebih di sekitar Kota Purwokerto sekarang ini. 

Di Topoteng itulah menurut berita Dinasti Tang Tiongkok, pada awal abad ke-7 M, pernah berdiri Kerajaan Galuh Purba. Dengan demikian cikal bakal kota Purwokerto lebih tua hampir sembilan abad, dibanding cikal bakal kota Banyumas, yang sering mendapat julukan pers ibu kota sebagai kota tua. Sayang keberadaan Kerajaan Galuh Purba di Purwokerto itu cepat surut, sehingga nama Purwokerto ikut lenyap dari panggung sejarah. Nama Purwokerto baru muncul kembali pada tahun 1831, sebagai nama dari distrik Kabupaten Ajibarang yang saat itu baru saja dibentuk. Tahun 1832, Kabupaten Ajibarang pindah ke distrik Purwokerto. Sejak tahun 1832 itulah Purwokerto naik status, dari sebuah distrik, menjadi sebuah kabupaten, yakni Kabupaten Purwokerto.

Kerajaan Galuh Purba, menurut van der Meulen, didirikan oleh para imigran suku bangsa Galuh Purba yang melakukan pengungsian secara besar-besaran menyeberangi Laut China Selatan dari tanah leluhurnya di daerah Fu-Nan, sekitar Kamboja sekarang. Suku bangsa Galuh Purba ini tidak sendirian mendarat di Pulau Jawa. Masih ada gelombang imigran susulan lain yang disebutnya sebagai  suku bangsa Galuh Lor, yang juga berasal dari Fu Nan, Kamboja. Mereka juga berhasil mendarat  di  Jawa. 

Suku Bangsa Galuh Lor Pemuja Dewa Rahu.
Setelah mendarat di Kutai beberapa saat, suku bangsa Galuh Lor melanjutkan pelayarannya ke arah selatan, menyeberang Laut Jawa, akhirnya mendarat di Pekalongan. Kemudian  menyusuri Sungai Lampir. 

Sebelumnya, sudah  ada suku imigran lain yang mendahului mendarat di muara Sungai Lampir juga.  Gelombang imigran pertama ini bergerak ke timur, kemudian berhasil mendirikan Kerajaan Kalingga di sekitar Purwodadi Grobogan. Salah seorang raja Hooling atau Kalingga  yang namanya terkenal adalah seorang wanita, yakni Ratu Sima. Imigran pendatang yang berhasil mendirikan Kerajaan Kalingga yang  memeluk agama Wisynu atau Waisnawa itu dianggap sebagai leluhur orang Jawa.

Gelombang kedua imigran yang mendarat di muara Sungai Lampir itu,  diidentifikasi van der Meulen sebagai  suku bangsa Galuh Lor. Mereka  tidak bergerak ke timur mengikuti jejak rombongan imigran pertama.Rombongan suku Galuh Lor ini  memilih  meneruskan menyusuri Sungai Lampir ke arah hulu, mendaki   Pegunungan Perahu, akhirnya sampai di Dieng.

Suku bangsa Galuh Lor ini adalah pemuja dewa Rahu, dewa yang setiap terjadi gerhana, dimitoskan sebagai penelan  bulan dan matahari. Sekte agama Rahu merupakan sekte Hindusime yang menyimpangan dari agama Wisnu atau Waisnawa. Mungkin dari kata dewa Rahu itulah maka pegunungan tempat suku bangsa pemuja Rahu bermukim itu, disebut sebagai Gunung Perahu.

Dalam kisah mitologi Hindu, raksasa Rahu berhasil mencuri kendi milik para dewa yang berisi air suci amertam atau air suci jivana. Konon barang  siapa  yang meminum air amerta, dia  akan bisa hidup abadi tanpa pernah menjadi tua,seperti para dewa. Raksasa Rahu memang ingin hidup abadi seperti dewa, maka dia pun mencari akal agar bisa mencuri air suci para dewa itu. Keinginan Rahu terkabul. Dia berhasil mencuri kendi berisi air amerta, karena dewa yang menjaganya lengah. 

Tetapi ketika raksasa Rahu hendak meminumnya, tiba-tiba dewa Surya dan dewa Candra melihatnya. Kedua dewa itu segera memberi tahu dewa Wisnu.  Dewa Wisnu yang diberitahu, cepat bertindak. Raksasa Rahu yang sedang minum air suci dari mulut kendi dengan tergesa-gesa itu itu, langsung dipanah, tepat mengenai lehernya. Kepala   Rahu pun   putus seketika. 

Tapi kepala raksasa Rahu yang putus dari lehernya itu tetap hidup abadi, karena Rahu sempat meminumnya namun belum sempat menelannya.Kepala Rahu pun melayang-layang di angkasa hidup abadi sebagai dewa Rahu, dewa berwujud kepala raksasa  tanpa gembung.

Sedang gembung raksasa Rahu jatuh ke bumi, dimitoskan penduduk menjelma jadi alat penumbuk padi, lesung. Karena dendam kepada dewa Surya dan dewa Candra, kepala dewa Rahu yang terus hidup abadi di angkasa itu, selalu mengejar-ngejar dewa Matahari dan Dewa Bulan. Kisah ini melahirkan mitos gerhana matahri dan gerhana bulan sebagai legenda rakyat yang sangat populer.

Kekalahan dewa Rahu dari dewa Wisnu memberi makna simbolik. Suku Galuh Lor penyembah dewa Rahu yang bermukim di Dieng, berhasil ditaklukkan.  Kerajaan Kalingga yang menyembah dewa Wisnu. Memang suku bangsa Galuh Lor yang menyembah dewa Rahu itu, menurut van der Meulen  adalah mantan penjahat bajak laut yang gemar melakukan perampokan. Suku bangsa Galuh Lor penyembah dewa Rahu ini sering mengganggu suku Galuh Purba yang berhasil mendirikan Kerajaan Galuh di Topoteng. Bahkan suku Galuh Lor penyembah dewa Rahu itu berhasil mengusir suku Galuh Purba di Topoteng. Kemudian di sana mereka mendirikan tempat pemujaan kepada dewa Rahu yang diberi nama Goromanik, yang artinya adalah permata rahu. Nama Gunung Agung pun dirubahnya menjadi Gunung Goro,akhirnya menjadi Gunung Gora. 

Suku Bangsa Galuh Purba
Suku bangsa Galuh Purba di Topoteng, karena terdesak suku Galuh Lor yang mantan pembajak itu, kemudian mengungsi  ke arah barat, bersatu dengan saudaranya suku bangsa Galuh Purba yang membangun pemukiman di Garut. Kedua suku bangsa Galuh Purba itu kemudian bersatu bersama-sama membangun Kerajaan Galuh Kawali  di tepi barat sungai Citanduy yang kemudian berkembang menjadi kerajaan besar.

Rajanya yang terkenal sebagai pendiri kerajaan Galuh Kawali adalah Maharaja Wretikandayun. Putra Maharaja Wretikandayun, Mandi Minyak, akhirnya bisa merebut kembali wilayah Topoteng dan menghancurkan suku Galuh Lor. 

Anehnya, ketika menghancurkan pemukiman Galuh Lor, Galuh Purba di Kawali, bekerja sama dengan Kalingga. Padahal Kalingga dan Galuh, berbeda sekte dan berbeda suku. Kalingga adalah nenek moyang orang Jawa yang menyembah Dewa Wisynu Sedangkan Galuh Kawali adalah nenek moyang orang Sunda yang menyembah Dewa Syiwa . 

Apa sebabnya Galuh Purba bisa bekerja sama dengan Kalingga untuk menghancurkan Galuh Lor pemuja dewa Rahu?

Rupanya baik Wretikandayun maupun Sima memiliki pandangan sama bahwa agama Rahu adalah agama sesat dan menyimpang yang harus dimusnahkan karena pengikutnya gemar merampok dan membunuh pemeluk agama lain. Kalau jaman sekarang, mungkin pemuja Rahu itu disebut  teroris.

Lagi pula, Ratu Sima terkenal tegas  dalam menghancurkan setiap kejahatan. Bahkan konon, putranya sendiri dihukum potong kakinya, gara-gara tidak sengaja menginjak bungkusan emas yang ditaruh seorang pedagang Muslim yang ingin menguji tingkat ketaatan rakyat Kalingga kepada Ratu Sima. Rupanya tradisi anti korupsi, pernah ditanamkan Ratu Sima di Kerajaan Kalingga. Sayang, nilai-nilai budaya anti korupsi Ratu Sima yang berani menghukum anaknya itu, tidak terwariskan kepada raja-raja kerajaan Jawa yang muncul kemudian.

Kerjasama kedua kerajaan beda aliran kepercayaan itu, meraih sukses besar sehingga bisa menghancurkan kekuasaan suku bangsa Galuh Lor. Hasil kerjasama kedua kerajaan itu tentu saja berbagi wlayah. Topoteng kembali ke bawah kekuasaan Galuh Purba di Kawali dan wilayah pegunungan Dieng dan Perahu jatuh ke tangan Kerajaan Kalingga di Grobogan Purwodadi.

Bisa jadi benar keterangan dalam Naskah Sunda Wangsakerta yang menyebutkan bahwa Wretikandayun akhirnya  berbesanan dengan ratu Sima.  Parwati, putri  mahkota  Kerajaan Kalingga dipersunting  Mandiminyak, putra Mahkota  Kerajaan Galuh Kawali.

Wretikandayun punya tiga putra, Sampakwaja, Kedul dan Mandiminyak. Dua putra pertama tak memenuhi syarat menjadi putra mahkota. Sampakwaja, Si Sulung giginya tongos sedang  adiknya,  bodoh bin kedul. Hanya Mandiminyak putra bungsu Wretikandayun yang memenuhi harapan. Sebab dia paling cakap, paling tampan dan cerdas. Maka Mandiminyaklah yang diangkat jadi putra mahkota. Dan dialah yang dikawinkan dengan Parwati, putri Ratu Sima. Perkawinan Mandiminyak  dengan Parwati, menjadi perintis tradisi perkawinan silang antara suku Jawa dan suku Sunda. Tradisi inilah yang kelak melahirkan sub etnis orang Banyumas. 

Perkawinan Mandiminyak  dengan  Parwati, menurunkan seorang putri, Sannaha. Mandiminyak yang dalam naskah Sunda Carita Parahiyangan, dilukiskan sebagai seorang don yuan itu, punya anak juga dari hasil selingkuhnya  dengan Dewi Pohacci, istri kakak kandungnya, Sampakwaja. Dewi Pohacci memang cantik. Mandiminyak  pun cakap, putra mahkota pula. Sementara itu Sampakwaja, sekalipun sulung, giginya terlalu tongos bin mrongol, sehingga dikategorikan cacad. Karena itu Sampakwaja kehilangan hak sebagai putra mahkota. Namun ayahnya, Wretikandayun menghiburnya dengan mengangkatnya sebagai Adipati Galunggung-Sukapura, dan juga memberinya hadiah istri cantik jelita  Pohacci Rababu Bunga Mangale-ale. 

Dari Perkawinannya dengan Sampakwaja, Pohacci punya dua putra, Purbasora dan  Demunawan. Dari hasil selingkuhnya dengan  Putra Mahkota Mandiminyak, Pohacci juga melahirkan seorang putra yang cerdas dan perkasa, sehingga diberi nama Senna ( dari Bratasena, Satria Pandawa). Sekalipun Sampakwaja  mengetahui bahwa Pohacci telah selingkuh dengan adiknya, toh Sampakwaja tidak berani menceraikan Pohacci. 

Setelah Senna cukup umur, dia naik tahta Kerajaan Galuh menggantikan ayahnya Mandiminyak. Tetapi setelah tujuh tahun menduduki tahta Kerajaan Galuh, kakak tirinya Purbasora, berhasil mengusirnya. Purbasora  merasa punya hak waris atas tanta kakeknya, Wretikandayun, karena ayahnya, Sampakwaja, adalah putra sulung kakeknya. Senna terpaksa melarikan diri ke timur, melintasi lembah Serayu akhirnya mencoba membangun kekuatan dari tepi Sungai  Cibaghalin (Bogowonto).  

Menurut Naskah Wangsakerta, Senna melarikan ke Kalingga, meminta perlindungan ibu tirinya Parwati yang naik tahta menggantikan Ratu Sima. Parwati kemudian malah mengawinkan Senna dengan Sannaha,anaknya dengan Mandiminyak, yang sekaligus adalah  adik tiri  Senna sendiri. Dari perkawinan Senna dengan Sannaha  lahirlah putranya yang bernama Rakean Jambri alias Sanjaya. 

Rake Sanjaya setelah dewasa mewarisi tahta  ibunya, Sannaha. Karir dan bakatnya  segera tampak. Konon setelah Parwati mangkat, Kalingga pecah jadi dua, Kalingga utara untuk Sannaha dan Senna, sedang Kalingga Selatan untuk adik Sannaha. Rake Sanjaya berhasil menyatukan kembali Kalingga Selatan dan Utara dibawah kendalinya. Kerajaan yang berhasil disatukan kembali itu diberi nama Kerajaan Mataram. Rake Sanjaya pun menangkat dirinya sebagai Rake Mataram. 

Rake Sanjaya juga berhasil mengambil alih kembali tahta Galuh, setelah berhasil mengalahkan pamannya, Purbasora dalam suatu pertempuran hebat. Perang hebat  Kerajaan Galuh Kawali melawan Kerajaan Mataram berakhir dengan tewasnya Purbasora. Setelalah kekuasaan Sanjaya surut, Mataram dan Galuh kembali terpisah. Kerajaan Galuh Kawali berkembang di sebelah barat Sungai Cibaghalin sedang Kerajaan Mataram, berkembang di sebelah timur Sungai Cibaghalin.

Secara geografis cakupan wilayah Kerajaan Galuh mencakup sungai Citarum, Cimanuk. Citanduy, Ciserayu dan Cibaghalin. Van der Meulen dengan memanfaatkan toponim, berhasil membuktikan cakupan wilayah suku bangsa Galuh dengan menyebut nama desa dengan kosa kata galuh yang tersebar dari Cirebon, Ciamis, Banyumas, sampai Bagelen. Misalnya, Rajagaluh (Cirebon), Galuh ( Ciamis), Galuh (Purbalingga), Segaluh (Selatan Wonosobo), dan Samigaluh yang malah di sisi timur Bagawanta, masuk Kulon Progo. 

Asal muasal kata Purwokerto.
Memang menurut antropologi budaya, ada tiga gelombang imigran suku-suku Deutero Melayu yang mendarat di Pulau Jawa, yakni suku Sunda di Jawa Barat, suku Jawa di Jawa Tengah dan suku Madura di Jawa Timur. Suku Sunda mendarat di muara Citarum, dan membentuk Kerajaan Tarumanegara. Suku Jawa, mendarat di Pekalongan, dan mendirikan Kerajaan Kalingga, sedangkan suku Madura mendarat di Jawa Timur, tetapi terdesak oleh suku Jawa, sehingga selalu gagal mendirikan Kerajaan Madura, karena raja-raja Jawa pandai mengambil istri para putri bangsawan Madura. 

Hipotes van der Meulen menyebutkan adanya satu suku bangsa lagi yang merupakan suku bangsa sisipan dari tiga suku bangsa yang sudah dikenal dalam antropologi budaya di atas. Suku bangsa sisipan itu adalah suku bangsa Galuh Purba dan Galuh Lor. Posisi pendaratan Galur Lor sudah dibicarakan,yakni dimuara Sungai Lampir, Pekalongan.

Lalu . di pantai mana di Laut  Jawa suku bangsa Galuh Purba mendarat ? 

Menurut van der Meulen, setelah melalui petualangan panjang dan melelahkan menyeberangi Laut China Selatan dan  melewat berbagai selat, akhirnya mereka tiba juga di sebelah timur muara Cimanuk, dekat Cirebon. Secara bertahap mereka menuju arah hilir Cimanuk dengan mengelilingi sisi barat Gunung Ceremai. Meraka terus menuju hilir, melewati Palimanan, Careme, Sindang-Sindang, dan Raja Galuh, sebagaimana disebutkan dalam Carita Parahiyangan. Sebuah kitab semacam babad yang dianggap berasal dari abad ke-16 M, sehingga setara dengan Pararaton.

Rombongan suku Galuh itu terpecah jadi dua. Satu rombongan belok kanan menuju arah Garut, mengikuti jalur hilir Cimanuk. Kelompok sisanya, pindah jalur ke kiri sampai di tepi Citanduy , mengikuti aliran Citanduy, akhirnya rombongan terakhir ini tiba di kaki Gunung Slamet. Di sana mereka berhasil mendirikan Kerajaan Galuh Purba yang berhasil diidentifikasi oleh penulis Dinasti Tang. Dilaporkan dalam catatan Dinasti Tang bawha Topoteng bersama-sama Holing dan Dwahala pernah mengirimkan utusan ke Tiongkok antara tahun  627 – 649 M. 

Tetapi setelah itu nama Topoteng lenyap. Sedangkan  Hooling masih secara rutin mengirimkan utusannya sampai 3 kali pada abad-abad ke-8 dan ke-9 M.  Van der Meulen tidak berhasil melakukan identifikasi letak Dwahala.Tetapi berhasil dengan baik sekali melakukan identifikasi Topoteng, sebagai Purwokerto.

Menurut van der Meulen, kata Topoteng, berasal dari kata Tataweteng, yang mengalami perubahan pengucapan sehingga menjadi Purwokerto, yang berarti “ yang disusun di permulaan” Kata tata, semakna dengan kerta, atau kerto yang berarti sedang dibentuk, sedang menjadi , sedang berproses, sedang   disusun, atau sedang diatur.

Adapun  kata weteng, poweteng, purwoteng akhirnya menjadi purwo, yang  berarti permulaan, wiwitan atau awal. Jadi, secara toponim, kata Topoteng, berasal dari kata kerto-purwo, yang kemudian diucapkan terbalik. Jadilah nama Purwokerto. Demikan van der Meulen, membuat hipotesis asal mula nama Purwokerto.

Berbeda dengan kata kerto tapi hampir mirip adalah kata karta, yang berarti pemukiman atau kota yang sudah terbentuk. Surakarta, berarti  kota yang berani. Demikian pula Kartasura, punya makna yang sama, kota yang berani. Jayakarta, berarti kota yang jaya atau kota yang menang.. 

Bagaimana dengan Purwakarta? 

Secara toponim, purwa berarti awal, sedang karta berarti kota yang sudah terbentuk. Atau kota yang sudah mapan, kota yang didirikan paling awal. Memang Ibukota Kerajaan Tarumanegara dulu diduga pertama kali didirikan di situs kota Purwakarta, sebelum akhirnya pindah ke arah atas mendekati muara Sungai Citarum. Nama Purwakarta muncul kembali setelah lama tenggelam di lantai sejarah, menjadi nama ibu kota kabupaten pada Agustus 1830 M, yang merupakan pecahan Kabupaten Krawang. Bupati yang mendirikan Kota Purwakarta baru, memang berasal dari Bogor, kota yang dahulu serang dikunjungi Raja Tarumanegara, Purnawarman (395 - 434 M).

Secara toponim dan historis, Kota Purwakarta berdiri lebih dulu dari Kota Purwokerto. Kemiripan nama ini hanya menunjukkan bahwa Kota Purwokerto Banyumas pada masa lalu lebih kuat dipengaruhi kebudayaan Sunda Galuh dari pada kebudayaan Jawa dari kerajaan-kerajaan Jawa di sebelah timur Bagawanta. Malah pendiri Kota Purwokerto, berdasarkan telaah van der Meuluen adalah orang-orang Sunda Galuh Purba. Sedangkan situs Purwakarta, didirikan orang-orang Sunda Tarumanegara.

Kalau begitu apa makna semantik dan historis dari kata Topoteng atau Kertopurwo atau Purwokerto yang tercatat sebagai data historis pada cacatan Dinasti Tang? 

 Makna semantiknya adalah di Topoteng atau di Purwokerto pada saat itu sedang terbentuk sebuah pemukiman yang terus berkembang menjadi sebuah pusat pemerintahan, yaitu pusat pemerintahan Kerajaan Galuh Purba.  Tentu saja wilayah kota Topoteng pada saat itu mencakup suatu wilayah luas dari  sebelah timur Sungai Logawa ke timur sampai sungai Kranji sekarang ini, atau bahkan sampai Sungai Pelus. 

Demikianlah van der Meulen, membuktikan hipotesenya, bahwa di Purwokerto pada awal abad ke-7, pernah berdiri Kerajaan Galuh Purba, sekalipun hanya singkat. Tetapi di wilayah lereng selatan Gunung Slamet itu akhirnya muncul juga pemerintahan Cabang Galuh Kawali, yakni Kadipaten Pasirluhur yang merupakan kadipaten tertua di Lembah Serayu, mendahului Kadipaten Wirasaba. Wallahualam.(anwarhadja-02-01-2015).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar