1.
Tanah Arab Negeri Leluhur.
Suatu ketika di depan para santri yang tengah
berkumpul untuk mendengarkan ajaran agama Islam, lelaki yang berkulit gelap,
bertubuh tegap dengan sorot mata yang tajam itu berkata memperkenalkan dirinya
:
“Namaku Malik
Ibrahim.Tentang dari mana asalku, tidaklah terlalu penting. Tetapi bagi yang menganggap penting, aku berasal dari
negeri yang jauh, terletak di sebelah barat negeri ini. Negeriku tidak jauh
dari tanah Hejaz, tempat agama Islam beserta RasulNya, Muhammad saw, dilahirkan
“
Malik Ibrahim,
lelaki pendatang yang kelak kemudian hari dikenal sebagai pelopor dakwah
Islam dan pendiri pesantren pertama di
Pulau Jawa itu, tidak sedang menyembunyikan negara atau kota tempat
kelahirannya. Tetapi dia sekedar ingin menekankan kepada para santrinya bahwa
dalam pandangan Islam, tempat kelahiran, asal usul, negara dan macam kebangsaan,
tidaklah terlalu penting. Karena, menurut ajaran Islam, seluruh permukaan bumi
ini adalah milik Allah SWT semata. Lagi pula risalah yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw, bukan hanya untuk bangsa Arab saja. Tetapi ditujukan untuk
seluruh umat manusia. Agama Islam adalah rahmatan lil alamin.
Para santrinya yang berdatangan dari Gresik dan sekitarnya pada awal abad ke 15 M itu, memang tidak pernah
tahu secara pasti di negeri mana Sang Ulama itu dilahirkan. Bahkan ahli-ahli
sejarah pun kelak hanya dapat menduga-duga saja. Ada yang berpendapat bahwa dia
adalah putra seorang penyair besar bangsa Parsi. Raffles sendiri yang terkenal
dengan bukunya History Of Java, menulis bahwa
Malik Ibrahim adalah ulama berdarah Arab masih keturunan Sayyid,
bergaris keturunan dari keluarga besar Nabi Muhammad saw. Pendapat Raffles ini
banyak disetujui oleh banyak ahli Sejarah Islam.
Pengakuan
Malik Ibrahim di depan para santrinya yang menyebutkan bahwa negerinya
terletak ke arah barat dari
kepulauan Nusantara, menyebabkan ia mendapat gelar Syekh Magribi. Artinya
adalah seorang guru ahli agama Islam yang datang dari arah barat kepulauan
Nusantara. Tetapi ada
juga yang menduga, bahwa beliau berasal dari Maroko atau salah satu negeri
Afrika Utara lainnya. Memang negeri-negeri pantai utara Afrika oleh para
pedagang dan musafir pada masa itu, dikenal dengan sebutan negeri Maghribi.
Kemungkinan besar
Malik Ibrahim memang pernah merantau ke Maroko, sebelum merantau
ke Asia Tenggara dan Jawa. Terbukti bahwa Malik Ibrahim pernah meneruskan kitab
tulisan Ibnu Batuttah yang berjudul Kanz Al’Ulum. Ibnu Batuttah adalah
pengelana Muslim termasyhur yang lahir di Tangier, Maroko. Kisah
pengembaraannya yang terkenal ditulis oleh Ibnu Juzai pada tahun 1355 M, dengan
judul Tuhfat an-Nazzar.
Menurut Raffles
dalam bukunya yang terkenal History of Java (1815 M), Malik Ibrahim
berasal dari Hadramaut, suatu daerah di
Arab Selatan. Di situ banyak tinggal suku bangsa Arab golongan Sayyid yang masih ada pertalian nasab
dengan Rasulullah saw. Diduga dia
lahir sekitar
tahu 1360
M, dari keluarga terpandang dan berpendidikan. Keluarganya tidak hanya
memberikan kesempatan kepadanya mendalami dan menguasai ajaran Islam. Tetapi dia didorongnya untuk menjadi seorang juru
dakwah yang rela berjihad dengan cara mengembara agar dapat menyebarkan Islam
ke seluruh penjuru dunia. Sebagaimana para dai dari negeri Arab saat itu yang
berdakwah sambil berdagang, demikian pula Malik Ibrahim muda.
Setelah merasa cukup memperoleh pendidikan di kampung halamannya, sekitar tahun 1379 M, Malik Ibrahim mulai terpanggil
untuk merantau. Mula-mula dia
merantau ke barat hingga tiba di Maroko dan agaknya menetap cukup lama di
sana.
Di Maroko Malik
Ibrahim banyak terpengaruh oleh tulisan pengelana Muslim terkenal Ibnu
Batuttah. Bahkan dia mencoba meneruskan kitab tulisan Ibnu Batuttah yang tidak
selesai yang berjudul Kanz Al Ulum. Kemungkinan sebelum kitab itu selesai, Ibnu
Batuttah keburu wafat (1378 M). Kitab Tuhfat an-Nazzar, yang amat mengagumkan
dan berisi kisah pengembaraan Ibnu Batuttah ke sejumlah negeri di Asia dan
Andalusia, tentu amat menggoda Malik Ibrahim untuk suatu saat merantau ke
negeri-negeri Timur.
Akhirnya pada tahun
1390 M, Malik Ibrahim meninggalkan Maroko pulang sejenak ke kampung halamannya
di Hadramaut, Arab Selatan. Dari sana dia segera berlayar menuju Asia Tenggara.
Setelah beberapa minggu mengarungi Samudra Hindia, sampailah Malik Ibrahim di Pantai Barat India. Di situ
ada Bandar Calicut yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang Muslim, sekalipun
penguasanya adalah orang Hindu.
Malik Ibrahim sebenarnya berniat mengunjungi
Kerajaan Islam Delhi yang telah banyak
diceriterakan oleh Ibnu Batuttah dalam buku yang telah sempat dibacanya. Tetapi pada saat itu
Kerajaan Islam Delhi sedang bergolak dan mendapat ancaman dari penguasa
Samarkand yang masih keturunan Jengis Khan dari Mongolia, Timur Lenk. Terpaksa
Malik Ibrahim tinggal beberapa tahun di Gujarat.
Pada tahun 1398 M, Timur Lenk dengan 400.000 pasukan
mengepung Kerajaan Islam Delhi dan mencoba menembus benteng pertahanan. Di luar
kota, tentara Timur yang brutal telah
menangkap 100.000 orang India, merampas harta bendanya, dan kemudian membunuh
semua tawanannnya itu. Walaupun Sultan Delhi Nushrat Syah (1395 – 1399 M),
berusaha sekuat tenaga mempertahannkan kota, akhirnya pertahanannya jebol juga.
Salah satu penyebab dari kegagalan Sultan Nushrat Syah mempertahankan serangan
tentara Mongol adalah karena Sultan masih saja terlibat perselisihan dengan
Mahmud Syah II. Akibatnya pertahanan yang dilakukannya tidak optimal. Setelah
dikepung dua bulan Kerajaan Islam Delhi jatuh. Ribuan tentara Mongol menerobos
masuk kota melakukan pembakaran, perampasan, perampokan dan pembunuhan terhadap
penduduk yang tak berdosa.
Di dalam Masjid Agung Delhi, Timur Lenk dengan gagah
perkasa mengumpulkan para pejabat Kesultanan Delhi, termasuk Sultan Nushrat
Syah yang telah menyerah. Kemudian dia memproklamirkan dirinya menjadi Maha
Raja India. Sultan Delhi Nushrat Syah boleh tetap memerintah, tetapi Timur
Lenklah yang berhak mengangkat dan menghentikannya. Namun setahun kemudian dia
digantikan oleh Sultan Mahmud Syah II yang sebelum serangan Timur Lenk,
merupakan rivalnya.
Timur Lenk dengan pasukannya pulang kembali ke
Samarkand dengan membawa harta rampasan yang tidak terkira banyaknya.
Sebelum menaklukkan India, Timur Lenk
telah menguasai wilayah yang amat luas yang telah berhasil ditaklukannya,
antara lain Afganistan, Iran, dan Kurdistan. Pada tahun 1393 Kota Baghdad kembali
diserang, hingga seluruh wilayah Irak yang berada di sepanjang lembah Sungai
Tigris dan Euphrat jatuh di bawah kekuasaannya. Pada tahun 1396 M, Timur Lenk
mengerahkan tentaranya ke arah utara untuk menduduki Rusia. Kota Moscow pun
berhasil diduduki dan dijarah oleh tentara Timur yang perkasa itu.
Kemenangan demi kemenangan yang berhasil diraih
Timur Lenk, semakin memperbesar ambisinya untuk menjadi penguasa tunggal di
dunia. Pada tahun 1402 M, Timur membawa tentaranya ke arah barat. Sasaran
ekspansi penaklukannya adalah Turki Usmani, Alepo dan Siria. Ankara, Ibu Kota Kerajaan Turki Usmani
segera diserang. Sultan Turki Bayazid yang mendapat julukan Sang Petir, mecoba
melawan gelombang amuk tentara Mongol. Ternyata setelah melalui pertempuran
yang amat hebat, Sultan Bayazid berhasil ditangkap tentara Mongol. Sultan Bayazid
dirantai dibawa serta kemanapun tentara Mongol pergi dengan dipertontonkan
kepada umum. Bila malam tiba Sultan Bayazid dimasukkan ke dalam kurungan besi.
Akhirnya Sultan Bayazid meninggal dalam perjalanan. Dari Ankara tentara Timur
melewati Alepo, menerabas masuk Siria dan mengepung Damaskus.
Di Alepo tentara Timur membunuh 20.000 penduduk yang
dilewatinya sambil melakukan penjarahan. Sultan Faraj yang memerintah Siria
atas nama pemerintahan Mamalik di Mesir, mencoba bertahan, ternyata tak berdaya
juga. Maka Damaskus pun jatuh, rumah-rumah penduduk dan bangunan umum nyaris
luluh lantak. Bahkan Masjid Umayah yang bersejarah itu nyaris hancur.
Timur lalu mengumpulkan para ulama Damaskus. Mereka
dipaksa untuk mengelurakan fatwa bahwa tindakan Timur dibenarkan oleh ajaran
Islam, karena Timur adalah cambuk dari azab Tuhan yang tengah menghukum
penduduk yang dianggapnya telah lalai. Usai membacakan fatwa, sejumlah ulama,
ahli bangunan dan harta rampasan diangkut ke Samarkand untuk melaksanakan
pembangunan Kota Samarkand agar menjadi kota yang paling megah di dunia.
Siapakah Timur Lenk yang telah melakukan ekspansi
penaklukan dengan cara yang amat kejam dan mengerikan, seolah tak kenal ampun
kepada musuh-musuhnya itu, padahal ia seorang muslim?
Timur Lenk adalah orang Mongol, masih keturunan Jengis Khan yang lahir di Samarkand
pada tahun 1336 M. Pada usia remaja dia telah berhasil menjadi pemimpin kaumnya
di Samarkand. Timur Lenk, sekalipun berkaki pincang, mampu mengembangkan
dirinya menjadi seorang jendral
perang hebat. Memang di dalam dirinya mengalir darah penakluk dari
para penunggang kuda di padang-padang stepa yang luas di Asia Tengah.
Tidak seperti Hulagu Khan yang masih memeluk
kepercayaan tradisional Mongolia, Yasa, Timur Lenk sudah memeluk Islam. Bahkan
dia adalah pengikut sebuah tarekat Naqsyabandiyah yang berkembang di Kota
Bukhara, tidak jauh dari Samarkand. Tetapi Timur memiliki paham Islam yang amat
ekstrim, disamping ambisinya yang meluap-luap untuk membangun kembali kebesaran
Kerajaan Mongol di Iran yang pernah dibangun Hulagu Khan. Dia berpendapat, jika
di alam semesta hanya ada satu Tuhan, maka di dunia seharusnya juga hanya ada
satu penguasa. Dan Sang Penguasa itu adalah dirinya sendiri.
Debutnya
sebagai Sang Penakluk, dimulai pada tahun 1370 M, ketika ia berusia 34 tahun.
Bintangnya mulai naik dan ia berhasil
menjadi seorang jendral yang memimpin dan menempa pasukannya dengan kemampuan
tempur yang baik dan memiliki disiplin yang tinggi. Kakinya yang pincang tidak
menghalanginya untuk menjadi pemimpin yang cemerlang dan disegani, tetapi juga
kejam luar biasa.
Tiga puluh tahun lebih dia malang melintang
melakukan ekspansi penaklukan dan setiap
target sasaran operasi penaklukannya hampir semuanya sukses. Hanya dua
sasaran yang gagal ditaklukan. Pertama adalah Kerajaan Islam Mamalik Mesir.
Sultan Mesir Azhahir Saifudin Barquq (1390 -1399 M), bahkan berani membunuh
sejumlah utusan Timur Lenk yang datang kepadanya. Sisanya dicukur jenggot Mongolnya dan disuruh kembali kepada tuannya.
Bagi orang Mongol cukur jenggot adalah suatu
penghinaan dan tantangan untuk berperang. Dengan memendam amarah yang luar
biasa, Timur Lenk, Sang Penakluk itu, membawa puluhan ribu tentara untuk menyerbu Mesir. Tetapi Mesir telah siap
dengan pertahanannya yang tangguh, sehingga usaha Timur untuk menaklukkan Mesir
gagal.
Dengan demikian Mesir adalah satu-satunya Kerajaan
Islam yang senantiasa gagal ditaklukkan oleh tentara Mongol. Sebelumnya pada
tahun 1260 M, Mesir juga telah berhasil membendung serbuan tentara Mongol
pimpinan Hulagu dalam suatu pertempuran hebat di bulan Ramadhan di kota Ain
Jalut, perbatasan Siria dan Mesir. Tentara Mongol berhasil dipukul mundur oleh
tentara Mesir pimpinan Jendral Mamalik yang perkasa Azhahir Ruknuddin Baybars.
Sasaran kedua
yang juga gagal ditaklukan Timur adalah Tiongkok pada tahun 1405 M. Ketika
Timur Lenk, yang saat itu usianya sudah 69 tahun membawa ratusan ribu tentara
untuk menaklukkan Beijing, Timur Lenk meninggal dunia di perjalanan. Jenazahnya
dibawa pulang ke Samarkand dan Sang
Penakluk yang menakutkan itu dikuburkan di sana.
Setelah Kerajaan Islam Delhi jatuh akibat serangan
Timur Lenk, sejumlah wilayah
seperti Dekan, Malawa, Bengal dan Gujarat melepaskan dari Kerajaan Islam Delhi
dan menyatakan diri sebagai Kerajaan Islam yang berdaulat dan berdiri
sendiri-sendiri. Dengan demikian pada tahun 1399 M, muncul lima Kerajaan Islam di India yakni Kerajaan Islam Delhi, Malawa, Bengal, Dekan
dan Gujarat. Hanya Kerajaan Islam Juanpur yang masih berada dibawah kendali
Kerajaan Islam Delhi. Tetapi Juanpur akhirnya lepas
juga dari Delhi.
Kerajaan Islam Gujarat(1391 -1583 M), sebenarnya
sudah muncul pada tahun 1391 M, tetapi saat itu masih merupakan vasal dari
Kerajan Islam Delhi. Pasca penyerbuan
Timur ke Delhi,
barulah Kerajaan Islam Gujarat muncul sebagai kerajaan
Islam yang kuat. Agaknya Malik Ibrahim tinggal
beberapa tahun di Ahmadabad,
Ibu Kota Kerajaan Islam
Gujarat yang cukup makmur di India Selatan itu. Maksud Malik
Ibrahim untuk mengunjungi Kerajaan Islam Delhi tidak kesampaian. Tetapi dia
menyaksikan pergolakan dan perpecahan Kerajaan Islam Delhi dari dekat.
Pada awal abad 15 M, barulah Malik Ibrahim
bertolak dari Pelabuhan Gujarat meneruskan perjalannnya menuju Kepulauan
Nusantara, seperti rencanya semula. Malik Ibrahim pun tiba dengan selamat di Kerajaan Islam Samudra Pasai dan segera
mendapat sambutan luar biasa dari para ulama dan penguasa Pasai. Saat itu raja
yang tengah berkuasa di Pasai adalah Sultan Zaenal Abidin.
Kunjungan Malik Ibrahim ke Pasai tidak mungkin
dilewatkan, karena saat itu Pasai adalah satu-satunya Kerajaan Islam yang ada
di Asia Tenggara. Kehadiran Malik Ibrahim di Pasai disambut gembira oleh Sultan
Zaenal Abidin dan putranya Jumadilkubro. Usia Jumadilkubro kurang lebih sepuluh
tahun lebih muda dari Malik Ibrahim. Di Pasai inilah Malik Ibrahim banyak berdiskusi
dengan Syekh Abdul Azis- ulama yang juga baru datang dari Jeddah- Jumadilkubro serta ulama Pasai lainnya.
Malik Ibrahim
banyak menerima informasi tentang tanah Jawa tempat kedudukan Kerajaan
Hindu-Buddha Majapahit dan Kerajaan Hindu Pajajaran. Dari hasil diskusi itu, akhirnya
diputuskan agar Malik Ibrahim berdakwah ke Jawa Timur, tempat kedudukan pusat
Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1405 M, berlayarlah Malik Ibrahim ke Jawa Timur
dan tiba di Pelabuhan Gresik pada tahun itu juga.
Setelah tinggal
beberapa lama di Gresik, Malik Ibrahim mendirikan sebuah toko di kota Leran, 10 km ke
arah barat kota Gresik. Beberapa
tahun kemudian Malik Ibrahim berhasil mendirikan sebuah pesantren yang
merupakan pesantren pertama di Pulau Jawa.
2. Masyarakat Gresik dan Sekitarnya Pada
Masa Pra-Islam.
Saat itu di kota Gresik sudah banyak pemukim yang
beragama Islam. Kebanyakan mereka adalah para pendatang, seperti para bekas tawanan dari Pasai yang dibawa
tentara Majapahit ke Jawa Timur. Disamping itu, banyak pula pendatang yang bermukim
untuk berdagang. Kota Gresik saat itu merupakan pangkalan yang
ramai, karena terletak pada jalur pelayaran niaga yang membentang dari Laut
Merah sampai ke Kepulauan
Maluku.
Di Maluku para pedagang dari Arab dan Persia
mengumpulkan rempah-rempah untuk dibawa ke Timur Tengah, selanjutnya dibawa ke
Eropa. Jauh sebelum para pelaut Portugal, Spanyol, Belanda dan Inggris berdatangan
ke Kepulauan
Nusantara, jalan perdagangan laut antara Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara,
sudah lama dikenal para pedagang Arab. Sementara menunggu waktu yang tepat untuk kembali berlayar, mereka banyak yang menetap di kota-kota pelabuhan, bergaul erat
dengan penduduk pribumi, sambil menyampaikan dakwah Islam. Bahkan banyak di
antara mereka yang kemudian menjalin ikatan perkawinan dengan wanita-wanita
pribumi. Lambat laun terbentuklah inti keluarga yang Islami.
Pada masa-masa awal Malik Ibrahim tinggal di Gresik,
beliau menyaksikan kondisi sebagian besar masyarakat pribumi di sekitarnya yang
hidup dalam kondisi yang amat memprihatinkan. Rumah-rumah mereka kotor, cara
hidupnya tidak teratur, kebersihan kurang dikenalnya dengan baik, kaki mereka
kotor-kotor, karena banyak yang telanjang kaki dan tak beralas kaki.
Sumber Gambar : Wikipedia
Dr. Hamka, mengungkapkan dalam tulisannya, bahwa
salah seorang penulis China yang sempat mengunjungi Gresik, sempat
mengungkapkan dalam tulisannya bahwa cara hidup penduduk pribumi banyak yang
belum mengenal kebersihan, mereka seperti hidup di negeri hantu. Penulis China itu mencatat bahwa ada tiga macam
golongan penduduk yang tinggal di Gresik saat itu. Pertama adalah orang Islam
yang hidupnya teratur dan bersih-bersih. Kedua, masyarakat China yang hidupnya
hampir sama dengan orang Islam. Ketiga, masyarakat pribumi yang jumlahnya
besar.
Cara hidup masyarakat pribumi ini tidak teratur,
tidak bersongkok dan tidak memakai alas kaki. Memang dalam strukur masyarakat
Majapahit yang saat itu menganut agama Hindu Buddha, songkok dan alas kaki
hanya boleh dikenakan oleh kasta brahmana dan ksatria. Kasta lain yang lebih
rendah dari kedua kasta itu, dilarang keras mengenakan alas kaki dan songkok.
Ketika Malik
Ibrahim tiba di Gresik, Kerajaan Majapahit tidak lagi diperintah oleh Raja Hayam Wuruk, sedang Maha
Patih Gajah Mada sudah meninggal. Sepeningal Raja Hayam Wuruk (1389 M), tahta kerajaan diduduki
Wikramawardhana, menantu Hayam Wuruk yang suami Dyah Kusumawardhani, putri
Hayam Wuruk. Pada masa pemerintahan Wikramawardhana (1389-1429 M) inilah, Maulana Malik
Ibrahim tinggal di Gresik dan gigih berdakwah
mengembangkan Islam di kalangan
rakyat kawula Kerajaan Majapahit.
Melalui pengamatannya yang cermat, Malik Ibrahim
sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar rakyat di lapisan bawah hidup dalam
penderitaan dan kesengsaraan. Itu semua akibat dari adanya pembagian kasta yang
tajam yang dianut oleh Kerajaan Majapahit. Kasta pertama dan paling atas adalah
kasta Brahmana. Kasta ini terdiri dari para brahmana. Mereka adalah para
pendeta ahli teologi agama Hindu. Kasta kedua adalah kasta Ksataria, terdiri
dari para raja, keluarga raja, para birokrat kerajaan, punggawa atau tentara
kerajaan. Kasta ketiga adalah kasta Weisya yang terdiri dari para pedagang dan
petani. Kasta keempat adalah kasta Sudra, terdiri dari para buruh dan pekerja
kasar lainnya.
Dampak dari susunan masyarakat yang hirarkis dan diskriminatif
itu, sangat merugikan lapisan masyarakat kasta rendah, karena hanya memberikan
hak-hak istimewa dan keuntungan pada masyarakat lapisan atas saja.
Secara formal, Kerajaan Majapahit yang diatur
berdasarkan agama Hindu itu, mengakui enam jenis sekte agama Hindu dan satu
sekte agama Buddha. Menurut Ajar Satmaka, seorang pendeta agama Syiwa yang tinggal di wilayah pegunungan Tengger, keenam jenis agama Hindu
itu adalah agama Syiwa, Wisnu, Sambu, Indra, Bayu dan Kala. Agama Hindu adalah
agama yang menyembah banyak dewa. Masing-masing dewa memiliki tata cara ritual,
model penyembahan dan aturan-aturan peribadatan sendiri-sendiri. Setiap rakyat
Majapahit yang beragama Hindu, boleh memilih salah satu dari enam dewa yang akan disembah.
Mari kita lihat peraturan salah satu sekte agama
Hindu yang diakui Kerajaan Majapahit, yakni agama Kala. Agama Kala adalah salah
satu sekte dalam Agama Hindu yang menyembah kepada Dewa Kala. Para pengikut
agama Kala disebut Kalana. Pendeta agama Kala memakai azimat berbentuk zakar (
alat reproduksi laki-laki), terbuat dari gading atau tulang, dipakai sebagai
kalung. Mereka menyembah pohon, batu dan sesuatu yang unik yang dianggap sebagai penjelmaan Sang Kala.
Bila mereka bepergian pada bulan Manggala, mereka
tidak boleh menginap di tempat lain. Pada bulan Patrawarna, mereka berpuasa
dengan tidak makan garam. Di hari raya agama mereka, makanan yang disantapnya
makanan yang serba pedas. Adapun larangannya, tidak boleh kawin dengan lain
kasta, tidak boleh mengawini anak inang, anak guru dan saudara tua. Dilarang
pula menggarap sawah yang berbentuk punuk banteng atau sapi hutan. Tidak boleh
membunuh lipan, anjing dan kalajengking, tidak boleh makan kelapa dan tidak
boleh memakai emas.
Pada saat
perkawinan, boleh memakai lempeng emas. Keluarga pengantin perempuan harus
berkelahi dengan keluarga pengantin pria. Dalam perkelahian, mereka yang
terkena pelipisnya harus didenda.
Sewaktu mengarak pengantin, mereka harus berperilaku seperti orang gila.
Bila ada yang meninggal, dalam upacara kematian, mayatnya dimandikan dengan air
bidara. Alat-alat untuk memuliakan mayat, haruslah diperoleh dengan cara
mencuri. Demikian beberapa aturan dari
salah satu sekte dalam agama Hindu, yakni agama Kala yang diakui oleh
pemerintah Kerajaan Majapahit.
Menurut Ajar Satmaka, setiap penduduk yang memeluk
agama Hindu diwajibkan untuk memilih satu dari enam sekte agama Hindu yang
telah ditetapkan oleh kerajaan. Barang siapa yang tidak menjalankan salah satu
dari aturan agama tersebut, akan dikenai hukuman sebagai berikut:
Pemeluk agama Sambu yang melakukan pelanggaran
berat, hukumannya dihujani tombak. Pelanggar
agama Syiwa, dibakar. Pelanggar
agama Indra, dimasukkan ke dalam
lubang yang amat dalam. Pelanggar agama Wisnu, hukumannya dibuang ke laut.
Pelanggar agama Bayu digantung. Bagaimana dengan pelanggar agama Kala?
Hukumannya adalah mereka akan dijadikan mangsa binatang buas di tengah hutan.
Itulah aturan formal sekte-sekte dalam agama Hindu Kerajaan Majapahit. Tapi
dalam prakteknya mengalami banyak pergeseran dan toleransi. Misalnya, agama
Buddha juga diakui. Bahkan akhirnya terjadi sinkretisme antara agama Hindu dan
Buddha, menjadi agama Hindu Buddha. Dakwah Islam pun tak dilarang dan tak
dihalang-halangi.
Akibat dari perang Paragreg (1402-1406), yakni
perang yang memperebutkan tahta kerajaan, sumber daya politik dan ekonomi
kerajaan menjadi amat lemah. Kontrol kerajaan terhadap agama rakyatnya tidak
berjalan efektif. Kerajaan
cenderung memberikan kebebasan beragama kepada rakyatnya. Bahkan pada masa Wikramawardhana (1389-1429 M), agama Islam
boleh dipeluk oleh rakyat jelata, asal
tidak melalui paksaan dan dilaksanakan secara sukarela. Kebetulan pada saat
itu, di wilayah pelabuhan Pantai
Utara
Jawa, sudah mulai banyak pendatang yang beragama Islam yang bermukim di situ.
Wikramawardhana adalah Raja Majapahit yang banyak
sekali menurunkan putra dan putri, tetapi semuanya dari selir-selirnya.
Permaisurinya, Dyah Kusumawardhani, tidak memberinya keturunan. Salah satu
putra Wikramawardhana yang menjadi salah satu kandidat putra mahkota kerajaan
adalah Kertawijaya. Dia naik tahta menggantikan kakaknya Dyah Suhita
(1329-1347) yang juga tidak memiliki keturunan. Sebelum naik tahta, Kertawijaya yang kelak lebih dikenal
dengan nama Brawijaya I, sempat menjabat
adipati di Tumapel. Karena itu, dia pernah dikenal sebagai Bhree Tumapel.
Bhre Tumapel atau Kertawijaya inilah yang kelak
menyunting putri Kerajaan Campa di Indo China, yakni Dyah Dwarawati, seorang Muslimah. Konon
Kertawijaya menikah dengan Putri Campa saat masih sebagai putra mahkota dan
pernikahannya itu dilakukan menurut tatacara agama Islam. Hanya saja dia
terpaksa harus kembali memeluk agama nenek moyangnya, ketika harus menduduki
tahta kerajaan, karena undang–undang kerajaan mengharuskannya demikian.
Dakwah Islam Malik Ibrahim dilakukan dengan
mengunjungi rakyat duafa di sejumlah daerah dan membantu rakyat lapisan bawah
mengatasi sejumlah kesulitan dalam masalah kepercayaan, pengobatan, pendidikan,
kesehatan, dan permasalahan sosial
lainnya. Lapisan bawah dalam struktur masyarakat yang berdasarkan sistim kasta,
merupakan masyarakat yang kurang mendapatkan perhatian yang semestinya dari
para penguasa.
“Kasihan
benar rakyat jelata. Mereka terbelenggu oleh ajaran yang menyembah berhala.
Mereka menjadi korban dari kebodohan dan ketidaktahuhan,” renung Malik Ibrahim saat mendengar bermacam-macam
aliran dan tatacara beribadah agama Hindu dalam wilayah kerajaan Majapahit,
sebagaimana beliau dengar sendiri dari Ajar Satmaka.
Karena itu, Malik Ibrahim mengutamakan dakwah pada
rakyat dari lapisan bawah. Materi dakwah Malik Ibrahim memang amat menarik bagi
rakyat klas bawah. Misalnya, disampaikannya bahwa Islam tak mengenal adanya
pembagian kasta.
”Semua manusia di hadapan Allah SWT adalah sama.
Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannnya”, jelasnya kepada para
santri-santrinya.
Malik Ibrahim juga menjelaskan bahwa dalam agama
Islam tak dikenal adanya pendeta atau biksu. Yang ada adalah ahli agama dan
siapa saja boleh menjadi ahli agama Islam. Tentu saja setelah lebih dulu
menjadi santri atau siswa dan belajar pada seorang ulama atau guru agama yang
cakap.
Upacara keagamaan dan cara peribadatan dalam Islam
juga sederhana, tidak rumit dan tidak memerlukan biaya yang mahal. Misalnya
upacara pengantin, kelahiran bayi, merawat jenazah, semuanya dapat dilaksanakan
secara sederhana. Bandingkan dengan ajaran agama di luar Islam. Upacara-upacara
keagamaan sering dilaksanakan secara
rumit, berbelit-belit dan tidak
jarang menghabiskan beaya yang mahal yang tentu saja memberatkan rakyat biasa.
Bahkan terkadang masih ditemukan upacara-upacara pengorbanan yang bukan hanya
mengorbankan hasil pertanian dan ternak,
tetapi kadang-kadang masih mengorbankan nyawa manusia.
Akibat dakwahnya yang menarik, santri-santri dan
pengikutnya cepat bertambah. Bukan hanya penduduk pribumi dari wilayah Gresik,
tetapi juga banyak penduduk yang berdatangan dari luar kota.
Malik Ibrahim adalah ulama yang pertamakali
mendirikan pondok pesantren di Pulau Jawa. Melalui pesantrennya itu, beliau
menggembleng santri-santri pribumi menjadi generasi baru pionir pembawa risalah
yang dibawakan Nabi saw.
Dalam usahanya menyebarluaskan agama Islam, beliau
tidak puas dengan hanya menunggu bola. Beliau aktif melakukan jemput bola.
Bersama santri-santrinya yang sudah senior, sering Malik Ibrahim melakukan
perjalanan ke luar kota Gresik, mengunjungi desa-desa di pelosok pedalaman
wilayah Kerajaan Majapahit. Memang di wilayah pedalaman Jawa Timur yang jauh
dari pusat pemerintahan, kepercyaan lama masih kuat dan berpengaruh.
Dari seringnya
Malik Ibrahim berkeliling ke daerah pedalaman, maka muncullah
ceritera-ceritera tutur mengenai kepandaian dan kecakapannya dalam berdakwah.
Konon dalam salah satu perjalanan dakwahnya, sampailah Malik Ibrahim yang diiringi sejumlah santrinya ke sebuah
desa di pedalaman dan tiba di sebuah lapangan di sudut sebuah desa.
Rombongan
Malik Ibrahim
diam sejenak, karena mereka menyaksikan orang-orang desa tengah berkumpul.
Orang-orang desa itu berdiri di pinggir
lapangan dan mengelilingi dua orang yang saling berkelahi dengan cara saling
pukul memukul. Kedua orang yang berkelahai itu berada di tengah lapangan. Tidak
jauh dari tempat perkelahian, terdapat semacam altar pemujaan berupa meja
panjang. Menghadap altar, berdiri bangunan dari bambu dengan atap rumbia dan
dari dalamnya mengalun suara gamelan yang ditabuh dengan nada-nada monoton,
terdangar amat ritmis, menusuk-nusuk hati dan membuat bulu roma berdiri.
“Aku menduga mereka sedang menyelenggarakan upacara
persembahan kepada dewa mereka”, bisik
Malik Ibrahim kepada para santri pengiringnya. Malik Ibrahim beserta santrinya, mempercepat
langkahnya mendekati orang-orang desa yang tengah berkerumun itu.
Seorang pendeta tua berambut putih dan berjenggot
panjang, nampak duduk dekat para penabuh gamelan. Mulutnya komat-kamit, seperti
sedang berdoa. Tangannya memegang sebilah keris yang diacung-acungkan ke arah
langit yang biru bersih tanpa banyak awan. Lelaki itu tidak lain adalah pendeta
yang tengah memimpin upacara persembahan.
Sementara itu, dua lelaki yang saling berkelahi yang berada di tengah lapangan sudah
kelelahan. Sekujur tubuhnya mandi darah, tapi dari perkelahaian itu tak ada
yang kalah dan menang. Akhirnya, keduanya jatuh lunglai di tengah lapangan dan beramai-ramai
digotong ke luar lapangan. Tak lama
kemudian, dari belakang panggung, muncul seorang gadis cantik yang
meronta-ronta dan berteriak-teriak, digelandang oleh empat orang lelaki
bertubuh kekar, dibawa menuju altar
pemujaan yang berupa meja panjang.
“Jangan bunuh aku!!!.Jangan bunuh aku !!!” teriak
gadis itu, memekakkan telinga karena lengkingan suaranya yang tinggi dan
menyayat hati, sambil terus meronta-ronta. Tapi rupanya usahanya sia-sia. Keempat lelaki kekar itu
dengan mudah mengangkat tubuh gadis yang
malang itu ke atas meja altar pemujaan.
Melihat gadis malang yang tak berdaya dan terus
meronta-ronta itu, Malik Ibrahim cepat
menyadari bahwa gadis malang itu tengah
terancam bahaya. Dengan cepat Malik
Ibrahim meloncat ketengah lapangan diiringi para santrinya sambil berteriak
kepada empat lelaki yang memegangi gadis cantik yang meronta-ronta itu.
“He, tunggu!” seru Malik Ibrahim mendekati pemimpin upacara yang sudah siap-siap dengan
keris terhunus.
“Ki Sanak, apa yang terjadi? Mau diapakan gadis itu?” tanya Malik Ibrahim pada pendeta pemimpin upacara.
“Wahai orang asing,” jawab pendeta itu tenang,
“Tidak perlu campur tangan dengan urusan kami.“
“Ketahuilah,“ lanjut pendeta itu, ”Aku dan
cantrik-cantrikku sedang menyelenggarakan upacara pemujaan kepada Dewa Indra.
Sudah berbulan-bulan kekeringan melanda desa kami. Hujan sudah lama tidak
turun. Air sungai sudah lama menyusut, sumber-sumber mata air sudah banyak yang
mengering. Warga desa banyak yang sudah kelaparan.
Bila hujan tidak segera turun, korban penduduk akan segera bertambah banyak.
Kami bisa kehabisan persediaan makanan.”
“Lalu gadis yang meronta-ronta itu, untuk apa?”
tanya Malik Ibrahim seraya menunjuk
kepada gadis cantik yang wajahnya sudah pucat pasi, karena ketakutan bukan
main.
“Oh, itu?” sejenak pendeta itu diam, setelah menarik
nafas panjang, ia menjawab,”
Itu gadis yang terpilih untuk dikorbankan sesuai tatacara agama kami.”
“Haruskah gadis itu dikorbankan?” tanya Malik
Ibrahim lebih lanjut.
“Ya, lalu kenapa ?” pendeta itu balik bertanya.
“Apakah gadis itu tidak akan menjadi korban yang sia-sia?”
tanya Malik Ibrahim mendesak.
“Wahai orang asing, ketahuilah. Dia adalah gadis
sudra dan menurut agama kami sah untuk dikorbankan. Tak ada korban yang
sia-sia. Bahkan kelak nyawa gadis itu akan dijemput bidadari yang akan
membawanya ke kahyangan. Di sana
akan diperistri para dewa, karena besarnya pengorbanan yang telah diberikan.
Nasibnya akan lebih baik, ketimbang jadi wanita sudra di dunia. Kalau toh gadis
itu harus lahir kembali ke dunia, ia akan terlahir dalam kasta yang lebih
tinggi, kasta Ksatria bahkan bisa jadi terlahir dalam kasta Brahmana.”
Malik Ibrahim beserta santri-santri pengiringnya
geleng-geleng kepala mendengar penjelasan dari pendeta itu. Bagi Malik Ibrahim
dan santri pengiringnya, pengorbanan itu bukan hanya sia-sia, tetapi juga
mengerikan.
“Kasihan gadis malang itu,” ujar Malik Ibrahim, ”Hai Ki Sanak, sudah
berapa orang gadis yang dikorbankan dalam upacara semacam ini ?”
“Satu orang,”
jawab pendeta itu tenang, tanpa sedikit pun
rasa menyesal.
“Bagaimana kalau sudah dua orang gadis dikorbankan,
tetapi hujan belum juga turun? Apakah
masih akan ada gadis lain yang harus dikorbankan?” tanya Malik Ibrahim
lebih lanjut.
“Ya, sampai
hujan turun,“ jawab pendeta itu,
kali ini wajahnya agak murung. Kemudian katanya lagi, ”Sudahlah orang asing
jangan ganggu kami!”
“Begini Ki Sanak,”
bujuk Malik Ibrahim dengan nada suara yang lembut, tetapi terdengar
tegas dan berwibawa. ”Berikan gadis itu kepadaku. Hujan itu datangnya dari
Allah SWT. Aku akan mencoba memohon kepada Allah SWT agar hujan di desa ini
segera turun.”
Mendengar
usul Malik Ibrahim, pendeta itu nampak mulai tidak sabar dan gelisah,
nampak dia ingin cepat-cepat mengusir rombongan tamu yang tak diundang itu.
“Sudahlah
orang asing. Bukankah sudah kukatakan tadi, jangan ganggu aku?”
kata pendeta itu sambil berdiri dengan keris terhunus dan memberi isyarat kepada
empat laki-laki yang memegangi gadis desa
yang pucat pasi dan ketakutan.
“Nanti dulu Ki Sanak!“ ujar Malik Ibrahim setengah berteriak. Kali ini suaranya tegas dan berwibawa, kelembutan
nada suaranya hilang, membuat yang mendengar diam seketika. Sesaat terjadilah
keheningan yang mencekam. Mereka saling menduga pasti akan terjadi perkelahaian
dan keributan.
“Aku punya usul Ki Sanak,” ujar Malik Ibrahim lagi. ”Beri aku waktu
sepuluh hari. Serahkan gadis itu kepadaku. Setiap hari selama sepuluh hari, aku
bersama santri-santriku akan menyelenggarakan Shalat
di tengah-tengah lapangan ini untuk memohon kepada Allah SWT, agar hujan di
desa ini segera turun. Insya Allah bila Allah SWT menghendaki, nistaya hujan
akan turun di desa ini. Tetapi bila dalam waktu sepuluh hari, hujan belum juga
turun, nasib gadis itu kuserahkan
kembali pada Ki Sanak.”
Entah mengapa, kali ini pendeta itu nampak kebingungan dan ragu-ragu untuk megambil
keputusan. Dan tidak seperti biasanya, kali ini ia berpaling kepada para
cantriknya, dan bertanya, ”Bagaimana cantrik-cantrikku? Setujukah bila tawaran
orang asing itu kita terima?”
Di luar dugaan para cantriknya dan penduduk desa
yang hadir di situ langsung berteriak ramai-ramai, ” Setuju!”
“Alhamdulillah!” terdengar Malik Ibrahim beserta
para santri pengiringnya serentak
mengucapkan kalimat hamdallah.
Akhirnya tercapailah kesepakatan, pendeta dan cantrik-cantriknya menerima
tawaran Malik Ibrahim dan bersedia menunda pelaksanaan upacara pengorbanan
nyawa manusia.
Maka tiap pagi Malik Ibrahim diikuti puluhan santri
pengikutnya yang didatangkan dari daerah
Gresik dan sekitarnya, berkumpul di lapangan pinggir desa untuk
melaksanakan shalat
memohon agar hujan di desa itu cepat-cepat turun.
Pada hari pertama shalat dilaksanakan, matahari masih
bersinar terang memanggang seluruh desa. Hari ke dua, sinarnya mulai meredup.
Hari ke tiga, awan gelap mulai nampak di langit. Hari ke empat awan hitam semakin
banyak, mendung mulai menggantung di langit, matahari hanya sebentar
mempelihatkan wajahnya. Hari ke lima muncul awan tebal dan siang harinya hujan
deras mengguyur seluruh pelosok kerajaan Majapahit.
Betapa gembiranya Malik Ibrahim beserta para santrinya,
karena doa mereka dikabulkan. Kurang dari sepuluh hari, hujan sudah turun
Dengan turunnya hujan, maka nyawa gadis malang itu berhasil diselamatkan.
Sejak peristiwa itu, banyaklah penduduk desa yang memeluk agama Islam, termasuk pendeta
Hindu Buddha yang biasa memimpin upacara keagamaan di desa itu. Bahkan ia
meminta agar di desa itu didirikan pesantren. Dakwah Malik Ibrahim pun
semakin berkembang, bahkan mulai banyak ajar dan pendeta agama Syiwa Buddha
yang berdiskusi dan berdialog dengan
Malik Ibrahim. Di antara
mereka ada pula yang tertarik memeluk agama Islam.
Karena keberhasilan Malik Ibrahim mengajak sejumlah
pendeta dan ajar
masuk Islam, beliau pun bermaksud
menghadap Raja Wikramawardhana, penguasa
Majapahit saat itu. Ketika itu, Wikramawardhana tengah babak belur karena baru
saja berperang melawan saudara tirinya, Bhre Wirabumi, penguasa Blambangan.
Memang pada akhirnya dia dengan susah
payah berhasil memenangkan peperangan. Wikramawardhana beruntung karena
panglima perangnya Bhra Narapati berhasil memenggal kepala Bhre Wirabumi.
Tetapi dampak dari pemberontakan itu telah membuat
Majapahit lemah. Lebih-lebih karena
Kaisar China, Yung Lo (1403-1424 M), segera mengutus Panglima Cheng Ho untuk meminta ganti
rugi pada Raja Majapahit sebesar 60.000 keping tail mas. Ganti rugi itu diminta
karena pasukan Wikramawardhana pada saat menyerbu Blambangan, secara tidak
sengaja telah membunuh 170
orang China utusan Kaisar yang saat itu sedang mengunjungi negara-negara di
Asia Tenggara, termasuk di antarnya mengunjungi
Kerajaan Blambangan. Saat itulah terjadi penyerbuan tentara Majapahit,
sehingga mengakibatkan utusan Kaisar China yang tidak tahu menahu itu ikut
menjadi korban.
Wikramawardhana memang menyadari kecerobohan
pasukannya, karena itu Raja cepat-cepat
meminta maaf pada Kaisar China. Kaisar China memaafkannya, tetapi tetap
menuntut ganti rugi. Namun Kerajaan
Majapahit yang nyaris bangkrut itu, hanya mampu membayar 10.000 tail emas yang
diserahkan kepada Laksamana Cheng Ho. Laksamana sendiri tidak mengahadap Raja
Majapahit. Dia hanya berlabuh di Gresik, setelah sebelumnya mendarat di Tuban.
Besar kemungkinan saat di Gresik itu Laksamana Cheng
Ho yang beragama Islam, bertemu dengan Malik Ibrahim. Dari sini kemudian muncul
ceritera bahwa Malik Ibrahim, bersama Raja Carmain, menghadap Raja Majapahit
dan mengajak Sang Raja agar mau memeluk agama Islam. Sampai sekarang ahli
sejarah belum berhasil memecahkan teka-teki siapakah Raja Carmain itu. Besar
kemungkinan rakyat Gresik dan penggubah cerita tutur itu, mengira bahwa
Laksamana Cheng Ho yang berlabuh di Gresik tahun 1409 itu adalah Raja Carmain.
Padahal ia hanyalah utusan Kaisar China.
Namun ceritera bahwa
Malik Ibrahim berusaha menemui Raja Majapahit untuk berdakwah
kepadanya, ada benarnya. Karena Sir Herman W.Arnould, seorang orientalis dalam bukunya Dakwah
Islam, memang menulis pola-pola dakwah para mubaligh Islam. Kepada para raja
dan penguasa setempat, para mubaligh
biasanya mengajak agar mereka mau memeluk Islam. Nabi saw sendiri pernah berkirim
surat kepada Kaisar Romawi, Kaisar Etiopia, Gubernur Mesir dan Kisra Persia dan
mengajak mereka untuk memeluk Islam. Hanya Gubernur Mesir yang memberikan
respon positip dan mau memeluk Islam.
Konon Kaisar
Etiopia juga masuk Islam, tetapi secara sembunyi-sembunyi. Kaisar Romawi
menolak dengan tegas, sedangkan Kisra Persia malah menyobek surat dari Nabi
saw. Karena itu Nabi saw sempat bersabda
bahwa kelak Kisra Persia itu akan di robek-robek oleh rakyatnya sendiri.
Memang tak lama kemudian Kisra Persia
itu digulingkan oleh rakyatnya sendiri.
Ajakan halus dan penuh persahaban Malik Ibrahim kepada Wikramawardhana ditolak
dengan halus pula. Tetapi terbukti kemudian, salah seorang calon putra mahkota
Kerajaan Majapahit yang juga putra Wikramawardhana, Sri Kertawijaya yang kelak
menjadi naik tahta Kerajaan Majapahit ( 1447-1451 M), menyunting gadis
Muslimah, putri Raja Campa di Indo China. Konon, Putra Mahkota itu menikah
secara Islam. Tetapi akhirnya Putra
Mahkota itu kembali memeluk agama nenek moyangnya saat harus menjabat sebagai
penguasa Tumapel dengan gelar Bhree Tumapel.
Malik Ibrahim, perintis dakwah Islam di Pulau Jawa
dan pendiri pesantren pertama itu, wafat pada tahun 1419 M, dan dimakamkan di
Gresik. Sejak itu, masyarakat lebih mengenalnya sebagai Sunan Gresik.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar