Cipari
memang gudang beras. Senna dapat saja memutuskan belok ke kanan menuju Cipari
dengan anak buahnya. Penduduk setempat pun dipastikan akan menyambutnya. Bukankah
Senna adalah Raja Galuh? Tetapi risikonya juga besar. Jika pasukan Purbasora
mengejarnya ke Cipari, dengan mudah mereka
akan menemukan Senna. Dapat dipastikan pasukan Purbasora akan menuju Cipari,
karena mereka menduga, jika Senna dan parjuritnya kelaparan, akan kemana mereka
lari jika tidak ke Cipari? Ternyata
Senna memang cerdas. Dia tidak ke Cipari, tetapi memilih meneruskan perjalanan menembus
jalan setapak di tengah hutan, sebelum akhirnya tiba di Cimanggu.
Memang bahasa Sunda padi bukan pari, tapi pare. Dari kata Cipare, lama-lama berubah menjadi Cipari ketika banyak orang Jawa bermukim di daerah itu. Kata Cipare, diucapkan oleh lidah Jawa jadi Cipari. Dari sudut topografi, daerah Cipari lebih layak dianggap lumbung padi dari pada lumbung pare dalam bahasa Jawa yang buahnya pahit itu. Bisa jadi nama Cipari baru muncul setelah Dayeuhluhur jatuh ke dibawah kekuasaan Mataram. Atau ketika orang Belanda membangun sebuah stasiun kereta api disitu. Jadi nama Cipari berasal dari suatu jaman yang belum terlalu lama. Suatu perubahan dari Cipare menjadi Cipari.
Memang bahasa Sunda padi bukan pari, tapi pare. Dari kata Cipare, lama-lama berubah menjadi Cipari ketika banyak orang Jawa bermukim di daerah itu. Kata Cipare, diucapkan oleh lidah Jawa jadi Cipari. Dari sudut topografi, daerah Cipari lebih layak dianggap lumbung padi dari pada lumbung pare dalam bahasa Jawa yang buahnya pahit itu. Bisa jadi nama Cipari baru muncul setelah Dayeuhluhur jatuh ke dibawah kekuasaan Mataram. Atau ketika orang Belanda membangun sebuah stasiun kereta api disitu. Jadi nama Cipari berasal dari suatu jaman yang belum terlalu lama. Suatu perubahan dari Cipare menjadi Cipari.
Cimanggu
juga sudah dikenal pada abad ke- 8 M. Majenang malah belum dikenal. Toponim
Majenang dan Madura, baru terbentuk pada abad ke-17 M, ketika Mataram
berekaspansi ke barat untuk menaklukan Dayeuhluhur dan Galuh. Toponim Majenang,
Wanareja dan Madura adalah toponim Jawa, sehingga mudah disimpulkan desa-desa
itu adalah bentukan orang Jawa Mataram.Manggu sendiri adalah nama tanaman buah yang dalam bahasa Jawa dan Indonesia dikenal sebagai buah manggis.
Tibalah
Senna di Cimanggu, sebuah desa makmur yang dapat dipastikan perangkat desanya
akan menyambut dan membantu Senna. Bagaimanapun Senna adalah Raja Galuh yang bertahta selama
tujuh tahun. Mustahil rakyat Cimanggu tidak mengenalnya. Senna bisa jadi
istirahat di Cimanggu hanya semalam dan esok harinya melanjutkan pelarian ke
timur dan tiba di Karangpucung. Karangpucung sama dengan Cimanggu, desa kuno
yang sudah dikenal pada abad ke-8 M. Pucung juga nama buah untuk membuat sayur rawon dan brongkos. Orang Jawa menyebutnya keluak. Bahasa latinnya, Pangium edull dari Familia Flacovirtiaceae.
Besar kemungkinan di Karangpucung, Senna berkemah 2-3 hari, sebagai persiapan menembus hutan dengan jalan setapak, berkelak kelok, tetapi sangat menyenangkan karena di situ banyak tumbuh pohon kelapa dan pohon aren, sumber energi yang penting bagi para petualang dan penjelajah hutan.
Besar kemungkinan di Karangpucung, Senna berkemah 2-3 hari, sebagai persiapan menembus hutan dengan jalan setapak, berkelak kelok, tetapi sangat menyenangkan karena di situ banyak tumbuh pohon kelapa dan pohon aren, sumber energi yang penting bagi para petualang dan penjelajah hutan.
Leluhur
Senna adalah Bangsa Galuh, putra-putra sungai pencipta kebudayaan muara sungai
dan hilir sungai. Leluhur Senna adalah penjelajah hutan dan penyusur sungai
dari hilir ke hulu yang gagah berani dan pantang menyerah. Mereka memiliki
ketrampilan menjelajah hutan, menyusuri sungai dari muara sampai mata air. Mereka
menjadi penjelajah hutan menyusuri
pinggiran sungai ke arah hulu
untuk menemukan mata air sungai, hanya berebekal peralatan sederhana dan ringan
yang dibawa, seperti alat-alat pertanian dan perlengkapan memasak, alat berburu dan berbekal bibit keladi
(Colocasia antiquorum) dan ubi jalar (Dioscorea esculanta). Sambil menyusuri
pinggiran sungai menuju hilir, mereka juga menanam keladi dan ubi jalar, sehingga
mereka tidak akan pernah kehabisan bahan makanan, karena mereka terus membangun
lumbung bahan makanan sepanjang perjalanan menuju hilir.
Tradisi
lain suku bangsa Galuh yang diwarisi
dari leluhurnya di Lembah Sungai Mekong, Vietnam adalah membangun pemukinan dan
pusat pemerintahan di muara sungai dan
di hilir sungai, sesuai dengan filosofi dan pandangan hidup mereka yang
menganut sungai sebagai asas ibu dan
gunung sebagai asas bapak. Mata air sungai-sungai besar di kaki gunung mereka
anggap pusat jati diri mereka, asal
muasal mereka sebagai putra-putra sungai, sebab di situlah Sang Ibu dan Sang
Bapak bertemu dan memadu kasih yang telah melahirkan leluhur mereka. Gagasan
ini melahirkan konsep yang menganggap gunung, mata air di kaki gunung, dan sungai
yang mengalir dari padanya sebagai sesuatu suci, disakralkan dan mereka puja.
Setelah
berkemah beberapa hari untuk memulihkan tenaga di Karangpucung, Senna dan
pasukan memulai menembus jalan setapak
berlika-liku yang sekarang dikenal sebagai daerah Lumbir.Toponim Lumbir sama
sekali tidak dikenal dalam kamus Jawa Banyumas maupun Sunda. Kemungkinan ketika
Senna melintasi daerah ini masih berupa hutan di pinggir perbukitan yang di
sepanjang kakinya banyak tumbuh pohon kelapa dan aren. Toponim Lumbir mungkin
berasal dari kata limbung, berubah menjadi limbur, akhirnya berubah jadi
lumbir. Arti limbung dalam bahasa Sunda adalah, “ukuran luhurna heunte ngimbangan kana gedena”. Artinya ukuran
tingginya tidak sama dengan besarnya. Bisa jadi lumbir melukiskan pohon kelapa
yang sudah lama tidak dipetik, buahnya banyak yang bergelantungan, sehingga
tidak seimbang dengan tinggi pohonya yang kecil lurus. Atau juga bisa untuk
menggambarkan pohon aren yang buahnya dan daunnya
begitu rimbun dan tak seimbang dengan tinggi batangnya. Tampaknya lumbir adalah
nama untuk menyebut sebuah hutan yang kaya dengan corak pohon yang menghasilkan
buah kelapa, aren dan lainnya lagi seperti digambarkan di atas. Setelah menjadi
pemukiman orang memberi nama desa Lumbir.
Hutan Mangli
Setelah
berhasil menembus hutan Lumbir, Senna dan prajurit pengawalnya istirahat lagi,
sebagai persiapan untuk menempuh wilayah datar memanjang ke timur sampai
akhirnya tiba di sebuah hutan yang dalam teks Babad Banyumas dikenal dengan
hutan Mangli.
Kosa kata mangli tidak ditemukan dalam kamus
bahasa Jawa Banyumas. Tetapi dalam kamus bahasa Sunda dikenal, kosa kata
mangle, yakni tumbuhan rawa dan tepi sungai sejenis pandan yang tingginya bisa
sampai dua meter, termasuk famili Pandanaceae. Nama latin mangle adalah Pandanus ammaryllifolisus, baunya harum semerbak, sehingga dipakai jadi nama sebuah majalah
bahasa Sunda yang tetap terbit sampai sekarang, Mangle. Maksudnya mungkin
majalah yang termashur karena isinya yang beraneka ragam, kebanyakan terjemahan
karya sastra bermutu karangan orang-orang barat ke dalam bahasa Sunda.
Dari
kata mangle tadi, orang Jawa dan Banyumas mengubahnya jadi mangli, untuk
menyebut nama kawasan pepohonan yang seperti jati, jambu, pohon lo yang di
sekelilingnya banyak pohon pandan atau mangle. Pohon jambu adalah pohon yang
banyak dikenal oleh orang Sunda dan Jawa. Dalam kamus Bahasa Sunda dikenal
banyak sekali nama jambu, misalnya: jambu batu, jambu dipa, jambu bol, jambu
aer, jambu monyet, jambu dehem, jambu batu atau jambu kulutuk. Ada lagi sejenis
jambu aer yang warnanya merah. Orang Sunda menyebutnya jambu Samarang. Mungkin
jambu Samarang ini yang disebu jambu mangli oleh orang Jawa. Nama pohon jambu yang mungkin disebut jambu mangli oleh orang Jawa adalah jambu mawar, buahnya kuning kehijau-hijauan, bentuk bulat, berbau sedap layaknya bunga mawar. Bahasa latinnya Eugenia jambos. Kadang-kadang jambu mawar sering dianggap saudaranya jambu kopo atau Eugenia densiflora.
Orang
Sunda maupun orang Jawa, sama-sama mengenal kosa kata lawang. Tetapi toponim Jatilawang
belum terbentuk pada abad ke-8 M. Sebelum toponim Jatilawang, namanya Jambu. bisa
jadi dahulu bernama Karangjambu atau Cijambu. Sebab di sebelah barat hutan Lumbir
terdapat toponim Karangpucung dan Cimanggu. Pucung dan manggu, seperti halnya
jambu, menunjukkan nama pohon tanaman keras. Besar kemungkinan pola vegetasi
hutan ketika perjalanan Senna semakin mendekati Sungai Serayu merupakan hutan
dengan pola yang unik, sehingga disebut hutan Mangle.
Hutan
Mangle yang dilihat Senna dan anak buahnya ketika dia bergerak melintasi Rawalo
sampai tiba di tepi Sungai Serayu, bisa jadi sama dengan Raden Patah ketika
melihat banyak tumbuhan glagah yang menempati wilayah luas di Bintaran.
Tumbuhan glagah yang meluas itu dalam Babad Pajang disebut hutan Glagah, tempat
Raden Patah dan anak buahnya kemudian membangun sebuah kadipaten yang diberi
nama Kadipaten Bintara. Demikian pula Senna dan pengawalnya, memberi nama hutan
yang dipenuhi pohon mangle itu sebagai hutan Mangle. Glagah sama dengan mangle
bukan tanaman keras.
Hutan
Mangle adalah hutan rimbun dengan banyak tanaman mangle yang tumbuh mengisi
sela-sela pohonan dengan tanaman keras seperti jambu, pucung, manggu, jati, lo,
kandaga, dan lainnya lagi. Jalan lurus
Jatilawang – Rawalo- Jembatan Cindaga, dapat dipastikan pada abad ke-8 M, masih
merupakan jalan selebar beberapa meter yang menyusuri tepi hutan yang ada di
sisi utara yang berupa hutan Mangle dengan tanaman keras paling dominan adalah
jambu dan pohon lo. Sedang di sebelah selatan jalan merupakan bentangan rawa
luas dengan aneka tumbuhan rawa, seperti bahan pembuat tikar, atap kajang dan mangrove.
Kondisi topografi Rawalo ketika Senna dan
pengawalnya melintasi daerah itu, bisa diperbandingkan dengan topografi Patimuan-Rawaapu-Cintaduy
dan Kalipucang yang pada awal tahun 1970 masih dapat disaksikan orang. Konon pada
tahun 1970 M, jika orang menuju Pangandaran dari Sidareja-Kedungreja-Patimuan-Rawaapu-Kalipucang,
dan tiba di Pangandaran, jalan itu masih membelah daerah rawa, di kanan dan
kirinya dengan aneka tumbuhan rawa. Sekarang rawa-rawa di sepanjang jalur Sidareja
Patimuan-Rawaapu-Citanduy–Kalipucang, sudah banyak yang berubah jadi pemukiman
penduduk. Demikian pula sisa-sisa kondisi geografi Jatilawang – Rawalo pada
abad ke-8 M, sudah tidak mungkin bisa kita lihat lagi pada jaman sekarang ini.
Jatilawang dan Rawalo sudah berubah jadi Kota Kecamatan yang terus-menerus
menggeliat menuju masyarakat dengan pola masyarakat kota.
Hutan
Mangle yang dilewai Senna dan prajurit pengawalnya, meliputi areal yang sangat
luas. Bukan hanya mencapai sisi barat Sungai Serayu, tapi juga mencapai sisi
timur Sungai Serayu membentang dari selatan ke utara, dari Cindaga sampai
Pertemuan Sungai Serayu dan Pasinggangan. Sebab habitat utama mangle memang
pinggir rawa dan pinggir sungai. Hanya tanaman keras yang tumbuh di sisi timur
Serayu rupanya mulai mengalami perubahan, karena perubahan struktur tanah yang
semakin mendekati kaki pegunungan Serayu. Pohon jambu dan lo nampaknya mulai
berkurang. Tetapi pohon jati, kandaga, asam, bambu dan lainnya lagi mulai bermunculan
dengan pohon mangle tetap secara dominan memenuhi tempat di antara sela-sela
pohon keras terebut.
Ketika
orang Jawa Majapahit-Demak-Pajang-Mataram mulai berkuasa di daerah itu, lalu berakulturasi dan
berasosiasi melalui perkawinan campur dengan orang Sunda Galuh Lembah Serayu,
nama hutan mangle berubah jadi hutan Mangli. Demikianlah kosa kata banyumas,
dawuhan, dan kalibening, seperti halnya
kosa kata mangli, merupakan kosa kata Jawa, yang merupakan transliteralisasi
dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Jawa. Nama desa yang benar-benar baru dan
bukan hasil alih bahasa dari bahasa Sunda ke Jawa tampaknya adalah desa
Papringan. Orang Sunda menyebut bambu atau pring dalam bahasa Jawa, adalah awi.
Tidak adanya toponim dengan kata awi, bukan berarti di sepanjang tepi timur Serayu tidak ada pohon awi.
Perkemahan Sang Senna
Begitu
tiba di tepi sungai besar yang setara dengan Citanduy, Senna dan pengikutnya langsung
bersorak kegirangan. Mereka yakin akan selamat dari kejaran Purbasora. Senna
pun memimpin mereka menyeberangi sungai dan mendarat dengan mudah di pinggir
timur sungai yang banyak ditumbuhi pohon kandaga, dengan tetap di sela-selanya
banyak ditumbuhi pohon mangle. Adanya pohon kandaga di tepi sungai dengan di
selang-selingi pohon mangle, jelas merupakan tempat rimbun dan nyaman
sebagai suatu tempat berlindung dan bersembunyi dari kemungkinan dikejar
pasukan Purbasora.
Lagi
pula mitos sungai sebagai sesuatu yang suci sebagai bagian dari tradisi leluhur
bangsa Galuh, memudahkan Senna untuk menyelamatkan diri. Andaikata pasukan
Purbasora berhasil mengejar Senna sampai tepi sungai, pasukan pengejar itu
tidak akan berani menyeberangi sungai. Sebab berperang di sekitar sungai yang
dianggap suci, merupakan suatu pamali atau tabu. Mereka yang berani
menyeberang, akan bernasib malang, sial dan mereka percaya siapa yang menyeberang
sungai suci untuk mengalahkan musuh dengan mudah akan dapat dikalahkan
musuhnya. Itulah sebabnya, Senna langsung memberi nama sungai suci itu
Ciserayu, dari kata Sirrhayu yang artinya selamat. Senna dan anak buahnya telah
berhasil diselamatkan sungai suci yang bermata air di kaki Gunung Dieng.
Bukan
mustahil ketika akan memberikan nama Ciserayu, Senna ingat nama sungai Serayu
dalam kisah Mahabharata. Senna pun mengidentifikasikan dirinya sebagai Sang
Bima yang dalam Mahabharata dimitoskan sebagai tokoh yang telah membangun
Narmada Serayu beserta adiknya, Arjuna. Senna sendiri memberikan nama kepada
putranya, Sanjaya, sebuah nama lain dari Arjuna dalam Mahabharata. Secara tidak
sadar dengan memberikan nama sungai Ciserayu, Senna telah memulai tradisi
memindahkan kisah Mahabharata dari tanah Hindu ke tanah Jawa. Tradisi Senna ini
kelak diikuti oleh para pujangga Jawa, khususnya pujangga kraton Surakarta,
yang mengganggap mereka adalah keturunan Pandawa lewat Parikesit yang juga
dianggap telah menurunkan Raja Jayabaya dari Kediri.
Tradisi
sastra Galuh Kawali sebenarnya memang lebih banyak dipengaruhi Mahabharata dari
pada Ramayana. Sedangkan tradisi sastra
Kerajaan Jawa pada mulanya lebih
banyak dipengaruhi Ramayana. Hal ini bukan berarti kerajaan-kerajaan Jawa tidak
mengenal Mahabharata atau kerajaan-kerajaan Sunda tidak mengenal Ramayana.
Kerajaan Tarumanegara adalah Kerajaan Sunda yang memeluk agama Wisnu, tentu
saja mengenal dengan baik Ramayana. Demikian pula banyak pujangga Jawa yang
menggubah episode-episode Mahabharata, seperti Hariwangsa, Gatotkacasraya,
Bharatayudha, Arjuna Wiwaha dan lainnya lagi.
Hanya
saja pengaruh sastra Mahabharata dilingkungan kerajaan Jawa memang semakin
intensif setelah Kerajaan Singasari dan Majapahit berkuasa di Jawa Timur, sebab
Kerajaan Singasari dan Majapahit telah beralih memeluk agama Syiwa, mengikuti
jejak Kerajaan Galuh dan Pajajaran yang lebih dulu memeluk agama Syiwa.
Sedangkan kerajaan wangsa Isyana, Kahuripan dan Kediri Lama memeluk agama
Wisnu, mengikuti jejak Kalingga dan Tarumanegara yang lebih dahulu menjadi
penganut agama Wisnu.
Ketika Senna akan melanjutkan tradisi
leluhurnya menyusuri hutan Mangle di pinggir timur sungai Ciserayu ke arah
hilir, tiba-tiba dijumpainya sungai Pasinggangan yang bertemu dengan sungai
Banyumas. Tempat pertemuan dua sungai semacam itu dalam tradisi leluhur bangsa
Galuh, merupakan suatu tempat istimewa
yang memiliki daya ghaib, sehingga sangat sayang jika ditinggalkan begitu saja.
Lebih-lebih Senna memang dalam posisi memerlukan daya ghaib. Bukan hanya agar
selamat dari kejaran musuhnya. Tetapi juga agar dapat membalas dendam dan
merebut kembali tahta Kerajaan Galuh warisan ayahnya yang lepas diambil secara
paksa oleh Purbasora.
Senna
segera menyeberangi Sungai Pasinggangan dan memutuskan membangun perkemahan
untuk menetap sementara waktu di sebelah timur pertemuan sungai Pasinggangan
dengan anak sungainya yang kelak dikenal sebagai sungai Banyumas. Paling tidak
Senna akan menetap selama tiga bulan atau 100 hari jika digunakan angka mistik
untuk memperoleh daya gaib di tempat pertemuan dua sungai semacam itu. Seratus
hari juga merupakan waktu yang memadai untuk membangun lumbung makanan dengan
bertanam keladi, ketela rambat, jagung dan padi lahan kering atau gaga dan
sayur-sayuran di sekitar perkemahan.
Sebab setelah seratus hari tanaman yang mudah ditanam itu dapat dipanen
sehinggga dapat dijadikan bekal untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju
hilir sungai Serayu. Senna dan prajuritnya juga punya cukup waktu untuk membuat
rakit, pelampung, kail untuk menangkap ikan, bahkan tombak kayu atau bambu
untuk melumpuhkan buaya. Semua bahan bahan itu dengan mudah bisa diperoleh dari
wilayah di sekitar mereka berkemah. Pohon bambu nampaknya juga cukup banyak.
Aktivitas
Senna selama tinggal sementara waktu di perkemahannya, selain memimpin anak
buahnya bercocok tanam, membuat rakit dan melatih ketrampilan bela diri, adalah
bersamadhi di tempat-tempat sunyi .agar daya ghaib alam sekitarnya dapat
diserap oleh dirinya. Konsep wahyu mungkin belum dikenal Senna dan para
prajurit pengawalnya. Tetapi kepercayaan adanya tempat-tempat suci dan memiliki
daya ghaib, sudah mereka kenal sebagai ajaran warisan leluhurnya. Dapat
dipastikan Senna dan anak buahnya berusaha bergerak ke arah hilir sungai
Pasinggangan maupun sungai Banyumas untuk menemukan mata air ke dua sungai itu
dan juga untuk menemukan mata air dari setiap anak sungai Serayu yang ditemukan
di situ. Besar kemungkinan Sumber Tirthas atau Sumur Pasucen di Kompleks
Pemakaman Kalibening itu sudah ditemukan Senna dan anak buahnya.
Senna
yang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh Bima, dalam samadhinya membayangkan berjumpa dengan Sang Guru Dahyang
Drona. Dahyang Drona telah memuji Bima dan Arjuna karena berhasil membangun
sungai yang indah Narmada Serayu dengan anak sungainya. Sebagai ganjaran kepada
Bima, Dahyang Drona siap mengajarkan ilmu kepada Bima, tetapi Bima diharuskan
mencari lebih dahulu air suci Tirta Pawitra. Tirta artinya air, pawitra artinya
suci. Jadi Tirta Pawitra artinya, air yang mahasuci. Berkat petunjuk gurunya
itu, Bima akhirnya mendapat ilmu pelepasan. Bukan dari Dahyang Drona memang
tapi dari Sang Acintya, Dia yang tak
telukiskan.. Setelah mendapat ilmu pelepasan itu, Bima menjadi manusia yang
sakti, suci dan kekasih para dewa. Bima lalu melanjutkan pergi bertapa ke
Pertiwijati. Bima sangat berterimakasih pada gurunya Dahyang Drona. Sebab tanpa
petunjuk Dahyang Drona Bima tidak mungkin betemu dengan Sang Acintya yang telah
mengajarkan kepadanya ilmu asal muasal
manusia, moksa, dan visi tat twam asi.
Dengan
bersamadhi di tempat yang memiliki daya ghaib itu dan membayangkan perjalanan
Bima berguru pada Dahyang Drona, Senna memang berharap bisa menyadap daya-daya
ghaib alam sekitarnya yang disakralkan sehingga dia pun menjadi sakti dan dekat
dengan para dewa. Dalam posisi menjadi kekasih dewa itu, Senna berharap keinginanya
untuk memperoleh kembali tahtanya yang hilang mendapat perkenan dan bantuan para dewa.
Selesai
menjalankan samadhai dan berkemah kurang lebih tiga bulan atau 100 hari, Senna
dan anak buahnya melanjutkan petualangannya menyusuri Sungai Serayu menuju
tempat suci berikutnya yaitu mata air sungai Serayu. Sebagai putra-putra
sungai, Senna dan anak buahnya tidak mengalami kesulitan jika dia harus menyusuri Sungai Serayu ke arah hilir. Leuhur mereka
adalah pencipta peradaban sungai dan pantai. Aneka macam jenis alat angkutan
air dari yang hanya untuk mengangkut satu atau beberapa orang sampai membuat
rakit yang mampu menyeberangkan gajah, mereka sudah mampu membuatnya.
Demikianlah juga Senna dan anak buahnya. Mereka dipecah-pecah jadi
kelompok-kelompok kecil yang bergerak di atas rakit bambu yang dengan lincah
mampu mengarungi Sungai Serayu dengan melawan arus. Tentu perjalannya selang
seling antara jalan darat dan jalan sungai tergantung keadaan medan. Lagi pula
rakit yang dibuatnya dengan mudah bisa diangkat ke darat.
Dalam
perjalanannya menyusuri Sungai Serayu ke arah hilir, dapat dipastikan Senna
akan berjumpa dengan muara Sungai
Klawing. Sungai Klawing sering disebut sebagai Sungai Cingcinggoling. Kata
Cingcinggoling berasal dari kata cicing yang artinya diam dan goling yang
artinya berputar. Jadi Cingcinggoling
adalah permukaan air yang diam tapi berputar, yang menunjukkan muara
sungai Klawing ketika masuk Sungai Serayu, membentuk pusaran air yang bergerak di tempat. Tradisi Kerajaan Galuh Kawali,
nampaknya juga mengenal dengan baik Sungai Cingcinggoling. Dalam pantun Sunda
Lutung Kasarung dikisahkan mengenai sebuah kedung dari sebuah sungai. Kedung
itu disebut kedung Sipatahunan. Kedung Sipatahunan jelas terletak di Sungai
Cingcinggoling dan bukan di Sungai Logawa.
Setelah
menempuh perjalanan yang rumit, panjang, dan sukar, akhirnya Senna dan anak
buahnya tiba di kaki Gunung Dieng di depan mata air Sungai Serayu. Di situ
kembali Senna berkemah dan bersamadhi, seperti halnya Bima yang juga bertapa di
Pertiwijati, setelah berguru kepada Dhyang Drona di Padepokan Sokalima.
Kelak Rake Sanjaya mengenang petualangan
ayahnya menyusuri Sungai Serayu dari Cindaga sampai di kaki Gunung Dieng atau
Parahiyangan itu, dengan membuatkan patung Bima Lukar yang ditempatkan di salah
satu mata air Sungai Serayu, sebagai bentuk pemujaan kepada Sang Hyang Syiwa,
Dewa Indra, Dewa Bayu dan Dewa Brahma sekaligus.
Lingga
Bima yang sengaja diperlihatkan secara menyolok itu melambangkan Dewa Syiwa yang sedang di puja
Senna. Nama Bima sendiri mengandung arti, dia yang menakutkan, sebuah epitet Dewa
Syiwa. Bima juga dianggap putra Dewa Angin atau Bayu. Dewa Bayu merupakan
pasangan Dewa Indra, dewa pencipta awan dan hujan, tetapi juga dewa yang dipuja
Arjuna atau Sanjaya. Dewa Indra juga disimbolkan sebagai pencipta mata air
sungai Serayu. Sedang Dewa Brahma, adalah Dewa Api, simbol energi Bima yang luar
biasa, tetapi juga simbol api dari kawah Gunung Dieng. Demikianlah penempatan
patung Bima Lukar, melukiskan perjuangan Senna memohon perlindungan para dewa
yang dipuja itu agar melindungi
perjuangan Senna-Sanjaya yang berniat membangun Kerajaan Mataram Hindu di
sekitar tempat itu. Dengan demikian penempatan patung Bima Lukar itu juga
semacam peletakan batu pertama pembangunan dinasti baru Kerajaan Mataram Hindu.
Carita
Parahiyangan menyebutkan bahwa Senna melanjutkan perjalannya menuju
Merapi-Merbabu. Penulis Carita Parahiyangan mungkin tertukar antara kisah
Sanjaya dan kisah Senna. Bukan Senna yang mengunjungi Merapi-Merbabu, tetapi
Sanjaya ketika pusat Kerajaan Mataram Hindu yang berpindah-pindah itu, mulai
pindah ke wilayah sebelah timur Gunung Dieng.
Kemana
Senna setelah selesai bersamadhi di kaki Gunung Dieng yang oleh van der Meulen
disebutnya sebagai wilayah dari para dahyang atau parahiyangan yang sebenarnya? Naskah Wangsakerta mungkin benar jika
menyebutkan bahwa ketika berpetualang itu Senna sudah punya putra dengan adik
tirinya Sannaha, cucu Ratu Sima yang tinggal di Kalingga. Sannaha itu bagi Rake Sanjaya atau Rakean
Jambri adalah ibu sekaligus juga bibi. Demikian pula Senna, dapat disebut ayah,
tetapi dapat disebut juga paman. Sebab dari sudut Sannaha, Senna adalah kakak
titinya, satu ayah beda ibu. Sanna dan Sannaha memang melakukan proses
perkawinan Manu.
Rake
Sanjaya disebut juga Rakean Jambri, yang berarti pemuda pemilik rambut yang
menutupi dahi. Mungkin sebuah mitos untuk menunjukkan bahwa putra Senna-Sannaha
yang diperoleh dari hasil perkawinan Manu itu memiliki daya ghaib dan kesaktian
luar biasa yang terletak pada rambutnya. Karena menurut van der Meulen letak
Kerajaan Kalingga di Grobogan, Purwodadi arah timur laut Dieng, tentu ke
sanalah Senna melanjutkan perjalannya setelah memohon pertolongan para dewa
yang bersemayam di Parahiyangan atau dataran tinggi Dieng.
Kedatangan Senna di Kalingga tentu untuk
meminta pertolongan istrinya dan anaknya merebut kembali tahta Kerajaan Galuh
yang telah lepas dari tangannya. Van der Meulen menduga Senna tak lama kemudian
mangkat, sehingga Carita Parahiyangan lebih banyak berkisah perjuangan Rake Sanjaya
dari pada Senna. Rake Sanjaya berhasil membangun Kerajaan Mataram Hindu,
kemudian bergerak ke barat untuk menundukkan kerajaan Galuh yang berada di bawah kendali Purbasora.
Perang Mataram – Galuh pun pecah. Sebuah
perang saudara memperebutkan tahta Kerajaan Galuh. Rake Sanjaya mengambil alih
perjuangan Senna dan berhasil merebut kembali tahta Kerajaan Galuh warisan
leluhurnya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar