Entri yang Diunggulkan

In Memoriam : Dra.Hj.Sri Aslichah, Srikandi Aisyiyah Kecamatan Kalibagor, Banyumas (02)

Dalam diri Bu Hajjah Sri Aslichah, memang mengalir darah Muhammadiyah dari ayahnya, Bapak Kaswan Abusoli. Ayahnya pada waktu muda adal...

Selasa, 26 Januari 2016

Sejarah Awal Kota Banyumas (03)







(Jembatan Cindaga Sungai Serayu Banyumas yang indah. Konon di sini Senna dulu mengawali petualangannya menyusuri Sungai Serayu sampai di mata airnya di kaki Gunung Dieng - Sumber Gambar Banyoemas Heritage)

Mitos Sungai Serayu
Mitos Sungai Serayu merupakan mitos paling menarik yang  sering dibicarakan orang-orang Banyumas dan orang-orang dari Kabupaten yang dilewati sungai terpanjang se Pulau Jawa yang mengalir ke Samudra Indonesia. Orang Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap, hampir semuanya tahu mitos yang rada porno, bahwa sungai Serayu berasal dari air kencing Bima. Hal itu  hanyalah  gara-gara di hulu Sungai Serayu  di kaki selatan Gunung Dieng ada patung Bima porno yang dikenal sebagai patung Bima lukar. Artinya Bima yang tidak pakai busana alias telanjang. Lalu timbulah aneka macam imajinasi yang melahirkan berbagai  mitos Sungai Serayu. Dari yang paling lucu sampai yang cukup sopan. Mata air sungai Serayu itu diberi nama Tuk Bima Lukar. Artinya mata air Bima tak berpakaian.

Anehnya berbagai mitos Sungai Serayu itu merupakan hasil rekaan dengan cara pandang orang Jawa. Padahal penghuni awal Kota Banyumas bukan orang Jawa. Kota Banyumas pada awalnya adalah pemukiman orang Sunda Lembah Serayu yang tentu saja pandai berbahasa Sunda. Hipotesis ini bisa dibuktikan dengan banyaknya toponim kota disekitar Kota Banyumas yang merupakan kosa kata bahasa Sunda. Kota Banyumas mulai ramai didatangi pemukim orang Jawa, setelah Kota Banyumas jatuh dibawah kekuasaan Kerajaan Jawa, Majapahit, pada tahun 1413 M. Tentu pada saat itu belum dikenal kosa kata Banyumas, sebab kosa kata Banyumas baru dikenal bersamaan dengan berdirinya Kabupaten Banyumas pada perempat akhir abad ke-16 M.  Sebelumnya Kota Banyumas berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, Galuh Kawali. Padahal  mitos Sungai Serayu akan lebih mudah dimengerti, jika orang memandangnya bukan hanya dari tradisi Jawa saja. Tetapi juga dari sudut pandang dan tradisi Sunda.

Empat Buah Versi.
Mengetahui berbagai versi mitos Sungai Serayu, sangat penting sebagai pembuka pintu menuju jalan masuk mengetahui sejarah Kota Banyumas pada masa lalu. Dan akhirnya akan memudahkan kita mengetahui sejarah berdirinya Kota Banyumas. Sesungguhnya Kota Banyumas  pada masa lalu merupakan poros peradaban penting Lembah Serayu yang telah mempertemukan empat kebudayaan penting di Pulau Jawa, yakni Hidu-Buddha-Isalam –Sunda dan Jawa.

1.Versi Pertama.
Konon toponim Serayu berasal dari kosa kata sira atau kamu dan ayu atau cantik. Alkisah diceriterkan Bima sedang bertapa di hulu Sungai Serayu dekat mata airnya dengan menghadap ke arah Sungai Serayu. Tiba-tiba Bima melihat wanita yang sedang mandi, tapi yang tampak hanya bagian leher ke atas. Sambil berguman dan berdecak kagum, Bima pun berkata,” Sira Ayu!.” Lalu Bima membalikkan badannya memunggungi wanita cantik itu, agar tidak tergoda. Dari kata-kata yang keluar dari mulut Bima itu, terbentuklan kata Serayu yang kemudian menjadi nama sungai tempat gadis cantik sedang mandi yang sempat dilihat Bima .

2.Versi Kedua.
Bima dengan empat saudaranya yang dikenal sebagai Pandawa Lima, ditantang Korawa yang berjumlah seratus untuk beradu kekuatan. Siapa yang paling kuat, Pandawa yang Cuma lima atau Korawa yang berjumlah seratus. Yang kuat berhak mewarisi tahta Kerajaan Hastina. Sangkuni menjadi wasit, Drona sebagai Pengamat. Tantangan itu disambut Bima dengan dibantu empat saudaranya. Alkisah Bima menggunakan kekuatan tapak kakinya yang bagaikan wadung itu untuk menggali tanah hanya dengan sekali injak. Bima pun berjalan melangkah dari kaki Gunung Dieng sampai finish di tepi Teluk Penyu. Kemudian Bima balik kembali ke tempatnya start di kaki Gunung Dieng.
Bima lalu mengeluarkan Phalusnya kemudian kencing untuk mengaliri sungai yang dibuat dengan tapak kakinya. Terbentuklah mata air Sungai Serayu dan tentu saja dengan Sungai Serayunya. Untuk mengenang jasa Bima, dibuatlah patung Bima porno di mata air  Sungai Serayu yang diberi nama Tuk Bima Lukar. Artinya Mata Air Bima Porno alias Bima Telanjang. Versi kedua ini tidak menceriterakan siapa pemenangnya. Pandawa atau Korawa? Rupanya pendengar kisah dianggap sudah tahu kelicikan Sangkuni. Hasil perlombaan tidak ada yang menang!. Masa air sungai dibuat dari air kencing? Padahal sungai selalu dianggap suci dalam mitologi Hinduisme. Bima pun dimarahi habis-habisan oleh Sengkuni!.

3.Versi Ketiga.
Alkisah dalam perjalanannya berdakwah ke lereng Selatan Gunung Slamet, Sunan Kalijaga tiba di hulu sebuah sungai yang elok yang bermata air dari kaki Gunung Slamet. Sunan Kalijaga pun terus menyeberangi sungai yang elok itu dan bergerak ke timur. Eh, ketemu lagi sungai yang sama eloknya dan sangat mirip. Ternyata setelah tanya sana tanya sini, penduduk menjawab sungai yang satu itu bermata air di kaki Gunung Dieng. Penduduk minta Kanjeng Sunan Kalijaga memberi nama kedua sungai itu. Sunan Kali mau asal penduduk dikumpulkan dan mau mengucapkan kalimat syahadat masuk agama Islam. Bahkan Sunan Kali akan menghiburnya dengan mementaskan lakon wayang. Tentu saja penduduk itu girang dan lapor kepada kepala desa.Kepala Desa pun setuju. Sunan Kali yang berkeliling untuk berdakwah dengan membawa sejumlah tokoh wayang dan seperangkat tetabuhan ringan yang selalu dibawa santri pengiringnya itu, mulai mendalang dengan lakon, yaitu tadi  Mbangun Narmada Serayu (Membangun Sungai Serayu). Sebelum pertunjukan, Sunan Kali membimbing seluruh penduduk yang hadir yang dipimpin kepala desa, mengucapkan  kalimat Syahadat.

 Alkisah dalam pentasnya Sunan Kali berceritera, Pandawa dan Kurawa mengikuti Sayembara yang dibuat Pendeta Drona, yakni membuat narmada atau sungai yang harus berakhir di Bengawan Silugangga yang berada di arah barat daya. Sangkuni yakin Korawa akan memenangkan sayembara, karena jumlah korawa 100 sedang Pandawa hanya 5 orang. Sekalipun begitu Sengkuni yang licik dan bertindak sebagai wasit, menetapkan tempat start Bima Cs di kaki gunung sebelah timur. Duryudana Cs tempat startnya di kaki gunung sebelah baratnya. Ke dua sungai harus berakhir di tempat finish yang sama, yakni di Bengawan Silugangga.   Dengan diberi tempat start di timur, tentu saja panjang sungai yang harus dibuat Bima Cs lebih panjang. Tapi Bima cs tidak protes. Perlombaan pun dimulai. Dalam waktu singkat Bima Cs sudah berhasil menggali tiga perempat panjang galian, sedang Duryudana Cs sepertiganya pun belum.

Karena takut kalah, Sengkuni membisiki Duryudana agar membelokkan arah galian sungai menuju ke arah galian sungai yang telah dibuat Bima cs. Maka ketika penggalian Bima cs tiba di tempat finish. Kurawa langsung bersorak, dan merasa menang, karena korawa berhasil menyambungkan sungai galiannya dengan sungai galian Bima cs. 

Sang Guru Drona  pun datang setelah dilapori bahwa pertandingan telah selesai. Akhirnya Sangkuni memutuskan hasil pertandingan tidak ada yang kalah dan yang menang, sebab selesainya sama-sama. Dan kedua galian itu juga sama-sama memenuhi syarat perlombaan, yaitu pada akhirnya bermuara di Bengawan Silugangga. Korawa buru-buru pergi karena takut ditantang Arjuna untuk mengairi sungai buatannya. 

Sang Guru Drona memerintahkan Arjuna agar membuat mata air di kedua hulu sunga itu. Dengan menggunakan panah sakti, Arjuna membuat mata air di hulu sungai yang dibuat Bima dengan panah saktinya, maka terbentuklah mata air jernih yang segera mengisi sungai buatan Bima. Dengan menggunakan panah saktinya pula, atas perintah Sang Guru Drona, Arjuna membuat mata air di hilir sungai yang dibuat Duryudana. Terbentuklah mata air yang sama jernihnya karena berasal dari mata panah yang sama. Sang Guru Drona kagum atas keindahan dua sungai kembar yang elok itu. Yang kemudian diberi nama  Narmada  Serayu. Tidak dijelaskan siapa yang memberi nama anak Sungai Serayu yang dikenal penduduk sebagai Sungai Klawing itu.

Sunan Kali sebelum menutup pementasan, menggambarkan dua sungai kembar Serayu - Klawing dengan kata-kata sbb : "Pinda suruh lumah lan kurebe. Sinawang seje rupane, ginigit pada rasane". /" Bagaikan daun sirih. Jika dipandang bagiam muka dan bagian sebaliknya tampak berbeda. Tetapi jika digigit akan sama rasanya.'

 Tentu yang dimaksud dengan Sunan Kali adalah Sungai Serayu dengan anak Sungai Serayu/ Sungai Klawing. Anak juga bisa mirip dengan bapaknya. Tetapi posisi sungai yang kembar itu, digunakan Sunan Kali untuk mengenalkan  dua konspep ajaran yang hanya berbeda ucapannya tetapi hakekatnya satu. Yakni Tuhan dengan Rasulnya. yang tak terpisahkan dalam satu kalimat tauhid terdiri dari dua lafal Kalimat Syahadat. Juga konsep rukun yang tercermin dalam Rukun Iman dan Rukun Islam. Kelihatannya ada dua rukun Islam. Tapi sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Demikian pula konsep Syariat. Ada dua syariat, yakni  Syariat lahir dan Syariat batin. Padahal hakekatnya juga satu, yakni Syareat Islam.  Secara ringkas Sunan Kali hendak menjelaskan dua kalimat syahadat yang telah diucapkan para penonton, yang telah menjadi pemeluk Islam.

Kisah terjadinya Narmada Serayu yang dipentaskan Sunan Kali - bisa jadi malah tempat pentasnya di Pendapa Kadipaten Wirasaba, tidak lama setelah Adipati Wirasaba V  masuk Islam- bukan lakon carangan Sunan Kalijaga. Kisah itu memang ada dalam Mahabharata. Narmada Serayu dilukiskan sebagai narmada yang dibuat Bima cs dan bermuara di Sungai Gangga. Sungai Serayu dalam Mahabharata adalah anak  Sungai Gangga. Sunan Kali hanya memindahkan lakon itu  ke pulau Jawa.

 Ketika Sunan Kali berdakwah ke daerah Purbalingga dan Wirasaba, nama Sungai Serayu sudah di kenal orang. Hanya saja  Sunan Kali baru melihatnya karena baru pertama kali itulah dia mengunjungi daerah itu. Saat itu Sunan Kali mendapat tugas dari Sultan Trenggono untuk mengislamkan daerah-daerah yang baru saja ditaklukkan Demak. 

Sunan Kali benar ketika mengisahkan bahwa pemberi nama Sungai Serayu dalam kisah Mahabharata adalah gurunya Pandawa dan Korawa, yakni Dahyang Drona. Dan pembuatnya adalah Bima dan Arjuna. Tentu keliru bila ada orang yang menganggap pemberi nama Sungai Serayu di Pulau Jawa adalah Sunan Kali. Bukan!. Sunan Kali hanya mementaskan lakon terbentuknya Sungai Serayu menurut Mahabharata yang dipindahkan tempatnya ke Pulau Jawa. Tepatnya Jawa Tengah. Dalam kisah di atas, Segara Anakan, tempat Sungai Serayu bermuara, dianggap sebagai Sungai Gangga Pulau Jawa.

4.Versi Keempat
Versi keempat ini berasal dari Pentas Wayang Kulit Dalang Gino pada ulang tahun Tamansiswa  di Perguruan Tamansiswa Teluk Betung yang dihadiri dan disponsori Gubernur Lampung Yassir Hadiboto. Gubernur Yassir Hadibroto yang asli Kroya itu minta lakon yang diberinya judul Banjaran Sungai Serayu. 

Saat itu lakon jenis Banjaran sedang ngetrend gara-gara Dalang Narto Sabdo yang senang menciptakan lakon wayang dengan judul Banjaran, yang diartikannya sebagai biografi dari tokoh-tokoh wayang sejak lahir sampai meninggal. Dalang Gino yang mantan Guru SD itu, tentu tidak kekurangan akal. Dia menggabungkan lakon lahirnya Abimnyu dengan terjadinya Narmada Serayu menurut Kitab Mahabhara sebagaimana yang telah dipentaskan Sunan Kali di atas. 

Alkisah setelah Sungai Serayu terbentuk Arjuna meminang Dewi Sumbadra, adik Sri Batara Kresna. Arjuna pun memasuki masa bulan madu. Tetapi Bima malah bertapa di dekat mata air Sungai Serayu, memohon kepada Sang Hyang Syiwa agar dirinya diberi wahyu kedaton, sehingga bisa unggul dalam Perang Bharatayuda melawan Korawa.

Arjuna pun sebenarnya ingin bertapa, dengan maksud yang sama dengan Bima. Tapi apa boleh buat. Masih  pengantin baru, masa Sumbadra ditinggal bertapa. Bisa-bisa Sumbadra ngambek berat dan Arjuna bisa dibuatnya pusing tujuh keliling. Akhirnya Arjuna hanya bisa pasrah.

Tapi Kresna kakak Sumbadra, ternyata berharap agar wahyu kedaton itu jatuh kepada keturunan Arjuna mumpung masih sedang bulan madu dengan adiknya. Kresna tahu wahyu kedaton sudah masuk ke dalam raga Bima. Tetapi tapa Bima belum genap empat puluh hari. Jadi masih ada peluang wahyu itu pergi meninggalkan Bima. 

Kresna pun cari akal. Arjuna diberitahu bahwa kegemaran Sumbadra waktu mengungsi di Widarakandang mandi di sungai dan ternyata diam-diam Subadra  penggemar berat berenang di sungai. Arjuna lalu dibujuk Kresna  jika ingin salah seorang keturunannya kelak bisa menduduki tahta warisan leluhurnya, harus membiarkan Sumbadra mandi di Sungai Serayu di depan Bima yang sedang bertapa. Tentu harus dicarikan tempat untuk mandi yang nyaman, sehingga  Subadra tidak bisa melihat Bima. Tetapi Bima bisa melihat Subadra. Arjuna yang cerdas segera tahu siasat Kresna. Wahyu yang sudah ada di dalam raga Bima harus dipancing supaya keluar dan masuk ke dalam tubuh Subadra yang tengan berbulan madu dengan Arjuna. 

Singkat ceritera Sumbadra gembira sekali ketika diajak berbulan madu ke tepi hutan dekat mata air Sungai Serayu yang airnya sangat jenih. Sumbadra yang gemar berenang itu langsung ingat masa-masa indah di Widarakandang. Mandi dan berenang di sungai dengan bebas tanpa  ada yang mengganggunya.  Arjuna lalu membangun sebuah pesanggrahan sementara tidak jauh dari tempat tapa Bima. 

 Saat itu kebiasaan pasangan pengantin baru para ksatria, kalau berbulan madu bukannya pergi ke mall di negeri lain. Tetapi cukup masuk hutan. Rama dengan Sinta, juga mengawali bulan madunya dengan masuk hutan Dandaka. Maka Arjuna dan Subadra pun dikisahkan Ki Dalang Gino berbulan madu di hutan dekat mata air Sungai Serayu, tidak jauh dari tempat Bima bertapa. 

Mula-mula Arjuna menemani Sumbadra mandi di sungai yang jernih airnya hasil karya bersama kakaknya itu. Lama-lama Arjuna pura-pura malas mandi, dan membiarkan Subadra mandi sendirian. Tapi Arjuna berjanji akan menjaganya. Tentu saja di tempat yang tidak bisa dilihat Bima. Sumbadra yang tidak tahu ada sepasang mata lelaki lain selain Arjuna yang bisa melihatnya, mandi dengan bebas dan gembira berenang kian kemari dengan sepuas-puasnya. Pada saat itu pakain renang belum diciptakan orang. 

Bima yang sedang tapa dan hampir memasuki hari keempat puluh, takjub seketika melihat Subadra yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan  sedang mandi dalam keadaan torso di depan matanya. Maklum sudah sebulan lebih meninggalkan Arimbi, kata Dalang Gino. Tidak tahan melihat kecantikan Sumbadra, seketika kama alias sprema Bima terlepas seketika memacar bagaikan hujan butiran-butiran mutiara berkilauan yang berjatuhan ke sungai Serayu, tepat mengenai Sumbadra yang kebetulan sedang menyelam. Sumbadra yang tidak tahu air disekitranya sudah tercampur kama Bima, masih asyik terus saja mandi dengan menyelam dan berenang. Bersamaan dengan lepasnya kama Bima, wahyu kedaton yang ada di dalam raga Bima ikut keluar mengikuti kama Bima yang terpancar, akhirnya wahyu kedaton masuk ke dalam tubuh Sumbadra. 

Bima segera menyadari kegagalannya. Lalu cepat-cepat pulang ke Pringgondani menemui istrinya Arimbi yang tentu saja sudah lama menunggunya. Bayangan Subadra dalam benak Bima lenyap seketika begitu ketemu Arimbi yang tidak kalah cantiknya dengan Subadra, kata Dalang Gino menghibur Bima yang menerima kegagalan tapanya sebagai takdir yang telah dikehendaki para dewa.

Tak lama kemudian bulan madu Arjuna-Arimbi membawa hasil. Sumbadra hamil. Ketika melahirkan, bayinya laki-laki sangat   cakap. Wajahnya mirip Bima. Lainnya adalah replika Arjuna. Kresna yang diminta memberikan nama, memberinya nama, Abimanyu. Artinya, Anak Bima di dalam Banyu. Putra Bima di dalam air Sungai Serayu. Mungkin maksudnya adalah anak Bima hasil persanggamaan imajinatif antara Bima - Sumbadra. Secara rokhani, Abimanyu adalah anak Bima.Tapi secara fisik biologis, anak Arjuna.

 Kelak tahta Kerajaan Hastina pura memang jatuh ketangan Parikesit, cucu Arjuna dari Raden Abimanyu dengan Dewi Utari. Parikesit di percaya menurunkan Raja Kediri Jayabaya dan raja-raja Surakarta-Yogyakarta. Tetapi ayah Parikesit, Abimanyu lahirnya di Banyumas, tidak jauh dari Sungai Serayu.Bahkan  anak bersama Bima  dan Arjuna. 

Secara simbolik lakon Banjaran Sungai Serayu itu ingin menjelaskan bahwa leluhur wong Banyumas yang tinggal di sepanjang Lembah Serayu adalah orang Pandawa, yakni Bima dan Arjuna. Pesan moralnya, wong Banyumas dimana saja berada harus menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilia ksatria seperti Bima dan Arjuna. Sakti atau trampil-cekatan, cerdas, jujur, setia kepada negara, dan tanah air. Tentu saja jangan suka korupsi dan jangan suka selingkuh. Kalau mau selingkuh ya dalam khayalan aja seperti Bima....tapi supaya tidak kebablasan  harus cepat-cepat ingat istri tercintanya. Bukankah Bima langsung pulang ke Pringgodani untuk menemui Arimbi istri tercintanya agar bayangan Sumbadra dalam khayalnya cepat menghilang? Itulah barangkali pesan moral yang ingin disampaikan dalang kondang dari Banyumas itu.

Tentu saja Gubernur Lampung Yassir Hadibroto puas dengan pagelaran wayang dengan lakon Banjaran Sungai Serayu yang dibawakan Dalang Kondang dari Notog Banyumas,  yang  rumahnya hanya beberapa kilometer dari Sungai Serayu. Nilai-nilai moral yang disampaikan melalui media wayang kulit sampai ke benak pubik yang menonton pagelaran wayang kulit semalam suntuk.

Mengenang Perjuangan Sang Senna
Dari keempat mitos terjadinya Sungai Serayu yang bersumber dari tradisi Jawa itu , belum  mengungkapkan secara historis, siapakah tokoh sejarah yang memberi nama Sungai Serayu? Semua mitos di atas, dengan beragam versinya, menyebut Bima dan Arjuna sebagai tokoh penting yang membuat Sungai Serayu. Sedang Dahyang Drona yang memberi nama Sungai Serayu. Tapi itu kan kisah wayang. Lalu siapa yang membuat Sungai Serayu yang bermata air di kaki Gunung Dieng? 

Ahli geologi dan hidrologi pun tak akan bakal mampu menjawabnya. Jawaban paling mudah, yang membuat Sungai Serayu  pastilah Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi siapa orang yang memberi nama Serayu atau Ciserayu kepada sungai terpanjang di Pulau Jawa yang mengalir ke selatan itu? Tradisi Jawa tidak menjawabnya. Tapi tradisi Sunda mampu menjawabnya. 

Patung Bima lukar yang ada di dekat salah satu mata air Sungai Serayu itu sebenarnya dibuat untuk mengenang Senna, ayah Sanjaya, pendiri Kerajaan Mataram Hindu. Pembuatan patung Bima Lukar itu atas perintah Rake Sanjaya. Patung aslinya kemungkinan sudah raib. Yang ada hanya replikanya. 

Phalus Bima yang tampak secara menyolok adalah lambang lingga, simbol pemujaan kepada Sang Hyang Syiwa, sebagai Dewa Tertinggi agama Hindu aliran Syiwa. Kerajaan Mataram Hindu menganut agama Hindu Syiwa, sama dengan agama Kerajaan Hindu Galuh Kawali, Kerajaan Pajajaran, dan Kerajan Majapahit, sekalipun corak agama Kerajaam Majapahit sudah terpengaruh agama Budha Tantrayana. Nama lain Bima adalah Sena dan nama lain Sanjaya adalah Arjuna. Dalam Mahabharata, Bima dan Arjuna membangun Sungai Serayu. Dalam tradisi Sunda Carita Parahiyangan, Senna dan Sanjaya membangun Kerajaan Mataram Hindu. Memang pusat Kerajaan Mataram Hindu, sebagaimana tradisi kerajaan-kerajaan kuno, sering kali berpindah pindah, sehingga letak pusat Kerajaan Mataram yang tepat, sukar ditetapkan dan semuanya bersifat hipotetis. Tetapi Ibu Kota Mataram Hindu awal dapat dipastikan tidak jauh dari lereng selatan kaki pegunungan Dieng. Di dataran Dieng banyak sekali patung-patung peninggalan Kerajaan Mataram Hindu. Kemudian pusat kerajaan pindah ke muara Sungai Bogowonto. Lalu pindah menyeberang ke timur, muncul di muara sungai Progo. Kemudian muncul lagi di Sleman. Konon akhirnya pernah muncul juga di Pajang. Itu sebabnya Pajang pernah dipertimbangkan Amangkurat II menjadi Ibu Kota Mataram Islam setelah pindah dari Plered, sebelum akhirnya pilihannya jatuh di Kartosuro. 

Tetapi De Graaf membantah bahwa Rake  Sanjaya pernah memindahkan pusat Mataram Hindu ke Pajang. Menurut De Graaf, Rake Sanjaya hanya membangun pesanggrahan sementara di Pajang sebagai bagian dari operasi penaklukan dan ekspansi Kerajaan Mataram Hindu ke wilayah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur.

 Tapi bisa jadi Amangkurat II betul. Karena Ki Ageng Pamanahan, Pendiri Dinasti Mataram Islam yang tempat tinggal orang tuanya tidak jauh dari Pajang, ternyata mengenal dengan baik Kerajaan Mataram Hindu. Satu-satunya alasan Amangkurat II batal memilih Pajang, hanya karena Adiwijaya Joko Tingkir pernah membangun Kerajaan Pajang di situ. Amangkurat II tidak mau kebesaran Kerajaan Mataram Islam tenggelam oleh masa lalu Kerajaan Pajang.

Prasasti Canggal berangka tahun 654 Saka atau 732 M, menyebutkan bahwa letak Ibu Kota Mataram Hindu yang didirikan Rake Sanjaya adalah di Kunjarakunjadesa. Disebutkan dalam prasasti tersebut bahwa Sanjaya membuat pemujaan untuk memuja Dewa Syiwa dengan mendirikan sebuah lingga di atas Bukit Sthirangga. Di mana letak Kunjarakunjadesa? Para ahli belum menemukan kata sepakat. Semua masih bersifat hipotetis. Dr.Purbocaroko menyebutnya Sleman sebagai pusat Mataram Kuno. Sebab Sleman berasal dari kata Saliman. Tetapi ilmuwan yang lain membatahnya. Bukan saliman asal muasalal sleman, tapi toponim sleman berasal dari kata  salimaR, salah satu nama dari jenis tanaman hias atau bunga.

 Bagaimana kalau letak Kunjarakunjadesa itu  di Kebasen karena di sana ada Sungai Gajah? Ini juga tidak mungkin. Bisa jadi Kunjarakunjadesa itu menunjukkan pusat Mataram Hindu awal di kaki Gunung Dieng. Ya tidak jauh dari patung Bima lukar itu. Bukankah lingga Bima pada patung Bima lukar sengaja ditonjolkan sebagai simbol pemujaan kepada Sang Hyang Syiwa? Riwayat Bima juga erat hubungannya  dengan Gajah, yakni Gajah Sena dalam lakon Bima Bungkus.

Sejak pusat Kerajaan Mataram Hindu pindah ke timur Sungai Bogowonto, Carita Parahiyangan memang langsung bungkam, tidak lagi menyebut nama Rake Sanjaya. Kemungkinan Rake Sanjaya sudah dianggap sebagai Si Anak Hilang dari leluhur ayahnya yang orang Sunda dan kembali ke dalam pelukan leluhur ibunya yang orang Jawa. Menurut Naskah Wangsakerta, nenek buyut Rake Sanjaya dari pihak Ibunya, adalah Ratu Sima, Penguasa Kerajaan Kalingga.

 Tradisi Jawa dan Banyumas mengenal dengan baik Sanjaya. Tetapi nyaris tidak mengenal tokoh Senna. Juga Profesor Dr.Sugeng Priyadi, M.Hum  yang rajin melakukan penelitian secara sintaktis aneka ragam Babad Banyumas. Dalam salah satu tulisannya, mengenal Sanjaya, tapi tidak mengenal Senna. Beliau menulis sbb :

“Jika gugusan percandian di Kedunguter dianggap sebagai bangunan suci Siwa, maka bangunan tersebut dikelilingi oleh Serayu dan sungai-sungai yang bermata air dari Sumur Mas. Kedua prasasti tersebut kiranya sedang mengenangkan daerah lama yang pernah ditempati atau dilalui Sanjaya dari Galuh menuju ke Merbabu-Merapi”( Sugeng Priyadi, Hari Jadi Kabupaten Banyumas:54,SIP Publishing-Purwokerto,2015).

Tokoh itu bukan Sanjaya, tapi Senna. Sanjaya tidak pernah tinggal di Kedunguter dan melakukan perjalanan dari Galuh menuju ke Merbabu-Merapi. Nama Ciserayu adalah nama yang diberikan Senna ketika dia dalam pelariannya dari Galuh Kawali tiba di tempat penyebrangan Cindaga. Senna selamat menyeberangi sungai  yang mata airnya di kaki Gunung Suci Dieng. Orang Banyumas bilang, ”Rahayu”. Senna dan pengiringnya berkata, ”Sirrhayu”. Senna dan pasukannya yang setia memang selamat dari pengejaran pasukan Purbasora. Maka sungai suci yang telah menyelamatkan dirinya itu diberi nama, Ciserayu. Artinya Sungai yang telah menyelamatkan dirinya, pasukannya dan tentu saja masa depannya. 

 Senna tidak membangun perkemahan di Kedunguter. Tetapi di suatu tempat yang telah banyak dibicarakan oleh banyak Penulis Babad Banyumas dan juga dilukiskan dengan baik sekali oleh Sugeng Priyadi, “Tempat pertemuan Sungai Banyumas dengan Sungai Pasinggangan”. Ya, ditempat itulah Senna membangun perkemahannya. Kelak  di tempat itu salah seorang keturunannya trah Pajajaran dan trah Galuh, mengenangkan  daerah lama yang pernah di tempati Sang Senna dan prajurit setianya dengan membangun sebuah kota baru sebagai rumah sebuah kabupaten..Keturunan Senna itu tidak lain adalah Adipati Wirasaba VII Jaka Kahiman Adipati Mrapat! Pada dasarnya, Jaka Kahiman juga meneladani Rakean Banga, yang juga leluhurnya. Wallahualam [bersambung][]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar