Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Senin, 25 Januari 2016

Sejarah Awal Kota Banyumas (02)

 

  (Sumber Gambar Wikipedia -Gedung Karesidenan Banyumas -Banyumas sudah berada dalam kendali Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, sejak tahun 1831 M, Bangunan model Eropa itu menandai mulai masuknya pengaruh Eropa ke wilayah Banyumas)

Toponim Selarong


 Sekarang tibalah saatnya kita membahas toponim yang agak rumit, yakni toponim selarong. Dari sudut bahasa Sunda, toponim selarong berasal dari kata sela, yang berarti sela-sela  dan rong yang berarti rongga. Selarong artinya tempat di antara dua rongga. Yang dimaksud dengan rongga di sini bisa berarti gua, gunung, batu, dan pasir sebagai simbol  kekuasaan atau kerajaan. 


Perlu diketahui tradisi leluhur orang Sunda yang diwarisi dari bangsa Galuh, dalam pandangan hidupnya mendasarkan pada air sebagai asas ibu dan gunung sebagai asas bapak. Dewa tertinggi leluhur orang Sunda, juga seorang wanita yakni Sunan Ambu. Pada hakekatnya leluhur orang Sunda memuja asas Ibu lebih dahulu, baru memuja asas bapak. Memang sistem sosial kemasyarakatan leluhur orang Sunda, hampir mendekati tradisi matrilineal leluhur orang Minangkabau. Hal ini bisa dibuktikan pada legenda-legenda tanah Pasundan yang banyak menampilkan tokoh wanita, seperti Danyang Sumbi, Purbasari, Sunan Ambu, Ratna Suminar  dan lainnya lagi. 


Tetapi berbeda dengan leluhur orang Minang yang lebih memuja  wanita  dari pada laki-laki atau leluhur orang Jawa yang lebih memuja pria dari pada wanita, leluhur orang Sunda memuja wanita dan pria secara bersama-sama, sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran. Lihatlah nama-nama Cirebon, Cereme, Citararum, Cimanuk, Ciserrayu, semua ini melukiskan pandangan hidup leluhur orang Sunda yang diwarisi dari Bangsa Galuh yang memuliakan sungai dan air sebagai asas Ibu. Sedang kata-kata di belakangnya  yang melukiskan asas ibu itu, menunjukkan asas ayah atau pria. Secara samar-samar leluhur orang Sunda telah memiliki konsep persamaan gender dalam bentuknya yang paling awal.



Jadi, toponim selarong, mengandung arti, sela-sela di antara dua rong. Rong bisa jadi asas ibu, bisa juga jadi asas ayah. Kata rong dari selarong, menunjukkan adanya dua pusat kekuasaan. Dengan demikian toponim selarong  menjelaskan bahwa wilayah itu merupakan wilayah yang pernah dikuasai oleh dua kekuasaan yang pusatnya tidak saling berjauhan. Kadipaten Selarong sendiri tidak meninggalkan jejak tertulis. Kadipaten manakah yang dimaksud dengan Kadipaten  Selarong  dalam tradisi lisan Banyumas itu ?


Kadipaten di lereng Selatan Gunung Slamet pada masa lalu yang ada di bawah pengaruh tradisi Sunda Galuh Kawali dan Pajajaran hanya dua yakni Kadipaten Pasirbatang-dan Kadipaten Pasirluhur yang memang letaknya saling berdekatan. Lagi pula jarak kedua kadipaten itu sebagai pusat pemerintahan tidak terlalu jauh dari Kota Banyumas. Demikianlah toponim selarong yang dikenal dalam ceritera tutur rakyat Banyumas, menunjukan  bahwa sesunggguhnya wilayah itu pada masa lalu pernah berada di bawah kekuasaan Kadipaten Pasirluhur.. 


Dalam Babad Pasir secara samar-samar disebutkan bahwa sejarah Kadipaten Pasirluhur tidak bisa dipisahkan dari sejarah Kerajaan Galuh Kawali. Tradisi Galuh Kawali sendiri memang menyebutkan adanya pusat pemerintahan di Pasirbatang, tetapi sama sekali tidak menyebutkan adanya pusat pemerintahan di Pasirluhur. Hal ini menunjukkan bahwa Pasirbatang lebih tua dari Pasirluhur. Tradisi Galuh menjelaskan bahwa Kadipaten Pasirbatang, didirikan oleh Raja Galuh Purbasora (716 -723 M) , sedang Pasirluhur didirikan Raja Galuh Senna (709 – 716 M). 


Senna adalah  adik tiri Purbasora, tetapi naik tahta lebih dulu. Dengan demikian yang disebut dengan Kadipaten Selarong dalam ceritera tutur rakyat Banyumas itu adalah Kadipaten Pasirbatang dan Kadipaten Pasirluhur. Kadipaten Pasirluhur pernah memiliki  status kerajaan pada saat menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Galuh Timur (739 – 852 M). Tetapi pada tahun 852 M, turun status menjadi Kadipaten Pasirluhur  setelah Rakean Wuwus, Raja Kerajaan Galuh Timur  ( 819 – 852 M) meninggalkan Pasirluhur . yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Galuh Timur lebih dari satu abad..


Rakean Banga, Sang Pembanguan Peradaban


Sejarah pendirian Kadipaten Pasirbatang dan Pasirluhur, memang erat hubungannya dengan perang perebutan tahta di Kerajaan Galuh Kawali. Rakean Banga yang  turunan Senna bertikai dengan Ciung Wanara yang  turunan Purbasora. Keduanya  memperebutkan tahta Galuh.Perang antara keduanya dikisahkan berlangsung berbulan-bulan siang malam. Ternyata keduanya sama saktinya. Maka tak ada yang menang dan yang kalah. Kedua pewaris tahta Galuh itu akhirnya berdamai, Kerajaan Galuh dipecah jadi dua. Rakean Banga turunan Senna, pergi ke timur untuk  membangun Kerajaan Galuh Timur dengan pusat kerajaan di Pasirbatang, lereng selatan Gunung Slamet. Ciung Wanara, turunan Purbasora, memperoleh bagian Kerajaan Galuh Barat, dan tetap tinggal di Galuh Kawali. Ahli Pantun Orang Sunda Galuh Kawali melukiskan pembagian Kerajaan Galuh itu dengan sebuah pantun yang indah,” Rakean Banga pergi ke timur dengan menembang dan Ciung Wanara pergi ke barat dengan berpantun.”


 Dalam tradisi sejarah raja-raja Galuh, disebutkan, bahwa Kerajaan Galuh Timur berkuasa dari tahun 739 – 852 M, dengan pusatnya  di Pasirbatang-Pasirluhur. Raja-raja yang memerintah Galuh Timur adalah:(1) Rakean Banga (739 – 766 M), (2) Rakean Hulukujang(766 – 783 M), (3) Prabu Gilingwesi ( 783 – 795 M), (4) Darmeswara(795 – 819 M), dan terakhir (5) Rakean Wuwus –Prabu Gajah (819 – 852 M).


Ketika Rakean Banga tiba di Pasirbatang, di situ sudah ada pemerintahan dari kerabat Purbasora yang dengan sendirinya adalah juga kerabat Ciung Wanara. Tetapi karena Rakean Banga telah berdamai dengan Ciung Wanara, maka penguasa Pasirbatang menyerahkan secara suka rela kekuasaan pemerintahan kepada Rakean Banga. Kemudian Rakean Banga membangun kratonnya sendiri  sebagai pusat pemerintahan dengan mengambil tempat agak ke atas dari lokasi Pasirbatang. Lokasi baru itu disebutnya Pasirluhur. Luhur artinya atas. Jadi Pasirluhur, berarti lokasi yang agak ke arah utara yang posisinya lebih atas dari Pasirbatang. Makna simboliknya, Rakean Banga sebagai keturunan Senna,  ingin menunjukkan kepada trah Purbasora, bahwa dirinya selaku ahli waris Senna di tempat itu  lebih berkuasa dari trah Purbasora. 


Dalam  Babad Pasir, disebutkan bahwa Rakean Banga ( Arya Bangah dalam tradisi lisan dan tulis Banyumas)  adalah leluhur pendiri  Kadipaten Pasirluhur. Keterangan ini  cocok dengan tradisi Galuh Kawali. Hanya saja toponim Pasirbatang lebih dikenal oleh tradisi Galuh Kawali dari pada toponim Pasirluhur. Sebaliknya tradisi lisan Banyumas, lebih mengenal Pasirluhur dari pada Pasirbatang. Rupanya ahli pencipta seni sastra lisan Banyumas, menggabungkan jadi satu antara  tradisi lisan Galuh dan Banyumas. Maka  munculah nama  Pasirbatang- Pasirluhur, yang kemudian disamarkan menjadi Selarong. 


Demikianlah arti toponim Selarong, merupakan nama simbolik dari tradisi lisan rakyat Banyumas untuk menyebutkan nama Pasirbatang-Pasirluhur. Kisah Kadipaten Selarong yang hidup sebagai ceritera rakyat Banyumas,sebagaimana sudah disebutkan di atas, membuktikan bahwa situs Kalibening pada masa Kerajaan Galuh Kawali, merupakan wilayah Kadipaten Pasirluhur, sebelum akhirnya wilayah itu  jatuh menjadi wilayah Kerajaan Majapahit lewat Kadipaten Wirasaba (1413 M ).


Toponin Selarong dalam ceritera tutur, bisa menjelaskan proses pembangunan wilayah itu sebagai pusat perayaan keagamaan dan munculnya pemukiman-pemukiman penduduk yang berperan menjadi pendudukung akivitas ritual keagaaman Hindu Syiwa. Perayaan keagamaan dalam visi Hinduisme yang dimeriahkan dengan aktivitas hiburan semacam gebyar budaya secara rutin setiap tahun sudah dilaksanakan pada masa Rakean Banga. Pusat utama aktivitas ritual adalah tempat yang sekarang di kenal dengan situs Kalibening yang sudah berubah jadi komplek pemakam itu. Sebab di situ terdapat sumber tirthas atau air suci  yang sangat disakralkan  dalam tradisi Hinduisme. Puncak acara ritual dilaksanakan di lapangan situs Somagede yang dilanjutkan dengan pasar malam dan kegiatan gebyar budaya untuk menghibur rakyat kawula Kerajaan Galuh Timur.


Ketika membangun kraton baru di Pasirluhur, Rakean Banga menghadapkan istananya  ke arah selatan. Hal ini  sesuai dengan tradisi dan mitos leluhur Bangsa Galuh yang memandang Lautan Selatan sebagai lautan suci. Cucu Rake Sanjaya itu juga yang membangun pusat ritual memuja Sang Hyang Syiwa di sisi barat lereng Pegunungan Serayu dalam bentuk padepokan yang diberi nama  Padepokan Sokalima. 


Padepokan ini dibanguan Rakean Banga sebagai bagian dari kultus pemujaan kepada Bima, sekaligus juga untuk mengenang kakek buyutnya, Senna yang pernah berkemah di situ dalam pelariannya menyusuri Sungai Serayu menghindari kejaran pasukan Purbasora. Nama lain Bima dalam Mahabharata adalah Brata Sena. Sebuah nama yang mempunyai kemiripan dengan Senna, yang hendak dikenangnya dengan mendirikan Padepokan Sokalima. Dengan membangun Padepokan yang diberi nama Sokalima, Rakean Banga bermaksud memuja tokoh Dahyang Drona,  Bima, sekaligus juga memuja kakek buyutnya Senna. Dahyang Drona adalah Pendeta Sakti Guru Bima yang pernah menugaskan Bima untuk mencari air suci Tirta Pawitrasari, ketika Bima berguru pada Dahyang Drona.


 Jelas sekali, bahwa Rakean Banga, mengidentifikasikan Senna dengan Bima. Barang kali dalam imajinasinya, Senna yang perkasa itu, adalah titisan Bima, Ksatria Pandawa yang gagah perkasa. Lagi pula nama depan kata Banga ada kemiripan dengan Bima. Setidak-tidaknya huruf awalnya sama. Demikianlah Rakean Banga telah mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh Bima, seperti juga Senna, kakek buyutnya. Masuk akal juga jika Rakean Banga menganggap dirinya titisan Senna, kakek buyutnya, sebab keduanya sama-sama berjuang memperebutkan tahta Kerajaan Galuh warisan leluhurnya, Maharaja Wretikandayun, Sang Pendiri Kerajaan Galuh Kawali. Jika Senna melawan Purbasora, Rakean Banga melawan Ciung Wanara.


Dalam rangka membanguan pusat ritual agama Kerajaan Galuh Timur yang dipusatkan di sepanjang sisi selatan Sungai Serayu itu, Rakean Banga mengangkat Ki Ajar Sokalima yang mendapat tugas istimewa yakni sebagai penanggung jawab Padepokan Sokalima, sekaligus juga bertanggung jawab menyelenggarakan ritual-ritual keagaman memuja Sang Hyang Syiwa yang secara rutin dilaksanakan sebagai bagian dari Perayaaan Hari-Hari Besar Keagamaan Kerajaan Galuh Timur.


 Rakean Banga juga membangun lapangan tempat perayaan keagamaan di sebelah timur Padepokan Sokalima, yakni di Somagede. Seperti sudah dijelaskan diatas, toponim somagede menunjukkan di situ setiap bulan Caitra tanggal 14 Malam Syiwa Ratri diselenggarakan ritual keagamaan memuja Sang Hyang Syiwa sekaligus juga menyambut tahun baru Saka sebagai bagian dari tradisi Hinduisme yang penting. Selesai perayaan menyambut tahun baru Saka di Somagede, dilanjutkan dengan penyelenggaraan pasar malam. Perayaan menyambut malam Syiwa Ratri, didahului dengan prosesi pengambilan tirthas atau air suci dari sumber tirthas di halaman Padepokan Sokalima dan mengaraknya ke Somagede sebagai tempat puncak perayaan. Posisi Somagede- Sokalima yang membujur dari barat ke timur sepanjang tepi selatan Sungai Serayu juga sebagai bagian dari upaya Rakean Banga mengenang perjalanan kakek buyutnya, Senna dalam perjalannnnya menyusuri Sungi Serayu menuju hulu tempat mata air  Sungai Serayu di kaki selatan Gunung Dieng. 


 Semua perayaan keagamaan itu menjadi tanggung jawab Ki Ajar Sokalima. Tetapi nama Ki Ajar Sokalima tidak dikenal dalam tradisi lisan Banyumas. Tradisi lisan Banyumas hanya mengenal Ki Ajar Pamungkas dalam ceritera tutur legenda Kota Selarong versi kedua tersebut di atas. Sipakakah  Ki Ajar Sokalima? Dia  adalah leluhur Ki Ajar Pamungkas yang luput dari ingatan kolektip cerita lisan rakyat Banyumas. Dia adalah guru spiritual Rakean Banga yang setia mengikuti Rakean Banga  dalam perjalanannya ke timur setelah perdamaian dengan Ciung Wanara tercapai. Kemungkinan besar pada jaman Ki Ajar Sokalima dan Rakean Banga, Sumber Tirthas atau  Sumur Pasucen itu sudah ditemukan. Tetapi Ki Langlangjatilah yang kemudian berhasil membangunnya dan memperluasnya sehingga lebih representatip. 


Dengan demikian perayaan-perayaan keagamaan untuk memuja Sang Hyang Syiwa yang diselenggarakan Kerajaan Galuh Timur di sekitar kaki Pegunungan Serayu itu, sudah dirintis pada masa Rakean Banga dan dilanjutkan oleh Raja Galuh Timur penerusnya. Dengan adanya berbagai macam ritual dan perayaan keagamaan kerajaan yang setiap tahun dipusatkan di situ, maka berkembanglah pemukiman penduduk berupa asrama tempat tingga Ki Ajar Sokalima dengan keluarganya dan cantrik-cantriknya, pemukiman penduduk pendatang yang mencari penghasilan yang ada hubungan dengan kegiatan mendukung perayaan-perayaan keagamaan, sehingga muncul nama-nama tempat pemukiman penduduk seperti Kebasen, Kejawar, Dawuan, Karangkamal, Pekunden, Sokawera, Somagede dan lainnya lagi sperti telah disebutkan di atas. Pemukiman itu muncul bersamaan dengan pembangunan Padepokan Sokalima yang dibangun Rakaen Banga dan terus berkembang pada masa Rakean Wuwus, Penguasa terakhir Kerajaan Galuh Timur di Pasirluhur.


Rakean Wuwus mendapat gelar Prabu Gajah, karena  dia gemar melakukan inspeksi, turba alias blusukan dengan mengendarai Gajah. Bukti kehadiran Rakean Wuwus di lereng Gunung Slamet bisa dibuktikan dengan nama desa di utara Sumbang, desa Limpakuwus. Toponim limpakuwus, bisa jadi berasal dari kata limanwuwus, yang artinya gajah Rakean Wuwus. Dari limanwuwus, lama-lama berubah jadi Limpakuwus. Liman adalah gajah dalam bahasa Sansekerta yang sudah lama diserap ke dalam bahasa Sunda maupun bahasa Jawa, sehingga dikenal baik oleh orang Sunda maupun orang Jawa.


Tidak jauh dari Kebasen konon ada sungai yang namanya Sungai Gajah. Agaknya nama sungai ini berkaitan dengan kehadiran Rakean Wuwus di wilayah yang oleh penduduknya disebut wilayah Selarong. Nampaknya desa-desa Kebasen, Dawuan, Karangkamal, Pekunden, Kejawar, Sokawera, Somagede, merupakan desa-desa yang sudah bermunculan sebelum  masa Prabu Gajah Rakean Wuwus berkuasa di Pasirluhur sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Galuh Timur. Desa-desa itu sudah mulai muncul pada saat Rakean Banga berkuasa. 


Rakean Wuwus mengakhiri tahta Galuh Timur di Pasirluhur  bukan karenan mangkat. Tetapi karena dia menggantikan mertuanya, Linggabumi ( 819- 852 M) yang mangkat pada tahun 852 M, tanpa meninggalkan putra mahkota. Rakean Wuwus-Prabu Gajah, menyatukan kembali Galuh Timur dan Galuh Barat. Sejak pindah ke Kawali, Rakean Wuwus mendapat julukan Prabu Gajah Kulon, artinya Prabu Gajah yang pindah dari timur ke barat. Dia mengendalikan Kerajaan Galuh Kawali yang berhasil disatukannya kembali. Rakean Wuwus menduduki tahta Galuh yang telah disatukan  dari tahun 852 – 891 M. 

Sejak itu Kerajaan Galuh Kawali mengalami masa damai yang cukup panjang dan baru mengalami sedikit gejolak ketika terjadi Peristiwa Bubat tahun 1357 M. Maka mulailah kekuasaan  Kerajaan Galuh Kawali mengalamai  kemerosotan di Lembah Serayu. Wilayah Galuh semakin terdesak ke barat. Pada tahun 1413 M, wilayah selatan dan timur Serayu sudah jatuh ke tangan Kerajaan Majapahit. Tahun 1433 M, Kerajaan Galuh Kawali pun pindah ke Pakuan Pajajaran. Ketika Pengelana Pajajaran Bujangga Manik mengunjungi Lembah Serayu menjelang akhir abad ke 15 M dalam perjalanannya kembali dari lawatannya ke Jawa Timur, melaporkan dalam catatan perjalannya, bahwa Sungai Ciserayu menjadi batas baru pemisah paling timur Kerajaan Pajajaran dengan Kerajaan Majapahit. Telah terjadi pergeseran batas alamiah Kerajaan Pajajaran- Majapahit ke arah barat. Dari Sungai Baghalin, menjadi Sungai Ciserayu.  Bujangga Manik juga sempat mengunjungi Pulau Nusakambangan dan Pasirluhur, sehingga dapat disimpulkan bahwa Nusakambangan pada masa itu masih merupakan wilayah Kerajaan Pajajaran di Pakuan.


Bencana kekeringan yang pernah menimpa kota Banyumas dan sekitarnya, terjadi pasca pindahnya Rakean Wuwus dari Pasirluhur, yang telah turun status menjadi kadipaten dengan pusat pemerintahan di Pasirluhur. Dengan demikian tahun 852 M, berdasarkan tradisi sejarah raja-raja Galuh Kawali, dapat ditetapkan sebagai tahun berdirinya Kadipaten Pasirluhur, yang akan berakhir pada tahun 1522 M. Kelak Banyakgaleh menghidupkan kembali nama Pasirbatang, pasca serangan Demak  yang meluluhlantakkan Pasirluhur. Serangan Demak pada masa Sultan Trenggono itu terjadi  akibat kecerobohan Adipati Banyak Thole yang menantang Demak dan mulai menjalin koalisi dengan Pajajaran-Kediri dan Portugis Di Malaka (1522 M). Ditangan Banyakgaleh Kadipaten Pasirbatang kembali ke dalam pelukan Kerajaan Islam Demak.


Kadipaten Pasirbatang, lenyap ketika Raja Pajang Adiwijaya, melikwidasi Kadipaten  Pasirbatang dengan menurunkan statusnya dan memecah-mecah menjadi setingkat kademangan.Tidak jelas apa alasan Pajang menghapus status Kadipaten Pasirbatang (1569 M). Besar kemungkinan Kadipaten Pasirbatang memilih bersikap netral dalam konflik Jipang vs Pajang, sehingga membuat Raja Pajang murka dan menghukum Kadipaten Pasirbatang, setelah Pajang keluar sebagai pemenang melawan Jipang. Pasirbatang memang merasa tidak nyaman berada di bawah kekuasaan Pajang. Tetapi apa daya? 


Sejak ditinggalakan Rakean Wuwus tahun 852 M, wilayah sekitar kota Banyumas, masih tetap berada di bawah kekuasaan Kadipaten Pasirluhur. Tetapi kadipaten ini pada awalnya berkembang menjadi kadipaten yang lemah. Para adipati dan ponggawanya gemar berpesta pora, hidup boros, sehingga kekuatannya merosot. Padahal pada masa Rakean Wuwus dan penguasa sebelumnya, Pasirluhur merupakan wilayah yang makmur, karena menjadi pusat kerajaan. Tanda-tanda kemerosotan tampak secara tersirat dikisahkan dalam legenda kota Selarong versi kedua di atas. Kadipaten Pasirluhur  menguat kembali pada masa Patih Buni Sora berkuasa menggantikan kakaknya Sang Maharaja(1350 – 1357 M) yang gugur di Medan Bubat. Patih Buni Sora memegang kendali Kerajaan Galuh Kawali ( 1357 – 1371 M), karena Putra Mahkota Niskala Wastukancana, masih kanak-kanak dan belum cukup umur untuk memerintah. 

Patih Buni Sora yang ahli dalam ilmu pemerintahan itu, mendorong  agar Kadipaten Pasirluhur berkembang kembali menjadi kadipaten yang kuat. Patih Buni Sora banyak mengirimkan orang-orang Galuh yang memiliki kepandaian membuat alat-alat perang ke Pasirluhur. Sebenarnya Patih Buni Sora hanya mengikuti Purbasora dan Rakean Banga. Purbasora, Rakean Banga dan Patih Buni Sora adalah tokoh-tokoh Galuh Kawali yang berjasa mengembangkan industri alat-alat persenjataan dan pertanian dari barang logam di Pasirluhur dan Pasirbatang, yang jejak-jejaknya masih dapat kita saksikan di Desa Pasir Wetan, Kecamatan Karanglewas. Akhirnya Kadipaten Pasirluhur berkembang kembali menjadi kadipaten yang kuat dan makmur. Kadipaten ini   mampu membendung ambisi territorial Kerajaan Majapahit sehingga tetap tertahan di sebelah selatan dan timur Sungai Serayu, sebagaimana telah dilaporkan pengelana Bujangga Manik yang sempat mengunjungi Kadipaten Pasirluhur dan Nusakambangan menjelang akhir abad ke-15 M. Pada saat itu Kadipaten Pasirluhur mampu memainkan peran sebagai ujung tombak pertahanan wilayah paling timur Kerajaan Pajajaran.


 Bencana Kekeringan Menimpa Banyumas.

Dalam ceritera tutur Legenda Kota Selarong versi pertama maupun kedua, seperti telah dikemukakan di atas, bencana kekeringan telah  melanda Lembah Serayu. Peristiwa  itu  terjadi antara tahun 852 – 891 M. Saat itu   Rakean Wuwus sudah pindah ke Galuh Kawali. Begitu hebatnya bencana kekeringa itu melanda daerah yang sebenarnya amat subur, sehingga peristiwa yang bersifat anomali itu tetap diingat dalam memori publik rakyat Banyumas, dan diceriterkan dari satu generasi kepada genersai berikutnya. Tentu saja lama kelamaan ingatan kolektip itu mengabur, menjadi kepingan-kepingan dan serpiahan serpihan cerita yang akhirnya melahirkan aneka macam legenda dengan  aneka macam versinya. Namun ada yang tetap bertahan sampai sekarang, yakni toponim nama-nama tempat yang bisa menjadi saksi peristiwa sejarah kehidupan anak manusia pada masa yang sudah lama berlalu. 

 Pada versi kedua dikisahkan bahwa Ki Ajar Pamungkas akhirnya menghadap Sang Adipati Pasirluhur, dan mengingatkan agar Sang Adipati mau betobat dengan memohon petunjuk dewa, agar bencana kekeringan yang menyengsarakan itu  bisa secepatnya berakhir. Ki Ajar Pamungkas, dapat dipastikan juga menghadap Rakean Wuwus yang sudah pindah ke Kawali. Setelah menerima laporan dari Ki Ajar Pamungkas, Rakean Wuwus menugaskan  Ki Langlangjati untuk mengatasi bencana kekeringan itu. Ki Langlangjati  mungkin  orang kepercayaan mertu Rakean Wuwus yang sudah mangkat, Linggabumi. 


Ki Langlangjati pun berangkat bersama dengan Ki Ajar Pamungkas untuk mengatasi masalah kekeringan yang menimpa Lembah Serayu dan Padepokan Sokalima. Rupanya Ki Langlangjati mampu mengatasi masalah, sehingga dilukiskan berhasil menemukan Sumber Tirtas di halaman Padepokan Sokalima, yang kelak pada masa Islam, berubah nama menjadi Sumur Pasucen. Padepokan Sokalima berubah nama menjadi Padepokan Kalibening.Sebuah nama yang merupakan kompromi antara tradisi Hindu dan tradisi Islam. Dan juga tradisi Sunda dan tradisi Jawa.

 Ki Langlangjati  tidak lain adalah leluhur Ki Glagah Amba. Ki Glagah Amba agaknya pada mulanya seorang ksatria, yang kemudian menjadi pendeta karena harus mewarisi padepokan warisan leluhurnya. Ki Glagah Amba adalah nama Jawa, bukan nama Sunda. Hal ini disebabkan  Padepokan Sokalima setelah lepas dari Pasirluhur, jatuh ke tangan Kerajaan Jawa, yakni Majapahit. 

Dia menjadi mualaf muslim bersamaan dengan Kadipaten Wirasaba dan Kademangan Kejawar, setelah Pengging jatuh ke tangan Demak pada tahun 1530 M. Masyarakat sekitarnya mengenalnya sebagai Mbah Kalibening. Makamnya dikeramatkan hingga sekarang. Benda-benda pusaka Kalibening yang setiap bulan Mulud dimandikan itu, adalah warisan miliknya  yang tetap terawat sampai sekarang. Adanya benda-benda pusaka yang berupa peralatan perang itu menunjukkan bahwa Ki Glagah Amba pada awalnya adalah seorang satrio pinandito.[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar