Selain Kerajaan Islam Demak yang merupakan proyek politik Dewan Walisongo, proyek-proyek penting lainnya yang digarap Dewan Walisongo adalah proyek di bidang pendidikan, kebudayaan, ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
Di bidang pendidikan Walisongo memelopori berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal sebagai pesantren. Pada jamannya pesantren adalah lembaga pendidikan modern dibandingkan dengan lembaga pendidikan Hindu-Buddha dalam bentuk padepokan-padepokan yang tersebar di wilayah Kerajaan Hindu Buddha Majapahit maupun Kerajaan Hindu Pajajaran.
Sifat modern dari pendidikan pesantren, bukan hanya
terletak pada hubungan yang lebih demokratis antara guru, kiai dan ustad terhadap para santrinya.
Tetapi juga dalam perekrutan calon santri.
Dapat dikatakan bahwa pesantren terbuka bagi seluruh
rakyat tanpa membeda-bedakan status dan klas sosial calon santri. Sedangkan
pada sistem padepokan, selain hubungan antara guru dan siswanya atau
cantriknya bersifat feodalistik, maka
tidak setiap anak rakyat dengan mudah dapat masuk menjadi cantrik dari suatu
padepokan.
Dengan demikian
sistem pendidikan padepokan bersifat diskriminatif. Hanya anak-anak golongan bangsawan atau ksatria dan brahmana saja
yang dapat masuk padepokan. Walaupun ada anak secerdas Ken Arok misalnya,
karena dia lahir dari rakyat biasa, maka Ken Arok tak mungkin bisa masuk
padepokan. Terpaksa anak rakyat seperti Ken Arok itu, harus belajar kepada
guru-guru mandiri yang tak memiliki
padepokan. Dan Ken Arok memang beruntung karena kemudian diambil anak angkat
oleh Brahmana Loh Gawe. Tetapi tidak semua anak cerdas dan berbakat
bernasib mujur seperti Ken Arok itu.
Ketika para
wali mengenalkan sistem pendidikan pesantren yang lebih demokratis dan tidak
diskriminatif, maka tidak ada lagi anak-anak yang mengalami kesulitan untuk
belajar dan bernasib malang seperti Ken Arok pada masa kanak-kanaknya.
Tak mengherankan bila lembaga pendidikan Islam dalam
bentuk pesantren yang dipelopori oleh
Walisongo itu, cepat dibanjiri santri-santri dari berbagai penjuru.
Bukan hanya dari Jawa, tetapi juga dari luar Jawa. Di pulau Jawa ada tiga buah pesantren
terkenal pada akhir abad ke 15 M dan
awal abad ke 16 M, yang kemudian menjadi
cikal bakal dari berbagai pesantren yang didirikan di daerah lain. Ketiga
pesantren itu adalah Pesantren Ampel Denta, Pesantren Giri dan Pesantren Gunungjati.
Pesantren Ampel Denta didirikan oleh Sunan Ampel di
daerah Ampel Denta Surabaya. Pendirinya
adalah Raden Rahmat yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel. Pesantren Ampel
Denta berkembang hingga memiliki ribuan santri. Para santri alumni Pesantren
Ampel ini, kemudian menyebar dan mendirikan pesantren-pesantren di pedalaman
Jawa Timur dan Jawa Tengah Selatan.
Pesantren
Gunungjati di Cirebon, didirikan
oleh Sayyid Es
dan putranya Sayyid Zen Abdul
Qodir atau Syarif Hidayatullah dalam tradisi Cirebon dan menjadi model pesantren-pesantren yang
didirikan di wilayah Jawa Barat Selatan dan Banten.
Pesantren Giri didirikan oleh Sunan Giri di dekat
Gresik. Pesantren Giri adalah pesantren terbesar di Pulau Jawa. Santrinya
berdatangan dari luar Jawa, seperti Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Nusatenggara
Barat, Maluku sampai Ternate dan Kepulauan Hitu. Pesantren Giri menjadi model dari
pesantren-pesantren yang berdiri di luar Jawa, khususnya wilayah Indonesia
Timur.
Di bidang sosial kemasyarakatan, Walisongo
memperkenalkan konsep pembangunan kota-kota santri atas dasar empat pilar
tunggal atau catur gatra tunggal. Artinya
empat komponen institusi penting pusat kegiatan sosial dari masyarakat santri dibangun pada satu tempat yang berdekatan.
Keempat
institusi itu adalah kraton, alun-alun, pasar dan masjid. Kraton adalah pusat
pemerintahan, tempat raja dan pembantunya menjalankan tugas sehari-hari.
Alun-alun adalah ruang terbuka tempat berinteraksi dan bersilaturahmi bukan saja antar anggota masyarakat, tetapi
juga antara raja dan rakyatnya.
Pasar adalah tempat rakyat melakukan berbagai
transaksi perdagangan, agar kebutuhan dan kesejahteraan rakyat dapat terpenuhi.
Dan masjid adalah tempat ibadah yang senantiasa terbuka setiap saat sehingga
memudahkan masyarakat kapan saja memanfaatkannya untuk melaksanakan ibadah.
Konsep catur gatra tunggal itu jelas memperlihatkan
visi dari pemerintahan yang Islami, egaliter dan demokratis. Dibangunnya
institusi ekonomi berupa pasar yang dekat kraton, menunjukkan bahwa Kerajaan
Islam Demak memberikan apresiasi yang tinggi terhadap profesi pedagang sebagai
profesi yang terhormat yang dapat menjadi agen pembaharuan dan kemajuan
masyarakat.
Padahal dalam sistem masyarakat Hindu Buddha pada
masa Kerajaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan Hindu sebelumnya, posisi pedagang
dianggap sebagai
posisi rendah bahkan kadang-kadang cenderung dianggap hina.
Dalam sistem
kasta, pedagang dan pengusaha termasuk
kasta Weisya. Masyarakat Hindu terdiri atas empat tingkatan kasta yang
tersusun secara hirarkhis yakni kasta Brahmana, Ksatria, Weisya dan Sudra.
Kasta Brahmana adalah kasta tertinggi dan kasta Sudra merupakan kasta terendah.
Sikap tiap kasta terhadap harta benda
sering dinyatakan dalam satu ungkapan, yaitu bahwa Sudra itu nyunggi
banda, Weisya nyangking banda, Ksatria weweh banda dan Brahmana nyingkur banda.
Hal itu menunjukkan adanya anggapan bahwa nilai
kapitalitas atau mengumpulkan modal untuk usaha, merupakan nilai yang kurang mulia. Hal itu dapat ditelaah dari
makna ungkapan tersebut.
Sudra nyunggi banda, maksudnya adalah kasta terendah
ini hidup dari menjual tenaganya. Jadi mereka adalah golongan buruh. Weisya
nyangking banda, maksudnya kasta para
pedagang dan petani ini adalah kasta yang telah memiliki modal dan pekerjaannya
dengan memutar modal agar menghasilkan
keuntungan.
Ksatria weweh
banda, artinya golongan ksatria adalah
golongan yang murah hati, gemar bersedekah dan berderma. Hanya saja tidak
pernah dijelaskan, dari mana para Ksatria itu memperoleh kekayaannya, jika
tidak dengan cara menindas kasta di bawahnya? Brahmana nyingkur banda, artinya
kaum brahmana ini tidak mau tahu lagi soal urusan duniawi. Tetapi sebenarnya
mereka memperoleh makan dari sedekah para Ksatria. Jadi weweh banda itu bukan
ditujukan pada kaum papa yang miskin dan menderita, tetapi ditujukan pada para
brahmana.
Dalam pandangan Islam, berdagang dan berusaha, bukan
hanya merupakan salah satu pekerjaan
yang terpuji dan terhormat, tetapi juga
merupakan aktivitas yang dapat
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dalam ajaran Islam, kekayaan di samping mempunya fungsi
ekonomi juga memiliki fungsi sosial. Dengan banyaknya pedagang yang kaya,
masyarakat akan diuntungkan karena mereka wajib membayar zakat atas harta benda
yang mereka kumpulkan.
Bagaimana
seorang santri bisa berinfak,
beramal saleh, mengeluarkan zakat, membangun sarana pendidikan dan naik haji
jika mereka tidak mempunyai penghasilan yang cukup? Dibangunnya pasar di setiap kota kabupaten, menunjukkan bahwa
Walisongo itu memiliki visi ekonomi kerakyatan yang maju pada jamannya.
Dibangunnya masjid dekat pasar sebagai pusat
transaksi bisnis dan keraton sebagai pusat birokrasi, tentu memiliki tujuan
yang bersifat fungsional sekaligus juga
cita-cita ideal yang digali dari
ajaran Islam. Dengan adanya masjid, maka para pelaku ekonomi dan pelaku
birokrasi, selalu diingatkan bahwa sesibuk apa pun mereka dalam urusan
transaksi bisnis mau pun mengurus birokrasi, hendaklah tidak melupakan pula
urusan ibadah, khususnya shalat Zuhur dan Ashar. Mereka dengan mudah
melangkahkan kaki untuk melaksanakan shalat Zuhur dan Ashar di mesjid yang sengaja didirikan tidak jauh dari tempat
mereka bekerja dan melakukan aktivitas keseharian mereka.
Islam pada awalnya memang adalah agama yang
diturunkan kepada kaum pedagang di kota
Makkah. Karena itu irama beribadah dalam agama Islam amat cocok dengan
irama kehidupan pedagang. Shalat Subuh, misalnya dilaksanakan pada pagi hari
sekali sebelum mereka berangkat ke pasar.
Tengah hari saat puncak sibuk-sibuknya, otomatis
fisik dan mental mereka secara alamiah sudah mulai capai dan perlu istirahat
sejenak. Maka pada saat inilah ada kewajiban melaksanakan shalat Zuhur, yang secara psikhologis berguna untuk
memulihkan energi, stamina, mental dan daya tahan tubuh. Karena itu selesai shalat
Zuhur, para birokrat kraton dan pedagang pasar, staminanya untuk bekerja telah
pulih kembali karena telah shalat, istirahat sejenak serta makan siang. Timbul
perasan puas dalam batin seorang santri, karena
kewajiban ibadah dan muamalah telah dilaksanakan pada siang hari.
Mereka kemudian
kembali bekerja, sampai waktu shalat
Ashar tiba. Para pedagang mengakhiri aktivitas hari itu, seraya menghitung laba
yang diperolehnya. Mereka bersyukur atas rejeki yang diperolehnya hari itu,
suatu rejeki yang merupakan anugerah Allah SWT. Kini mereka harus pergi ke masjid dekat pasar dan alun-alun untuk melaksanakan shalat Ashar. Sampai di
rumah menjelang Magrib, mereka pun siap-siap shalat di tempat tinggalnya masing-masing. Saat menjelang
tidur, mereka melaksanakan shalat Isa. Bila mungkin, bangun pagi pukul 03.00
untuk melaksanakan shalat Tahajud.
Kira-kira demikianlah konsep aktivitas harian
seorang santri pedagang maupun santri birokrat yang diajarkan oleh Dewan Walisongo. Dengan konsep aktivitas semacam itu,
diharapkan para santri dapat meraih kebaikan
bukan hanya di dunia, tetapi juga kebaikan di akhirat. Santri boleh saja
mengejar kemakmuran dunia, tetapi tidak boleh melupakan kampung akhirat.
Akibat konsep ekonomi yang diajarkan Dewan Walisongo itu, maka dalam waktu
yang relatip singkat bermunculan kota-kota dagang yang ramai yang dihuni para
santri pedagang di wilayah pesisir sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Kota-kota santri ini relatif makmur
dan berkembang melampaui kota-kota
tradisional di pedalaman Pulau Jawa. Munculnya kota-kota dagang yang makmur di
sepanjang pantai utara pulau Jawa pada masa Kerajaan Islam Demak, mulai dari
Gresik, Tuban, Rembang, Demak, Semarang, Pekalongan, Tegal, Brebes, Cirebon
sampai Indramayu, Jayakarta dan Banten, menunjukkan bahwa Dewan Walisongo sukses membangun proyek ekonomi
kerakyatan yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam.
Di bidang kebudayaan, Walisongo menciptakan arsitek
bangunan masjid dengan dasar arsitek peninggalan Hindu Jawa yang
dimodifikasikan dengan nilai-nilai yang
Islami. Misalnya saja, atap masjid dibuat tiga tingkat, yang melambangkan
tingkatan-tingkatan dalam mendalamai ajaran Islam, yaitu tingkat dasar atau syariat, tingkat menengah atau hakekat
dan tingkat lanjutan atau makrifat. Dalam proses pencapaian tingkatan-tingkatan itu, sepenuhnya diserahkan
kepada minat, kemampuan dan kecerdasan masing-masing santri. Dewan Walisongo dengan masjidnya siap
memberikan motivasi, dukungan dan bantuan. Seorang santri yang berminat
melakukan penghayatan dan pendalaman Keislaman, tidak harus bertapa di gua-gua
, di tepi-tepi sungai atau di tepi laut yang sepi, atau pergi ke tengah hutan
yang lebat. Mesjid sudah lebih dari cukup sebagai tempat untuk mencapai
tingkatan hakekat atau makrifat dalam
ajaran Islam.
Sumbangan Walisongo lainnya dalam bidang budaya
adalah Islamisasi wayang kulit, menciptakan lagu-lagu dan gending-gending
Islami, serta menciptakan ragam jenis corak batik dengan motif karikaturis
bentuk daun, bunga dan burung. Seni ukir, seni rupa, seni kaligrafi, berkembang
dengan subur di kota-kota santri pesisir pantai utara Pulau Jawa. Sebenarnya
masih banyak lagi sumbangan Walisongo
dalam membangun peradaban Jawa yang Islami yang jejak-jejaknya masih dapat kita
temukan sampai jaman kita sekarang ini.(The End)[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar