Jumat, 08 Januari 2016

Sumbangan Walisongo Sebagai Perintis Dakwah Islam di Pulau Jawa (05-Tamat)



Selain Kerajaan Islam Demak yang merupakan proyek politik Dewan Walisongo, proyek-proyek penting lainnya yang digarap Dewan Walisongo adalah proyek di bidang pendidikan, kebudayaan, ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
 Di bidang pendidikan Walisongo memelopori  berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal sebagai pesantren. Pada jamannya pesantren adalah lembaga pendidikan  modern dibandingkan dengan lembaga pendidikan Hindu-Buddha dalam bentuk padepokan-padepokan yang tersebar di wilayah Kerajaan Hindu Buddha Majapahit maupun Kerajaan Hindu Pajajaran.
Sifat modern dari pendidikan pesantren, bukan hanya terletak pada hubungan yang lebih demokratis antara  guru, kiai dan ustad terhadap para santrinya. Tetapi juga dalam perekrutan calon santri.
Dapat dikatakan bahwa pesantren terbuka bagi seluruh rakyat tanpa membeda-bedakan status dan klas sosial calon santri. Sedangkan pada sistem padepokan, selain hubungan antara guru dan siswanya atau cantriknya  bersifat feodalistik, maka tidak setiap anak rakyat dengan mudah dapat masuk menjadi cantrik dari suatu padepokan.
 Dengan demikian sistem pendidikan padepokan bersifat diskriminatif. Hanya anak-anak  golongan bangsawan atau ksatria dan brahmana saja yang dapat masuk padepokan. Walaupun ada anak secerdas Ken Arok misalnya, karena dia lahir dari rakyat biasa, maka Ken Arok tak mungkin bisa masuk padepokan. Terpaksa anak rakyat seperti Ken Arok itu, harus belajar kepada guru-guru  mandiri yang tak memiliki padepokan. Dan Ken Arok memang beruntung karena kemudian diambil anak angkat oleh Brahmana Loh Gawe. Tetapi tidak semua anak  cerdas dan berbakat bernasib mujur seperti Ken Arok itu.
 Ketika para wali mengenalkan sistem pendidikan pesantren yang lebih demokratis dan tidak diskriminatif, maka tidak ada lagi anak-anak yang mengalami kesulitan untuk belajar dan bernasib malang seperti Ken Arok pada masa kanak-kanaknya.
Tak mengherankan bila lembaga pendidikan Islam dalam bentuk pesantren yang dipelopori oleh  Walisongo itu, cepat dibanjiri  santri-santri dari berbagai penjuru. Bukan hanya dari Jawa, tetapi juga dari luar Jawa.  Di pulau Jawa ada tiga buah pesantren terkenal pada akhir abad ke 15 M  dan awal abad ke 16 M,  yang kemudian menjadi cikal bakal dari berbagai pesantren yang didirikan di daerah lain. Ketiga pesantren itu adalah Pesantren Ampel Denta, Pesantren Giri dan Pesantren  Gunungjati.
Pesantren Ampel Denta didirikan oleh Sunan Ampel di daerah Ampel  Denta Surabaya. Pendirinya adalah Raden Rahmat yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel. Pesantren Ampel Denta berkembang hingga memiliki ribuan santri. Para santri alumni Pesantren Ampel ini, kemudian menyebar dan mendirikan pesantren-pesantren di pedalaman Jawa Timur dan Jawa Tengah Selatan.
Pesantren  Gunungjati di  Cirebon, didirikan oleh Sayyid Es dan putranya Sayyid Zen Abdul Qodir atau Syarif Hidayatullah dalam tradisi Cirebon  dan menjadi model pesantren-pesantren yang didirikan di wilayah Jawa Barat Selatan dan Banten.
Pesantren Giri didirikan oleh Sunan Giri di dekat Gresik. Pesantren Giri adalah pesantren terbesar di Pulau Jawa. Santrinya berdatangan dari luar Jawa, seperti Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Nusatenggara Barat, Maluku sampai Ternate dan Kepulauan Hitu. Pesantren Giri menjadi model dari pesantren-pesantren yang berdiri di luar Jawa, khususnya wilayah Indonesia Timur.
Di bidang sosial kemasyarakatan, Walisongo memperkenalkan konsep pembangunan kota-kota santri atas dasar empat pilar tunggal atau catur gatra tunggal. Artinya  empat komponen institusi penting pusat kegiatan sosial  dari masyarakat santri  dibangun pada satu tempat yang berdekatan.
 Keempat institusi itu adalah kraton, alun-alun, pasar dan masjid. Kraton adalah pusat pemerintahan, tempat raja dan pembantunya menjalankan tugas sehari-hari. Alun-alun adalah ruang terbuka tempat berinteraksi dan bersilaturahmi  bukan saja antar anggota masyarakat, tetapi juga antara raja dan  rakyatnya.
Pasar adalah tempat rakyat melakukan berbagai transaksi perdagangan, agar kebutuhan dan kesejahteraan rakyat dapat terpenuhi. Dan masjid adalah tempat ibadah yang senantiasa terbuka setiap saat sehingga memudahkan masyarakat kapan saja memanfaatkannya untuk melaksanakan ibadah.
Konsep catur gatra tunggal itu jelas memperlihatkan visi dari pemerintahan yang Islami, egaliter dan demokratis. Dibangunnya institusi ekonomi berupa pasar yang dekat kraton, menunjukkan bahwa Kerajaan Islam Demak memberikan apresiasi yang tinggi terhadap profesi pedagang sebagai profesi yang terhormat yang dapat menjadi agen pembaharuan dan kemajuan masyarakat.
Padahal dalam sistem masyarakat Hindu Buddha pada masa Kerajaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan Hindu sebelumnya, posisi pedagang dianggap sebagai posisi  rendah bahkan kadang-kadang cenderung dianggap hina.
Dalam sistem  kasta, pedagang dan pengusaha termasuk  kasta Weisya. Masyarakat Hindu terdiri atas empat tingkatan kasta yang tersusun secara hirarkhis yakni kasta Brahmana, Ksatria, Weisya dan Sudra. Kasta Brahmana adalah kasta tertinggi dan kasta Sudra merupakan kasta terendah. Sikap tiap kasta terhadap harta benda   sering dinyatakan dalam satu ungkapan, yaitu bahwa Sudra itu nyunggi banda, Weisya nyangking banda, Ksatria weweh banda dan Brahmana nyingkur banda.
Hal itu menunjukkan adanya anggapan bahwa nilai kapitalitas atau mengumpulkan modal untuk usaha, merupakan nilai yang  kurang mulia. Hal itu dapat ditelaah dari makna ungkapan tersebut.
Sudra nyunggi banda, maksudnya adalah kasta terendah ini hidup dari menjual tenaganya. Jadi mereka adalah golongan buruh. Weisya nyangking banda, maksudnya  kasta para pedagang dan petani ini adalah kasta yang telah memiliki modal dan pekerjaannya dengan memutar  modal agar menghasilkan keuntungan.
 Ksatria weweh banda, artinya  golongan ksatria adalah golongan yang murah hati, gemar bersedekah dan berderma. Hanya saja tidak pernah dijelaskan, dari mana para Ksatria itu memperoleh kekayaannya, jika tidak dengan cara menindas kasta di bawahnya? Brahmana nyingkur banda, artinya kaum brahmana ini tidak mau tahu lagi soal urusan duniawi. Tetapi sebenarnya mereka memperoleh makan dari sedekah para Ksatria. Jadi weweh banda itu bukan ditujukan pada kaum papa yang miskin dan menderita, tetapi ditujukan pada para brahmana.
Dalam pandangan Islam, berdagang dan berusaha, bukan hanya merupakan salah satu  pekerjaan yang terpuji dan terhormat, tetapi  juga merupakan  aktivitas yang dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dalam ajaran  Islam, kekayaan di samping mempunya fungsi ekonomi juga memiliki fungsi sosial. Dengan banyaknya pedagang yang kaya, masyarakat akan diuntungkan karena mereka wajib membayar zakat atas harta benda yang mereka kumpulkan.
Bagaimana  seorang santri bisa  berinfak, beramal saleh, mengeluarkan zakat, membangun sarana pendidikan dan naik haji jika mereka tidak mempunyai penghasilan yang cukup? Dibangunnya pasar  di setiap kota kabupaten, menunjukkan bahwa Walisongo itu memiliki visi ekonomi kerakyatan yang maju pada jamannya.
Dibangunnya masjid dekat pasar sebagai pusat transaksi bisnis dan keraton sebagai pusat birokrasi, tentu memiliki tujuan yang bersifat fungsional sekaligus juga  cita-cita ideal  yang digali dari ajaran Islam. Dengan adanya masjid, maka para pelaku ekonomi dan pelaku birokrasi, selalu diingatkan bahwa sesibuk apa pun mereka dalam urusan transaksi bisnis mau pun mengurus birokrasi, hendaklah tidak melupakan pula urusan ibadah, khususnya shalat  Zuhur dan Ashar. Mereka dengan mudah melangkahkan kaki untuk melaksanakan shalat Zuhur dan Ashar di mesjid yang  sengaja didirikan tidak jauh dari tempat mereka bekerja dan melakukan aktivitas keseharian mereka. 

Islam pada awalnya memang adalah agama yang diturunkan kepada kaum pedagang di kota  Makkah. Karena itu irama beribadah dalam agama Islam amat cocok dengan irama kehidupan pedagang. Shalat Subuh, misalnya dilaksanakan pada pagi hari sekali sebelum mereka berangkat ke pasar.
Tengah hari saat puncak sibuk-sibuknya, otomatis fisik dan mental mereka secara alamiah sudah mulai capai dan perlu istirahat sejenak. Maka pada saat inilah ada kewajiban melaksanakan shalat  Zuhur, yang secara psikhologis berguna untuk memulihkan energi, stamina, mental dan daya tahan tubuh. Karena itu selesai shalat Zuhur, para birokrat kraton dan pedagang pasar, staminanya untuk bekerja telah pulih kembali karena telah shalat, istirahat sejenak serta makan siang. Timbul perasan puas dalam batin seorang santri, karena  kewajiban ibadah dan muamalah telah dilaksanakan pada siang hari.
Mereka kemudian kembali bekerja, sampai waktu  shalat Ashar tiba. Para pedagang mengakhiri aktivitas hari itu, seraya menghitung laba yang diperolehnya. Mereka bersyukur atas rejeki yang diperolehnya hari itu, suatu rejeki yang merupakan anugerah Allah SWT. Kini mereka harus pergi ke masjid dekat pasar dan alun-alun  untuk melaksanakan shalat Ashar. Sampai di rumah menjelang Magrib, mereka pun siap-siap shalat di tempat tinggalnya masing-masing. Saat menjelang tidur, mereka melaksanakan shalat Isa. Bila mungkin, bangun pagi pukul  03.00  untuk melaksanakan shalat Tahajud.
Kira-kira demikianlah konsep aktivitas harian seorang santri pedagang maupun santri birokrat yang diajarkan   oleh Dewan Walisongo. Dengan konsep aktivitas semacam itu, diharapkan para santri dapat meraih kebaikan  bukan hanya di dunia, tetapi juga kebaikan di akhirat. Santri boleh saja mengejar kemakmuran dunia, tetapi tidak boleh melupakan kampung akhirat.
Akibat konsep ekonomi yang diajarkan Dewan Walisongo itu, maka dalam waktu yang relatip singkat bermunculan kota-kota dagang yang ramai yang dihuni para santri pedagang di wilayah pesisir sepanjang pantai utara  Pulau Jawa. Kota-kota santri ini relatif makmur dan berkembang melampaui  kota-kota tradisional di pedalaman Pulau Jawa. Munculnya kota-kota dagang yang makmur di sepanjang pantai utara pulau Jawa pada masa Kerajaan Islam Demak, mulai dari Gresik, Tuban, Rembang, Demak, Semarang, Pekalongan, Tegal, Brebes, Cirebon sampai Indramayu, Jayakarta dan Banten, menunjukkan bahwa Dewan Walisongo sukses membangun proyek ekonomi kerakyatan  yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam.
Di bidang kebudayaan, Walisongo menciptakan arsitek bangunan masjid dengan dasar arsitek peninggalan Hindu Jawa yang dimodifikasikan dengan nilai-nilai  yang Islami. Misalnya saja, atap masjid dibuat tiga tingkat, yang melambangkan tingkatan-tingkatan dalam mendalamai ajaran Islam, yaitu tingkat dasar atau syariat, tingkat menengah atau hakekat dan tingkat lanjutan atau makrifat. Dalam proses pencapaian tingkatan-tingkatan itu, sepenuhnya diserahkan kepada minat, kemampuan dan kecerdasan masing-masing santri. Dewan Walisongo dengan masjidnya siap memberikan motivasi, dukungan dan bantuan. Seorang santri yang berminat melakukan penghayatan dan pendalaman Keislaman, tidak harus bertapa di gua-gua , di tepi-tepi sungai atau di tepi laut yang sepi, atau pergi ke tengah hutan yang lebat. Mesjid sudah lebih dari cukup sebagai tempat untuk mencapai tingkatan  hakekat atau makrifat dalam ajaran Islam.
Sumbangan Walisongo lainnya dalam bidang budaya adalah Islamisasi wayang kulit, menciptakan lagu-lagu dan gending-gending Islami, serta menciptakan ragam jenis corak batik dengan motif karikaturis bentuk daun, bunga dan burung. Seni ukir, seni rupa, seni kaligrafi, berkembang dengan subur di kota-kota santri pesisir pantai utara Pulau Jawa. Sebenarnya masih banyak lagi sumbangan  Walisongo dalam membangun peradaban Jawa yang Islami yang jejak-jejaknya masih dapat kita temukan sampai jaman kita sekarang ini.(The End)[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar