(Sumber Gambar Wikipedia -Gedung Karesidenan Banyumas -Banyumas sudah berada dalam kendali Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, sejak tahun 1831 M, Bangunan model Eropa itu menandai mulai masuknya pengaruh Eropa ke wilayah Banyumas)
Toponim Selarong
Sekarang tibalah saatnya kita membahas toponim
yang agak rumit, yakni toponim selarong. Dari sudut bahasa Sunda, toponim
selarong berasal dari kata sela, yang berarti sela-sela dan rong yang berarti rongga. Selarong
artinya tempat di antara dua rongga. Yang dimaksud dengan rongga di sini bisa
berarti gua, gunung, batu, dan pasir sebagai simbol kekuasaan atau kerajaan.
Perlu
diketahui tradisi leluhur orang Sunda yang diwarisi dari bangsa Galuh, dalam
pandangan hidupnya mendasarkan pada air sebagai asas ibu dan gunung sebagai
asas bapak. Dewa tertinggi leluhur orang Sunda, juga seorang wanita yakni Sunan
Ambu. Pada hakekatnya leluhur orang Sunda memuja asas Ibu lebih dahulu, baru
memuja asas bapak. Memang sistem sosial kemasyarakatan leluhur orang Sunda,
hampir mendekati tradisi matrilineal leluhur orang Minangkabau. Hal ini bisa
dibuktikan pada legenda-legenda tanah Pasundan yang banyak menampilkan tokoh
wanita, seperti Danyang Sumbi, Purbasari, Sunan Ambu, Ratna Suminar dan lainnya lagi.
Tetapi
berbeda dengan leluhur orang Minang yang lebih memuja wanita
dari pada laki-laki atau leluhur orang Jawa yang lebih memuja pria dari
pada wanita, leluhur orang Sunda memuja wanita dan pria secara bersama-sama,
sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran. Lihatlah nama-nama Cirebon, Cereme,
Citararum, Cimanuk, Ciserrayu, semua ini melukiskan pandangan hidup leluhur
orang Sunda yang diwarisi dari Bangsa Galuh yang memuliakan sungai dan air
sebagai asas Ibu. Sedang kata-kata di belakangnya yang melukiskan asas ibu itu, menunjukkan asas
ayah atau pria. Secara samar-samar leluhur orang Sunda telah memiliki konsep
persamaan gender dalam bentuknya yang paling awal.
Jadi,
toponim selarong, mengandung arti, sela-sela di antara dua rong. Rong bisa jadi
asas ibu, bisa juga jadi asas ayah. Kata rong dari selarong, menunjukkan adanya
dua pusat kekuasaan. Dengan demikian toponim selarong menjelaskan bahwa wilayah itu merupakan
wilayah yang pernah dikuasai oleh dua kekuasaan yang pusatnya tidak saling
berjauhan. Kadipaten Selarong sendiri tidak meninggalkan jejak tertulis. Kadipaten
manakah yang dimaksud dengan Kadipaten
Selarong dalam tradisi lisan
Banyumas itu ?
Kadipaten
di lereng Selatan Gunung Slamet pada masa lalu yang ada di bawah pengaruh
tradisi Sunda Galuh Kawali dan Pajajaran hanya dua yakni Kadipaten Pasirbatang-dan
Kadipaten Pasirluhur yang memang letaknya saling berdekatan. Lagi pula jarak
kedua kadipaten itu sebagai pusat pemerintahan tidak terlalu jauh dari Kota
Banyumas. Demikianlah toponim selarong yang dikenal dalam ceritera tutur rakyat
Banyumas, menunjukan bahwa sesunggguhnya
wilayah itu pada masa lalu pernah berada di bawah kekuasaan Kadipaten
Pasirluhur..
Dalam
Babad Pasir secara samar-samar disebutkan bahwa sejarah Kadipaten Pasirluhur tidak
bisa dipisahkan dari sejarah Kerajaan Galuh Kawali. Tradisi Galuh Kawali sendiri
memang menyebutkan adanya pusat pemerintahan di Pasirbatang, tetapi sama sekali
tidak menyebutkan adanya pusat pemerintahan di Pasirluhur. Hal ini menunjukkan
bahwa Pasirbatang lebih tua dari Pasirluhur. Tradisi Galuh menjelaskan bahwa Kadipaten
Pasirbatang, didirikan oleh Raja Galuh Purbasora (716 -723 M) , sedang Pasirluhur
didirikan Raja Galuh Senna (709 – 716 M).
Senna
adalah adik tiri Purbasora, tetapi naik tahta
lebih dulu. Dengan demikian yang disebut dengan Kadipaten Selarong dalam
ceritera tutur rakyat Banyumas itu adalah Kadipaten Pasirbatang dan Kadipaten
Pasirluhur. Kadipaten Pasirluhur pernah memiliki status kerajaan pada saat menjadi pusat
pemerintahan Kerajaan Galuh Timur (739 – 852 M). Tetapi pada tahun 852 M, turun
status menjadi Kadipaten Pasirluhur setelah Rakean Wuwus, Raja Kerajaan Galuh
Timur ( 819 – 852 M) meninggalkan
Pasirluhur . yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Galuh Timur lebih dari satu
abad..
Rakean Banga, Sang Pembanguan
Peradaban
Sejarah
pendirian Kadipaten Pasirbatang dan Pasirluhur, memang erat hubungannya dengan perang
perebutan tahta di Kerajaan Galuh Kawali. Rakean Banga yang turunan Senna bertikai dengan Ciung Wanara
yang turunan Purbasora. Keduanya memperebutkan tahta Galuh.Perang antara keduanya dikisahkan berlangsung berbulan-bulan siang malam. Ternyata keduanya sama saktinya. Maka tak ada yang
menang dan yang kalah. Kedua pewaris tahta Galuh itu akhirnya berdamai,
Kerajaan Galuh dipecah jadi dua. Rakean Banga turunan Senna, pergi ke timur
untuk membangun Kerajaan Galuh Timur
dengan pusat kerajaan di Pasirbatang, lereng selatan Gunung Slamet. Ciung
Wanara, turunan Purbasora, memperoleh bagian Kerajaan Galuh Barat, dan tetap
tinggal di Galuh Kawali. Ahli Pantun Orang Sunda Galuh Kawali melukiskan
pembagian Kerajaan Galuh itu dengan sebuah pantun yang indah,” Rakean Banga
pergi ke timur dengan menembang dan Ciung Wanara pergi ke barat dengan
berpantun.”
Dalam tradisi sejarah raja-raja Galuh,
disebutkan, bahwa Kerajaan Galuh Timur berkuasa dari tahun 739 – 852 M, dengan
pusatnya di Pasirbatang-Pasirluhur.
Raja-raja yang memerintah Galuh Timur adalah:(1) Rakean Banga (739 – 766 M),
(2) Rakean Hulukujang(766 – 783 M), (3) Prabu Gilingwesi ( 783 – 795 M), (4)
Darmeswara(795 – 819 M), dan terakhir (5) Rakean Wuwus –Prabu Gajah (819 – 852
M).
Ketika
Rakean Banga tiba di Pasirbatang, di situ sudah ada pemerintahan dari kerabat
Purbasora yang dengan sendirinya adalah juga kerabat Ciung Wanara. Tetapi
karena Rakean Banga telah berdamai dengan Ciung Wanara, maka penguasa
Pasirbatang menyerahkan secara suka rela kekuasaan pemerintahan kepada Rakean
Banga. Kemudian Rakean Banga membangun kratonnya sendiri sebagai pusat pemerintahan dengan mengambil
tempat agak ke atas dari lokasi Pasirbatang. Lokasi baru itu disebutnya Pasirluhur.
Luhur artinya atas. Jadi Pasirluhur, berarti lokasi yang agak ke arah utara yang
posisinya lebih atas dari Pasirbatang. Makna simboliknya, Rakean Banga sebagai
keturunan Senna, ingin menunjukkan
kepada trah Purbasora, bahwa dirinya selaku ahli waris Senna di tempat itu lebih berkuasa dari trah Purbasora.
Dalam
Babad Pasir, disebutkan bahwa Rakean
Banga ( Arya Bangah dalam tradisi lisan dan tulis Banyumas) adalah leluhur pendiri Kadipaten Pasirluhur. Keterangan ini cocok dengan tradisi Galuh Kawali. Hanya saja
toponim Pasirbatang lebih dikenal oleh tradisi Galuh Kawali dari pada toponim
Pasirluhur. Sebaliknya tradisi lisan Banyumas, lebih mengenal Pasirluhur dari pada
Pasirbatang. Rupanya ahli pencipta seni sastra lisan Banyumas, menggabungkan
jadi satu antara tradisi lisan Galuh dan
Banyumas. Maka munculah nama Pasirbatang- Pasirluhur, yang kemudian disamarkan
menjadi Selarong.
Demikianlah
arti toponim Selarong, merupakan nama simbolik dari tradisi lisan rakyat Banyumas
untuk menyebutkan nama Pasirbatang-Pasirluhur. Kisah Kadipaten Selarong yang
hidup sebagai ceritera rakyat Banyumas,sebagaimana sudah disebutkan di atas, membuktikan bahwa situs Kalibening pada
masa Kerajaan Galuh Kawali, merupakan wilayah Kadipaten Pasirluhur, sebelum
akhirnya wilayah itu jatuh menjadi
wilayah Kerajaan Majapahit lewat Kadipaten Wirasaba (1413 M ).
Toponin
Selarong dalam ceritera tutur, bisa menjelaskan proses pembangunan wilayah itu
sebagai pusat perayaan keagamaan dan munculnya pemukiman-pemukiman penduduk
yang berperan menjadi pendudukung akivitas ritual keagaaman Hindu Syiwa.
Perayaan keagamaan dalam visi Hinduisme yang dimeriahkan dengan aktivitas
hiburan semacam gebyar budaya secara rutin setiap tahun sudah dilaksanakan pada
masa Rakean Banga. Pusat utama aktivitas ritual adalah tempat yang sekarang di
kenal dengan situs Kalibening yang sudah berubah jadi komplek pemakam itu.
Sebab di situ terdapat sumber tirthas atau air suci yang sangat disakralkan dalam tradisi Hinduisme. Puncak acara ritual
dilaksanakan di lapangan situs Somagede yang dilanjutkan dengan pasar malam dan
kegiatan gebyar budaya untuk menghibur rakyat kawula Kerajaan Galuh Timur.
Ketika
membangun kraton baru di Pasirluhur, Rakean Banga menghadapkan istananya ke arah selatan. Hal ini sesuai dengan tradisi dan mitos leluhur Bangsa
Galuh yang memandang Lautan Selatan sebagai lautan suci. Cucu Rake Sanjaya itu juga
yang membangun pusat ritual memuja Sang Hyang Syiwa di sisi barat lereng
Pegunungan Serayu dalam bentuk padepokan yang diberi nama Padepokan Sokalima.
Padepokan
ini dibanguan Rakean Banga sebagai bagian dari kultus pemujaan kepada Bima,
sekaligus juga untuk mengenang kakek buyutnya, Senna yang pernah berkemah di
situ dalam pelariannya menyusuri Sungai Serayu menghindari kejaran pasukan Purbasora.
Nama lain Bima dalam Mahabharata adalah Brata Sena. Sebuah nama yang mempunyai
kemiripan dengan Senna, yang hendak dikenangnya dengan mendirikan Padepokan
Sokalima. Dengan membangun Padepokan yang diberi nama Sokalima, Rakean Banga
bermaksud memuja tokoh Dahyang Drona, Bima, sekaligus juga memuja kakek buyutnya
Senna. Dahyang Drona adalah Pendeta Sakti Guru Bima yang pernah menugaskan Bima
untuk mencari air suci Tirta Pawitrasari, ketika Bima berguru pada Dahyang
Drona.
Jelas sekali, bahwa Rakean Banga,
mengidentifikasikan Senna dengan Bima. Barang kali dalam imajinasinya, Senna
yang perkasa itu, adalah titisan Bima, Ksatria Pandawa yang gagah perkasa. Lagi
pula nama depan kata Banga ada kemiripan dengan Bima. Setidak-tidaknya huruf
awalnya sama. Demikianlah Rakean Banga telah mengidentifikasikan dirinya dengan
tokoh Bima, seperti juga Senna, kakek buyutnya. Masuk akal juga jika Rakean
Banga menganggap dirinya titisan Senna, kakek buyutnya, sebab keduanya
sama-sama berjuang memperebutkan tahta Kerajaan Galuh warisan leluhurnya,
Maharaja Wretikandayun, Sang Pendiri Kerajaan Galuh Kawali. Jika Senna melawan
Purbasora, Rakean Banga melawan Ciung Wanara.
Dalam
rangka membanguan pusat ritual agama Kerajaan Galuh Timur yang dipusatkan di
sepanjang sisi selatan Sungai Serayu itu, Rakean Banga mengangkat Ki Ajar
Sokalima yang mendapat tugas istimewa yakni sebagai penanggung jawab Padepokan
Sokalima, sekaligus juga bertanggung jawab menyelenggarakan ritual-ritual
keagaman memuja Sang Hyang Syiwa yang secara rutin dilaksanakan sebagai bagian
dari Perayaaan Hari-Hari Besar Keagamaan Kerajaan Galuh Timur.
Rakean Banga juga membangun lapangan tempat
perayaan keagamaan di sebelah timur Padepokan Sokalima, yakni di Somagede.
Seperti sudah dijelaskan diatas, toponim somagede menunjukkan di situ setiap
bulan Caitra tanggal 14 Malam Syiwa Ratri diselenggarakan ritual keagamaan
memuja Sang Hyang Syiwa sekaligus juga menyambut tahun baru Saka sebagai bagian
dari tradisi Hinduisme yang penting. Selesai perayaan menyambut tahun baru Saka
di Somagede, dilanjutkan dengan penyelenggaraan pasar malam. Perayaan menyambut
malam Syiwa Ratri, didahului dengan prosesi pengambilan tirthas atau air suci
dari sumber tirthas di halaman Padepokan Sokalima dan mengaraknya ke Somagede
sebagai tempat puncak perayaan. Posisi Somagede- Sokalima yang membujur dari
barat ke timur sepanjang tepi selatan Sungai Serayu juga sebagai bagian dari
upaya Rakean Banga mengenang perjalanan kakek buyutnya, Senna dalam
perjalannnnya menyusuri Sungi Serayu menuju hulu tempat mata air Sungai Serayu di kaki selatan Gunung
Dieng.
Semua perayaan keagamaan itu menjadi tanggung
jawab Ki Ajar Sokalima. Tetapi nama Ki Ajar Sokalima tidak dikenal dalam
tradisi lisan Banyumas. Tradisi lisan Banyumas hanya mengenal Ki Ajar Pamungkas
dalam ceritera tutur legenda Kota Selarong versi kedua tersebut di atas.
Sipakakah Ki Ajar Sokalima? Dia adalah leluhur Ki Ajar Pamungkas yang luput
dari ingatan kolektip cerita lisan rakyat Banyumas. Dia adalah guru spiritual Rakean
Banga yang setia mengikuti Rakean Banga dalam perjalanannya ke timur setelah
perdamaian dengan Ciung Wanara tercapai. Kemungkinan besar pada jaman Ki Ajar
Sokalima dan Rakean Banga, Sumber Tirthas atau
Sumur Pasucen itu sudah ditemukan. Tetapi Ki Langlangjatilah yang kemudian
berhasil membangunnya dan memperluasnya sehingga lebih representatip.
Dengan
demikian perayaan-perayaan keagamaan untuk memuja Sang Hyang Syiwa yang
diselenggarakan Kerajaan Galuh Timur di sekitar kaki Pegunungan Serayu itu, sudah
dirintis pada masa Rakean Banga dan dilanjutkan oleh Raja Galuh Timur penerusnya.
Dengan adanya berbagai macam ritual dan perayaan keagamaan kerajaan yang setiap
tahun dipusatkan di situ, maka berkembanglah pemukiman penduduk berupa asrama
tempat tingga Ki Ajar Sokalima dengan keluarganya dan cantrik-cantriknya,
pemukiman penduduk pendatang yang mencari penghasilan yang ada hubungan dengan
kegiatan mendukung perayaan-perayaan keagamaan, sehingga muncul nama-nama
tempat pemukiman penduduk seperti Kebasen, Kejawar, Dawuan, Karangkamal,
Pekunden, Sokawera, Somagede dan lainnya lagi sperti telah disebutkan di atas.
Pemukiman itu muncul bersamaan dengan pembangunan Padepokan Sokalima yang
dibangun Rakaen Banga dan terus berkembang pada masa Rakean Wuwus, Penguasa
terakhir Kerajaan Galuh Timur di Pasirluhur.
Rakean
Wuwus mendapat gelar Prabu Gajah, karena
dia gemar melakukan inspeksi, turba alias blusukan dengan mengendarai
Gajah. Bukti kehadiran Rakean Wuwus di lereng Gunung Slamet bisa dibuktikan
dengan nama desa di utara Sumbang, desa Limpakuwus. Toponim limpakuwus, bisa
jadi berasal dari kata limanwuwus, yang artinya gajah Rakean Wuwus. Dari
limanwuwus, lama-lama berubah jadi Limpakuwus. Liman adalah gajah dalam bahasa
Sansekerta yang sudah lama diserap ke dalam bahasa Sunda maupun bahasa Jawa,
sehingga dikenal baik oleh orang Sunda maupun orang Jawa.
Tidak
jauh dari Kebasen konon ada sungai yang namanya Sungai Gajah. Agaknya nama
sungai ini berkaitan dengan kehadiran Rakean Wuwus di wilayah yang oleh penduduknya
disebut wilayah Selarong. Nampaknya desa-desa Kebasen, Dawuan, Karangkamal,
Pekunden, Kejawar, Sokawera, Somagede, merupakan desa-desa yang sudah
bermunculan sebelum masa Prabu Gajah
Rakean Wuwus berkuasa di Pasirluhur sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Galuh
Timur. Desa-desa itu sudah mulai muncul pada saat Rakean Banga berkuasa.
Rakean
Wuwus mengakhiri tahta Galuh Timur di Pasirluhur bukan karenan mangkat. Tetapi karena dia
menggantikan mertuanya, Linggabumi ( 819- 852 M) yang mangkat pada tahun 852 M,
tanpa meninggalkan putra mahkota. Rakean Wuwus-Prabu Gajah, menyatukan kembali
Galuh Timur dan Galuh Barat. Sejak pindah ke Kawali, Rakean Wuwus mendapat
julukan Prabu Gajah Kulon, artinya Prabu Gajah yang pindah dari timur ke barat.
Dia mengendalikan Kerajaan Galuh Kawali yang berhasil disatukannya kembali.
Rakean Wuwus menduduki tahta Galuh yang telah disatukan dari tahun 852 – 891 M.
Sejak itu Kerajaan Galuh Kawali mengalami masa damai yang cukup panjang dan baru mengalami sedikit gejolak ketika terjadi Peristiwa Bubat tahun 1357 M. Maka mulailah kekuasaan Kerajaan Galuh Kawali mengalamai kemerosotan di Lembah Serayu. Wilayah Galuh semakin terdesak ke barat. Pada tahun 1413 M, wilayah selatan dan timur Serayu sudah jatuh ke tangan Kerajaan Majapahit. Tahun 1433 M, Kerajaan Galuh Kawali pun pindah ke Pakuan Pajajaran. Ketika Pengelana Pajajaran Bujangga Manik mengunjungi Lembah Serayu menjelang akhir abad ke 15 M dalam perjalanannya kembali dari lawatannya ke Jawa Timur, melaporkan dalam catatan perjalannya, bahwa Sungai Ciserayu menjadi batas baru pemisah paling timur Kerajaan Pajajaran dengan Kerajaan Majapahit. Telah terjadi pergeseran batas alamiah Kerajaan Pajajaran- Majapahit ke arah barat. Dari Sungai Baghalin, menjadi Sungai Ciserayu. Bujangga Manik juga sempat mengunjungi Pulau Nusakambangan dan Pasirluhur, sehingga dapat disimpulkan bahwa Nusakambangan pada masa itu masih merupakan wilayah Kerajaan Pajajaran di Pakuan.
Sejak itu Kerajaan Galuh Kawali mengalami masa damai yang cukup panjang dan baru mengalami sedikit gejolak ketika terjadi Peristiwa Bubat tahun 1357 M. Maka mulailah kekuasaan Kerajaan Galuh Kawali mengalamai kemerosotan di Lembah Serayu. Wilayah Galuh semakin terdesak ke barat. Pada tahun 1413 M, wilayah selatan dan timur Serayu sudah jatuh ke tangan Kerajaan Majapahit. Tahun 1433 M, Kerajaan Galuh Kawali pun pindah ke Pakuan Pajajaran. Ketika Pengelana Pajajaran Bujangga Manik mengunjungi Lembah Serayu menjelang akhir abad ke 15 M dalam perjalanannya kembali dari lawatannya ke Jawa Timur, melaporkan dalam catatan perjalannya, bahwa Sungai Ciserayu menjadi batas baru pemisah paling timur Kerajaan Pajajaran dengan Kerajaan Majapahit. Telah terjadi pergeseran batas alamiah Kerajaan Pajajaran- Majapahit ke arah barat. Dari Sungai Baghalin, menjadi Sungai Ciserayu. Bujangga Manik juga sempat mengunjungi Pulau Nusakambangan dan Pasirluhur, sehingga dapat disimpulkan bahwa Nusakambangan pada masa itu masih merupakan wilayah Kerajaan Pajajaran di Pakuan.
Bencana
kekeringan yang pernah menimpa kota Banyumas dan sekitarnya, terjadi pasca
pindahnya Rakean Wuwus dari Pasirluhur, yang telah turun status menjadi
kadipaten dengan pusat pemerintahan di Pasirluhur. Dengan demikian tahun 852 M,
berdasarkan tradisi sejarah raja-raja Galuh Kawali, dapat ditetapkan sebagai
tahun berdirinya Kadipaten Pasirluhur, yang akan berakhir pada tahun 1522 M. Kelak
Banyakgaleh menghidupkan kembali nama Pasirbatang, pasca serangan Demak yang meluluhlantakkan Pasirluhur. Serangan
Demak pada masa Sultan Trenggono itu terjadi akibat kecerobohan Adipati Banyak Thole yang
menantang Demak dan mulai menjalin koalisi dengan Pajajaran-Kediri dan Portugis
Di Malaka (1522 M). Ditangan Banyakgaleh Kadipaten Pasirbatang kembali ke dalam
pelukan Kerajaan Islam Demak.
Kadipaten
Pasirbatang, lenyap ketika Raja Pajang Adiwijaya, melikwidasi Kadipaten Pasirbatang dengan menurunkan statusnya dan
memecah-mecah menjadi setingkat kademangan.Tidak jelas apa alasan Pajang menghapus
status Kadipaten Pasirbatang (1569 M). Besar kemungkinan Kadipaten Pasirbatang
memilih bersikap netral dalam konflik Jipang vs Pajang, sehingga membuat Raja
Pajang murka dan menghukum Kadipaten Pasirbatang, setelah Pajang keluar sebagai
pemenang melawan Jipang. Pasirbatang memang merasa tidak nyaman berada di bawah
kekuasaan Pajang. Tetapi apa daya?
Sejak
ditinggalakan Rakean Wuwus tahun 852 M, wilayah sekitar kota Banyumas, masih tetap berada
di bawah kekuasaan Kadipaten Pasirluhur. Tetapi kadipaten ini pada awalnya berkembang
menjadi kadipaten yang lemah. Para adipati dan ponggawanya gemar berpesta pora,
hidup boros, sehingga kekuatannya merosot. Padahal pada masa Rakean Wuwus dan
penguasa sebelumnya, Pasirluhur merupakan wilayah yang makmur, karena menjadi
pusat kerajaan. Tanda-tanda kemerosotan tampak secara tersirat dikisahkan dalam
legenda kota Selarong versi kedua di atas. Kadipaten Pasirluhur menguat
kembali pada masa Patih Buni Sora berkuasa menggantikan kakaknya Sang
Maharaja(1350 – 1357 M) yang gugur di Medan Bubat. Patih Buni Sora memegang
kendali Kerajaan Galuh Kawali ( 1357 – 1371 M), karena Putra Mahkota Niskala
Wastukancana, masih kanak-kanak dan belum cukup umur untuk memerintah.
Patih Buni Sora yang ahli dalam ilmu pemerintahan itu, mendorong agar Kadipaten Pasirluhur berkembang kembali menjadi kadipaten yang kuat. Patih Buni Sora banyak mengirimkan orang-orang Galuh yang memiliki kepandaian membuat alat-alat perang ke Pasirluhur. Sebenarnya Patih Buni Sora hanya mengikuti Purbasora dan Rakean Banga. Purbasora, Rakean Banga dan Patih Buni Sora adalah tokoh-tokoh Galuh Kawali yang berjasa mengembangkan industri alat-alat persenjataan dan pertanian dari barang logam di Pasirluhur dan Pasirbatang, yang jejak-jejaknya masih dapat kita saksikan di Desa Pasir Wetan, Kecamatan Karanglewas. Akhirnya Kadipaten Pasirluhur berkembang kembali menjadi kadipaten yang kuat dan makmur. Kadipaten ini mampu membendung ambisi territorial Kerajaan Majapahit sehingga tetap tertahan di sebelah selatan dan timur Sungai Serayu, sebagaimana telah dilaporkan pengelana Bujangga Manik yang sempat mengunjungi Kadipaten Pasirluhur dan Nusakambangan menjelang akhir abad ke-15 M. Pada saat itu Kadipaten Pasirluhur mampu memainkan peran sebagai ujung tombak pertahanan wilayah paling timur Kerajaan Pajajaran.
Patih Buni Sora yang ahli dalam ilmu pemerintahan itu, mendorong agar Kadipaten Pasirluhur berkembang kembali menjadi kadipaten yang kuat. Patih Buni Sora banyak mengirimkan orang-orang Galuh yang memiliki kepandaian membuat alat-alat perang ke Pasirluhur. Sebenarnya Patih Buni Sora hanya mengikuti Purbasora dan Rakean Banga. Purbasora, Rakean Banga dan Patih Buni Sora adalah tokoh-tokoh Galuh Kawali yang berjasa mengembangkan industri alat-alat persenjataan dan pertanian dari barang logam di Pasirluhur dan Pasirbatang, yang jejak-jejaknya masih dapat kita saksikan di Desa Pasir Wetan, Kecamatan Karanglewas. Akhirnya Kadipaten Pasirluhur berkembang kembali menjadi kadipaten yang kuat dan makmur. Kadipaten ini mampu membendung ambisi territorial Kerajaan Majapahit sehingga tetap tertahan di sebelah selatan dan timur Sungai Serayu, sebagaimana telah dilaporkan pengelana Bujangga Manik yang sempat mengunjungi Kadipaten Pasirluhur dan Nusakambangan menjelang akhir abad ke-15 M. Pada saat itu Kadipaten Pasirluhur mampu memainkan peran sebagai ujung tombak pertahanan wilayah paling timur Kerajaan Pajajaran.
Bencana Kekeringan Menimpa Banyumas.
Dalam ceritera tutur Legenda Kota Selarong versi pertama maupun kedua, seperti telah dikemukakan di atas, bencana kekeringan telah melanda Lembah Serayu. Peristiwa itu terjadi antara tahun 852 – 891 M. Saat itu Rakean Wuwus sudah pindah ke Galuh Kawali. Begitu hebatnya bencana kekeringa itu melanda daerah yang sebenarnya amat subur, sehingga peristiwa yang bersifat anomali itu tetap diingat dalam memori publik rakyat Banyumas, dan diceriterkan dari satu generasi kepada genersai berikutnya. Tentu saja lama kelamaan ingatan kolektip itu mengabur, menjadi kepingan-kepingan dan serpiahan serpihan cerita yang akhirnya melahirkan aneka macam legenda dengan aneka macam versinya. Namun ada yang tetap bertahan sampai sekarang, yakni toponim nama-nama tempat yang bisa menjadi saksi peristiwa sejarah kehidupan anak manusia pada masa yang sudah lama berlalu.
Pada versi kedua dikisahkan bahwa Ki Ajar Pamungkas akhirnya menghadap Sang Adipati Pasirluhur, dan mengingatkan agar Sang Adipati mau betobat dengan memohon petunjuk dewa, agar bencana kekeringan yang menyengsarakan itu bisa secepatnya berakhir. Ki Ajar Pamungkas, dapat dipastikan juga menghadap Rakean Wuwus yang sudah pindah ke Kawali. Setelah menerima laporan dari Ki Ajar Pamungkas, Rakean Wuwus menugaskan Ki Langlangjati untuk mengatasi bencana kekeringan itu. Ki Langlangjati mungkin orang kepercayaan mertu Rakean Wuwus yang sudah mangkat, Linggabumi.
Dalam ceritera tutur Legenda Kota Selarong versi pertama maupun kedua, seperti telah dikemukakan di atas, bencana kekeringan telah melanda Lembah Serayu. Peristiwa itu terjadi antara tahun 852 – 891 M. Saat itu Rakean Wuwus sudah pindah ke Galuh Kawali. Begitu hebatnya bencana kekeringa itu melanda daerah yang sebenarnya amat subur, sehingga peristiwa yang bersifat anomali itu tetap diingat dalam memori publik rakyat Banyumas, dan diceriterkan dari satu generasi kepada genersai berikutnya. Tentu saja lama kelamaan ingatan kolektip itu mengabur, menjadi kepingan-kepingan dan serpiahan serpihan cerita yang akhirnya melahirkan aneka macam legenda dengan aneka macam versinya. Namun ada yang tetap bertahan sampai sekarang, yakni toponim nama-nama tempat yang bisa menjadi saksi peristiwa sejarah kehidupan anak manusia pada masa yang sudah lama berlalu.
Pada versi kedua dikisahkan bahwa Ki Ajar Pamungkas akhirnya menghadap Sang Adipati Pasirluhur, dan mengingatkan agar Sang Adipati mau betobat dengan memohon petunjuk dewa, agar bencana kekeringan yang menyengsarakan itu bisa secepatnya berakhir. Ki Ajar Pamungkas, dapat dipastikan juga menghadap Rakean Wuwus yang sudah pindah ke Kawali. Setelah menerima laporan dari Ki Ajar Pamungkas, Rakean Wuwus menugaskan Ki Langlangjati untuk mengatasi bencana kekeringan itu. Ki Langlangjati mungkin orang kepercayaan mertu Rakean Wuwus yang sudah mangkat, Linggabumi.
Ki
Langlangjati pun berangkat bersama dengan Ki Ajar Pamungkas untuk mengatasi masalah kekeringan yang menimpa
Lembah Serayu dan Padepokan Sokalima. Rupanya Ki Langlangjati mampu mengatasi
masalah, sehingga dilukiskan berhasil menemukan Sumber Tirtas di halaman
Padepokan Sokalima, yang kelak pada masa Islam, berubah nama menjadi Sumur
Pasucen. Padepokan Sokalima berubah nama menjadi Padepokan Kalibening.Sebuah nama yang merupakan kompromi antara tradisi Hindu dan tradisi Islam. Dan juga tradisi Sunda dan tradisi Jawa.
Ki Langlangjati tidak lain adalah leluhur Ki Glagah Amba. Ki Glagah Amba agaknya pada mulanya seorang ksatria, yang kemudian menjadi pendeta karena harus mewarisi padepokan warisan leluhurnya. Ki Glagah Amba adalah nama Jawa, bukan nama Sunda. Hal ini disebabkan Padepokan Sokalima setelah lepas dari Pasirluhur, jatuh ke tangan Kerajaan Jawa, yakni Majapahit.
Dia menjadi mualaf muslim bersamaan dengan Kadipaten Wirasaba dan Kademangan Kejawar, setelah Pengging jatuh ke tangan Demak pada tahun 1530 M. Masyarakat sekitarnya mengenalnya sebagai Mbah Kalibening. Makamnya dikeramatkan hingga sekarang. Benda-benda pusaka Kalibening yang setiap bulan Mulud dimandikan itu, adalah warisan miliknya yang tetap terawat sampai sekarang. Adanya benda-benda pusaka yang berupa peralatan perang itu menunjukkan bahwa Ki Glagah Amba pada awalnya adalah seorang satrio pinandito.[Bersambung]
Ki Langlangjati tidak lain adalah leluhur Ki Glagah Amba. Ki Glagah Amba agaknya pada mulanya seorang ksatria, yang kemudian menjadi pendeta karena harus mewarisi padepokan warisan leluhurnya. Ki Glagah Amba adalah nama Jawa, bukan nama Sunda. Hal ini disebabkan Padepokan Sokalima setelah lepas dari Pasirluhur, jatuh ke tangan Kerajaan Jawa, yakni Majapahit.
Dia menjadi mualaf muslim bersamaan dengan Kadipaten Wirasaba dan Kademangan Kejawar, setelah Pengging jatuh ke tangan Demak pada tahun 1530 M. Masyarakat sekitarnya mengenalnya sebagai Mbah Kalibening. Makamnya dikeramatkan hingga sekarang. Benda-benda pusaka Kalibening yang setiap bulan Mulud dimandikan itu, adalah warisan miliknya yang tetap terawat sampai sekarang. Adanya benda-benda pusaka yang berupa peralatan perang itu menunjukkan bahwa Ki Glagah Amba pada awalnya adalah seorang satrio pinandito.[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar